Professional Documents
Culture Documents
Ketidakpastian?
RUU Penyiaran ini, apabila disetujui oleh Pemerintah dan DPR, akan
menggantikan Undang-undang Penyiaran No.32 Tahun 2002, dan
menjadi landasan utama dari pelaksanaan migrasi sistem penyiaran
televisi terrestrial penerimaan tetap tidak berbayar (TV FTA) analog
menjadi digital.
Pertama, single mux operator, dimana hanya ada satu operator atau
penyelenggara layanan multipleksing penyiaran digital, dalam hal ini LPP
RTRI. Dalam model bisnis ini, RTRI akan menguasai dan mengelola
penggunaan frekuensi dan menyediakan infrastruktur transmisi.
Sedangkan kegiatan lembaga penyiaran swasta (LPS) hanyalah
memproduksi konten, dan menyiarkannya melalui kanal frekuensi dan
infrastruktur yang dikelola oleh RTRI melalui sistem sewa.
Ketiga, model hybrid, dimana LPP dan LPS yang memiliki kemampuan
teknologi yang mumpuni ditunjuk menjadi operator atau penyelenggara
layanan multipleksing. Masing-masing operator multipleksing mengelola
frekuensi dan infrastruktur penyiaran untuk dipergunakan oleh LPP atau
LPS penyelenggarara multipleksing dan LPS lainnya melalui penyewaan
kanal frekuensi dan infrastruktur.
Kenapa model hybrid maupun multi mux operator yang dipilih, bukan
model single mux operator? Ada beberapa alasan. Pertama, Indonesia
adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17,000.
Apabila pemerintah menyerahkan pengelolaan frekuensi dan penyediaan
infrastruktur penyiaran kepada LPP RTRI atau BUMN sebagai single mux
operator, maka harus menyediakan dana APBN yang sangat besar untuk
membiayai investasi yang akan dikeluarkan oleh single mux operator.
Kelima, karena tidak adanya kompetisi yang sehat maka tidak ada kontrol
terhadap biaya sewa yang akan diberlakukan oleh single mux operator.
LPP RTRI atau BUMN yang ditunjuk akan membebankan seluruh biaya
investasi yang dikeluarkan kepada LPS atau penyedia konten siaran yang
menggunakan infrastrukturnya. Tidak adanya kompetisi berakibat pada
rendahnya service level layanan penyiaran TV digital.
Keenam, single mux operator tidak akan dapat adaptif dalam menghadapi
perkembangan teknologi penyiaran televisi masa depan yang berubah
sangat cepat. Saat ini teknologi gambar HDTV (High Definition Televison)
akan segera digantikan oleh teknologi UHD (Ultra High Definition) 4K, 8K
dan 16K. Sementara itu, dari sisi teknologi kompresi juga berkembang
dari MPEG 2, MPEG 4 dan sekarang HEVC (High Efficiency Video
Coding).
Padahal baik investasi awal, investasi teknologi yang baru dari tahun ke
tahun maupun investasi konten membutuhkan modal yang sangat besar
khususnya dalam persaingan yang makin ketat sekarang ini.
Amerika Serikat misalnya pada waktu itu (1989) hanya memiliki tiga
stasiun penyiaran televisi (NBC, EBS, ABC). Jerman dua (WDR dan
ARD), Italia dua (RAI dan Media Set), Korea dua (KBS dan NBC),
Hongkong dua (TUB dan ATV), Malaysia tiga (RTM1, RTM2, dan TV3),
serta Australia empat (ABC, TV7, TV9, dan TV10).
Setelah reformasi, jumlah yang sudah terlalu banyak itu ditambah dengan
lima stasiun baru (MetroTV, TV7, TransTV, Global, dan Lativi), serta 100
TV lokal.
Penggunaan konsep atau bisnis model yang tidak akomodatif bukan saja
membuat industri strategis ini menjadi tidak kompetitif, tapi juga dapat
mengancam keberlangsungan usahanya. Usulan ATVSI agar RUU
Penyiaran mengadopsi model hybrid merupakan solusi terkait polemik
monopoli akibat dipilihnya sistem single mux operator dalam RUU
Penyiaran saat ini.
Penggunaan sistem multi mux operator maupun hybrid mux operator akan
tetap menjamin pemerintah menguasai alokasi frekuensi sebagai digital
deviden yang cukup untuk dimanfaatkan berbagai kanal televisi maupun
broadband. Sehingga, pemerintah bisa terjamin usahanya untuk
meningkatkan kapasitas broadband maupun internet yang cukup guna
memenuhi kebutuhan nasional hingga 20 tahun ke depan.