You are on page 1of 13

Atresia Koana

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung

Hidung dari luar berbentuk seperti piramid dengan bagian-bagiannya berupa

pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala

nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).1

Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang

dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk

melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri atas

ostium nasalis, prosesus frontalis ostium maksila dan prosesus nasalis ostium

frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri atas sepasang kartilago nasalis lateralis

superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai

kartilago alar mayor dan terakhir tepi anterior kartilago septum. 1

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan hingga ke

belakang yang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengah yang membagi antara

kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan

disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.1

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang

nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang

mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut

vibrise.1

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,

inferior, dan superior.1

3
Atresia Koana

Dinding medial hidungialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan

tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)

vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang

rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela.1

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum

pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling

bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih

kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema.

Konka suprema ini biasanya rudimenter.1

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian

dari labirin etmoid.1

Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior

yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara

sinus etmoid posterior dan sinus sfeniod.1

Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk ole hos maksila

dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk

4
Atresia Koana

oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.

Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini

berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf

olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk ole hos sfenoid.1

Gambar 1: susunan tulang pada hidung

5
Atresia Koana

Gambar 2: Bagian-bagian hidung dalam pemotongan lateral

Pendarahan Hidung

Pendarahan hidung dibagi atas pendarahan bagian atas, bawah, depan dan

pada bagian septum. Pada bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari

arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika

dari arteri karotis interna. 1

Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,

diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar

dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga

hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung diperdarahi

oleh cabang-cabang dari arteri facialis. 1

6
Atresia Koana

Pada bagian septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri

sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine

mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). 1

Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner, dan fungsi fungsionalis, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur

kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang

dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. 2) fungsi penghidu

karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulis penghidu. 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,

membantu proses bicara dan mencegah hantaran udara sendiri melalui konduksi

tulang. 4) fungsi static dan mekanik untuk meringankan baban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas. 5) refleks nasal.1

2.2 Embriogenesis Hidung

Pada manusia, perkembangan struktur kranial dan wajah terjadi pada minggu

ke-12 kehamilan dengan koana berkembang antara minggu ke-4 sampai ke-11.

Pada minggu ke-4 dari kehamilan, hidung mulai berkembang dengan diawali

pembentukan lubang hidung. Lubang hidung melipat kedalam mesenkim untuk

membentuk kantung hidung yang di pisahkan rongga mulut oleh membran

oronasal. Pada minggu ke-8 kehamilan, membran ini pecah dan membentuk

rongga hidung dan koana yang terletak di persimpangan dari gigi, hidung, dan

nasofaring dilanjutkan dengan pengembangan rongga hidung diikuti oleh

proliferasi bertahap sel pial neural yang berkontribusi pada pembentukan dasar

tengkorak dan kubah hidung. Pada akhir minggu ke-10 septum hidung

7
Atresia Koana

mengembang sekeliling palatum dan koana mengalami perubahan letak dan

terdorong ke posterior. Pada bayi normal, koana akan terbentuk dan udara masuk

dari anterior hidung sampai ke nasopharing.5

Gambar 3: perkembangan hidung setelah 30 hari menjadi embrio Note the nasal

pits (n) and primitive mouth (m).

2.3 Definisi

Atresia koana adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan

kegagalan perkembangan kavum nasi bagian posterior untuk berhubungan dengan

nasofaring. Atresia koana disebabkan kegagalan resorpsi dari membran

buccopharyngeal selama perkembangan embrio. Atresia koana dapat dikaitkan

dengan sindrom CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia choanae,

R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear deformities or

deafness).Penyakit kongenital lain yang dikaitkan dengan atresia koana termasuk

polidaktil, cacat hidung-aurikularis dan palatal, sindrom Crouzon, sindrom Down,

sindrom Treacher-Collins, sindrom Digeorge, craniosynostosis, microencephaly,

meningokel, meningoencephalocele, wajah asimetris, hypoplasia dari orbita dan

midface, dan hipertelorisme. 2,4

8
Atresia Koana

2.4 Epidemiologi

Kejadian atresia koana berkisar antara 1 dalam 5000 - 9000 angka kelahiran

hidup, dengan ratio wanita dibanding pria 2:1. Sebanyak 90% kelainan obstruksi

ini terdiri dari tulang, sedangkan 10% berupa selaput (membran) dengan ketebalan

1-10 mm. Penelitian lain meyebutkan bahwa tipe campuran tulang dan membran

70% dan tulang 30%. Atresia koana unilateral lebih banyak terjadi dibandingkan

dengan bilateral yaitu sekitar 65-75%. Dan atresia koana unilateral lebih sering

terjadi di hidung bagian kanan dan jika bilateral sering diikuti dengan sindrom

CHARGE, sindrom Treacher-Collins, dan sindrom Crouzon (75% dari kasus).

Resiko meningkat pada kelahiran kembar. Kelainan kromosom terdapat 6% dari

anak dengan atresia koana2,6,7

2.5 Etiologi

Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak

dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada

masa embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membran yang

terdiri atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang

kemudian menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain

adanya keterlibatan kromosom 22q11.2 yang berada di lengan panjang kromosom

22.7,8

2.6 Patofiosiologi

Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum

ada teori yang pasti tentang kelaianan ini. Teori tersebut antara lain:9

Membran buccopharyngeal yang persisten


Kegagalan pemisahan membran bukonasal.
Medial outgrowth dari proses vertikal dan horizontal tulang palatinum.

9
Atresia Koana

Abnomarlitas penyatuan mesodermal yang membentuk area koana.

Rongga hidung memanjang kearah posterior selama perkembangan prosesus

palatum. Penebalan membran akan memisahkan rongga hidung dengan rongga

mulut. Pada hari ke-38 perkembangan embrio, kedua membran yang terdiri dari

epitel hidung dan mulut akan ruptur dan berpisah membentuk koana (nares

posterior). Kegagalan pemisahan ini mengakibatkan atresia koana.9

2.7 Gejala Klinis

Atresia koana bilateral sering ditemukan pada saat lahir karena menimbulkan

gejala gawat nafas. Bayi baru lahir secara naluriah bernafas dari hidung. Apabila

ada obstruksi jalan nafas, refleks untuk bernafas melalui mulut baru timbul

beberpa minggu atau beberapa bulan setelah lahir. Biasanya bayi akan tampak

sianosis dalam keadaan tenang dan kembali normal bila menangis.9

Pada atresia koana unilateral, gejala baru terlihat setelah bayi berumur

beberapa tahun berupa sekret hidung yang menumpuk dan keluar terus menerus

dari salah satu lubang hidung.10

Pada atresia koana perlu dicari kelainan yang berhubungan dengan

sindrom CHARGE, yang terdiri dari:9

1. Coloboma iris, koroid, dan mikrooftalmika (80%)

2. Heart defect seperti ADS atau lesi conotruncal (58%)

3. Atresia of Choana (100%)

4. Retarded Growth and development (retardasi mental 94%, gangguan

pertumbuhan 87%)

5. Genitourinary abnormalities seperti kriptorkismus, mikrofalus, dan/tanpa

hidronefrosis (hiploplasia genital pada laki-laki 75%)

10
Atresia Koana

6. Ear defect yang berhubungan dengan ketulian, dapat disertai defek telinga

luar, tengah dan dalam (88%).

2.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis dijumpai riwayat kesulitan bernafas dari

hidung saat baru lahir, serta bayi tampak sianosis saat bibir terkatup dan sianosis

menghilang saat menangis. Pada pemeriksaan fisik, pasien cenderung mengambil

nafas dari mulut akibat adanya obstruksi pada hidung dan tampak retraksi pada

dada. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior cenderung dalam batas normal, namun

kadang dijumpai adanya sekret yang keluar dan bertahan. 6,9

Tes untuk mendeteksi atresia koana:11

1. Mencoba memasukkan kateter plastik (biasanya ukuran 6-8 F) melalui

hidung. Jika tidak ada atresia, maka kateter tersebu akan bebas

melewati kavum nasi ke nasofaring. Jika terdapat atresia koana maka

akan terasa adanya tahanan kira-kira 3-3,5 cm dari pinggir alar. Jika

obstruksi kira-kira 1-2 cm dari nares anterior, maka bisa jadi

disebabkan oleh defleksi traumatik dari septum nasi akibat trauma.

2. Meletakkan kapas atau kaca di depan hidung. Bila terdapat udara, maka

kapas akan bergerak dan kaca akan berembun.

3. Meneteskan metilen blue ke dalam kavum nasi anterior hidung dan

dilihat keberadaannya melalui mulut. Jika tidak ada obstruksi, maka

metilen blue akan tampak dimulut karena melewati nasofaring, namun

jika ada obstruksi akibat atresia koana, maka metilin blue tidak tampak

dari mulut karena tidak bisa melewati nasofaring.

11
Atresia Koana

Pada pemeriksaan radiografi di daerah hidung dengan menggunakan pipa

nasogastrik yang diisi zat kontras, akan terlihat zat kontras tertahan didaerah

koana. Dengan CT-scan yang dilakukan didaerah sinus dapat mendeteksi kelainan

obstruksi yang terdiri dari tulang atau membran atau keduanya, dapat diketahui

ketebalannya, memastikan diagnosis atresia koana unilateral maupun bilateral,

dan dapat diketahui pula adanya kelaianan didaerah dasar tengkorak bagian

anterior. 5,6,9,12

Gambar 4: The paranasal sinus CT scan revealed bilateral bone choanal atresia in
axial cut.

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari atresia koana adalah:

12
Atresia Koana

1. Deviasi septum

Gejala utama: sumbatan pada satu atau kedua rongga hidung. Sumbatan

ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, sebab pada sisi yang mengalami

konka hipertrofi. Rasa nyeri di kepala dan sekitar mata, gangguann

penghidu, kongesti nasal, epistaksis, infeksi sinus berulang dan nafas yang

berbunyi sewaktu tidur.1

2. Hematom septum nasi

Hematom septum adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan

pembengkakan, memar, atau perdarahan didalam septum nasi. Gejala

utama: hidung tersumbat, kesulitan bernafas, dan pembengkakan pada

sekat hidung yang menyakitkan.1

3. Hipertrofi konka (Rhinitis hipertrofi)

Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa hidung

pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses inflamasi

kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri primer atau sekunder. Gejala

utama: sumbatan pada hidung atau gejala diluar hidung akibat hidung

tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur, sekret

biasanya banyak dan mukopurulen.1

4. Polip hidung

Gejala utama: hidung tersumbat dari ringan sampai berat, rhinorrhea yang

jernih sampai kental, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-

bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala didaerah frontal.1

2.10. Penatalaksaan

13
Atresia Koana

Pengobatan keadaan darurat terdiri dari memasukkan saluran udara plastik

kedalam mulut bayi. Alternatif lain adalah merekatkan puting karet botol bayi

(putting McGovern) dengan lubang yang besar pada ujungnya dimasukkan ke

dalam mulu bayi. Tindakan ini ada keuntungannya yaitu untuk bernafas dan

memberi makanan. Jika keadaan bayi stabil dapat dibuat saluran udara, dibawah

anastesi umum dan menggunakan mikroskop operasi, flap mukosa diangkat dan

lempeng tulang dikuretase secara hati-hati. Tindakan pembedahan bersifat

emergensi pada atresia koana bilateral dan elektif terhadap atresia koana

unilateral. 10,12

Tatalaksana definitif pada atresia koana bilateral sebaiknya dilakukan sesegera

mungkin. Tindakan trakeostomi jarang diperlukan apabila tidak ditemukan

kelainan lain. Pada umumnya sebelum operasi cukup diberikan gudel untuk

memudahkan pernafasan. Ada beberapa metode operasi untuk memperbaiki

atresia yaitu transnasal, transpalatal, transseptal, dan transantral, namun transnasal

dan transpalatal yang paling sering digunakan.6,9

Prosedur transnasal dilakukan apabila atresia terdiri dari membran atau tulang

yang tipis. Prosedur yang sederhana adalah dengan melakukan perforasi didaerah

atresia yang dilanjutkan dengan dilatasi. Cara lain adalah dengan melakukan

prosedur transnasal yaitu bedah mikro dengan teknik endoskopi. Prosedur

transpalatal dilakukan apabila atresia tersebut memiliki dinding yang yang tebal.9

14
Atresia Koana

2.11 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:11

1. Aspirasi saat menyusu

2. Distress pernafasan

3. Penyempitan kembali pada daerah atresia koana setelah pembedahan.

2.12 Prognosis

Prognosis tergantung pada banyaknya kelainan yang terjadi. Deteksi dini

pada periode perinatal penting untuk menemukan kelainan ini lebih awal, karena

atresia koana bilateral masih merupakan penyebab kematian pada periode

neonatus yang yang sering terjadi tetapi tidak diketahui.9

15

You might also like