Professional Documents
Culture Documents
Penegakan diagnosis
Manifestasi dari demensia dapat bermacam-macam akibat adanya
penurunan secara global dari fungsi kognitif, daya ingat, daya pikir, aphasia,
apraxia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif. Bentuk penurunan prilaku tersebut
secara garis besar dibagi menjadi:
a. Penurunan activity of daily living (ADL), yaitu kemampuan seseorang untuk
mengurus dirinya sendiri dalam kehidupan sehri-hari yaitu mandi, berpakaian,
kebersihan diri, buang air besar/kecil dan lain-lain.
b. Perilaku okupasional, yaitu perilaku yang dilakukan untuk menjalankan
kehidupan sehari-hari untuk bekerja, organisasi, beribadah serta kegiatan
lainnya untuk mengisi waktu luang dan lain-lain.
c. Partisipasi sosial, yaitu perilaku untuk berinteraksi dalam kehidupan
bermasyarakat seperti mengurus KTP, ikut kerja bakti, gotong royong,
menghadiri undangan dan lain-lain.
Seiring berjalannya waktu, demensia dapat terus berkembang semakin berat
sehingga memperlihatkan gangguan psikologis maupun patologis. Gangguan ini
dapat berupa:
1. Gangguan psikologis yaitu:
a. Delusi: isi pikiran yang salah tetapi diyakini kebenarannya
b. Halusinasi: misalnya halusinasi dengar, visual, audotorik
c. Misidentifikasi/mispersepsi: merasa bukan dirinya, bukan pasangan
suami/istrinya
d. Apatis: berkurangnya minat terhadap sesuatu yang biasanya disukai,
interaksi sosial berkurang
e. Cemas: menanyakan hal yang sama secara berulang-ulang, tidak
bias duduk diam
2. Gangguan prilaku yaitu:
a. Wandering: mondar-mandir, mencari-cari, membuntuti, berjalan
mengelilingi rumah
b. Restlessness: gelisah sehingga tidak bisa diam.
c. Aggressiveness: aktivitas fisik seperti memukul, menendang,
mencakar, menggigit, berteriak, membuat kegaduhan dan
sebagainya.
d. Disinhibisi: melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan budaya dan
norma sosial, hal-hal yang memalukan dan sebagainya.
Dengan melihat besarnya variasi kemunduran psikologis maupun perilaku
lansia yang mengalami demensia maka penapisan demensia penting untuk
dilakukan melalui beberapa cara yaitu mini mental state examination (MMSE),
clock draw test (CDT), 3 recall items. Diagnosis ditegakkan dengan menggunakan
kriteria diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Fourth Edition
(DSM IV).
Kriteria diagnosis demensia menurut DSM IV adalah:
A. Adanya defisit kognitif multipel yang termanifestasi oleh dua hal berikut:
1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk belajar informasi baru
atau untuk mengingat informasi yang telah dipelajari sebelumnya)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut:
a. Afasia (gangguan berbahasa).
b. Apraksia (gangguan dalam melakukan aktifitas gerak walaupun
fungsi motorik masih baik).
c. Agnosia (gangguan dalam mengenal atau mengidentifikasi objek
walapun fungsi sensorik masih baik).
d. Gangguan dalam melakukan fungsi-fungsi tertentu (seperti
merencanakan sesuatu, mengoraganisir, merangkai,
menyimpulkan).
B. Defisit kognitif dalam kriteria A1 dan A2 masing-masing menyebabkan
penurunan yang signifikan dalam fungsi sosial dan pekerjaan serta
menunjukkan penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.
C. Defisit tersebut tidak muncul saat terjadinya delirium.
Pada saat terdiagnosis demensia dan secara rutin dalam interval tertentu,
penilaian harus dibuat terhadap komorbid yang lain terhadap kondisi psikiatri lain
yang berhubungan dengan demensia seperti depresi dan psikosis untuk
memastikan manajemen yang optimal terhadap kelainan yang ada.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PENATALAKSANAAN
B. Partisipasi
1. Para lansia harus tetap tergabung dalam masyarakat, berpartisipasi secara aktif
dalam formulasi dan implementasi kebijaksanaan yang secara langsung
mempengaruhi kesejahteraannya dan membagikan pengetahuan dan ketrampilan
mereka dengan generasi berikutnya.
2. Lansia harus mampu mencari dan mencari kesempatan untuk melayani
masyarakat sebagai sukarelawan sesuai dengan kemampuannya.
3. Para lansia harus selalu dalam kerjasama dengan lansia lainnya.
C. Perhatian
1. Para lansia harus mendapatlkan keuntungan dari keluarga dan masyarakat serta
pelindungan selaras dengan setiap sistem sosial dari nilai-nilai budaya.
2. Para lansia harus memiliki akses pada pelayanan kesehatan untuk membantu
mereka menjaga atau mengembalikan tingkat kesejahteraan fisik, mental, dan
emosional serta untuk mencegah keterlambatan penyakit.
3. Lansia harus memiliki akses pada pelayanan sosial dan hukum untuk
meningkatkan otonomi, perlindungan dan perhatian.
4. Lansia harus mampu menggunakan ketersediaan institusi perlindungannya
dengan baik untuk memberikan perlindungan, rehabilitasi, stimulasi sosial dan
mental dalam lingkungan yang aman.
5. Lansia harus mampu menikmati hak asasi manusia dan kebebasan ketika tinggal
di tempat manapun, fasilitas pengobatan, termasuk penghormatan akan
martabatnya, keyakinan, kebutuhan, dan privasi serta hak untuk membuat
keputusan untuk kehidupan dan kualitas hidupnya.
D. Pemenuhan diri
1. Lansia harus mampu mencari kesempatan untuk pembangunan sepenuhnya
potensi diri mereka.
2. Lansia harus memiliki akses akan sumber pendidikan, budaya, spiritual, dan
rekreasional di masyarakat.
E. Martabat
1. Lansia harus mampu hidup dalam lingkungan yang aman dan bermartabat dan
bebas dari eksploitasi fisik maupun mental.
2. Lansia harus diperlakukan dengan baik tanpa melihat umur, jenis kelamin, ras
atau latar belakang etnik, disabilitas atau status yang lain dan di hargai secara bebas
akan kontribusi ekonomis mereka.
Para lansia yang mengalami demensia selayaknya mendapat penghargaan yang
baik tanpa memandang usia serta sejauh mana gangguan yang ada dan bahwasanya
setiap orang adalah unik, memiliki kepribadian tersendiri sehingga pendekatan
masing-masing haruslah disesuaikan. Beberapa kunci pokok dalam penanganan
secara holistik yang dapat dilaksanakan antara lain (NICE, 2004):
a. Tanpa diskriminasi
Para penderita demensia tidak boleh dikecualikan dari semua pelayanan semata-
mata karena diagnosis, usia atau gangguan yang ada.
Darmojo BR, Martono HH (2006). Buku Ajar Geriatri. Edisi 3. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.