You are on page 1of 10

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU DENGAN


GANGGUAN PSIKOLOGIS POSTPARTUM : POSTPARTUM BLUES

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Post-partum blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875 telah
menulis referensi di literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia ringan pasca-salin
yang disebut sebagai milk fever karena gejala
disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, post-partum blues (PPB) atau
sering juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti sebagai suatu sindroma
gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama setelah persalinan atau
pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada hari ketiga sampai kelima dan
berlangsung dalam rentang waktu 14 hari atau dua minggu pasca persalinan. Post-partum
blues ini dikategorikan sebagai sindroma gangguan mental yang ringan oleh sebab itu sering
tidak dipedulikan sehingga tidak terdiagnosis dan tidak ditatalaksanai sebagaimana
seharusnya, akhirnya dapat menjadi masalah yang menyulitkan, tidak menyenangkan dan
dapat membuat perasaan-perasaan tidak nyaman bagi wanita yang mengalaminya, dan
bahkan kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat
yaitu depresi dan psikosis pasca-salin, yang mempunyai dampak lebih buruk, terutama dalam
masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan anak, karena stres dan sikap
ibu yang tidak tulus terus-menerus bisa membuat bayi tumbuh menjadi anak yang mudah
menangis, cenderung rewel, pencemas, pemurung dan mudah sakit. Keadaan ini sering
disebut puerperium atau trimester keempat kehamilan. Baby blues adalah keadaan di mana
seorang ibu mengalami perasaan tidak nyaman (kesedihan atau kemurungan)/gangguan
suasana hati setelah persalinan, yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi, atau pun
dengan dirinya sendiri. Ketika plasenta dikeluarkan pada saat persalinan, terjadi perubahan
hormon yang melibatkan endorphin, progesteron, dan estrogen dalam tubuh Ibu, yang dapat
mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosional Ibu.
2. Etiologi
Etiologi atau penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum
diketahui. Namun, banyak faktor yang diduga berperan terhadap terjadinya postpartum blues,
antara lain:
1. Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen, progesteron,
prolaktin dan estradiol. Penurunan kadar estrogen setelah melahirkan sangat berpengaruh
pada gangguan emosional pascapartum karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas
enzim monoamine oksidase yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi
noradrenalin dan serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.
2. Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
3. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
4. Latar belakang psikososial ibu, seperti; tingkat pendidikan, status perkawinan, kehamilan
yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya, sosial ekonomi serta
keadekuatan dukungan sosial dari lingkungannya (suami, keluarga dan teman). Apakah
suami menginginkan juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga, dan teman memberi
dukungan moril (misalnya dengan membantu pekerjaan rumah tangga, atau berperan
sebagai tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani masa kehamilannya
atau timbul permasalahan, misalnya suami yang tidak membantu, tidak mau mengerti
perasaan istri maupun persoalan lainnya dengan suami, problem dengan orang tua dan
mertua, problem dengan si sulung.
5. Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
Namun ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Post partum blues tidak
berhubungan dengan perubahan hormonal, biokimia atau kekurangan gizi. Antara 8%
sampai 12% wanita tidak dapat menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi
sangat tertekan sehingga mencari bantuan dokter. Dengan kata lain para wanita lebih
mungkin mengembangkan depresi post partum jika mereka terisolasi secara sosial dan
emosional serta baru saja mengalami peristiwa kehidupan yang menakan.
Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan dari postpartum blues ini
disebabkan oleh beberapa factor dari dalam dan luar individu. Penelitian dari Dirksen
dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukkan bahwa depresi tersebut membawa
kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di kemudian hari. De Jonge
Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat obstetrical)
dalam pertolongan melahirkan dapat memicu depresi postpartum blues ini. Misalnya saja
pada pembedahan caesar, penggunaan tang, tusuk punggung, episiotomi dan sebagainya.
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap
pemicu.
3. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap seorang ibu. Gejala
tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau 6 hari setelah melahirkan. Beberapa perubahan
sikap tersebut diantaranya sering tiba-tiba menangis karena merasa tidak bahagia, penakut,
tidak mau makan, tidak mau bicara, sakit kepala sering berganti mood, mudah tersinggung
(iritabilitas), merasa terlalu sensitif dan cemas berlebihan, tidak bergairah, khususnya
terhadap hal yang semula sangat diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit
membuat keputusan, meras` tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja
Anda lahirkan , insomnia yang berlebihan. Gejala-gejala itu mulai muncul setelah persalinan
dan pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai beberapa
hari. Namun jika masih berlangsung beberapa minggu atau beberapa bulan itu dapat disebut
postpartum depression.
4. Insiden
Dalam dekade terakhir ini, banyak peneliti dan klinisi yang memberi perhatian khusus
pada gejala psikologis yang menyertai seorang wanita pasca salin, dan telah melaporkan
beberapa angka kejadian dan berbagai faktor yang diduga mempunyai kaitan dengan gejala-
gejala tersebut. Berbagai studi mengenai post-partum blues di luar negeri melaporkan angka
kejadian yang cukup tinggi dan sangat bervariasi antara 26-85%, yang kemungkinan
disebabkan karena adanya perbedaan populasi dan kriteria diagnosis yang digunakan.
5. Pencegahan
Post partum blues dapat dicegah dengan cara :
a. Anjurkan ibu untuk merawat dirinya, yakinkan pada suami atau keluarga untuk selalu
memperhatikan si ibu
b. Menu makanan yang seimbang
c. Olah raga secara teratur
d. Mintalah bantuan pada keluarga atau suami untuk merawat ibu dan bayinya.
e. Rencanakan acara keluar bersama bayi berdua dengan suami
f. Rekreasi
6. Pemeriksaan Diagnostik
Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara langsung
post partum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simtom yang tampak dapat
disimpulkan sebagai gangguan depresi post partum blues bila memenuhi kriteria gejala yang
ada. Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan pada individu yang mengalami kelelahan
luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada ibu yang mengalami post partum blues mempunyai
jumlah kadar tyroid yang sangat rendah.
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan pelayanan
pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan beberapa kuesioner
dengan sebagai alat bantu. Endinburgh Posnatal Depression Scale (EPDS) merupakan
kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat mengukur intensitas perubahan perasaan
depresi selama 7 hari pasca salin. Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas
perasaan, kecemasan, perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-
partum blues . Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan
memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih satu sesuai
dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu. Pertanyaan harus dijawab
sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati
bahwa nilai skoring lebih besar dari 12 (dua belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai
prediksi positif 73% untuk mendiagnosis kejadian post-partum blues . EPDS juga telah teruji
validitasnya di beberapa negara seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia.
EPDS dapat dipergunakan dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya meragukan
dapat diulangi pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.
7. Penatalaksanaan
Post-partum blues atau gangguan mental pasca-salin seringkali terabaikan dan tidak
ditangani dengan baik. Banyak ibu yang berjuang sendiri dalam beberapa saat setelah
melahirkan. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah namun mereka sendiri tidak benar-
benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka pergi mengunjungi dokter atau
sumber-sumber lainnya Untuk minta pertolongan, seringkali hanya mendapatkan saran untuk
beristirahat atau tidur lebih banyak, tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri
sendiri dan mulai merasa gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai.
Penanganan gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak berbeda dengan
penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang mengalami post-
partum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan
dukungan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini membutuhkan dukungan psikologis
seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus juga dipenuhi. Mereka membutuhkan
kesempatan untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dari situasi yang
menakutkan. Mungkin juga mereka membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan
seringkali akan merasa gembira mendapat pertolongan yang praktis. Dengan bantuan dari
teman dan keluarga, mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan
rutin sehari-hari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan
konsep mereka tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat
diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor yang
berpengalaman dalam bidang tersebut.
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para wanita untuk
kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera memberikan penanganan
yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk para ahli psikologi/konseling bila
memang diperlukan. Dukungan yang memadai dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan
bidan/perawat sangat diperlukan, misalnya dengan cara memberikan informasi yang
memadai/adekuat tentang proses kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang
mungkin timbul dalam masa-masa tersebut serta penanganannya.
Post-partum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik nafas
panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan tulus dengan
peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi, membicarakan rasa
cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel, bergabung dengan kelompok ibu-ibu
baru. Dalam penanganan para ibu yang mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan
menyeluruh/holistik. Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan
pemahaman secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin
pada saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan penanganan di
tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara bersama-sama, dengan
melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga teman dekatnya.
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengenalan gejala mood merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh perawat
perinatal. Rencana keperawatan harus merefleksikan respons perilaku yang diharapkan
dari gangguan tertentu. Rencan individu didasarkan pada karakteristik wanita dan
keadaannya yang spesifik. Suami atau pasangan wanita tersebut juga dapat mengalami
gangguan emosional akibat perilaku wanita tersebut.
Pengkajian pada pasien post partum blues menurut Bobak ( 2004 ) dapat dilakukan
pada pasien dalam beradaptasi menjadi orang tua baru. Pengkajiannya meliputi ;
1. Identitas klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record
dan lain-lain
2. Dampak pengalaman melahirkan
Banyak ibu memperlihatkan suatu kebutuhan untuk memeriksa proses kelahiran itu
sendiri dan melihat kembali perilaku mereka saat hamil dalam upaya retrospeksi diri
(Konrad, 1987). Selama hamil, ibu dan pasangannya mungkin telah membuat suatu
rencana tertentu tentang kelahiran anak mereka, hal-hal yang mencakup kelahiran
pervagina dan beberapa intervensi medis. Apabila pengalaman mereka dalam persalinan
sangat berbeda dari yang diharapkan (misalnya ; induksi, anestesi epidural, kelahiran
sesar), orang tua bisa merasa kecewa karena tidak bisa mencapai yang telah
direncanakan sebelumnya. Apa yang dirasakan orang tua tentang pengalaman melahirkan
sudah pasti akan mempengaruhi adaptasi mereka untuk menjadi orang tua.
3. Citra diri ibu
Suatu pengkajian penting mengenai konsep diri, citra tubuh, dan seksualitas ibu.
Bagaimana perasaan ibu baru tentang diri dan tubuhnya selama masa nifas dapat
mempengaruhi perilaku dan adaptasinya dalam menjadi orang tua. Konsep diri dan citra
tubuh ibu juga dapat mempengaruhi seksualitasnya. Perasaan-perasaan yang berkaitan
dengan penyesuaian perilaku seksual setelah melahirkan seringkali menimbulkan
kekhawatiran pada orang tua baru. Ibu yang baru melahirkan bisa merasa enggan untuk
memulai hubungan seksual karena takut merasa nyeri atau takut bahwa hubungan
seksual akan mengganggu penyembuhan jaringan perineum.
4. Interaksi Orang tua Bayi
Suatu pengkajian pada masa nifas yang menyeluruh meliputi evaluasi interaksi
orang tua dengan bayi baru. Respon orang tua terhadap kelahiran anak meliputi perilaku
adaptif dan perilaku maladatif. Baik ibu maupun ayah menunjukkan kedua jenis perilaku
maupun saat ini kebanyakan riset hanya berfokus pada ibu. Banyak orang tua baru
mengalami kesulitan untuk menjadi orang tua sampai akhirnya keterampilan mereka
membaik. Kualitas keibuan atau kebapaan pada perilaku orang tua membantu perawatan
dan perlindungan anak. Tanda-tanda yang menunjukkan ada atau tidaknya kualitas ini,
terlihat segera setelah ibu melahirkan, saat orang tua bereaksi terhadap bayi baru lahir
dan melanjutkan proses untuk menegakkan hubungan mereka.
5. Perilaku Adaptif dan Perilaku Maladaptif
Perilaku adaptif berasal dari penerimaan dan persepsi realistis orang tua terhadap
kebutuhan bayinya yang baru lahir dan keterbatasan kemampuan mereka, respon social
yang tidak matur, dan ketidakberdayaannya. Orang tua menunjukkan perilaku yang
adaptif ketika mereka merasakan suka cita karena kehadiran bayinya dan karena tugas-
tugas yang diselesaikan untuk dan bersama anaknya, saat mereka memahami yang
dikatakan bayinya melalui ekspresi emosi yang diperlihatkan bayi dan yang kemudian
menenangkan bayinya, dan ketika mereka dapat membaca gerakan bayi dan dapat
merasa tingkat kelelahan bayi. Perilaku maladaptif terlihat ketika respon orang tua tidak
sesuai dengan kebutuhan bayinya. Mereka tidak dapat merasakan kesenangan dari
kontak fisik dengan anak mereka. Bayi bayi ini cenderung akan dapat diperlakukan
kasar. Orang tua tidak merasa tertarik untuk melihat anaknya. Tugas merawat anak
seperti memandikan atau mengganti pakaian, dipandang sebagai sesuatu yang
menyebalkan. Orang tua tidak mampu membedakan cara berespon terhadap tanda yang
disampaikan oleh bayi, seperti rasa lapar, lelah keinginan untuk berbicara dan kebutuhan
untuk dipeluk dan melakukan kontak mata. Tampaknya sukar bagi mereka untuk
menerima anaknya sebagai anak yang sehat dan gembira.
6. Struktur dan fungsi keluarga
Komponen penting lain dalam pengkajian pada pasien post partum blues ialah
melihat komposisi dan fungsi keluarga. Penyesuaian seorang wanita terhadap perannya
sebagai ibu sangat dipengaruhi oleh hubungannya dengan pasangannya, ibunya dengan
keluarga lain, dan anak-anak lain. Perawat dapat membantu meringankan tugas ibu baru
yang akan pulang dengan mengkaji kemungkinan konflik yang bisa terjadi diantara
anggota keluarga dan membantu ibu merencanakan strategi untuk mengatasi masalah
tersebut sebelum keluar dari rumah sakit.
Sedangkan Pengkajian Dasar data klien menurut Marilynn E. Doenges ( 2001 ) Adalah :
a. Aktivitas / istirahat Insomnia mungkin teramati.
b.Sirkulasi
Episode diaforetik lebih sering terjadi pada malam hari.
c. Integritas Ego
Peka rangsang, takut/menangis (" Post partum blues " sering terlihat kira-kira 3
hari setelah kelahiran).
d. Eliminasi
Diuresis diantara hari ke-2 dan ke-5.
e. Makanan/cairan
Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan mungkin hari hari ke-3.
f. Nyeri/ketidaknyamanan
Nyeri tekan payudara/pembesaran dapat terjadi diantara hari ke-3 sampai ke-5
pascapartum.
g. Seksualitas
Uterus 1 cm diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran, menurun kira-kira 1
lebar jari setiap harinya. Lokhia rubra berlanjut sampai hari ke-2- 3, berlanjut
menjadi lokhia serosa dengan aliran tergantung pada posisi (misalnya ; rekumben
versus ambulasi berdiri) dan aktivitas (misalnya ; menyusui). Payudara : Produksi
kolostrum 48 jam pertama, berlanjut pada susu matur, biasanya pada hari ke-3;
mungkin lebih dini, tergantung kapan menyusui dimulai.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien postpartum blues diantaranya Adalah :
a. Nyeri akut/ketidaknyamanan berhubungan dengan trauma mekanis,
edema/pembesaran jaringan atau distensi, efek-efek hormonal.
b. Menyusui berhubungan dengan tingkat pengetahuan, pengalaman
sebelumnya, usia gestasi bayi, tingkat dukungan, struktur/karakteristik fisik
payudara ibu.
c. Risiko tinggi terhadap perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan
pengaruh komplikasi fisik dan emosional
d. Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu berkaitan perubahan emosional yang
tidak stabil pada ibu
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan Respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan, proses
persalinan dan kelahiran melelahkan.
f. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi, tidak
mengenal sumber sumber.
g. Potensial terhadap pertumbuhan koping keluarga berhubungan dengan
kecukupan pemenuhan kebutuhan kebutuhan individu dan tugas tugas adaptif,
memungkinkan tujuan aktualisasi diri muncul ke permukaan.
3. Rencana Keperawatan
4. Implementasi
Menurut Doenges (2000) implementasi adalah perawat mengimplementasikan
intervensi-intervensi yang terdapat dalam rencana perawatan. Menurut Allen (1998)
komponen dalam tahap implementasi meliputi tindakan keperawatann mandiri,
kolaboratif, dokumentasi, dan respon pasien terhadap asuhan keperawatan.
5. Evaluasi
Evaluasi didasarkan pada kemajuan pasien dalam mencapai hasil akhir yang
ditetapkan yaitu meliputi ; kesejahteraan fisik ibu dan bayi akan dipertahankan. Ibu dan
keluarga akan mengembangkan koping yang efektif. Setiap anggota keluarga akan
melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Perawat dapat yakin bahwa
perawatan berlangsung efektif jika kesejahteraan fisik ibu dan bayi dapat dipertahankan,
ibu dan keluarganya dapat mengatasi masalahnya secara efektif, dan setiap anggota
keluarga dapat meneruskan pola pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.

You might also like