Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru (Parsons, 2003; Piantadosi, 2004). Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50% (Lee & Stutsky, 2005; Parsons, 2003) Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama (Pusponegoro, 2000). Diagnosis dini sepsis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan terapi yang diberikan tanpa menunggu hasil kultur. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak spesifik dengan diagnosis banding yang sangat luas, termasuk gangguan napas, penyakit metabolik, penyakit hematologik, penyakit susunan syaraf pusat, penyakit jantung, dan proses penyakit infeksi lainnya (misalnya infeksi TORCH = toksoplasma, rubela, sitomegalo virus, herpes).
Intervensi Keperawatan Ketidakefektifan Pola Napas
1. Memberikan maneuver pada pasien dengan refractory hypoxemia berat seperti posisi tengkurap (prone position) untuk meningkatkan oksigenasi dan mengurangi efek bahaya dari ventilasi mekanik pada pasien dengan ARDS (Sud et al., 2014). Untuk meningkatkan efektivitas ventilasi mekanis dapat dilakukan dengan tindakan non invasive yaitu pengaturan posisi. Sejak laporan pertama pada tahun 1967 tentang pemberian prone position, selama 15 tahun terakhir dilakukan penelitian yang membandingkan antara pemberian posisi supine dan prone position terhadap pasien ARDS (Gattinoni, et all, 2013). Hasil penelitian tentang Pengaruh Prone Position Selama Ventilasi Mekanik Terhadap Kematian Pada Pasien Dengan ARDS menyebutkan bahwa prone position yang digunakan pada saat menggunakan ventilasi mekanik secara signifikan mengurangi kematian pada pasien dengan ARDS yang menerima protective lung ventilator (Risk ratio 0,74, 95% convidence interval 0,59-0,95; I2 = 29%) dibandingkan dengan supine position (posisi terlentang). Teknik ini bermanfaat pada pasien dengan ARDS berat ketika digunakan untuk jangka waktu 16 jam atau lebih setiap hari (Sud et al., 2014). Penelitian lain tentang prone position juga dilakukan oleh Suek (2012) menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang bermakna antara sebelum dan sesudah posisi pronasi pada variabel SaO2 (p<0,05). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Manjebo, et al (2006) dimana posisi pronasi berdampak positif dan menguntungkan dengan meningkatkan dan mempertahankan saturasi oksigen pasien dalam batas normal yaitu 95 sampai dengan 100%. Penelitian lain yang mendukung antara lain penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningrum (2009) dengan melakukan pronasi pada bayi di Neonatal Intensive Care Unit, dimana terdapat perbedaan yang bermakna antara SaO2 sebelum dan sesudah pemberian posisi pronasi (p=0,0016). Sebelum dilakukan pronasi SaO2 minimal adalah 92% dan setelah pronasi adalah 98% dan 7 responden dapat mempertahankan SaO2 sebesar 100%. Menurut Baron (2007) dalam Kusumaningrum (2009), posisi pronasi memberikan kesempatan bagi posterior dinding dada yang lebih bebas dan tidak terjadi penekanan sehingga kemampuan peregangan paru dan ventilasi terdistribusi lebih banyak ke area dependen paru. Pada saat yang sama, gradient tekanan hidrostatik menyebabkan darah lebih banyak mengalir ke area interior pada dependen sehingga terjadi peningkatan SaO2. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Wells et. al. (2005) dan Mehta et. al (2004) dengan membandingkan beragam posisi, didapatkan hasil posisi pronasi lebih menguntungkan dibandingkan posisi supinasi karena dapat meningkatkan saturasi oksigen pada anak dengan ventilasi mekanik. Posisi pronasi dapat diberikan pada anak sebagai salah satu intervensi pendukung selama anak menggunakan ventilasi mekanik selain pemberian tidal volume yang rendah dan positive end-expiratory pressure (PEEP) yang tinggi untuk mengurangi kejadian barotraumas dan volutrauma (Marraro, 2003). 2. Mengelevasi kepala 30-45o untuk meningkatkan ventilasi pada pasien sepsis dengan ventilasi mekanik untuk mencegah risiko aspirasi dan ventilator-associated pneumonia (VAP). Posisi semi- recumbent untuk mencegah kejadian VAP dan pasien tidak diperbolehkan makan enteral dalam posisi terlentang untuk mencegah aspirasi (Nieuwenhoven et al., 2006). Ventilator-associated pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang muncul 48 jam/lebih setelah intubasi endotrakeal dan inisiasi ventilasi mekanis. American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu keadaan: hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitas pada foto toraks, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut: demam, leukositosis dan sekret purulen (Marik & Varon, 2001) Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) merupakan setengah penyumbang terbesar dalam infeksi pada pasien kritis di ICU. Pencegahan VAP sangat penting dalam pengobatan perawatan intensif. Dalam pathogenesis VAP, bakteri berkoloni di dalam rongga mulut dan selanjutnya menyebabkan aspirasi cairan orofaringeal sepanjang tabung endotrakeal. Pada beberapa penelitian aspirasi endotrakeal lebih sering ditemukan pada pasien dengan posisi terbaring daripada posisi semi-recumbent (Nieuwenhoven et al., 2006). Menurut Foglia, Meier, and Elward (2007) posisi terlentang banyak dikaitkan dengan kejadian VAP pada orang dewasa yang dibuktikan dengan peningkatan gastroesophageal refluks dan aspirasi. Posisi semi-recumbent telah menunjukkan hasil bisa mengurangi kejadian aspirasi dan gastroesophageal refluks pada orang dewasa (5% vs 23%; OR 6,8; 95% CI, 1,7 to 26,7) dibandingkan posisi terlentang. Studi case control untuk mencegah VAP pada anak tidak terbukti menunjukkan perbedaan pada anak yang supine dan yang semi recumbent. Namun, berdasarkan logika pencegahan VAP dapat dilakukan pada bayi dan anak apabila di semi-recumbent >30o. Penelitian diatas, juga didukung oleh penelitian dari Wang et al. (2016) menyatakan bahwa posisi semi recumbent ( 30) dapat mengurangi kejadian VAP dibandingkan dengan 0 sampai 10 pada posisi supine. Sehingga posisi semi recumbent bisa dijadikan alternatif untuk mengurangi kejadian VAP. Drakulovic et al. (1999) juga menyatakan bahwa memposisikan pasien pasien dengan ventilasi mekanik dalam kondisi semi rekumben (45) atau posisi supine, secara mikrobiologi didapatkan adanya perbedaan bermakna, yaitu pneumonia lebih jarang terjadi pada pasien dengan posisi semi rekumben (2 dari 39 orang [5%]) dibandingkan pasien yang diposisikan supine (11 dari 47 [23%],p=0.018). Mekanisme pasti yang dapat menjelaskan mengapa posisi semi rekumben dapat menurunkan angka kejadian pneumonia nosokomial belum dapat sepenuhnya dipahami, tetapi hal ini mungkin terkait dengan penurunan refluks gastroesofageal ketika pasien diposisikan semi rekumben, karena penurunan refluks gastroesofageal dapat mengurangi/membatasi kolonisasi kuman/bakteri orofaringeal dan aspirasi paru dari secret lambung.
3. Memberikan high positive end-expiratory pressure (PEEP) untuk pasien
sepsis dengan ARDS sedang dan berat karena PEEP baik untuk mencegah terjadinya kolaps alveolar pada akhir ekspirasi (Atelectrauma) (Brower et al., 2004). Ventilasi mekanik sangat penting untuk kelansungan hidup sebagian pasien dengan acute lung injury (ALI) dan ARDS. Namun terapi ventilasi mekanik dapat menyebabkan cedera paru dan berakhir gagal napas. Hal tersebut disebabkan oleh overdistensi daerah paru terutama penggunaan volume tidal yang tinggi. Hal tersebut dapat dicegah dengan penggunaan PEEP untuk meningkatkan oksigen arteri dan volume paru, serta mengurangi lama penggunaan ventilasi mekanik dan kegagalan organ (Esteban, Anzueto, & Frutos, 2002). Asbaugh dkk (1967) memperkenalkan penggunaan Positive end expiratory pressure (PEEP) sebagai model ventilasi mekanis untuk mengatasi hipoksemia refrakter pada pasien ARDS dan mencegah kerusakan paru akibat pembukaan dan penutupan bronkiolus dan alveolus yang berulang sehingga mencegah kolaps paru saat akhir ekspirasi. Positive end expiratory pressure (PEEP) merupakan komponen penting ventilasi mekanis pada ARDS yang di setting pada 5-12 cm H2O. Briel et al. (2010), menyatakan bahwa pasien dengan ARDS sedang atau berat (PaO2/FiO2 ratio 200 mmHg) mengalami penurunan mortalitas dengan penggunaan PEEP yang tinggi sedangkan dengan ARDS ringan tidak. Sehingga PEEP bertekanan tinggi memberikan kelansungan hidup lebih lama pada pasien dengan subkelompok yang menderita ARDS sedang dan berat.. National Heart, Lung and Blood Institute ARDS Network (2004) melakukan suatu penelitian secara acak yang disebut ALVEOLI (Assessment of Low tidal Volume and Elevated End Expiratory Pressure To Obviate Lung Injury) dengan tujuan untuk mengetahui bahwa pada pemakaian PEEP tinggi pada pasien ARDS dapat bermanfaat meningkatkan oksigenasi (Brower et al., 2004). Dimana, Positive end expiratory pressure (PEEP) dapat menurunkan shunt intrapulmoner, meningkatkan oksigenasi arteri dan meningkatkan bagian paru yang tidak terisi udara sehingga dapat mengakibatkan perbaikan oksigenasi. Prinsip pengaturan ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB) dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan untuk memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat FiO2 aman, menghindari barotraumas (tekanan saluran napas <35 cmH2O atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume) dan menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi: ekspirasi (lebih tinggi atau kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea yang diperbolehkan). Dimana, dapat mencegah kolaps alveoli, karena volume tidal yang rendah berfungsi mempertahankan tekanan inspirasi saat terjadinya penurunan sementara tekanan intrathoraks karena peningkatan PEEP sehingga memperbaiki oksigenasi (Gattinoni, Caironi, & Carlesso, 2005). Sedangkan menurut Shi-ping and Chi (2007) penggunaan PEEP dengan tekanan yang tinggi secara kontinyu dapat mendorong recruitment alveolar dan mempertahankan volume paru yang adekuat. Saat fase pelepasan tekanan akan menurunkan ventilasi semenit secara spontan sehingga memungkinkan terjadinya pernapasan spontan tanpa restriksi selama siklus ventilator sehingga membuat ventilasi yang lebih baik pada daerah paru dependent, mengurangi atelektasis dan memperbaiki volume paru akhir ekspirasi pada cedera paru. Hal tersebut dapat mengakibatkan perbaikan ventilasi-perfusi serta oksigenasi yang lebih baik.
DIAGNOSA KEPERAWTAN: KEKURANGAN VOLUME CAIRAN
Defisit volume cairan yaitu penurunan cairan intravascular, intertisial, dan/atau intraselular. Ini mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan saja tanpa perunbahan kadar natrium (Nanda, 2015). Tanda-tanda dari kurang cairan pada klien sepsis neunatorum adalah malas minum, letargi, muntah, diare, hipotensi, takikardi/bradikardi, demam, pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan neutropemia dengan pergeseran ke kiri (imatur: total seri granolisik > 0,2), oliguri, laju endap darah, dan protein reaktif-c (CRP) akan meningkat menandakan adanya inflamasi (Tutik, 2012). Sepsis neonatorum diawali dengan masuknya bakteri kedalam tubuh klien. Lalu bakteri yang ada dalam tubuh klien mengeluarkan toksik dan komponen antigen seluler yang menyebabkan dinding cell lisis. Sehingga tubuh akan mengaktifkan respon inflamasi dengan mengaktifkan sel macrophage. Pelepasan mediator inflamasi juga diikuti dengan pelepasan coagulasi dan sitokin yang menyebabkan migrasi leukosit ke luar pembuluh darah menuju ke endothelium yang rusak (Hardin and Dipiro, 1999). Pada dasarnya endotelium memiliki fungsi untuk menjaga integritas dan permeabilitas pembuluh darah. Tetapi, rusaknya endothelium akibat infeksi menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pada pembuluh darah. Sehingga banyak cairan tubuh yang menuju ke bagian intersisil dan mengakibatkan kekurangan volume cairan pada intravaskuler, hipotensi dan edema (Haque, 2010).
Intervensi Keperawatan Defisit Volume Cairan
1. Memberikan terapi cairan adekuat dan mencegah perkembangan kerusakan organ akibat syok (Brierley et al, 2008) Dalam jurnal yang berjudul Distinct Hemodynamic Patterns Of Septic Shock At Presentation To Pediatric Intensive Care, Brierley et al (2008) menjelaskan bahwa pemberian resusitasi cairan dapat diberikan secara bolus intravena dengan crystalloid (misalkan NaCl 0,9% atau RL). Brierley et al (2008) menganjurkan dosis pemberian terapi cairan yaitu 20ml/kgBB selama 5 s/d 10 menit. Namun, pada sebagian kasus sepsis dengan kekurangan volume cairan berat seringkali diberikan terapi cairan dengan dosis 40-60ml/kgBB. Marroyln et al (2012) mengatakan bahwa pada pasien pediatric, gejala klasik yang sering muncul pada syok sepsis yaitu hipovolemia berat. Hal ini dikarenakan oleh kerusakan endothelium pembuluh darah akibat mediator inflamasi membuat vasodilator dan perpindahan cairan intaravaskuler ke area intersisil dan menyebabkan penurunan volume cairan intravascular. Sehingga pasien dengan syok sepsis neonatorum butuh pengganti cairan intravaskuler untuk menjaga dan mempertahankan perfusi jaringan. Rivers et al (2001) menjelaskan bahwa pemberian resusitasi cairan yang adekuat selama 6 jam pertama dapat menurunkan angka kematian dan lama perawatan di ICU. Aneja et al (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa 50% anak dengan syok sepsis akan menunjukkan tanda dan gejala ekstremitas dingin, penurunan cardiac output, peningkatan SVR (Systemic Vascular Resistance) dan hipotensi. Aneja et al juga mengatakan bahwa tujuan akhir pemberian terapi cairan yaitu pengembalian volume intravaskuler dan mempertahankan aliran darah ke organ. Penurunan suplai darah akibat rendahnya volume intravaskuler akan menyebabkan penurunan suplai oksigen dan nutrisi yang mengakibatkan kegagalan multi organ dan berakhir pada kematian. Rivers et al (2001) menjelaskan bahwa pemberian resusitasi cairan yang adekuat (cepat dan agresif) selama 6 jam pertama dapat menurunkan angka kematian dan lama perawatan di ICU. Setelah status hemodinamik stabil pemberian cairan selanjutnya tergantung pada kegiatan fisik individu tersebut, status kimia darah dan kondisi klinis. Pada pasien pediatric, Brierley et al (2008) mengatakan bahwa pada tahap maintenance pemberian resusitasi cairan diberikan berdasarkan perubahan HR, haluaran urin, CRT, kesadaran, TD, nadi perifer dan suhu. Brierley et al (2008) mengatakan pemberian cairan colloid (misal albumin, gelatin, dextrans dst) merupakan alternative resusitasi cairan. Selain karena harganya yang lebih mahal, hal ini dikarenakan koloid tidak seperti crystalloid yang dapat melewati barier endotel dengan mudah. Koloid memiliki molekul yang jauh lebih besar dan tidak dapat dengan mudah melewati membrane semipermiabel, sehingga pemberian cairan koloid lebih sesuai jika digunakan untuk menjaga tekanan onkotik dan menjaga cairan untuk di intravascular lebih lama. Dellinger et al (2013) mengatakan bahwa crystalloid merupakan resusitasi cairan awal pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis. Selain itu Dellinger et al (2013) tidak menyarankan pemberian HES pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis karena didapatkan 6% angka kematian lebih tinggi pemberian HES pada pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis dibandingkan pemberian RL. Walaupun tidak ditemukan perbedaan angka kematian yang signifikan dalam pemberian HES dan NaCl 0,9%. Tetapi didapatkan lebih tinggi perburukan fungsi renal pada kelompok dengan pemberian HES dibandingkan NaCl 0,9% 7,0% vs 5,8%.
2. Melakukan monitoring intake dan output cairan serta balance cairan
negative pada klien dengan syok sepsis (Murphy et al, 2009) Murphy et al pada tahun 2009 menjelaskan dalam jurnalnya yang berjudul The importance of fluid management in acute lung injury secondary to septic shock bahwa pemberian Adequate Initial Fluid Resucitation (AIFR) dan Conservation Late Fluid Management (CLFM) akan menurunkan angka kematian pada pasien ALI (Acute Lung Injury) yang disertai dengan syok sepsis karena pemberian kedua terapi tersebut memberikan hasil balance cairan negatif yang diukur setidaknya 2 hari berturut turut selama 7 hari pertama setelah onset syok sepsis. Menurut The Nursing And Midwifery Council (2007) pencatatan dan penghitungan cairan merupakan bagian dari nursing care, sehingga perawat bertanggung jawab dalam observasi pemberian cairan kepada pasien (Scales and Pilsworth, 2008). Smith dan Roberts (2011) mengatakan bahwa intake dan output cairan harus didokumentasi berapapun jumlahnya. Sebab, jika pencatatan tidak akurat maka akan menimbulkan masalah dehidrasi atau pun kelebihan cairan yang dapat membahayakan nyawa pasien. Scales dan Pilsworth (2008) menjelaskan bahwa cairan dalam tubuh dapat menghilang melalui feses, keringat, evaporasi, urine dan pengaruh dari diet, penyakit serta lingkungan. Fluktuasi volume cairan 5-10% dalam tubuh akan sangat mempengaruhi kondisi kesehatan (Large, 2005). Scales dan Pilsworth (2008) juga mengatakan bahwa pada kondisi sepsis, pemberian terapi cairan sangatlah penting, namun juga dapat membahayakan nyawa pasien. Sehingga penting sekali untuk mencatat intake maupun output cairan klien secara benar. Simmons et all (2012) mengatakan dalam jurnal yang berjudul Pharmalogical Management of Pediatric Patients with Sepsis, pada sepsis terjadi proses pengaktifan multifactor oleh agen inflamasi dan hormone sitokinin sehingga perlu diperhatikan adanya hipo/hiper-termi, takikardi, takipnea, nadi perifer lemah, penurunan produksi urin, penurunan CRT (capillary refill time) dan hipotensi. Pasien dengan syok sepsis akan mengalami vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler akibat dari respon inflamasi tubuh (Haque, 2010). Hal inilah yang cukup sering menyebabkan peningkatan angka kematian pada pasien dengan syok sepsis di ICU di Eropa (Marilyn H, 2005). Vincent et al, pada tahun 2006 yang dilakukan di 198 ICU pada 24 negara di Eropa, kejadian sepsis pada pasien dengan penyakit akut menunjukkan bahwa balance cairan positif dalam 72 jam pertama dari onset sepsis berhubungan dengan meningkatnya angka ke matian di ICU yang disebabkan karena semakin meningkatnya angka infeksi terutama pada paru akibat bakteri Pseudomonas. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Micek et al tahun 2013 yang menjelaskan bahwa balance cairan positif selama 24 jam dan 8 hari post syok sepsis merupakan faktor independence kematian di Rumah Sakit. Hal ini desebabkan karena balance cairan positif akan menimbulkan penumpukan cairan dalam tubuh (terutama paru) dan berpengaruh terhadap fungsi jantung (disfungsi ventrikel kiri) yang merupakan predictor outcome pada pasien syok septik. Dalam percobaan VASST balance cairan positif pada 12 jam dan 4 hari selanjutnya berhubungan dengan peningkatan angkatan kematian secara signifikan dalam 28 hari karena meningkatkan tekanan vena sentral (Boyd et al, 2011). Beberapa penelitian tentang hubungan antara balance cairan positif dengan perburukan outcome pasien berhubungan dengan kejadian Acute Lung Injuri (ALI). Selain itu menurut Texseira et al, 2013 balance positif cairan juga meningkatkan angka kematian pada pasien dengan Acute Kidney Injury (AKI). Penelitian Maria Sirvent Josep et all tahun 2015 menjelaskan bahwa pemberian cairan pada sepsis berat atau syok sepsis merupakan lini pertama pengobatan untuk menstabilkan status hemodinamik, namun akumulasi keseimbangan cairan positif pada 48,72 dan 96 jam berkaitan dengan peningkatan angka kematian dan angka kesakitan pada kondisi kronis.
3. Kolaborasi pemberian transfusi darah jika terjadi penurunan
trombosit 100.000/mm3 dan Hb <7.0 d/dL (Liumbruno, 2009) Dalam jurnal yang berjudul Italian Society of Transfusion Medicine and Immunohaematology (SIMTI) Work Group: Recommendations For The Transfusion of Plasma and Platelets, Liumbruno et al (2009) mengatakan bahwa ditemukan sebanyak 52,1% pasien dengan sepsis berat menderita trombositopenia. Hasil penelitian didapatkan bahwa pemberian platelet prophilaksis sangat membantu ketika terjadi penurunan trombosit 100.000/mm3. Menurut Stanworth et al (2011) pada pasien sepsis, risiko untuk kehilangan cairan terutama darah sangatlah tinggi. Hal ini disebabkan oleh suhu tubuh yang tinggi ( 380C), ditambah lagi pada pasien sepsis rentan terjadinya pecahnya pembuluh darah karena kerusakan endotel. Penurunan jumlah platelet pada pasien sepsis dapat terjadi secara drastic, sehingga pada kondisi tertentu pasien sepsis membutuhkan terapi transusi. Selain itu, pada pasien sepsis sering terjadi keabnormalan koagulasi. Panduan pemberian transfuse darah terutama platelet berawal dari opini dan pengalaman pada pasien dengan kemoterapi disertai trombositopenia. Pasien dengan sepsis berat juga memiliki kesamaan dengan pasien kemoterapi yaitu terbatasnya jumlah platelet yang diproduksi oleh tubuh (Schiffer et al, 2001). Dalam jurnal yang berjudul yang sama Liumbruno et al (2009) menjelaskan ketika kondisi hipoperfusi jaringan teratasi tanpa adanya kondisi perdarahan akut, iskemik miocard, hipoksemia berat, ataupun iskemik arteri koroner tetapi konsentrasi Hb 7.0 g/dL pemberian transfusi darah dengan RBC (Red Blood Cell) sangat direkomendasikan hingga target Hb 9.0 g/dL. Corwin et al (2002) mengatakan bahwa tidak ada informasi spesifik yang menjelaskan mengenai terapi eritropoetin pada pasien sepsis yang sesuai. Namun beberapa percobaan klinik menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin pada pasien sepsis menunjukkan penurunan jumlah pemberian transfusi sel darah merah tanpa adanya efek pada outcome pasien. Hajjar (2010) mengatakan bahwa pada dasarnya konsentrasi Hb optimum pada pasien dengan sepsis belum dapat diidentifikasi secara spesifik, namun hasil percobaan yang dilakukan pada jurnal Transfusion Requirements in Critical Care menunjukkan bahwa pemberian transfuse darah dengan target Hb 9.0-10.0 g/dL dibandingkan dengan target Hb 10.0-12.0 g/dL tidak berhubungan dengan peningkatan angka kematian pada pasien dengan infeksi berat dan syok sepsis. Walaupun kurangnya pengaplikasian terapi transfusi darah pada pasien sepsis, hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Fernandes et al (2001) dengan randomize trial pada pasien sepsis menunjukkan bahwa pemberian transfuse RBC akan meningkatkan pengantaran oksigen namun tidak meningkatkan konsumsi oksigen. Pemberian transfuse darah sampai Hb 9.0 g/dL merupakan protocol untuk pencapaian Ht 30% dalam resusitasi pada syok sepsis (Rivers, 2001).
DIAGNOSA KEPERAWATAN: HIPERTERMI
Hipertermi adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh melebihi titik tetap (set point) lebih dari 37oC, yang biasanya diakibatkan oleh kondisi tubuh atau eksternal yang menciptakan lebih banyak panas daripada yang dapat dikeluarkan oleh tubuh. Hipertermi terjadi pada 1 dari 2000 kasus anak berumur 1-10 tahun yang dirujuk ke unit gawat darurat pediatrik. Sebgaian besar hipertermi bewrhubungan dengan infeksi dan dapat berupa infeksi lokal maupun sistemik. Oleh karena itu, hipertermi harus segera ditangani dengan benar karena terdapat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan. Dampak yang ditimbulkan hipertermia dapat berupa penguapan cairan tubuh yang berlebihan sehingga terjadi kekurangan cairan dan kejang. Perawat sangat berperan dalam mengatasi hipertermi melalui peran mandiri maupun kolaborasi. Untuk peran mandiri salah satuny adalah dengan kompres (Setiawati, 2009).
Intervensi Keperawatan Hipertermi
1. Melakukan kompres dengan air cuka (vinegar compressed) pada lipatan paha dan dibawah ketiak kemudian dilakukan pengukuran suhu tiap 1 jam pertama dan 1 jam kedua (Mohammed et al, 2011) Berdasarkan penelitian Mohammed et al, 2011 telah dijelaskan bahwa kompres menggunakan air cuka lebih effektif dalam menurunkan suhu badan dibandingkan kompres dengan setengah air cuka dan setengah air dingin atau kompres dengan air biasa. Dalam penelitian tersebut dijelaskan dari 45 pasien dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok 15 pasien. Kompres cuka putih, air dingin & air dingin dengan cuka setengah setengah diikuti dengan mengukur suhu tubuh dalam 1 jam pertama dan 2 jam berikutnya dengan menggunakan termometer raksa & didokumentasikan dalam lembar observasi untuk setiap pasien. Semua kompres diterapkan dibawah axillaries, di atas lengan bawah lutut. Distribusi persentase suhu tubuh sebelum dan sesudah kompres dalam tiga metode digambarkan dalam tabel 2. Menunjukkan bahwa lebih dari setengah (50%) memiliki suhu tubuh lebih dari 39 oC, hampir setengah memiliki suhu tubuh di antara 38,1- 39,1 oC & 60% memiliki suhu tubuh di antara 38,1 - 39,1 oC sebelum kompress dengan cuka, cuka dengan air & kompres air saja. Tabel berikut ini menunjukkan bahwa kompresi cuka lebih efektif dalam mengurangi demam dibandingkan dengan kompres cuka dengan air dan hanya kompres air biasa setelah satu atau dua jam berikutnya.
Berdasarkan pengamatan peneliti pemberian kompres cuka
mengakibatkan penurunan suhu yang cepat di awal 30-60 menit pertama dibandingkan dengan air saja atau dikombinasikan dengan cuka setengah. Namun, pada 2 jam terakhir kedua kelompok memiliki mengurangi tingkat suhu dalam kisaran yang berbeda. Banyak intervensi non-farmakologis untuk manajemen demam yang rinci termasuk perubahan lingkungan (misalnya menghapus selimut, menolak termostat, membuka jendela), langkah-langkah pendinginan fisik (misalnya paket es, cooling blanket, mandi) dan intervensi lainnya (misalnya mobilisasi, penggunaan incentive Spiro meter). Selain itu, banyak intervensi dipandang berguna oleh beberapa peserta (misalnya paket es, cooling blanket, kipas, dll) dan dipandang sebagai masalah oleh beberapa orang lain, namun belum ada penelitian lain yang mendukung atau membandingkan hasil penelitian yang dilakukan Mohammed, 2012. Kebanyakan peneliti meneliti penggunaan cuka sebagai hipoglikemik dan sebagai anti inflamasi.
2. Kolaborasi pemberian antipiretik dengan pemberian dosis tunggal
ibuprofen (10 mg/ kg), yang dianjurkan untuk demam tinggi dan dosis 5 mg / kg untuk demam ringan (Magni AM et al, 2011) Kenaikan suhu inti saat demam harus dibedakan dari kenaikan yang tidak diatur yang terjadi selama hipertermia, di mana sitokin pirogenik tidak terlibat langsung dan terhadap yang antipiretik standar sebagian besar tidak efektif . Antipiretik adalah agen yang mampu memblokir atau membalikkan kenaikan sitokin demam di suhu inti , tetapi tidak mempengaruhi suhu tubuh dalam keadaan demam . Mereka harus dibedakan dari agen hipotermia (cryogens) , yang mampu menurunkan suhu inti bahkan tanpa adanya demam. Dua asumsi penting yang dibuat ketika meresepkan terapi antipiretik . Salah satunya adalah bahwa demam adalah suatu kondisi yang berbahaya sehingga terapi yang diberikan diharapkan mampu mengurangi jika memang terapi tidak mampu menghilangkan dampak berbahaya dari demam tesebut. Pemberian antipiretik untuk menurunkan demam harus didukung dengan hasil pemeriksaaan yang tepat karena terdapat bukti yang cukup bahwa demam merupakan mekanisme pertahanan yang penting yang memberikan kontribusi untuk kemampuan host untuk melawan infeksi (Kluger et al., 2007, Mackowiak et al., 2007). Berdasarkan Magni AM et al, 2011 menjelaskan bahwa satu dosis oral ibuprofen memiliki efek antipiretik yang lebih baik dari dosis oral tunggal dipyrone, terutama dalam kasus-kasus demam tinggi. Kedua obat ditoleransi dengan baik dan aman dalam jangka pendek. Penelitian diatas juga didukung oleh pennelitian Snchez et al yang menjelaskan bahwa Ibuprofen efektif dalam pengobatan demam pada anak- anak. Efektivitasnya berhubungan dengan usia, tingkat demam dan permukaan tubuh. Hal tersebut dibuktikan dari 384 anak-anak dengan suhu awal adalah antara 38oC dan 42oC (rata-rata: 39,1). Sebagian besar pasien (77,8%) telah demam selama lebih dari 6 jam dan 59,5% telah menerima pengobatan antipiretik. Dalam 93,5% dari suhu anak turun menjadi 37,5oC atau kurang. Dalam 80,2% dari anak-anak suhu ini mencapai 12 jam setelah pengobatan. Dalam 95% dari anak-anak tersebut mengalami penurunan minimal 1oC dicapai. usia yang lebih tua, permukaan tubuh yang lebih kecil dan suhu awal yang lebih rendah dikaitkan dengan respon antipiretik yang lebih kecil. Ibnuprofen memiliki kemampuan menurunkan panas lebih cepat. Namun Ibuprofen baru bisa digunakan pada anak usia lebih dari 6 bulan. Ini karena Ibuprofen memiliki efek samping yang cukup kuat seperti mual, muntah, nyeri lambung dan kadang sampai perdarahan lambung. Dosis yang digunakan adalah 10 mg/kg berat badan/kali, dan maksimal diberikan 3 kali sehari. Beberapa orang tua lebih menyukai ibuprofen karena reaksinya lebih cepat. Untuk dosis Ibuprofen, anak dengan berat badan 10 kg memerlukan ibuprofen 100 mg sekali pemberian. Namun yang perlu diingat, pemberian obat ini adalah ketika panas tubuh anak melampaui suhu 38,5 derajat. Bila suhu tubuh masih dibawah angka tersebut, cukup kompres dengan air hangat. Apabila anak memiliki riwayat kejang karena panas, segera bawa ke dokter untuk penanganan lebih lanjut.
3. Edukasi penanganan demam anak dirumah dengan menggunakan tepid
sponge Penangnan demam pada anak sangat tergantung pada peran orang tua, terutama ibu. Ibu adalah bagian integral dari penyelenggaraan rumah tangga yang dengan kelembutannya dibutuhkan untuk merawat anak secara terampil agar tumbuh dengan sehat. Ibu yang memiliki pengetahuan tentang demam dan mempunyai sikap yang baik dalam memberikan perawatan, dapat menumbuhkan penanngan demam yang terbaik bagi anaknya (Notoatmojo, 2003). Ibu berperan penting dalam merawat anak demam. Pengetahuan ibu diperlukan agar tindakan yang diberikan benar, yaitu bagaimana ibu menentukan tindakan pada saat anak demam dan menurunkan suhu tubuh anak, serta kapan ibu harus membawa anak ke petugas kesehatan (Wong, 2004). Kurangnya informasi dan pengetahuan dapat membuat tindakan ibu menjadi salah. Kesalahan yang sering terjadi di lingkungan seperti anak demam justru dikasih selimut yang tebal dan pemberian kompres dingin pada saat anak demam. Dalam penelitian yang dilakukan Riandita, 2012 yang dijelaskan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang demam dengan pengelolaan demam pada anak. Semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang demam maka pengelolaan demam pada anak akan semakin baik. Ibu dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki risiko 7 kali lebih besar untuk melakukan pengelolaan demam anak yang buruk daripada ibu dengan tingkat pengetahuan yang tinggi. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah responden pada penelitian ini adalah 44 orang ibu dijumpai sebanyak 52% responden memiiki pengetahuan yang rendah tentang demam dan didapati masing-masing 50% dari total responden memiliki pengelolaan demam yang baik dan buruk. Berdasarkan hasil uji Chi square didapatkan nilai p=0,002 dan rasio prefalensi 7,0 (1,1 s/d 46,2). Berdasarkan data yang diperoleh dari 44 responden acak, ditemukan bahwa sebagian besar ibu (88,6%) menyadari bahwa pengertian demam adalah keadaan peningkatan suhu tubuh. Pengetahuan responden mengenai temperatur demam masih sangat terbatas karena sebagian besar responden tidak mengerti batasan suhu tubuh yang tepat, baik suhu tubuh normal, suhu tubuh demam awal, suhu tubuh saat demam tinggi, dan suhu tubuh yang dapat menyebabkan kematian. Terdapat 19 responden (43,2%) mengatakan bahwa suhu tubuh anak dapat mencapai 50oC. Seperti yang diketahui, seorang dikatakan demam apabila terjadi peningkatan suhu tubuh minimal 1oC diatas rerata suhu tubuh normal. Rerata suhu tubuh normal sendiri berbeda-beda tergantung pada tempat pengukuran, yang berkisar antara 36,3oC-37oC. Temuan penelitian tersebut mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kazeem di Nigeria tahun 2008 yang menunjukkan hanya 2,1% dari 144 responden ibu tidak dapat menjelaskan pengertian demam. A dkk di Saudi Arabia pada tahun 2000 yang mendapati lebih dari 70% dari 560 respnoden orang tua memiliki pemahaman yang buruk mengenai temperatur demam pada anak. Dalam penelitian Riandita, 2012 Mayoritas responden memiliki pemahaman yang kurang berkaitan dengan berbagai macam penyebab demam, terutama mengenai penyebab demam non infeksi. Responden juga perlu meningkatkan pengetahuan mengenai dampak lanjut dari demam karena masih banyak responden yang tidak menyadari bahwa demam dapat menyebabkan tubuh kekurangan oksigen dan koma. Pengetahuan responden mengenai karakteristik demam sudah cukup baik, tetapi pandangan bahwa demam anak merupakan suatu keadaan yang pasti membahayakan dan harus segera diturunkan tampaknya perlu diperbaiki. Dan masih banyak responden yang belum menyadari bahwa demam merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh terhadap invasi dari mikroorganisme. Hal ini terlihat dari hampir seluruh responden (95,5%) yang menyatakan bahwa keadaan demam merupakan sesuatu yang berbahaya dan harus secepat mungkin diturunkan. Didapati 50% responden sudah memberikan obat penurun panas untuk anaknya meskipun demam yang terjadi masih bersifat demam ringan. Umumnya mereka takut demam anaknya akan semakin tinggi apabila tidak segera ditangani. Hal ini menunjukkan bahwa responden kurang mengerti saat yang tepat untuk menurunkan suhu tubuh anak yang mengalami demam. Persepsi yang salah ini patut diwaspadai karena dapat membawa kepada pengelolaan demam yang keliru. Pengetahuan ibu tentang kompres untuk menurunkan demam pada anak juga perlu ditingkatkan, sesuai dengan hasil penelitian dari Hamid (2011) dengan judul Keefektifan Kompres Tepid Sponge yang Dilakukan Ibu Dalam Menurunkan Demam Pada Anak: Randomized Control Trial Di Puskesmas Mumbulsari Kabupaten Jember yang menjelaskan bahwa kompres hangat tepid sponge yang dilakuakn ibu efektif dalam menurunkan suhu tubuh pada anak dengan dema. Tindakan tepid sponging merupakan terapi penurunan demam yang dapat dilakukan dengan mudah, baik oleh perawat maupun masyarakat. Tepid sponging adalah intervensi keperawatan yang sudah lama di aplikasikan oleh perawat. Tepid sponging di anjurkan untuk menurunkan demam karena dapat menurunkan suhu tubuh melalui evaporasi, tepid sponging juga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga pori pori kulit akan membuka dan mempermudah pengeluaran panas sehingga akan terjadi perubahan suhu tubuh (Corrard, 2001) Rekomendasi penelitian ini tepid sponge diberikan pada anak dengan demam, maupun kejang demam untuk menurunkan suhu tubuh anak. Sehingga dalam memberikan edukasi kepada orang tua diharapkan perawat dapat memberikan edukasi yang tepat salah satunya dengan edukasi penggunaan kompres untuk menurunkan demam, mengingat bahwa penggunaan antipiretik dalam pengobatan demam tetap tidak boleh sembarangan diberikan karena efek samping yang mungkin muncul. DAFTAR PUSTAKA Dellinger P., et.al. 2013. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. (Online) https://fhs.mcmaster.ca/pediatricsurgery/documents/Dellinger2013.pdf. Akses tanggal 25 Januari 2016 pukul 17.00 WIB. Gattinoni, L, et all. 2001. Effect of prone positioning on the survival of patients with acute respiratory failure. http://e-resources.pnri.go.id, Akses tanggal 25 Januari 2016 pukul 17.00 WIB Gomersall, C., Joynt, G., Cheng, C., Yap, F., Lam, et all. 2012. Basic assessment and support in intensive care. Jakarta: PERDICI Indonesia. Idemmiaty. 2011. Efektivitas posisi pronasi terhadap saturasi O2, frekuensi nadi, frekuensi pernafasan pada bayi yang menggunakan ventilator di ruangan NICU RSUP Dr. M. Djamil Padang. http://repository.unand.ac.id. Akses tanggal 25 Januari 2016 pukul 17.00 WIB Ignatavicius, D. D, & Workman, M. L. 2009. Medical surgical nursing: Critical thinking for collaborative care. Missouri: Elsevier Sounders. Kusumaningrum, A. 2009. Efektivitas pemberian posisi pronasi terhadap peningkatan saturasi O2 pada bayi yang menggunakan ventilator mekanik di ruangan NICU. http://digilib.ui.ac.id. Akses tanggal 25 Januari 2016 pukul 17.00 WIB. Polit, D. F., Beck. C. T., & Hungler, B. P. 2001. Esentials of nursing research: Methods, appraisal and utilization Ed. 5th. Philadelpia: Lippincot Sole, M. L., Klein, D. G., & Moseley, M. J. 2012. Introduction to critical care nursing Ed. 6th. Missouri: Elsevier Sounders. Briel, Meade, Mercat, Brower, Talmor, Walter, . . . Guyatt. (2010). Higher vs lower positive end-expiratory pressure in patients with acute lung injury and acute respiratory distress syndrome: systematic review and meta- analysis. JAMA, 9, 865-873. Brower, Lanken, MacIntyre, Matthay, Morris, Ancukiewicz, . . . Thompson. (2004). Higher versus lower positive end-expiratory pressures in patients with the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med, 4(327-36). Drakulovic, Torres, Bauer, Nicolas, Nogu, & Ferrer. (1999). Supine body position as a risk factor for nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients: a randomised trial. Respiratory Intensive Care Unit, 354(1851-8). Esteban, Anzueto, & Frutos. (2002). Characteristics and outcomes in adult patients receiving mechanical ventilation: a 28-day international study. JAMA, 287, 345-355. Foglia, Elizabeth, Meier, Mary Dawn, & Elward, Alexis. (2007). Ventilator- Associated Pneumonia in Neonatal and Pediatric Intensive Care Unit Patients. American Society for Microbiology, 20(3), 409-425. Gattinoni, Caironi, & Carlesso. (2005). How To Ventilate Patients With Acute Lung Injury And Acute Respiratory Distress Syndrome. Critical Care, 11, 69-76. Lee, & Stutsky. (2005). Hypoxemic Respiratory Failure, Including Acute Respiratory Distress Syidrome. Texbook of Respiratory Medicine, 23572- 23578. Marik, & Varon. (2001). Ventilator-associated pneumonia. Chest, 702-4(120). Nieuwenhoven, Christianne A. van, Vandenbroucke-Grauls, Christine, Tiel, Frank H. van, Joore, Hans C. A., Schijndel, Rob J. M. Strack van, Tweel, Ingeborg van der, . . . Bonten, Marc J. M. (2006). Feasibility And Effects Of The Semirecumbent Position To Prevent Ventilator-Associated Pneumonia: A Randomized Study. Crit Care Med, 34(2), 397-402. Parsons. (2003). Acute respiratory Distress Syindrome. Current Diagnosis and Treatment In pulmonal Medicine, 161-166. Piantadosi. (2004). The Acute Respiratory distress Syindrme. Ann Intern Med, 141, 460-470. Pusponegoro, Titut S. (2000). Sepsis pada neonatus (Sepsis neonatal) Pediatri, 2(2), 96-102. Shi-ping, & Chi. (2007). Acute Lung Injury/Acute Respiratory Distress Syndrome (Ali/Ards): The Mechanism, Present Strategies And Future Perspectives Of Therapies. 8, 60-69. Sud, Sachin, Friedrich, Jan O., Adhikari, neill K. J., Taccone, Paolo, Mancebo, Jordi, Polli, federico, . . . all, et. (2014). Effect Of Prone Positioning During Mechanical Ventilation On Mortality Among Patients With Acute Respiratory Distress Syndrome: A Systematic Review And Meta-Analysis. CMAJ, 186(10), E381-E390. Suek, Orpa Diana. (2012). Pengaruh Posisi Pronasi Terhadap Status Hemodinamik Anak yang Menggunakan Ventilasi Mekanik di Ruang PICU RSAB Harapan Kita Jakarta. Universitas Indonesia, Jakarta. Wang, Li, Yang, Tang, Yuan, Deng, & Sun. (2016). Semi-recumbent position versus supine position for the prevention of ventilator-associated pneumonia in adults requiring mechanical ventilation.