You are on page 1of 4

1. Macam sterilisasi dan kapan digunakannya?

Ada kecendrungan ibu sekarang melakukan sterilisasi setelah memiliki tiga anak.
Sterilisasi tersebut biasanya, dilakukan atas saran dokter ketika si ibu melahirkan anak
ketiga. Hak ibu pula untuk menerima ataupun menolaknya. Ada juga suami yang
melakukan sterilisasi sebagai salah satu cara kontrasepsi. Tentunya sterilisasi yang
dilakukan oleh suami maupun istri ini sudah menjadi kesepakatan bersama.sterilisasi
merupakan kontrasepso mantap. Artinya, suami atau istri tak menginginkan terjadinya
kehamilan lagi. Tentunya dengan berbagai pertimbangan keduanya, dan juga bisa
karena alasan medis.
Sterilisasi yang dilakukan pada istri dikenal dengan istilah tubektomi, yaitu tindakan
operasi berupa pemotongan dan atau pengikatan kedua saluran telur (tuba fallopi).
Sedangkan pada pria istilahnya, vasektomi, yaitu saluran sperma (vas diverens)
ditutup dengan menggunakan teknik pengikatan ataupun pemotongan. Dengan begitu,
sel telur dan sel sperma tak dapat bertemu sehingga pembuahan/ kehamilan tak terjadi.
Keberhasilan kontrasepsi ini mendekati 100% atau tingkat kegagalannya sangatlah
kecil.
Vasektomi tergolong operasi kecil dengan melakukan sayatan kecil pada kantung
skrotum guna memotong saluran sperma. Dilakukan dengan pembiusan local.
Sedangkan tubektomi, butuh waktu sampai setengah jam namun bila dilakukan
sehabis malahirkan bisa lebih cepat, yaitu sekitar seperempat jam karena rahim masih
besar sehingga memudahkan melakukan sayatan di bawah pusar, butuh waktu sekitar
3 menit dan luka yang ditimbulkan pun kecil.

Bisa dilakukan kapan saja, namun waktu-waktu yang dianjurkan antara lain :
Bersamaan pada saat melahirkan secara sesar, karena pada kondisi membuka
perut ini memudahkan tindakan dan kemungkinan kesalahan juga minimal.
Paling lambat 1-2 hari setelah melahirkan normal
Intermenstruasi. Artinya setelah bersih menstruasi tapi tidak lebih dari satu
minggu waktunya.
Sehabis mengalami keguguran.

Teknik laparoskopi dan minilap


Teknik sterilisasi yang umum dilakukan adalah laparoskopi dan laparotomi mini atau
yang disingkat minilap.
Laparoskopi. Dilakukan dengan memasukkan teropong dan alat-alat lain yang
digunakan lewat sayatan kecil didinding perut/abdomen. Lewat bantuan
teropong itulah, dokter akan memasangkan cincin khusus yang berfungsi
sebagai pengikat saluran telur.
Laparotomi/minilap. Dilakukan begitu ibu usai bersalin dengan sayatan kira-
kira 2 cm dibawah pusar sepanjang 2-3 cm. kemudian dengan mata telanjang
dan bantuan alat tertentu, saluran telur diikat sebelum dilakukan pengikatan
atau pemotongan.
Untuk intermenstrual (setelah bersih menstruasi) sayatan dilakukan pada
lokasi irisan sesaria sepanjang 3 cm.
Perbedaan teknik laparoskopi dan laparotomi ini, antara lain ditentukan berdasarkan
sarana yang tersedia di rumah sakit sekaligus kemampuan dokternya. Selain juga
pertimbangan kondisi pasien. Pada pasien yang habis melahirkan dihindari
laparoskopi karena rahim masih besar dan belum pulih kekondisi semula. Penggunaan
teropong malah dikhawatirkan mengenai/menyentuh rahim. Bila dalam kondisi
normal tak habis melahirkan, rahim sudah mengecil sehingga bisa menggunakan
minilap ataupun laparoskopi.
2. Teknik pemasangan IUD (AKDR)
Periksalah apakah alat-alat sudah disiapkan dengan lengkap dan sudah di
sterilkan
Memberi salam dan anamnesis seperlunya

Ada dua cara pemasangan atau insersi IUD, yaitu cara dorong dan cara tarik. Cara
dorong digunakan untuk IUD Lippes Loop, sedangkan cara tarik digunakan untuk
IUD Copper-T.
Teknik pemasangan IUD Lippes Loop (cara dorong)
Akseptor dipersilahkan berbaring dengan posisi litotomi, tangan ada di
samping badan atau diatas kepala agar kedudukannya lebih santai dan
otot tidak tegang
Untuk mensterilkan daerah vulva dan sekitarnya, dilakukan dengan
bahan-bahan desinfektan. Agar tidak mudah terkena kontaminasi dari
kulit di sekitar alat genitalia pada saat pemasangan IUD, maka
dipasang duk steril yang berlubang.
Spekuklum yang ukurannya sesuai dipasang secara hati-hati pada
vagina sampai porsio dapat ditampakkan dengan jelas. Kemudian
diamati apakah ada kelainan pada porsio dan vagina yang merupakan
kontra indikasi pemasanganan IUD. Rongga vagina dan permukaan
nporsio dibersihkan dengan bahan desinfektan.
Dengan hati-hati porsio bagian depan dijepit dengan tenakulum, agar
porsio dapat terfiksasi. Dilakukan sondase rongga rahim dengan sonde
rahim, perhatikan kelengkungan sonde terhadap posisi dan kedudukan
uterus (ante atau retrofleksi). Tujuan sondase adalah mengetahui arah
serta panjang rongga rahim, sehingga dapat menentukan ukuran IUD
yang harus dipasang dan kedudukan elips penghenti pada inserter.
IUD Lippes Loop yang berbentuk seperti spiral, direndam lebih dahulu
dalam bahan desinfektan (biasanya larutan yodium). IUD diregangkan
sehingga hampir lurus dan dimasukkan ke dalam inserter dari ujung
yang menghadap pasien. Secaras perlahan, IUD keseluruhannya masuk
ke dalam inserter dan ujung IUD mencapai tepat sejajar dengan ujung
inserter yang menghadap ke arah pasien.
Tangan kiri pemasang memegang pegangan tenakulum. Tabung
inserter yang didalamnya sudah ada IUD dan pendorong inserter secara
halus dimasukkan ke dalam rongga rahim melalui orifisium uteri
eksternum dengan tangan kanan sampai melalui kanalis sevikalis (tidak
sampai fundus). Dengan hati-hati IUD didorong dengan pendiorong
inserter dan secara bersamaan tabung inserter ditarik perlahan keluar
rongga rahim.
Tenakulum dilepas, dan diperiksa apakah bekas jepitan pada porsio
mengeluarkan darah. Darah yang keluar dari luka bekas jepitan dan
keluar dari orifisium uteri eksternum dibersihkan dengan kasa kering.
Benang IUD yang terlalu panjang dipotong dengan gunting, sehingga
benang yang tertinggal terjulur dari orifisium uteri eksternum sampai
kira-kira 2 atau 3 cm dari introitus vagina. Dengan bahan desinfektan
dilakukan desinfektan pada daerah orifisium uteri ekternum dan luka
bekas tenakulum
Spekulum dilepas dan sebelum mengakhiri pemasangan, dilakukan
pemeriksaan colok vagina untuk memastikan bahwa seluruh IUD
sudah masuk ke dalam rongga rahim sehingga ujung IUD tidak teraba
lagi, serta untuk menempatkan benang IUD pada forniks anterior
vagina agar tidak memberikan keluhan pada suami saat koitus.
Setelah selesai pemasangan ditanyakan pada akseptor, apakah cukup
nyaman dan tidak merasa pusing atau sakit perut yang berlebihan.
Awasi juga keadaan umum akseptor sesudah pemasangan IUD.
Teknik pemasangan IUD Copper-T (cara tarik)
Akseptor dipersilakna berbaring dengan posisi litotomi, tangan ada di
samping badan atau di atas kepala agar kedudukannya lebih santai dan
otot tidak tegang.
Untuk mensterilkan daerah vulva dan sekitarnya, dilakukan dengan
bahan-bahan desinfektan. Agar tidak mudah terkena kontaminasi dari
kulit di sekitar alat genitalia pada saat pemasangan IUD, maka
dipasang duk steril yang berlubang.
Spekuklum yang ukurannya sesuai dipasang secara hati-hati pada
vagina sampai porsio dapat ditampakkan dengan jelas. Kemudian
diamati apakah ada kelainan pada porsio dan vagina yang merupakan
kontra indikasi pemasanganan IUD. Rongga vagina dan permukaan
nporsio dibersihkan dengan bahan desinfektan.
Dengan hati-hati porsio bagian depan dijepit dengan tenakulum, agar
porsio dapat terfiksasi. Dilakukan sondase rongga rahim dengan sonde
rahim, perhatikan kelengkungan sonde terhadap posisi dan kedudukan
uterus (ante atau retrofleksi). Tujuan sondase adalah mengetahui arah
serta panjang rongga rahim, sehingga dapat menentukan ukuran IUD
yang harus dipasang dan kedudukan elips penghenti pada inserter.
Setelah kemasan dibuka, bagian sayap dari IUD Cu-T dilipat kearash
pangkalnya dan ikut dimasukkan ke dalam inserter. Cu-T yang terlipat
ini harus sesegara mungkin dipasangkan pada akseptor, agar
kedudukannya tidak menetap (terlipat). Lebih dianjurkan agar
pelipatan ini dilakukan pada saat masih ada dalam kemasan atau
kemasan belum dibuka, sehingga lebih menjamin sterilitasnya.
Tangan kiri pemasang memegang pegangan tenakulum. Tabung
inserter yang didalmnya sudah ada IUD da pendorong inserter secara
halus dimasukkan ke dalam rongga rahim melalui orifisium uteri
eksternum dengan tangan kanan. Pada waktu memasukkan inserter
dengan IUD di dalamnya, harus sampai elips penghenti tertahan oleh
serviks uteri, sehingga ujung inserter telah mencapai fundus. Dengan
menahan pendorong inserter, maka IUD dapat dipasang dan tertinggal
di dalam kavum uteri.
Tenakulum dilepas, dan diperiksa apakah bekas jepitan pada porsio
mengeluarkan darah. Darah yang keluar dari luka bekas jepitan dan
keluar dari orifisium uteri eksternum dibersihkan dengan kasa kering.
Benang IUD yang terlalu panjang dipotong dengan gunting, sehingga
benang yang tertinggal terjulur dari orifisium uteri eksternum sampai
kira-kira 2 atau 3 cm dari introitus vagina. Dengan bahan desinfektan
dilakukan desinfektan pada daerah orifisium uteri ekternum dan luka
bekas tenakulum
Spekulum dilepas dan sebelum mengakhiri pemasangan, dilakukan
pemeriksaan colok vagina untuk memastikan bahwa seluruh IUD
sudah masuk ke dalam rongga rahim sehingga ujung IUD tidak teraba
lagi, serta untuk menempatkan benang IUD pada forniks anterior
vagina agar tidak memberikan keluhan pada suami saat koitus.
Setelah selesai pemasangan ditanyakan pada akseptor, apakah cukup
nyaman dan tidak merasa pusing atau sakit perut yang berlebihan.
Awasi juga keadaan umum akseptor sesudah pemasangan IUD.

3.

You might also like