You are on page 1of 8

Arti Hidup Sejati Menurut Alkitab

Lalu, apa kata Alkitab tentang hidup sejati ? Pada bagian awal Bab 1 ini, saya sudah
mengutip Kejadian 2:7, ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari
debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah
manusia itu menjadi makhluk yang hidup. (Terjemahan Baru LAI) atau terjemahan
Alkitab BIS memberikan pengertian yang lebih jelas, Kemudian TUHAN Allah
mengambil sedikit tanah, membentuknya menjadi seorang manusia, lalu menghembuskan
napas yang memberi hidup ke dalam lubang hidungnya; maka hiduplah manusia itu.
Kata nafas hidup berasal dari bahasa Ibrani, neshamah yang berarti tiupan atau
hembusan atau nafas yang vital/sangat penting/berkenaan dengan hidup. Kata Ibrani ini
juga dipakai di dalam Amsal 20:27 untuk kata Roh manusia (Terjemahan Baru LAI)
atau hati nurani manusia (Alkitab BIS). Lalu kata makhluk yang hidup (TB-LAI)
diterjemahkan a living soul oleh King James Version (KJV) yang berarti jiwa/makhluk
yang hidup. Kata soul dalam KJV ini diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani nephesh
yang artinya makhluk yang bernafas. Dari Kejadian 2:7 inilah, kita mendapatkan satu
prinsip hidup sejati dari Alkitab, yaitu hidup sejati adalah hidup yang berpaut kepada
Allah sebagai Sumber Hidup. Kalau Allah tidak menghembuskan nafas hidup-Nya ke
dalam hidung manusia, maka manusia tidak dapat menjadi makhluk yang hidup. Nafas
hidup-Nya itulah sumber hidup bagi hidup manusia yang mengakibatkan manusia bisa
bernafas dan itulah yang disebut makhluk yang hidup. Arti hidup manusia yang sejati
tidak didapat dari manusia itu sendiri yang sendiri merupakan makhluk yang dicipta,
tetapi dari Allah sebagai Sang Pencipta. Ketika kita ingin mengerti apa arti hidup sejati
belajarlah dan bertanyalah kepada Allah karena Ia yang menciptakan kita pasti
mengetahui apa arti hidup itu, dan jangan sekali-kali bertanya kepada para psikolog,
eksistensialis, dll yang sendirinya juga adalah sesama manusia. Sungguh suatu
kebodohan manusia dunia ini ketika mereka yang ingin mengerti arti hidup tidak
langsung bertanya kepada Sang Sumber Hidup, tetapi bertanya kepada sesama manusia
yang sama-sama berdosa dan terbatas. Itulah kegagalan psikologi dan eksistensialis yang
tidak kembali kepada Allah.
Tetapi tahukah kita bahwa hidup manusia yang pada awalnya telah diciptakan Allah
begitu mulia sehingga manusia langsung bercakap-cakap dengan Allah ternyata dirusak
oleh manusia sendiri dengan meragukan eksistensi Allah. Itulah dosa. Dosa bukan
dimulai ketika Hawa memetik buah pengetahuan yang baik dan jahat yang dilarang oleh
Allah, tetapi dosa dimulai ketika manusia mulai meragukan kebenaran Allah. Usaha
meragukan kebenaran Allah menjadi cikal bakal iblis terus mencobai manusia dan
akhirnya manusia pertama jatuh ke dalam dosa yang mengakibatkan manusia setelah
Adam dan Hawa ikut mewarisi dosa asal (original sin), di samping ada dosa aktual yang
dilakukan oleh masing-masing pribadi manusia. Ketika dosa masuk ke dalam manusia,
hidup manusia mulai kehilangan arah. Kehilangan arah ini ditandai dengan keinginan
manusia terus melawan Allah dan ini mulai nampak ketika Kain yang membenci dan
menaruh dendam kepada adiknya, Habel karena persembahan Kain tidak diterima oleh
Tuhan, sedangkan persembahan adiknya diterima oleh Tuhan. Lalu, dilanjutkan dengan
kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan manusia yang membuat Tuhan menyesal,
sampai-sampai Tuhan mengatakan, Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia
besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan
kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan
manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. (Kejadian 6:5-6) Tetapi yang
menarik, di dalam setiap kejahatan yang manusia lakukan, Tuhan tetap menyediakan
sekelompok sisa (remnant) yang masih setia kepada Tuhan. Dua ayat setelah Kejadian
6:6, yaitu pada ayat 8, Alkitab mengatakan, Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di
mata TUHAN. Nuh bisa mendapatkan anugerah Tuhan, itu semata-mata karena
kedaulatan-Nya saja, bukan karena kehendak Nuh yang ingin mencari Tuhan. Allah yang
berdaulat adalah Ia yang berkehendak menyatakan anugerah-Nya kepada siapapun
menurut kedaulatan-Nya, bukan menurut perbuatan baik manusia tersebut. Itulah
Reformed theology. Nuh yang mendapatkan kasih karunia Tuhan di antara manusia-
manusia berdosa di zamannya berusaha mempertanggungjawabkan anugerah-Nya itu
dengan hidup beres dan menaati Tuhan dan firman-Nya. Lalu, akibat ketaatannya itu dari
membangun bahtera sampai keluar dari bahtera dan mendirikan mezbah bagi Tuhan,
maka Tuhan berjanji di dalam Kejadian 8:21-22, Aku takkan mengutuk bumi ini lagi
karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya,
dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.
Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin
dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam. Bisa saja, pada waktu itu, Nuh tidak
menaati Tuhan, lalu berdalih dengan seribu macam alasan, akibatnya Nuh itu mati
bersama orang-orang sezamannya. Tetapi puji Tuhan, Nuh yang kita kenal di dalam
Alkitab adalah Nuh yang meresponi anugerah Allah dengan tepat dan taat mutlak kepada-
Nya. Di situlah, Nuh mendapatkan makna hidup sejati, yaitu ketika ia kembali taat
kepada-Nya. Banyak orang dunia hari-hari ini berpikir bahwa menjadi Kristen itu susah,
karena apa saja tidak boleh, lalu mereka berpikir bahwa kalau tidak menjadi Kristen itu
lebih enak. Itu adalah kesalahan besar. Saya bertanya, kalau kita hidup di zaman Nuh,
apakah kita ingin menjadi seperti Nuh atau orang-orang sezamannya ? Kalau orang-orang
dunia pasti memilih menjadi seperti orang-orang yang hidup di zaman Nuh yang
mengejek Nuh ketika Nuh membangun bahtera, mereka berpesta pora, mabuk-mabukan,
dll. Lalu, mereka menganggap diri hebat, bebas, dan itulah hidup yang mereka cari.
Tetapi benarkah demikian ? Setelah bencana air bah yang menyapu bersih orang-orang di
zaman itu, kecuali Nuh, maka mereka baru sadar bahwa hidup itu hanya sementara dan
hidup yang tidak kembali kepada Allah akan sia-sia adanya, tetapi Nuh meskipun dirinya
dihina ketika membangun bahtera pada waktu kemarau, tetapi ia mengerti hidup itu
sesungguhnya karena ia kembali taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah itulah kunci
utama kita menemukan hidup sejati. Tetapi kesalehan seperti Nuh itu sebentar saja terjadi
di dalam sejarah, selanjutnya orang-orang setelah Nuh banyak bermunculan dan mereka
banyak yang jahat dan memberontak terhadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah yang
Berdaulat memilih bangsa Israel menjadi bangsa pilihan-Nya. Kepada mereka, Allah
mewahyukan Taurat untuk memimpin dan mengatur perilaku mereka agar berkenan
kepada-Nya. Tetapi, bagaimana faktanya, apakah mereka semua menuruti perintah Taurat
? TIDAK. Mereka memang menghafal semua yang tertulis di dalam Taurat, tetapi itu
hanya menguasai bidang rasio saja, dan tidak benar-benar mengerti artinya. Itulah
sebabnya, mereka semakin mengerti Taurat, bukan semakin mengerti esensi Taurat, tetapi
lebih menekankan fenomena upacara sesuai Taurat. Bahkan ada yang melarang orang
berjalan beberapa kilometer di hari Sabat, dll. Taurat yang sebenarnya baik malahan
dibuat tidak baik oleh para ahli Taurat yang menganggap diri ahli di bidang Taurat (itulah
namanya ahli Taurat, ahli di bidang Taurat, ahli pula untuk memelintir hal-hal esensi di
dalam Taurat). Mereka berpikir dengan hidup berbuat baik seperti yang Taurat
perintahkan, mereka akan menemukan arti hidup dan keselamatan sejati. Dari Surga,
Allah tidak tinggal diam, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk
mengembalikan fungsi hidup sebagaimana pada waktu Ia menciptakan manusia. Kristus
datang untuk menebus dosa manusia dan mengembalikan makna hidup sejati. Ketika Ia
berinkarnasi dan turun menjadi manusia tanpa meninggalkan natur Ilahinya, Ia
mengajarkan prinsip-prinsip penting tentang makna hidup. Mari kita menelusuri satu per
satu di dalam Injil.

Pertama, hidup itu berpusat kepada firman Allah. Hal ini tercantum di dalam Matius 4:4,
Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang
keluar dari mulut Allah. (dikutip dari Ulangan 8:3) Hidup manusia bukan sekedar
makan, minum, bersenang-senang, tetapi hidup manusia itu berasal dari Allah, atau lebih
tepatnya dari setiap firman Allah. Di sini, Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa manusia
itu hidup tidak memerlukan roti sama sekali, tetapi Ia mengatakan bahwa manusia tidak
hanya memerlukan roti saja untuk hidup. Kata hanya atau saja dalam ayat ini berarti
kita masih membutuhkan roti atau makanan jasmani untuk menyambung hidup, tetapi
poin penting atau esensinya bukan terletak pada roti atau sesuatu yang jasmaniah, tetapi
firman Allah itulah yang esensi dan terpenting yang menjamin hidup kita menjadi
bermakna. Dengan kata lain, firman Allah itu menjadi Sumber Hidup kita yang paling
hakiki. Firman Allah menjadi penuntun, pemimpin dan pengoreksi hidup kita ketika kita
ingin berbuat dosa. Firman Allah menjadi batas dan penghakim bagi kita, sehingga kita
tidak keluar dari jalan-Nya, sebagaimana yang pemazmur katakan di dalam Mazmur
119:105, Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku. Lalu, di dalam
pasal yang sama di ayat 1-10, Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak
bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN. Berbahagialah orang-orang yang
memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati, yang
juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang
ditunjukkan-Nya. Engkau sendiri telah menyampaikan titah-titah-Mu, supaya
dipegang dengan sungguh-sungguh. Sekiranya hidupku tentu untuk berpegang pada
ketetapan-Mu! Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku mengamat-amati
segala perintah-Mu. Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur, apabila aku
belajar hukum-hukum-Mu yang adil. Aku akan berpegang pada ketetapan-ketetapan-
Mu, janganlah tinggalkan aku sama sekali. Dengan apakah seorang muda
mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-
Mu. Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku
menyimpang dari perintah-perintah-Mu. Firman-Nya itu sangat berarti bagi hidup
pemazmur. Hal ini sangat berbeda total dengan banyak paradigma hidup yang dianut oleh
banyak orang yang mengaku diri Kristen apalagi melayani Tuhan lalu alergi
mendengar kata Tuhan disebutkan di luar gereja. Kalau di dalam Mazmur 119:9,
pemazmur mengatakan bahwa orang muda dapat mempertahankan kelakuan yang bersih
ketika firman-Nya menjaga hidup mereka, tetapi dunia kita mengajarnya secara bertolak
belakang, yaitu ketika psikologi mengajar mereka tentang makna hidup, maka tidak
heran, banyak orang muda yang belajar psikologi (tanpa belajar firman-Nya) berakhir
tragis, misalnya bunuh diri, stress, dll. Ketika manusia mencoba menemukan makna
hidup di luar firman-Nya, manusia tidak pernah menemukannya, karena hidup sejati pasti
berpusat kepada Allah dan firman-Nya sebagai Sumber Hidup.

Kedua, hidup yang tidak kuatir. Di dalam Matius 6:25, Tuhan Yesus mengajarkan,
Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang
hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan
apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan
dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian? Hidup manusia sudah ada di tangan-
Nya, karena Ia lah yang mengaturnya, tetapi seringkali di dalam hidup, manusia
seringkali kuatir akan makanan, minuman, pakaian, dll, mengapa ? Karena mereka diajar
bukan kembali kepada Allah, tetapi kembali kepada dirinya sendiri sebagai pusat hidup.
Ketika Allah menjadi pusat hidup manusia, maka manusia tidak perlu menguatirkan
hidupnya. Perhatikan kalimat terakhir di dalam ayat 25 bahwa hidup itu lebih penting
daripada makanan. Mengapa demikian ? Karena kalau kita kekurangan makanan, kita
bisa mencarinya kembali, tetapi kalau kita kekurangan makna hidup, bisakah kita
mencarinya di dalam dunia ini tanpa kembali kepada Allah ?! TIDAK. Itulah sebabnya
mengapa Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak perlu kuatir. Lalu, apa solusi yang Tuhan
Yesus berikan agar manusia tidak perlu lagi menguatirkan hidupnya ? Di dalam ayat 31-
33, Ia mengajarkan, Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan
kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?
Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang
di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu
Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan
kepadamu. Anak-anak Tuhan tidak perlu kuatir, karena kalau mereka kuatir, mereka
sama halnya dengan bangsa-bangsa (manusia) yang tidak mengenal Allah. Orang yang
hidupnya terus kuatir sebenarnya meragukan kedaulatan dan pemeliharaan Allah di dalam
hidupnya. Tetapi tidak berarti dengan menggunakan kalimat ini, lalu kita berkata bahwa
kita tidak perlu bekerja, karena semuanya diberikan Tuhan. Itu anggapan yang konyol.
Kita tidak perlu kuatir di dalam hidup karena kita percaya bahwa Tuhan itu memelihara
hidup anak-anak-Nya dengan berkecukupan, meskipun demikian Tuhan tetap menuntut
kita untuk terus bekerja (lihat ayat 34 yang sering dilupakan, Sebab itu janganlah kamu
kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri.
Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.) Kalau kita tidak perlu kuatir, tidak berarti
kita tidak memiliki kesusahan apapun, tetapi Kristus berkata bahwa kesusahan itu masih
tetap ada, tetapi biarkanlah kesusahan itu cukup untuk sehari jangan ditambahi dengan
kekuatiran yang tidak perlu. Tuhan sangat mengerti benar apa yang diperlukan manusia,
sehingga Kristus memerintahkan kita untuk pertama-tama mencari dahulu Kerajaan Allah
dan kebenarannya, baru setelah itu Ia akan menambahkan berkat-Nya. Jangan
menggunakan ayat ini lalu mengajarkan bahwa percaya kepada Tuhan Yesus pasti kaya,
diberkati, hidup lancar, dll. Itu bidat/sesat. Ayat 33, kata akan ditambahkan kepadamu
itu adalah bonus atau akibat setelah kita mempercayakan diri kepada-Nya dengan
mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (mengutamakan-Nya sebagai Tuhan dan Raja
dalam hidup kita). Jangan sembarangan menafsirkan Alkitab.
Ketiga, hidup manusia sejati adalah hidup seperti anak kecil (rendah hati). Matius 18:1-
6 mengajarkan prinsip ini, Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan
bertanya: Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga? Maka Yesus memanggil
seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil
ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa
merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan
Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia
menyambut Aku. Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini
yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada
lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Di sini, Tuhan Yesus menggabungkan
konsep bertobat dengan menjadi seperti anak kecil. Apa artinya ? Pada waktu itu, para
murid sedang berebut kekuasaan ingin menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Surga,
sehingga Kristus harus menegur mereka dan mengatakan bahwa seorang yang masuk
Surga adalah seorang yang bertobat, artinya tidak lagi mementingkan hal-hal duniawi
yang merupakan citra manusia lama dan segera memperbaharui hidup dengan
mementingkan apa yang Tuhan inginkan. Kedua, setelah bertobat, mereka harus menjadi
seperti anak kecil yang memiliki kerendahan hati. Anak kecil meskipun seringkali dihina
oleh masyarakat sebagai manusia yang kurang pengalaman, tetapi dipakai oleh Kristus
untuk menghina mereka yang katanya sudah berpengalaman, berpendidikan, dll, tetapi
sombong dan tidak rendah hati lagi. Yang masuk ke dalam Kerajaan Surga bukan
konglomerat, presiden, pembesar negara, pendeta, dll, tetapi mereka yang hidup seperti
anak kecil (childlike) yang memiliki kerendahan hati (bedakan dengan childish, yaitu
sifat kekanak-kanakan, sifat ini tidak disukai oleh Tuhan). Hidup seperti anak kecil
(childlike) adalah hidup yang mulia. Ketika kita belajar hidup menjadi seperti anak kecil,
maka kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Orang-orang yang suka
menyombongkan diri sebagai penghuni surga lalu bersaksi bahwa dirinya berkali-
kali naik turun surga, berhati-hatilah, kalau ia tidak bertobat, mungkin ia nanti pasti
menjadi penghuni neraka. Tidak berarti karena kita telah berbuat baik, maka kita masuk
Surga. Tolong baik-baik mengerti ayat ini. Kita bisa rendah hati, itu semua karena Roh
Kudus yang menggerakkan kita untuk berbuat baik dan rendah hati. Jadi, kembali,
anugerah Allah yang mendahului semua respon manusia, baru setelah anugerah ini
dinyatakan, Allah pula lah yang mengaktifkan kehendak manusia untuk berbuat baik bagi
kemuliaan-Nya.

Keempat, hidup manusia sejati adalah hidup kudus. Kekudusan hidup diajarkan oleh
Tuhan Yesus di dalam Matius 18:8-9 yang berkaitan dengan penyesatan, Hidup sejati
adalah hidup yang kudus. Bagi Tuhan Yesus, percuma saja masuk ke dalam Jika
tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena
lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari
pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal.
Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih
baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke
dalam api neraka dengan bermata dua.hidup (TB-LAI) atau hidup dengan Allah
(BIS) dengan kedua tangan/kaki yang utuh tetapi salah satu berbuat dosa, lebih baik
hidup dengan Allah dengan sebelah tangan/kaki. Ayat ini jangan ditafsirkan dengan
sembarangan. Saya sempat membaca ada seorang pria Katolik di Filipina setelah
membaca ayat ini lalu memotong kaki dan tangannya. Ini namanya penafsiran Alkitab
terlalu harafiah. Itu salah.

Kelima, hidup yang rela membayar harga demi Kristus. Di dalam Matius 19:29, Tuhan
Yesus mengajarkan, Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan
rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya,
anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan
memperoleh hidup yang kekal. Orang-orang dunia pasti kesulitan membaca ayat ini,
karena mereka pasti berpikir bahwa kalau kita kehilangan sesuatu, pasti kita tidak bisa
hidup. Tetapi tidak demikian, Tuhan kita Yesus Kristus mengajarkan hal yang paradoks
yang bertentangan dengan pola pikir kita. Kristus mengatakan bahwa justru ketika berani
membayar harga demi nama Kristus, maka di saat itulah kita nantinya akan mendapatkan
kemuliaan kekal dan hidup sejati (kata hidup sejati ditambahkan di dalam Alkitab BIS.
Roma 8:18-21 sungguh menguatkan kita ketika kita di dalam bahaya penderitaan karena
nama Kristus, Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat
dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan
sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena
seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya
sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam
pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan
kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Inilah
pengharapan anak-anak Tuhan di mana mereka akan menerima mahkota kemuliaan
setelah mereka menderita aniaya. Itulah paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang rela
menyangkal diri sendiri dan hidup 100% bagi Kristus. Ini tidak berarti kita harus menjadi
pendeta lalu meninggalkan profesi kita. Tidak ! Hidup yang 100% bagi Kristus adalah
hidup yang men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidupnya, mungkin hidup itu terasa sulit,
kita akan diejek sok suci, sok religius, dll, tetapi kita harus setia untuk tetap men-Tuhan-
kan Kristus, karena di dalam Dialah ada hidup sejati (Yohanes 1:4 ; 14:6).

Keenam, hidup sejati adalah hidup yang beriman. Di dalam Yohanes 3:15-16, Tuhan
Yesus bersabda, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang
kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-
Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Alkitab BIS mengartikannya,
supaya semua orang yang percaya kepada-Nya mendapat hidup sejati dan kekal. Karena
Allah begitu mengasihi manusia di dunia ini, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan mendapat
hidup sejati dan kekal.) Sungguh menarik, kedua ayat ini. Seringkali kita mengaitkan
kedua ayat ini hanya untuk mengungkapkan kasih Allah yang begitu besar kepada kita.
Itu tidak salah. Tetapi ayat ini juga bisa mengajarkan tentang makna hidup yang sejati
hanya ada ketika kita beriman di dalam Kristus yang berinkarnasi menebus dan
menyelamatkan manusia yang berdosa. Di dalam iman itulah kita bisa menemukan hidup.
Sebagaimana Roma 1:17b mengatakan, Orang benar akan hidup oleh iman. (TB-
LAI) atau Orang yang percaya kepada Allah sehingga hubungannya dengan Allah
menjadi baik kembali, orang itu akan hidup! (BIS) Orang dunia seringkali membalik
konsep ini dan mengatakan bahwa orang hidup itu harus beriman, tetapi Alkitab dengan
konsepnya yang pasti dapat dipercaya mengatakan bahwa justru ketika beriman di dalam
Kristus, manusia pilihan-Nya bisa hidup. Mengapa demikian ? Karena hidup sejati adalah
hidup yang terlebih dahulu beriman di dalam-Nya dengan menyerahkan seluruh
keberadaan hidup kita kepada-Nya dan menjadikan-Nya sebagai Tuhan dan Raja di
dalam hidup kita. Ketika kita percaya kepada sesuatu, di situ kita berani menyerahkan
apapun kepada yang kita percayai. Demikian juga kita percaya di dalam-Nya, maka kita
juga rela menyerahkan apapun yang ada pada diri kita untuk dikuasai oleh-Nya, karena
kita percaya bahwa Allah itu adalah Allah yang Mutlak dan pasti dapat dipercayai.

Terakhir, hidup sejati adalah hidup yang berpengharapan dan menuju kepada kekekalan.
Hal ini diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Yohanes 10:27-28, Domba-domba-Ku
mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan
Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa
sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-
Ku., Yohanes 11:25,26, Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya
kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan
yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. dan Yohanes 12:25,
Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa
tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang
kekal. Di dalam Yohanes 12:25, Alkitab BIS mengartikan dengan lebih jelas, Orang
yang mencintai hidupnya akan kehilangan hidupnya. Tetapi orang yang membenci
hidupnya di dunia ini, akan memeliharanya untuk hidup sejati dan kekal. Apakah dengan
ayat ini, kita harus bersama-sama membunuh tubuh jasmani kita supaya kita bisa hidup
kekal ? Lalu, apakah kita tidak boleh mencintai diri kita ? TIDAK. Kata mencintai
nyawanya itu dari bahasa aslinya dapat diartikan mengasihani diri atau menganggap diri
berguna, hebat, dll, sehingga ketika kita berlaku demikian, maka justru yang terjadi
bukan kita semakin hidup, tetapi malahan kita semakin kehilangan nyawa atau makna
hidup sejati kita. Sebaliknya, ketika kita membenci (tidak mencintai) nyawa kita (atau
dapat diterjemahkan menyangkal diri kitabandingkan Matius 16:24), maka yang
didapat bukan kehilangan nyawa tetapi kita akan menerima dan menemukan makna
hidup sejati dan kekal. Ini namanya paradoks. Dunia kita tidak akan mengerti konsep ini
sampai suatu saat Roh Kudus mencerahkan pikirannya. Puji Tuhan, kita adalah salah satu
dari antara mereka yang boleh mendapatkan anugerah Tuhan. Inilah indahnya menjadi
orang Kristen dapat mengerti paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang terus menuju
kepada pengharapan akan kekekalan. Akibatnya, di dalam hidup ini, kita tidak perlu
dipusingkan dengan hal-hal yang tidak penting, misalnya kekayaan duniawi, kedudukan
yang dihormati, dll, itu semua sampah, sama seperti yang diungkapkan Paulus bahwa
pengenalannya akan Kristus membuat dia rela menganggap sampah pada semua yang ia
anggap kebanggaan pada masa dulunya. Beranikah kita seperti Paulus menganggap
sampah semua kemegahan dan kehebatan dunia yang berdosa ini lalu kembali hidup yang
berfokus kepada pengharapan akan kekekalan ? Renungkanlah.

Setelah kita merenungkan ketujuh poin makna hidup menurut ajaran Tuhan Yesus,
sudahkah kita berani menentukan fokus hidup sejati yaitu kepada dan di dalam Kristus itu
sendiri ? Biarlah kita mulai mengambil keputusan untuk segera men-Tuhan-kan Kristus
di dalam hidup kita dan menentukan tujuan hidup kita berpijak dari firman Allah,
bergantung kepada pimpinan Roh Kudus dan murni untuk memuliakan-Nya selama-
lamanya. Soli Deo Gloria. Amin.

You might also like