You are on page 1of 13

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN INKONTINENSIA URINE

DISUSUN OLEH:

Agnes Juliana Turnip 032014001


Dermawati Simanjuntak 032014009
Febriyani Vera 032014017
Ika Sarma Dosolix 032014027
Jainal Lumbantoruan 032014035
Mawarta Br. Tarigan 032014043
Nova Novita Hasugian 032014051
Stefani Priscilla Sipayung 032014069

Dosen: Jagentar Pane, S.Kep., Ns., M.Kep

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK


STIKes SANTA ELISABETH MEDAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di dunia yang mengalami inkontinensia
urin.Menurut National Kidney and Urologyc Disease Advisory Board di Amerika Serikat,
jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 persen diantaranya
perempuan.Jumlah ini sebenarnya masih sangat sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab
masih banyak kasus yang tidak dilaporkan (Maas et al, 2011).
Di Indonesia jumlah penderita Inkontinensia urin sangat signifikan. Pada tahun 2006
diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk mengalami Inkontinensia urin, tetapi
penanganannya masih sangat kurang. Hal ini di sebabkan karena masyarakat belum tahu
tempat yang tepat untuk berobat disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang
inkontinensia urin (Depkes, 2012).
Berbagai macam perubahan terjadi pada lanjut usia, salah satunya pada sistem
perkemihan yaitu penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang
disebabkan oleh penurunan hormon esterogen, sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine, otototot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau
menyebabkan frekuensi BAK meningkatdan tidak dapat dikontrol (Nugroho, 2008).
Menurut Newman & Smith, 1992; Taylor & Handerson, 1986, terdapat cara yang
digunakan untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu dengan latihan otot dasar
panggul (pelvic muscte exercise) atau sering disebut dengan latihan Kegel. Latihan dasar
panggul melibatkan kontraksi tulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur
penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rectum (Maas
et al, 2011).
Tingginya angka kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya penanganan yang
sesuai, karena jika tidak segera ditangani inkontinensia dapat menyebabkan berbagai
komplikasi seperti infeksi saluran kemih, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur,
dekubitus, dan gejala ruam. Selain itu, masalah psikososial seperti dijauhi orang lain karena
berbau pesing, minder, tidak percaya diri, mudah marah juga sering terjadi dan hal ini
berakibat pada depresi dan isolasi sosial (Stanley & Beare, 2006)
1.2.Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mahasiswa/i mampu memahami Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Inkontinensia Urine.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa/i mampu memahami konsep medis Asuhan Keperawatan Pada Klien
dengan Inkontinensia Urine.
2. Mahasiswa/i mampu memahami konsep keperawatan Asuhan Keperawatan Pada
Klien dengan Inkontinensia Urine.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Medis


2.1.1. Defenisi
Inkontinensia Urine (IU) atau yang lebih dikenal dengan beser sebagai bahasa awam
merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Inkontinensia urine adalah
pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga
mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan sosial. Variasi dari inkontinensia urin
meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang
juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses) (Smeltzer, 2002).
Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan keluarnya urine
(Purnomo, 2011).

2.1.2. Prevalensi
Prevalensi kelainan ini cukup tnggi, yakni pada wanita lebih kurang 10-40% dan 4-8%
sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya lebih
rendah daripada wanita, yaitu lebih kurang separuhnya. Survey yang dilakukan di berbagai
Negara Asia didapatan bahwa rata-rata prevalensi pada beberapa bangsa Asia adalah 12.2%
(14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). (Purnomo, 2011).

2.1.3. Klasifikasi

Klasifikasi menurut Purnomo (2011):

a) Inkontinensia urge
Adalah keluhan tidak dapat menahan kencing segera setela timbul sensai ingin kencing.
Keadaan ini disebabkan oleh otot derusor yang sudah mulai mengadakan kontraksi pada
saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi
b) Inkontinensia stress
Adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal
yang disebbkan oleh faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan
intrauretra pada saat tekanan intra vesika meningkat (buli-buli) terisi.
c) Inkontinensia overflow adalah keluarnya urine tanpa dapat di kontrol pada keadaan volume
urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Detrusor mengalami kelemahan sehingga
terjadinya atonia tau arfleksia
d) Inkontinesia kontinua
Adalah urine yang sellu keluar setiap saat dalm berbagai posisi
e) Inkontinensia fungsional
Sebenanya pasien ini kontinen tetapi karena adanya hambatan tertentu pasien tidak mampu
menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar tanpa
dapat ditahan.

2.1.4. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis menurut Purnomo (2011):

a) Inkontinensia urge
Tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing
b) Inkontinensia Stress
Keluarnya urine ketika peningkatan tekanan intra abdominal seperti batuk, erin,
tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat.
c) Inkontinensia oferflow
Over distensi buli-buli (retensi urin), urine menetes dari meatus uretra
d) Inkontinensia kontinua
Urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih dapat melakukan miksi seperti
orang normal
e) Inkontinensia fungsional
Sebenanya pasien ini kontinen tetapi karena adanya hambatan tertentu pasien tidak
mampu menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya
keluar tanpa dapat ditahan.

2.1.4. Etiologi
Etiologi menurut Smeltzer (2002) yaitu:
a) Overflow incontinence disebabkan karena oleh kelainan neurologi ( yaitu, lesi medula
spinalis)atau faktor-faktor yang menyumbat saluran keluar urine, ( yaitu, pengunaan
obat-obatan, tumor,hiperplasia prostat)
b) Stress Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar yang disebabkam oleh
peningkatan tekanan intra abdominal oleh suatu aktivitas seperti batuk, bersin, tertawa
atau aktivitas lain yang dapat meningkatkan tekanan intra abdominal
c) Urge Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar, disertai oleh keinginan
berkemih yang kuat. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh kontraksi otot detrusor yang
prematur, utamanya pada kondisi instabilitas detrusor. Instabilitas detrusor pada
umumnya disebabkan oleh gangguan neurologi, meskipun demikian Urge Incontinence
dapat terjadi pada invidu yang tidak mengalami gangguan neurologi. urge incontinence
merupakan akibat dari adanya kontraksi prematur pada kandung kemih karena adanya
inflamasi atau iritasi dalam bladder. Inflammasi atau iritasi ini dapat disebabkan oleh
adanya batu, malignansi dan infeksi. Urge incontinence umumnya terjadi pada lansia.
d) Inkontinensi kontinua disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang menyebabkan urine
tidak melewati sfingter uretra. Penyebab lainnya adalah muara ureter ektopik pada anak
perempuan.
e) Functional Incontinence adalah inkontinensia yang disebabkan oleh ketidakmampuan
individu untuk mencapai atau menggunakan fasilitas toileting secara benar, kondisi ini
dapat disebabkan oleh gangguan mobilitas dan atau gangguan fungsi kognitif klien.
Klien yang mengalami inkontinensia jenis ini dapat pula mengalami inkontinensia tipe
lain secara bersamaan.

2.1.5. Komplikasi
Komplikasi menurut Pierce (2006):
a) Ruam kulit atau iritasi
Diantara komplikasi yang paling jelas dan manifestasi kita menemukan masalah dengan
kulit, karena mereka yang menderita masalah ini terkait kandung kemih, memiliki
kemungkinan mengembangkan luka, ruam atau semacam infeksi kulit, karena fakta
bahwa kulit mereka overexposed cairan dan dengan demikian selalu basah. Ruam kulit
atau iritasi terjadi karena kulit yang terus-menerus berhubungan dengan urin akan
iritasi, sakit dan dapat memecah.
b) Infeksi saluran kemih
Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang.
c) Prolapse
Prolaps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat terjadi pada wanita.
Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung kemih, dan dalam beberapa kasus
uretra, drop-down ke pintu masuk vagina. Lemahnya otot dasar panggul sering
menyebabkan masalah. Prolaps biasanya perlu diperbaiki dengan menggunakan
operasi.
d) Perubahan dalam kegiatan sehari-hari
Inkontinensia dapat membuat pasien tidak dapat berpartisipasi dalam aktivitas normal.
Pasien dapat berhenti berolahraga, berhenti menghadiri pertemuan social. Salah satu
jenis tersebut adalah inkontinensia stres.

2.1.6. Pemeriksaan Diagnostik


Pemeriksaan Diagnostik menurut Pierce (2006):
1. Kultur Urine
2. IVU
3. Sistoskopi
4. Pemeriksan speculum vagina sistogram jika dicurigai terdapat fistula vesilovagina.
5. Uji uro dinamik
6. Q-tip test
Tes ini dilakukan dengan menginsersikan sebuah cotton swab (Q-tip) yang steril
kedalam uretra wanita lalu kekandung kemih.

7. Marshall test (Marshall -Bonney test)


Jika pemeriksa mendeteksi keluarnya urin bersamaan dengan adanya kontraksi otot
abdomen, maka uji ini dapat dilakukan untuk mengetahui apakah kebocoran dapat
dicegah dengan cara menstabilisasi dasar kandung kemih sehingga mencegah
herniasime lalu diafragma urogenital atau tidak.

8. Pad test
Merupakan penilaian semi objektif untuk mengetahui apakah cairan yang keluar
adalah urin, seberapa banyak keluarnya urin dan dapat digunakan untuk memantau
keberhasilan terapi inkontinensia.
2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Pierce (2006):

a) Inkontinensia urgensi
- Terapi medikamentosa
Modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati setiap penyebab (infeksi,
tumor, batu), latihan berkemih, antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutin,
tolterdin).
- Terapi pembedahan
Sistoskopi (cystoscopy) adalah prosedur pemeriksaan dengan sebuah tabung
fleksibel berlensa yang dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih
dan kemudian untuk mempelajari kelainan dalam kandung kemih dan saluran
kemih bawah. Alatnya disebut sistoskop.
b) Inkontinensia Stres
- Terapi medikamentosa
Latihan otot otot dasar panggul, estrogen untuk vaginitis atrofik
- Terapi Pembedahan
Uretropeksi retroubik atau endoskopik, perbaikan vagina, sfinger buatan.
c) Inkontinensia overflow
- Jika terdapat obstruksi, Obati penyebab obstruksi, misalnya TURP.
- Jika tidak terdapat obstruksi
Drainase jangka pendek dengan kateter untuk memungkinkan otot detrusor
pulih dari peregangan berlebihan, kemudian penggunaan stimulan otot
detrusor jangka pendek (bethanekol ; distigmin). Jika semuanya
gagal,katerisasi interminten yang dilakukan sendiri (inkontensia overflow
neurogenik).

2.2. Konsep Keperawatan


2.2.1. Pengkajian
a) Anamnesis dan riwayat penyakit
Perlu ditanyakan sampai berapa jauh inkontinensia ini mengganggu
kehidupannya dan berapa banyak urine yang dikeluarkan pada saat inkontinensia.
Keluarnya tetesan-tetesan urine yang tidak mampu dicegah dapat dijumpai pada
inkompetensi uretra, sedangkan keluarnya urine dalam jumlah yang sedang dijumpai
pada overaktivitas detrusor. Demikian pula jumlah yang cukup banyak dijumpai
pada inkontinensia kontinua akibat suatu fistula, ektopik ureter, ataupun kerusakan
sfingter uretra. Apakah pasien selalu memakai pamper dan berapa sering harus
ganti? Pada malam hari, berapa kali terbangun untuk miksi atau mengganti pemper?
Keluhan adanya urgensi dan frekuensi merupakan pertanda overaktivitas
detrusor. Pasien dianjurkan untuk mencatat tentang aktivitas miksi, terjadinya
inkontinensi, maupun volume cairan yang diminum setiap harinya di dalam catatan
harian miksi (Purnomo, 2011).
b) Riwayat penyakit dahulu
Adanya penyakit riwayat penyakit yang lalu harus dicari. Diabetes melitus 9terutama
jika ada neuropatik), kelainan neurologi, ISK berulang, penyakit pada rongga pelvis,
dan atrofi genitourinaria pada menopouse kesemuanya merupakan predisposisi
terjadinya inkontinensia urine. Operasi-operasi maupun radiasi di daerah pelvis dan
abdomen merupakan salah satu petunjuk yang cukup penting. Perlu diperhatikan
riwayat pada saat melahirkan, antara lain: apakah melahirkan multipara, partus
kasep, dan bayi yang besar; kesemuanya merupakan predisposisi terjadinya
inkompetensi sfingter dan kelemahan otot panggul (Purnomo, 2011).
c) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan abdomen, dicari kemungkinan dijumpai adanya distenssi buli-buli
yang merupakan tanda adri inkontinensia paradoksa atau adanya massa dipinggang
dari suatu hidronefrosis. Mungkin ditemukan jaringan parut bekas operasi pelvis
atau abdomen.
Pada regio urogenitalia, perhatikan orifisium uretra dan vagina. Dengan
menggunakan spekulum vagin, dicari kemungkinan adanya kemungkinnan kelainan
dinding vagina anterior maupun posterior. Perhatikan adanya perubahan warna dan
penebalan mukosa vagina yang merupakan tanda dari vaginitis atrofikans akibat
defisiensi estrogen; hal ini biasanya disertai dengan peningkatan sensitivitas buli-
buli dan uretra yang dapat terlihat pada inkontinensia urge. Perhatikan kemungkinan
adanya sistokel, enderokel, prolapsus uteri atau rektokel yang menyertai suatu SUI.
Pemeriksaan palpasi bimanual untuk mencari adanya massa pada uterus atau
adneksa.
Perhatikan posisi orifisium eksternum. Jika didapatkan penonjolan dari
orifisium eksternum mungkin merupakan suatu proses inflamasi atau diventrikulum.
Mintalah pasien untuk melakukan manuver falsafah; jika terdapat penurunan leher
buli-buli uretra dan urin yang keluar, mungkin klien menderita suatu SUI (Purnomo,
2011).

2.2.2. Diagnosa Keperawatan

1. Inkontinensia urine stress b.d. inkomplet outlet kandung kemih sekunder akibat
anomali saluran perkemihan kongenital, perubahan segeneratif dan struktur penyangga
sekunder, tingginya tekanan intra abdominal.
2. Inkontinensia urine dorongan b.d. penurunan kapasitas kandung kemih sekunder,
iritasi regangan kandung kemih sekunder

2.2.3. Intervensi

NO Diagnosa Tujuan Intervensi


1 Inkontinensia urine NOC: NIC: Pelvic Muscle Exercise
stress Urinary Continence (0560)
Definisi: (0502) 1. Menentukan kemampuan
Keadaan ketika Symptomp Severity dorongan untuk
individu mengalami (2103) mengosongkan
pengeluaran urine Urinary elimination 2. Pastikan setiap orang
involunter segera pada (0503) dapat membedakan
peningkatan tekanan Setelah dilakukan tindakan kontraksi otot yang
intra abdominal keperawatan 3x24 jam, diinginkan dan tidak
inkontinensia urine dapat diinginkan
Data Mayor: teratasi dengan kriteria 3. Instruksikan individu
Individu melaporkan hasil: untuk mengencangkan,
penurunan urin - Mengetahui dorongan kemudian rileks, otot
(biasanya <50 cc) yang untuk mengosongkan (5) diantara uretra dan anus
terjadi karena tekanan - Pertahankan cara jika mencegah BAK dan
abdominal akibat terprediksi untuk BAB
berdiri, bersin, batuk, mengosongkan (5) 4. Instruksikan individu
berlari atau mengangkat - Respon terhadap untuk mecegah kontraksi
beban berat. dorongan tepat waktu (5) abdomen, paha, bokong,
tarik nafas, atau
Data Minor: - Mengosongkan kandung menegangkan selama
- Rembesan involunter kemih secara komplit (5) latihan
sedikit urin (mis. Pada 5. Instruksikan individu
saat batuk, tertawa,
untuk melakukan latihan
bersin, atau olahraga) otot paha sampai 300
- Rembesan involunter kontraksi perhari,
sedikit urine pada menahan konstraksi
tidak adanya kontraksi untuk 10 detik dan
detrusor istirahat 10 detik antara
- Rembesan involunter setiap kontraksi
sedikit urine pada 6. Informasikan individu
tidak adanya jika latihan
overdistensi kandung membutuhkan waktu 6-
kemih 12 minggu agar efektif
7. Diskusikan catatan harian
dari kontinensia untuk
meningkatkan penguatan
2 Inkontinensia urine NOC: NIC: Urinary Bladder Training
dorongan Urinary Continence (0570)
Definisi: keadaan ketika (0502) 1. Menentukan kemampuan
individu mengalami Symptomp Severity dorongan untuk
pengeluaran urine (2103) mengosongkan
involunter yang Self-care: toileting 2. Dorong pasien untuk
dihubungkan dengan (0310) menjaga catatan
keinginan kuat dan tiba- Setelah dilakukan tindakan pengosongan
tiba untuk berkemih. keperawatan 3x24 jam, 3. Jaga catatan kontinensia
inkontinensia urine dapat spesifik selama 3 hari
Data mayor: teratasi dengan kriteria untuk membangun cara
Dorongan diikuti hasil: mengosongkan
inkontinensia - Mengetahui dorongan 4. Bantu pasien untuk
Data Minor untuk mengosongkan (5) mengidentifikasi cara
- Dorongan berkemih inkontinensia
- Pengeluaran urine - Pertahankan cara 5. Buat interval jadwal awal
involunter pada terprediksi untuk toilet berdasarkan cara
kontraksi kandung mengosongkan (5) pengosongan
kemih - Respon terhadap 6. Kurangi interval toilet
- Pengeluaran urine dorongan tepat waktu (5) satu setengah jam jika
involunter pada - Mengosongkan kandung lebih dari 3 episode
spasme kandung kemih secara komplit (5) inkontinensia terjadi
kemih dalam 24 jam
- Tidak mampu 7. Diskusikan catatan
mencapai toilet pada harian dari kontinensia
waktunya untuk untuk meningkatkan
berkemih penguatan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). United States of


America: Elsevier

Herdman, T. Heather. 2015. Nursing Diagnoses: Definitions & Classification 2015-2017.


Jakarta: EGC

Moorhead, Sue. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). United States of America:
Elsevier

Maas, L. Meridean. 2011. Asuhan Keperawatan Geriatrik. Jakarta: EGC.

Perry & Potter. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC

Pierce A. Grace & Neil R. Borley. 2006. Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Erlangga.

Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar- Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

Smeltzer, Suzanne C.,dkk. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Stanley & Beare. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Ed.2. Jakarta : EGC

You might also like