Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH:
1.1.Latar Belakang
Menurut data dari WHO, 200 juta penduduk di dunia yang mengalami inkontinensia
urin.Menurut National Kidney and Urologyc Disease Advisory Board di Amerika Serikat,
jumlah penderita inkontinensia mencapai 13 juta dengan 85 persen diantaranya
perempuan.Jumlah ini sebenarnya masih sangat sedikit dari kondisi sebenarnya, sebab
masih banyak kasus yang tidak dilaporkan (Maas et al, 2011).
Di Indonesia jumlah penderita Inkontinensia urin sangat signifikan. Pada tahun 2006
diperkirakan sekitar 5,8% dari jumlah penduduk mengalami Inkontinensia urin, tetapi
penanganannya masih sangat kurang. Hal ini di sebabkan karena masyarakat belum tahu
tempat yang tepat untuk berobat disertai kurangnya pemahaman tenaga kesehatan tentang
inkontinensia urin (Depkes, 2012).
Berbagai macam perubahan terjadi pada lanjut usia, salah satunya pada sistem
perkemihan yaitu penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra) yang
disebabkan oleh penurunan hormon esterogen, sehingga menyebabkan terjadinya
inkontinensia urine, otototot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau
menyebabkan frekuensi BAK meningkatdan tidak dapat dikontrol (Nugroho, 2008).
Menurut Newman & Smith, 1992; Taylor & Handerson, 1986, terdapat cara yang
digunakan untuk memperbaiki ketidakmampuan berkemih yaitu dengan latihan otot dasar
panggul (pelvic muscte exercise) atau sering disebut dengan latihan Kegel. Latihan dasar
panggul melibatkan kontraksi tulang otot pubokoksigeus, otot yang membentuk struktur
penyokong panggul dan mengililingi pintu panggul pada vagina, uretra, dan rectum (Maas
et al, 2011).
Tingginya angka kejadian inkotinensia urin menyebabkan perlunya penanganan yang
sesuai, karena jika tidak segera ditangani inkontinensia dapat menyebabkan berbagai
komplikasi seperti infeksi saluran kemih, infeksi kulit daerah kemaluan, gangguan tidur,
dekubitus, dan gejala ruam. Selain itu, masalah psikososial seperti dijauhi orang lain karena
berbau pesing, minder, tidak percaya diri, mudah marah juga sering terjadi dan hal ini
berakibat pada depresi dan isolasi sosial (Stanley & Beare, 2006)
1.2.Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mahasiswa/i mampu memahami Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Inkontinensia Urine.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa/i mampu memahami konsep medis Asuhan Keperawatan Pada Klien
dengan Inkontinensia Urine.
2. Mahasiswa/i mampu memahami konsep keperawatan Asuhan Keperawatan Pada
Klien dengan Inkontinensia Urine.
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1.2. Prevalensi
Prevalensi kelainan ini cukup tnggi, yakni pada wanita lebih kurang 10-40% dan 4-8%
sudah dalam keadaan cukup parah pada saat datang berobat. Pada pria, prevalensinya lebih
rendah daripada wanita, yaitu lebih kurang separuhnya. Survey yang dilakukan di berbagai
Negara Asia didapatan bahwa rata-rata prevalensi pada beberapa bangsa Asia adalah 12.2%
(14,8% pada wanita dan 6,8% pada pria). (Purnomo, 2011).
2.1.3. Klasifikasi
a) Inkontinensia urge
Adalah keluhan tidak dapat menahan kencing segera setela timbul sensai ingin kencing.
Keadaan ini disebabkan oleh otot derusor yang sudah mulai mengadakan kontraksi pada
saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi
b) Inkontinensia stress
Adalah keluarnya urine dari uretra pada saat terjadi peningkatan tekanan intra abdominal
yang disebbkan oleh faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan
intrauretra pada saat tekanan intra vesika meningkat (buli-buli) terisi.
c) Inkontinensia overflow adalah keluarnya urine tanpa dapat di kontrol pada keadaan volume
urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Detrusor mengalami kelemahan sehingga
terjadinya atonia tau arfleksia
d) Inkontinesia kontinua
Adalah urine yang sellu keluar setiap saat dalm berbagai posisi
e) Inkontinensia fungsional
Sebenanya pasien ini kontinen tetapi karena adanya hambatan tertentu pasien tidak mampu
menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya keluar tanpa
dapat ditahan.
a) Inkontinensia urge
Tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul sensasi ingin kencing
b) Inkontinensia Stress
Keluarnya urine ketika peningkatan tekanan intra abdominal seperti batuk, erin,
tertawa, berjalan, berdiri, atau mengangkat benda berat.
c) Inkontinensia oferflow
Over distensi buli-buli (retensi urin), urine menetes dari meatus uretra
d) Inkontinensia kontinua
Urine selalu merembes keluar tetapi pasien masih dapat melakukan miksi seperti
orang normal
e) Inkontinensia fungsional
Sebenanya pasien ini kontinen tetapi karena adanya hambatan tertentu pasien tidak
mampu menjangkau toilet pada saat keinginan miksi timbul sehingga kencingnya
keluar tanpa dapat ditahan.
2.1.4. Etiologi
Etiologi menurut Smeltzer (2002) yaitu:
a) Overflow incontinence disebabkan karena oleh kelainan neurologi ( yaitu, lesi medula
spinalis)atau faktor-faktor yang menyumbat saluran keluar urine, ( yaitu, pengunaan
obat-obatan, tumor,hiperplasia prostat)
b) Stress Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar yang disebabkam oleh
peningkatan tekanan intra abdominal oleh suatu aktivitas seperti batuk, bersin, tertawa
atau aktivitas lain yang dapat meningkatkan tekanan intra abdominal
c) Urge Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar, disertai oleh keinginan
berkemih yang kuat. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh kontraksi otot detrusor yang
prematur, utamanya pada kondisi instabilitas detrusor. Instabilitas detrusor pada
umumnya disebabkan oleh gangguan neurologi, meskipun demikian Urge Incontinence
dapat terjadi pada invidu yang tidak mengalami gangguan neurologi. urge incontinence
merupakan akibat dari adanya kontraksi prematur pada kandung kemih karena adanya
inflamasi atau iritasi dalam bladder. Inflammasi atau iritasi ini dapat disebabkan oleh
adanya batu, malignansi dan infeksi. Urge incontinence umumnya terjadi pada lansia.
d) Inkontinensi kontinua disebabkan oleh fistula sistem urinaria yang menyebabkan urine
tidak melewati sfingter uretra. Penyebab lainnya adalah muara ureter ektopik pada anak
perempuan.
e) Functional Incontinence adalah inkontinensia yang disebabkan oleh ketidakmampuan
individu untuk mencapai atau menggunakan fasilitas toileting secara benar, kondisi ini
dapat disebabkan oleh gangguan mobilitas dan atau gangguan fungsi kognitif klien.
Klien yang mengalami inkontinensia jenis ini dapat pula mengalami inkontinensia tipe
lain secara bersamaan.
2.1.5. Komplikasi
Komplikasi menurut Pierce (2006):
a) Ruam kulit atau iritasi
Diantara komplikasi yang paling jelas dan manifestasi kita menemukan masalah dengan
kulit, karena mereka yang menderita masalah ini terkait kandung kemih, memiliki
kemungkinan mengembangkan luka, ruam atau semacam infeksi kulit, karena fakta
bahwa kulit mereka overexposed cairan dan dengan demikian selalu basah. Ruam kulit
atau iritasi terjadi karena kulit yang terus-menerus berhubungan dengan urin akan
iritasi, sakit dan dapat memecah.
b) Infeksi saluran kemih
Inkontinensia meningkatkan risiko infeksi saluran kemih berulang.
c) Prolapse
Prolaps merupakan komplikasi dari inkontinensia urin yang dapat terjadi pada wanita.
Hal ini terjadi ketika bagian dari vagina, kandung kemih, dan dalam beberapa kasus
uretra, drop-down ke pintu masuk vagina. Lemahnya otot dasar panggul sering
menyebabkan masalah. Prolaps biasanya perlu diperbaiki dengan menggunakan
operasi.
d) Perubahan dalam kegiatan sehari-hari
Inkontinensia dapat membuat pasien tidak dapat berpartisipasi dalam aktivitas normal.
Pasien dapat berhenti berolahraga, berhenti menghadiri pertemuan social. Salah satu
jenis tersebut adalah inkontinensia stres.
8. Pad test
Merupakan penilaian semi objektif untuk mengetahui apakah cairan yang keluar
adalah urin, seberapa banyak keluarnya urin dan dapat digunakan untuk memantau
keberhasilan terapi inkontinensia.
2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Pierce (2006):
a) Inkontinensia urgensi
- Terapi medikamentosa
Modifikasi asupan cairan, hindari kafein, obati setiap penyebab (infeksi,
tumor, batu), latihan berkemih, antikolinergik/relaksan otot polos (oksibutin,
tolterdin).
- Terapi pembedahan
Sistoskopi (cystoscopy) adalah prosedur pemeriksaan dengan sebuah tabung
fleksibel berlensa yang dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih
dan kemudian untuk mempelajari kelainan dalam kandung kemih dan saluran
kemih bawah. Alatnya disebut sistoskop.
b) Inkontinensia Stres
- Terapi medikamentosa
Latihan otot otot dasar panggul, estrogen untuk vaginitis atrofik
- Terapi Pembedahan
Uretropeksi retroubik atau endoskopik, perbaikan vagina, sfinger buatan.
c) Inkontinensia overflow
- Jika terdapat obstruksi, Obati penyebab obstruksi, misalnya TURP.
- Jika tidak terdapat obstruksi
Drainase jangka pendek dengan kateter untuk memungkinkan otot detrusor
pulih dari peregangan berlebihan, kemudian penggunaan stimulan otot
detrusor jangka pendek (bethanekol ; distigmin). Jika semuanya
gagal,katerisasi interminten yang dilakukan sendiri (inkontensia overflow
neurogenik).
1. Inkontinensia urine stress b.d. inkomplet outlet kandung kemih sekunder akibat
anomali saluran perkemihan kongenital, perubahan segeneratif dan struktur penyangga
sekunder, tingginya tekanan intra abdominal.
2. Inkontinensia urine dorongan b.d. penurunan kapasitas kandung kemih sekunder,
iritasi regangan kandung kemih sekunder
2.2.3. Intervensi
Moorhead, Sue. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). United States of America:
Elsevier
Perry & Potter. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: EGC
Pierce A. Grace & Neil R. Borley. 2006. Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Erlangga.
Stanley & Beare. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Ed.2. Jakarta : EGC