Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki berbagai jenis tanah
yang tidak semuanya sesuai untuk budidaya baik tanaman pertanian maupun
perkebunan. Satu diantara jenis tanah di Indonesia yang tidak direkomendasikan
sebagai lahan pertanian maupun perkebunan yang potensial adalah tanah
Spodosol. Sekitar 2.16 juta ha Tanah Spodosol (1.1% dari luas daratan Indonesia)
ditemukan tersebar di dataran rendah dan juga dataran tinggi di Kalimantan,
Sumatera, Sulawesi dan Papua (Suharta dan Prasetyo, 2009).
Van Wambeke, 1992 menyatakan bahwa Spodosol adalah tanah mineral
yang mempunyai horison spodik yang batas atasnya berada di dalam 2 meter dari
permukaan tanah. Sementara Driessen dan Dudal, 1989 berpendapat bahwa
Spodosol juga dikenal sebagai tanah yang horison bawahnya mempunyai
kenampakan seperti abu, sebagai akibat dari pencucian asam organik yang kuat.
Pada prinsipnya Spodosols tersusun atas dua macam horison utama, yaitu horison
albik di bagian atas dan horison spodik di bagian bawah. Horison albik terbentuk
karena proses pencucian (elluviasi) yang intensif oleh asam organik sehingga
semua bahan-bahan mudah lapuk tercuci dan yang tertinggal hanyalah butir-butir
pasir kuarsa (Driessen dan Dudal, 1989). Horison ini merupakan tempat
terakumulasinya mineral-mineral yang tahan terhadap pelapukan (resisten) dan
bahan-bahan lainnya yang susah larut. Horison spodik terbentuk karena proses
podsolisasi, yang merupakan pergerakan larutan kompleks metal humus (chelate)
dari lapisan permukaan ke lapisan yang lebih dalam (cheluviation), kemudian
disusul oleh akumulasi (illuviasi) dari kelat Al dan Fe di horison spodik (Driessen
dan Dudal, 1989).
Spodosol atau yang lebih dikenal dengan Podzol adalah tanah dengan
Horizon spodik B, Horizon E albic dan tidak memiliki epipedon plagen, horizon
argilik dan horizon kandik, namun mungkin memiliki horizon sementasi seperti
fragipan, duripan atau plasenta (Staf Survei Tanah 2014). Distribusi Spodosol
terluas ada di bagian utara Rusia dan Kanada (Mc Cracken dkk., 1980). Di
Indonesia,Spodosol didistribusikan di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua,
2
dengan total luas sekitar 2,16 juta ha atau 1,1% dari luas daratan Indonesia
(Subagjo et al., 2000).
Tanah spodosol merupakan tanah yang miskin hara (Wiratmoko et al.
2007; Suharta dan Yatno, 2009). Hal ini dapat dilihat dari karakteristik kandungan
karbon (C) yang agak rendah (0,11-1,31%) dan agak tinggi (4,62%) pada horizon
spodik. Memiliki kandungan Nitrogen (N) rendah hingga agak rendah (0,10-
0,11%), rasio C/N agak rendah (0,10-0,11%) pada lapisan atas dan tinggi pada
lapisan spodik (46,2%). Memiliki fosfor (P) tersedia rendah (1-8 ppm) pada
seluruh lapisan, kapasitas tukar kation (KTK) tergolong rendah hingga sedang
pada seluruh horizon (7,64-14,98), kejenuhan basa (KB) rendah (1-3%) pada
seluruh lapisan, memiliki pH yang masam (pH 3,7-4,5) (Adiwiganda et al.1993).
Tanah spodosol memiliki dua faktor pembatas berat yang perlu menjadi
perhatian yaitu kedalaman lapisan spodik dan tekstur tanah berpasir. Kedalaman
lapisan spodik berkaitan dengan kemudahan akar dalam menembus tanah,
sedangkan tekstur tanah berpasir akan mengakibatkan rendahnya kemampuan
tanah dalam menahan air dan peluang tercucinya hara juga semakin besar. Faktor
pembatas lain yang berpotensi dapat menghambat pertumbuhan tanaman ialah
drainase buruk dan kemasaman tanah (Wiratmokoet al. 2007; Kasno dan Subarja,
2010).
Tanah spodosol memiliki potensi yang tergolong rendah dan jarang
digunakan untuk usaha pertanian. Menurut Koedadiri et al.(1995), tanaman kelapa
sawit yang ditanam di lahan spodosol pada umur 9 tahun memiliki produktivitas
yang rendah yaitu hanya berkisar 5,4 ton TBS/ha/tahun. Namun demikian, banyak
pekebun yang tetap memaksakan untuk menanam kelapa sawit pada tanah jenis
ini. Untuk itu, diperlukan tindakan kultur teknis yang tepat, agar tanaman kelapa
sawit yang di tanam pada lahan spodosol dapat tumbuh dan berproduksi dengan
optimal ( Randall,1996 ).
3
BAB II
TANAH SPODOSOL
2.1 Klasifikasi Tanah Spodosol
Setiap kategori nama tanah mempunyai arti. Oleh karena itu, nama
klasifikasi tanah akan merupakan gabungan dari beberapa suku kata, dan setiap
suku kata akan merupakan penjelasan dari sifat dan karakteristik tanahnya.
Sebagai contoh suku kata od adalah kependekan Spodosols pada tingkat ordo.
Spodosols didefinisikan sebagai tanah mineral yang dicirikan oleh adanya horison
B spodik, dan tidak mempunyai horison argilik atau kandik di atas horison
tersebut (Soil Survey Staff, 2014).
Aquods adalah Spodosols yang mempunyai rejim kelembaban tanah akuik
atau secara artificial sudah didrainase dan mempunyai sifat morfologi yang
menunjukkan adanya sifat akuik. Enam greatgrup Aquods dibedakan berdasarkan
kandungan besi larut dengan amonium oksalat <0,1% (Alaquods), mempunyai
fragipan (Fragiaquods), horison plakik (Placaquods), duripan (Duraquods); sifat
akuik di lapisan atas (Epiaquods), atau di lapisan bawah (Endoaquods). Faktor
pembatas penggunaan lahan pada greatgrup Aquods adalah tekstur kasar, drainase
terhambat, fragipan, duripan, dan horison plakik (Soil Survey Staff, 2014).
Humods adalah Spodosols berdrainase baik dengan kandungan C-organik
pada horison spodiknya 6% dengan ketebalan 10 cm. Empat greatgrup Humods
dibedakan berdasarkan adanya horison plakik (Placohumods), duripan
(Durihumods), fragipan (Fragihumods) atau lainnya (Haplohumods). Berdasarkan
karakteristiknya, maka tekstur kasar, horison plakik, duripan, dan fragipan akan
merupakan faktor pembatas penggunaan lahannya. Kecuali Haplohumods,
penggunaan lahannya akan dibatasi oleh teksturnya yang kasar (Soil Survey Staff,
2014).
Orthods adalah Spodosols yang berdrainase baik dan kandungan C-
organik pada horison spodik <6%. Lima greatgrup Orthods dibedakan
berdasarkan adanya horison plakik (Placorthods), duripan (Durorthods), fragipan
(Fragiorthods), kandungan besi diekstrak dengan amonium oksalat <0,1%
(Alorthods), atau lainnya (Haplorthods). Greatgrup Placorthods, Durorthods, dan
Fragiorthods, pemanfaatan lahannya selain dibatasi oleh teksturnya yang kasar,
4
juga dibatasi oleh adanya lapisan pembatas perakaran berupa horison plakik,
duripan atau fragipan. Greatgrup Alorthods mempunyai drainase baik akan tetapi
miskin bahan mineral (Fe), sedangkan Haplorthods mempunyai karakteristik lebih
baik karena tidak mempunyai lapisan pembatas perakaran, kandungan bahan
mineralnya (Fe) >0,1%, dan bertekstur kasar (Soil Survey Staff, 2014).
2.2 Proses Pembentukan Tanah spodosol
Proses Podzolization yang menghasilkan profil tanah asam (Spodosols)
sangat kuat diekspresikan pada tanah berpasir dan berpasir di bagian utara
Michigan bagian bawah (Gardner dan Whiteside 1952; Brewer 1982). Podzolisasi
adalah istilah yang diterapkan pada rangkaian proses pelepasan asam yang
menghasilkan profil tanah Podzol atau Spodosol (DeConinck 1980; Ugolini dan
Dahlgren 1987). Proses ini paling baik diekspresikan di tanah bertekstur kasar
(Gardner dan Whiteside 1952; Messenger et al 1972; Vance et al 1986). Proses
podzolisasi dapat diringkas sebagai berikut: (1) pembusukan bahan organik di
horizon atas (0 dan A) menghasilkan asam yang mampu mengkelat kation Fe dan
A1, sehingga membuat mereka bergerak dalam profil tanah dan (2) kompleks
organologam ini translokasi Ke dalam horizon B dan diendapkan (Messenger et al
1972; De Coninck 1980; Vance et al 1986; Ugolini dan Dahlgren 1987). Tanah
yang dihasilkan memiliki horizon E yang keputihan habis dari Fe dan Al, yang
menutupi horizon coklat spodik (B) coklat tua yang telah mengalami illuviation
(keuntungan) Fe dan A1 (Elliott 1953). Perekatan vertikal air melalui profil tanah
adalah kekuatan pendorong di balik translokasi kompleks organo-metalik.
Perbandingan regional pengembangan tanah di bawah iklim yang berbeda di
Finlandia menunjukkan bahwa podzolisasi meningkat dengan meningkatnya
"kelembaban iklim" dan pencucian (Jauhiainen 1973).
Akumulasi bahan organik pada horison A dihasilkan dari deposisi litter di
permukaan tanah dan bergabungnya aktivitas fauna tanah dalam pelapukan bahan
organik tersebut. Pada tahap pertama, podsolisasi akan berlangsung apabila cukup
besi dan aluminium pada horison permukaan dan imobilisasi akan segera terjadi
di dekat permukaan tanah. Dengan demikian terbentuklah horison B spodik yang
dangkal. Mookma dan Buurman (1982) selanjutnya mengemukakan, dengan
waktu horison B akan bergerak lebih dalam. Kandungan besi dan aluminium pada
5
et al., 1980). Mineral phylosilikat pada horison B dan C umumnya sangat lemah
hingga tidak ada. Hasil penelitian Prasetyo et al. (2006) pada Arenic Alorthods
menunjukkan walaupun susunan mineral fraksi pasir didominasi oleh kuarsa
dengan kandungan mendekati 100%, dalam fraksi liat horison eluviasi masih
dijumpai adanya mineral phylosilikat seperti kaolinit, illit, dan vermikulit,
sedangkan pada horison iluviasi, kaolinit dijumpai dalam jumlah lebih
tinggi.Perbedaan susunan tersebut terjadi sebagai akibat adanya perbedaan bahan
induk tanah dan atau tingkat perkembangan/derajat pelapukannya.
Adanya bahan-bahan amorf pada horison B spodik, diperlihatkan oleh
hasil penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian (2008) pada Spodosols dataran tinggi plateau Toba. Jumlah persentase
Al+Fe yang diekstrak dengan NH4-oksalat pada horizon B spodik mencapai
nilai 13,01 atau >2,0,sebagai kriteria untuk tanah yang mempunyai sifat andik
atau mengandung bahan-bahan amorf. Hasil serupa dikemukakan oleh Prasetyoet
al. (2006) yang mengemukakan tidak tajamnya pola difraksi pada Spodosols
Kutai Kertanagara disebabkan oleh adanya bahan amorf pada horison spodik
tersebut.
10
BAB III
PENYEBARAN,POTENSI DAN PERMASALAHAN
Spodosol terutama didistribusikan di daerah-daerah yang kaya pasir kuarsa
dengan fluktuasi air tanah dangkal (Mc. Keague et al 1983; Staf Survei Tanah
2014). Spodosol di daerah tropis lembab umumnya ditandai oleh kandungan
mineral lapang yang rendah dan memiliki horizon albic E yang bisa mencapai
setebal 200 cm (Buurman 1986). Di daerah pegunungan atau dataran tinggi,
Spodosol dapat ditemukan pada bahan induk yang kaya secara kimiawi, iklim
yang terus-menerus basah, namun suhu rendah karena ketinggian tinggi (Mohr et
al 1972). Kondisi ini berlaku untuk Toba Spodosols, yang berasal dari bahan
vulkanik yang kaya akan mineral cuaca, iklim basah, dan suhu rendah karena
ketinggian tinggi (> 1600 m dpl). Spodosol dataran tinggi Toba memiliki
karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan Spodosol umum di daerah
dataran rendah. Di daerah dataran rendah, Spodosol umumnya berasal dari
endapan pasir kuarsa, kekurangan mineral cuaca, dan terjadi pada suhu yang lebih
tinggi .
Secara fisiografis, tanah ini dijumpai di dataran pantai baik berupa dataran
pasir pantai maupun sand dune, di dataran aluvial atau koluvial, di dataran
tektonik atau plateau batupasir. Spodosols di dataran pantai dicirikan oleh relief
datar hingga agak berombak, sedangkan yang terbentuk di sand dune mempunyai
relief bergelombang atau berbukit kecil. Penyebarannya dijumpai di Provinsi
Kalimantan Timur (Suharta et al., 1998; 2000; Hikmatullah et al., 2000; Suharta
dan Suratman, 2001), Kalimantan Barat (Suharta dan Suratman, 2004), dan
Kalimantan Selatan (Suharta et al., 1999). Spodosols di dataran aluvial atau
koluvial menyebar di Provinsi Kalimantan Barat (Lembaga Penelitian Tanah,
1973; Puslittan, 1985; Suharta dan Suratman, 2004), Kalimantan Timur
(Hikmatullah et al., 2000; Suharta dan Suratman, 2001), Kalimantan Selatan
(Suharta et al., 1999), dan Kalimantan Tengah (Puslittanak, 2000). Spodosols di
daerah plateau batupasir dengan relief datar hingga agak berombak dijumpai di
Provinsi Kalimantan Barat (Puslittan, 1985; Suharta dan Suratman, 2004). Di
dataran tinggi, tanah ini dijumpai di sebelah barat Danau Toba pada ketinggian
>1.500 m dpl, dan terbentuk dari bahan pasir volkan masam (BBSDLP, 2008).
11
cukup tinggi untuk dapat berproduksi dengan baik. Oleh karena itu, dalam jangka
panjang pemanfaatan Spodosols secara ekonomi kurang menguntungkan. Nenas
di Kalimantan Barat diusahakan pada podosols dengan horison A cukup tebal dan
kaya akan bahan organik. Penyebaran tanah ini dijumpai berdampingan atau
berasosiasi dengan tanah Gambut (Histosols)(Suharta,2009).
Dengan berbagai sifat fisika dan kimia yang menjadi karakteristiknya,
Spodosol dikategorikan sebagai tanah yang kurang subur baik untuk tanaman
pangan maupun perkebunan. Walaupun demikian, peluang pemanfaatan tanah
Spodosol untuk pengembangan komoditi perkebunan khususnya kelapa sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) masih terbuka lebar dengan memanfaatkan teknologi
yang tepat dan dilakukan dengan pengawasan teknis yang baik. Pengawasan yang
baik harus dilakukan sehubungan dengan rekomendasi para ahli untuk menjadikan
tanah Spodosol sebagai lahan konservasi termasuk sifat tanah Spodosol yang
sangat mudah mengalami erosi terutama setelah dilakukan pembukaan lahan.
Dengan tingkat kesuburan tanah Spodosol yang rendah, pemilihan jenis tanaman
perkebunan yang akan diusahakan sangat bergantung pada kemampuan
adaptasinya. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) memiliki
kemampuan adaptasi yang baik pada berbagai lingkungan termasuk pada kondisi
kesuburan tanah yang rendah. Sebagai tanaman yang mampu beradaptasi dengan
baik, kelapa sawit sangat toleran terhadap ketidaksesuaian dalam penanganannya
dan pertumbuhannya dapat segera pulih dengan baik dari stress akibat pindah
tanam, kekeringan, kebakaran dan gangguan lainnya (Turner, P.D 2003). Dengan
memanfaatkan kemampuan adaptasi yang tinggi dari kelapa sawit, diperlukan
suatu kajian karakter tanah Spodosol untuk memaksimalkan kemampuan adaptasi
tersebut sehingga kesesuaian lahan Spodosol untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman kelapa sawit meningkat ( Randall,1998 ).
Tanah Spodosol dengan tekstur pasir lepas dan kandungan C-organik yang
rendah akan cepat mengalami kekeringan pada periode dimana curah hujan
rendah sebagaimana terjadi pada tahun 2009 dimana curah hujan bulanan < 100
mm selama lima bulan berturut- turut (bulan Juni hingga Oktober) sehingga tanah
tidak mampu memegang air (low water holding capacity). Tekstur dan kandungan
C-organik yang rendah seperti ini dapat menyebabkan kehilangan beberapa jenis
14
unsur hara makro dan air melalui penguapan (evaporasi). Kurangnya air akan
mengganggu metabolisme tanaman yang berarti pemupukan yang diberikan tidak
akan tersedia secara optimal dan cepat untuk pertumbuhan tanaman (
Surianto,2015 ).
Penggunaan Spodosols untuk lahan pertanian maupun hutan sangat
tergantung pada sifat fisik dan kimia tanahnya, yang diketahui mempunyai kisaran
karakteristik yang cukup lebar sehingga diperlukan adanya kehati-hatian dalam
memilih tanah-tanah tersebut baik untuk pertanian maupun kehutanan. Salah satu
sifat fisik yang sangat menonjol pada Spodosols adalah teksturnya yang kasar
dengan struktur butir tunggal, dan sangat sedikit fraksi debu dan liat. Kondisi ini
akan berakibat pada rendahnya kemampuan tanah meretensi air (rawan
kekeringan) dan rendahnya kemampuan tanah meretensi hara (hara mudah
tercuci). Kemampuan mengikat hara yang rendah seperti diindikasikan oleh nilai
KTK tanah yang rendah, akan memberikan implikasi terhadap ketersediaan hara
yang berasal dari pupuk yang akan hilang tercuci bersama air perkolasi. Oleh
karena itu, peningkatan daya meretensi air dan hara untuk kebutuhan tanaman
adalah merupakan kunci utama dalam rangka meningkatkan kualitas tanah
Spodosols. Kemampuan Spodosols mengikat P sangat tergantung pada kandungan
bahan organik. Arbestain et al. (2002) mengemukakan bahwa horison Bh atau
Bhs yang kaya bahan organik mampu meretensi P lebih tinggi daripada horison
Bs atau Bsh dengan kandungan bahan organik lebih rendah (Suharta,2009 ).
Sifat kimia Spodosols menunjukkan tanah bereaksi masam, basa-basa
dapat tukar sangat rendah, miskin unsur hara (P dan K), kapasitas tukar kation
sangat rendah dan cadangan mineral sangat rendah. Hal tersebut adalah
biasakarena sebagian besar Spodosols terbentuk dari bahan induk yang miskin
hara dan bersifat masam. Oleh karena itu, kesuburan tanah Spodosols akan sangat
tergantung pada kandungan bahan organik tanah di lapisan atas. Spodosols yang
terbentuk dari batuan sedimen batu pasir atau pasir volkan masam,
memperlihatkan kesuburan kimia tanah yang lebih baik dibandingkan dengan
Spodosols dari bahan induk endapan pasir kuarsa(Suharta,2009 ).
Ketersediaan hara dan cadangan mineral yang rendah pada Spodosols
mensyaratkan perlunya ada penambahan hara untuk kebutuhan pertumbuhan
15
KESIMPULAN
1. Spodosol adalah tanah mineral yang mempunyai horison spodik yang
batas atasnya berada di dalam 2 meter dari permukaan tanah. Lebih lanjut
Spodosol juga dikenal sebagai tanah yang horison bawahnya mempunyai
kenampakan seperti abu, sebagai akibat dari pencucian asam organik yang
kuat.
2. Sifat fisik Spodosols yang mudah dikenali di lapangan adalah tekstur
tanahnya yang kasar (pasir hingga pasir berlempung), struktur tanah butir
tunggal/pasir kuarsa dengan konsistensi lepas,
3. Sifat kimia penting dari Spodosols adalah reaksi tanah masam hingga
sangat masam..
4. Penggunaan Spodosols untuk lahan pertanian maupun hutan sangat
tergantung pada sifat fisik dan kimia tanahnya, yang diketahui mempunyai
kisaran karakteristik yang cukup lebar.
5. Di Sumatera Utara, Spodosols masih dimanfaatkan untuk HTI (Hutan
Tanaman Industri),Pemanfaatan Spodosols untuk perkebunan karet,
dijumpai di Kalimantan Barat. Untuk tanaman pangan antara lain untuk
tanaman hortikultura buah-buahan (pepaya) di Kalimantan Timur dan
nenas di Kalimantan Barat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Jauhiainen, E. 1973 dalam Randall J , And Scott A. Hard . 1998. The Distribution
Of Spodosol Soils In Southern Michigan: A Climatic
Interpretation.Department Of Geography, Michigan State University,
East Lansing, MI 48824-1115.
Mc Cracken, R..J, F. D Hole, and S.W.Buol. 1980. Spodosols. In: Soil Genesis
and . II. Lowa State University Press. Ames USA.
Soil Survey Staff. 2014. Keys to Soil Taxonomy, United States Department of
Agriculture, Twelfth Edition.