You are on page 1of 31

Asuhan Keperawatan pada An.

R dengan Pneumonia
di Ruang Kanthil Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas

Disusun Oleh :

KELOMPOK 1

TRI ZUNIATI
SEVI NURMALITA
DONI NOVRILIADI
SARAH RASMITA
SRI HANDAYANI
APIT NURJANAH
KURDIANINGSIH
JUNIANTO

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia merupakan proses inflamasi parenkim paru yang terjadi
pengisian rongga alveoli dan eksudat, yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan benda benda asing ( Ardiansyah, 2012). Salah satu penyebab
kematian pada anak usia balita karena infeksi adalah penyakit pneumonia. Setiap
tahun pneumonia membunuh sekitar 1,6 juta anak balita. (WHO, 2009). Sekitar
80% dari seluruh kasus baru praktek umum berhubungan dengan infeksi saluran
napas yang terjadi di masyarakat (Pneumonia komunitas). Pneumonia yang
merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di parenkim paru yang
serius dijumpai sekitar 15-20% (Rahardjoe, 2008). Meskipun penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada Daerah berkembang akan tetapi di Negara majupun
ditemukan kasus, yang cukup signifikan.
Berdasarkan umur Pneumonia dapat menyerang siapa saja, meskipun
lebih banyak ditemukan pada Balita. Dalam penentuan klasifikasi penyakit
Pneumonia pada Balita, yaitu kelompok umur 2 bulan - <5 tahun dan kelompok
umur <2 bulan (Depkes RI, 2005).
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang
terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir di
seluruh dunia. Di Inggris Pneumonia menyebabkan kematian 10 kali lebih
banyak dari pada penyakit infeksi lain, sedangkan di AS merupakan penyebab
kematian urutan ke-15 (Susilaningrum, 2013). Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi Nasional
ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka nasional), angka kesakitan (morbidita)
Pneumonia pada Bayi: 2,2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi
23,8%, dan Balita 15,5% (Depkes RI, 2007). Pneumonia pada balita dapat
terjadi tanpa kelainan imunitas yang jelas.
Persentase pneumonia di Indonesia pada tahun 2008 meningkat hingga
mencapai 49,45%. Tahun 2009 sebanyak 49,23% dan tahun 2010 menurun
hingga mencapai 39,38% dari jumlah balita di Indonesia (Depkes RI, 2012). Di
Jawa Tengah, cakupan penemuan kasus pneumonia balita setiap tahun
mengalami penurunan dari target nasional. Pada tahun 2009 penemuan kasus
pneumonia menjadi 25,69% dan target penemuan kasus pneumonia nasional
sebesar 86%. (Dinkes Jateng, 2009).
Namun pada kebanyakan pasien anak-anak yang menderita Pneumonia
didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan
tubuh. Frekuensi relative terhadap Mikroorganisme petogen paru bervariasi
menurut lingkungan ketika infeksi tersebut didapat. Misalnya lingkungan
masyarakat, sanitasi fisik rumah, panti perawatan, ataupun rumah sakit. Selain
itu faktor iklim dan letak geografis mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi
penyakit ini (Susilaningrum, 2013).
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan
yang bisa menimbulkan kematian terutama pada anak usia balita. Dalam hal ini
kami tertarik menyajikan studi kasus dalam bentuk asuhan keperawatan dengan
judul Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Gangguan Sistem Pernafasan :
Pneumonia di Ruang Kantil RSUD Banyumas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka Bagaimanakah asuhan keperawatan yang
benar pada An. R dengan gangguan sistem pernapasan : Pneumonia di Ruang Kantil
RSUD Banyumas ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui konsep teori dan asuhan keperawatan pada pasien anak
dengan Pneumonia.
2. Tujun Khusus
a. Mengetahui definisi dari pneumonia anak
b. Mengetahui penyebab (etiologi) pneumonia
c. Mengetahui klasifikasi pneumonia
d. Mengetahui tanda dan gejala pneumonia pada anak
e. Mengetahui patofisiologi dan pathway pneumonia
f. Mengetahui pemeriksaan penunjang pneumonia
g. Mengetahui komplikasi pneumonia pada anak
h. Mengetahui penatalaksanaan dan pencegahan pneumonia pada anak
i. Mengetahui proses asuhan keperawatan pada pneumonia
1. Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode deskriptif dengan pembahasan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.
2. Cara pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penyusunan makalah klien dengan pneumonia
diperoleh dari berbagai studi literartur yang ada.
3. Manfaat
Menambah ilmu pengetahuan dalam penatalaksaan asuhan keperawatan pada anak
dengan pneumonia
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Definisi Pneumonia

Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang disebabkan


oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab non-
infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat (Bradley et.al., 2011).

Pneumonia merupakan proses inflamasi parenkim paru yang terdapat


konsolidasi dan terjadi pengisian rongga alveoli yang disebabkan oleh bakteri, virus,
jamur, dan benda asing. Pneumonia bisa disebabkan oleh terapi radiasi, bahan
kimia, dan aspirasi. Pneumonia radiasi dapat menyertai radiasi untuk kanker
payudara atau paru, pneumonia kimiawi terjadi setelah menghirup kerosin atau
inhalasi gas. (Mutttaqin, 2008).

2. Epidemiologi Pneumonia pada Anak-anak

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di Amerika
pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada anak di
bawah umur 2 tahun (Bradley et.al., 2011).

3. Etiologi Pneumonia

Penyebab pneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al., 2011) :

a. Faktor Infeksi

Pada : Streptokokus group B, Respiratory Sincytial


neonatu Virus (RSV).
s

Pada : - Virus : Virus parainfluensa, virus


bayi influenza, Adenovirus,
RSV, Cytomegalovirus

- Organisme : Chlamidia
atipikal trachomatis,Pneumocytis.

- Bakteri : Streptokokus
pneumoni, Haemofilus
influenza, Mycobacterium
tuberculosa, Bordetellapertusis
.

Pada : - Virus : Parainfluensa, Influensa


anak- Virus,Adenovirus, RSV
anak

- Organisme : Mycoplasma pneumonia


atipikal

- Bakteri : Pneumokokus, Mycobakteriu


m tuberculosis

Pada : - Organisme : Mycoplasma pneumonia, C.


anak atipikal trachomatis
besar
dewasa
muda

- Bakteri : Pneumokokus, Bordetella


pertusis, M. tuberculosis

b. Faktor Non Infeksi


Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :

i. Bronkopneumonia hidrokarbon :

Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde


lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan
bensin).

ii. Bronkopneumonia lipoid :

Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara


intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang
mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis, pemberian
makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis.
Keparahan penyakit tergantung pada jenis minyak yang
terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung asam lemak
tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan minyak
ikan.

Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh


untuk terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada
penderita-penderita penyakit yang berat seperti AIDS dan respon
imunitas yang belum berkembang pada bayi dan anak merupakan
faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.

4. Klasifikasi Pneumonia

Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan
pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara
klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).

Berdasarkan lokasi lesi di paru

a. Pneumonia lobaris
b. Pneumonia interstitialis

c. Bronkopneumonia

Berdasarkan asal infeksi

a. Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia =


CAP)

b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)

Berdasarkan mikroorganisme penyebab

a. Pneumonia bakteri

b. Pneumonia virus

c. Pneumonia mikoplasma

d. Pneumonia jamur

Berdasarkan karakteristik penyakit

a. Pneumonia tipikal

b. Pneumonia atipikal

Berdasarkan lama penyakit

a. Pneumonia akut

b. Pneumonia persisten

5. Patofisiologi Pneumonia

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim


paru. Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan
awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel.

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme
pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan
pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.

Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif jaringan


ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau intersisial. Pneumonia
bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran pembuluh darah,
eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi neutrofil, yang
dikenal dengan stadium hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan menyebabkan
penurunan compliance paru dan kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran fisiologis
(ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan kerja
jantung.

Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan disintegrasi


progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu). Pada kebanyakan kasus, resolusi
konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara enzimatik untuk
selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui batuk. Apabila infeksi bakteri
menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi intrapleura menyebabkan terjadinya
empyema. Resolusi dari reaksi pleura dapat berlangsung secara spontan, namun
kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan ikat dan pembentukan
perlekatan (Muttaqin, 2008).

Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):

a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)


Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan
alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini
dalam darah paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)

Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih


mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)

Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

6. Manifestasi Klinik Pneumonia

Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran


nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai
39-40C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat
gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal
penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya
berupa batuk kering kemudian menjadi produktif (Bennete, 2013). Dalam
pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya bronkopneumonia ditemukan
hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):

a. Pada inspeksi terlihat setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik,


interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.

Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah


retraksi dinding dada; penggunaan otot tambahan yang terlihat dan
cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan pernafasan yang berlawanan.
Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi melawan
resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian yang
mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan sub
kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya, ruang
interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura yang
semakin positif. Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir
dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan
anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan pergerakan
fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang paling
dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada infant, kontraksi
otot ini terjadi akibat head bobbing, yang dapat diamati dengan jelas
ketika anak beristirahat dengan kepala disangga tegal lurus dengan area
suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres pernapasan yang lain pada
head bobbing, adanya kerusakan sistem saraf pusat dapat dicurigai.

Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya


distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan
napas atas dan keseluruhan. Selain itu dapat juga menstabilkan jalan
napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.

b. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.

Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran
fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan
infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan
berkurang.

c. Pada perkusi tidak terdapat kelainan

d. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.

Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan
berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka
7. Kriteria Diagnosis Pneumonia

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley et.al.,


2011):

a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan


dinding dada

b. Panas badan

c. Ronkhi basah halus-sedang nyaring (crackles)

d. Foto thorax meninjikkan gambaran infiltrat difus

e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan


limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)
8. Pathway Pneumoni
BAB III
PENGKAJIAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

Kelompok :1 Diagnosa : Pneumonia


Tempat praktik : Ruang Kanthil Masuk RS : 17 Mei 2017
Tanggal pengkajian : Kamis, 18 Mei 2017 BB : 7,3 kg

I. IDENTITAS
Nama : An. R
TTL : Banyumas, 24 April 2016
Usia : 13 bulan (1 tahun 1 bulan)
Pendidikan : Belum sekolah
Alamat : Karangrau, RT 02/ RW 05 Kec. Banyumas
Agama : Islam
Nama ayah/ibu : Tn.R
Pekerjaan ayah : Buruh
Pendidikan ayah : SD
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
II. KELUHAN UTAMA
1. Keluhan utama : sesak nafas
2. Keluhan tambahan : batuk, demam.
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Lima hari sebelum datang ke rumah sakit, ibu pasien mengatakan
anaknya batuk, namun dahak sulit keluar. Pasien juga mengalami demam naik
turun. Pasien sudah diperiksakan ke bidan desa, dan diberi paracetamol serta obat
batuk. Karena tidak ada perubahan, pasien dibawa ke IGD RSUD Banyumas
tanggal 17 Mei 2017 pukul 11.33 WIB. Pasien mendapat terapi O2 nasal kanul, 1
L/menit, injeksi Ampicilin 100 mg, Nebulizer Nacl 0,9%/8 jam. Saat ini pasien
dirawat inap di ruang Kanthil.
IV. RIWAYAT MASA LAMPAU
1. Prenatal tidak ada keluhan saat hamil, maka dari itu ibu tidak pernah melakukan
ANC di Bidan desa maupun Puskesmas. An.R lahir fullterm (9 bulan). Tidak
mendapatkan obat maupun suplemen saat hamil.
2. Natal (tindakan persalinan: normal di sungai). Kepala sangat lonjong saat lahir.
3. Postnatal (kondisi kesehatan: Sindrom Alport, kelainan konginetal: sindaktili
pada jari-jari kaki dan tangan kanan kiri, APGAR Score: tidak ada data, BBL:
2500 g, PBL: ibu mengatakan lupa.
4. Penyakit waktu kecil : baru pertama kali sakit.
5. Pernah dirawat di RS : -
6. Obat-obatan yang pernah digunakan: tidak ada, hanya yang diberikan di IGD.
7. Alergi : tidak ada
8. Kecelakaan : tidak pernah
9. Imunisasi: imunisasi folio, Hepatitis B, dan BCG saat lahir.
V. RIWAYAT KELUARGA (disertai genogram)
Keluarga tidak ada penyakit yang sama.

Gambar genogram (tulis tangan):

VI. RIWAYAT SOSIAL


1. Yang mengasuh dan alasannya : ibu, dan kakak-kakaknya karena serumah.
Ayah bekerja, namun jika dirumah juga ikut mengasuh.
2. Pembawaan secara umum: aktif, suka mengejar bola.
3. Lingkungan rumah (kaitannya dengan kebersihan: baik, ancaman keselamatan
anak: tidak ada, ventilasi: ada dan posisi/ letak barang-barang: aman).
VII. KEADAAN KESEHATAN SAAT INI
1. Diagnosa medis : Pneumonia dan Sindrom Alport
2. Tindakan operasi : tidak ada
10. Obat-obatan :
- Ampicilin 200 mg/6 jam
- Gentamicin 40 mg/24 jam
- Paracetamol 10-15 mg/kgBB/4-6 jam jika suhu > 37,50C.
3. Tindakan keperawatan :
- Nebulizer Combivent/ 8 jam
- Sonde lambung ASI + PASI 70 cc/ 3 jam
- Kolaborasi pemberian O2 nasal kanul 1 L/menit
- Kolaborasi terapi medikasi.
4. Hasil laboratorium :

Jenis Hasil Satuan Nilai normal Intepretasi


WBC 15,1 103/uL 3,7-10,1 H
Neutrofil 9,90 % 1,63-6,96 H
Lymfosit 4,23 % 1,09-2,97 H
Monosit 0,807 % 0,240-0,790 H
Eosinofil 0,022 % 0,03-0,40 L
Basofil 0,016 % 0,00-0,80 Normal
RBC 4,62 106/uL 4,06-4,69 Normal
Hemoglobin 10,2 g/dL 12,9-14,2 L
Hematocrit 33,4 % 37,7-53,7 L
MCV 72,2 fl 81,1-96,0 L
MCH 22,2 pg 27-31,2 L
MCHC 30,7 g/dL 31,8-35,4 L
RDW 13,7 % 11,5-14,5 Normal
PLT 219 103/uL 155-366 Normal
MPV 5,83 fl 6,9-10,6 L

5. Hasil CT scan kepala : dalam batas normal


6. Data tambahan : tidak ada
VIII. PENGKAJIAN POLA FUNGSIONAL (GORDON)
1. Persepsi kesehatan dan pola manajemen kesehatan
Ibu pasien mengatakan An.R lahir normal dengan BB 2,5 kg. Pasien sudah
dilakukan imunisasi setelah lahir. Kepala pasien saat lahir sangat lonjong. Saat
hamil, ibu pasien tidak pernah memeriksakan kandungannya di Bidan, jadi
tidak mendapat obat-obatan.

2. Nutrisi-pola metabolik
Sebelum di RS: sebelum dibawa ke RS, pasien minum ASI secara rutin, pasien
sudah mendapatkan makanan tambahan seperti nasi dan buah-buahan, sejak 7
bulan.
Saat di RS: saat sakit, pasien mendapat diit ASI+PASI 70 cc/3 jam.

3. Pola eliminasi
Sebelum masuk RS: pasien BAB 2x sehari, BAB warna kuning kecoklatan,
lembek, tidak terdapat darah dalam feses. Pasien BAK 7-8x/hari, tidak nyeri
saat BAK, warnanya kunig, bau biasa, tidak ada darah dalam air kencing.
Saat di RS: pasien menggunakan diapers dari pukul 22.00-08.00 nberat diapers
50 ons.

4. Aktivitas-pola latihan

Sebelum di RS: pasien sering bermain dan menggenggam bola, dan mandi 2
kali sehari menggunakan sabun bayi.

Saat di RS: pergerakkan ekstremitas pasien di atas bed aktif, mata melihat ke
arah orang yang mendatanginya.
5. Pola istirahat-tidur
Sebelum sakit,pasien tidur 16 jam/hari. Sering ngompol di malam hari,
posisi tidur miring. Saat di RS, pasien tidur 15 jam/hari, sering terbangun
karena batuk. Pola tidur orang tua, mengikuti An.R, jika pasien terbangun,
orang tua juga ikut bangun.

6. Pola kognitif-persepsi
Pasien merespon ketika ada rangsang suara, objek, dan sentuhan dengan
cara menoleh dan mengikuti objek dengan matanya. Keluarga tidak
memiliki permasalahan dengan penglihatan, pendengaran, dan sentuhan.

7. Persepsi diri-pola konsep diri


Status mood pasien cukup baik, pemahaman anak terhadap identitas diri,
konsep diri, dan kompetensi tidak dapat dikaji. Pasien memiliki banyak
teman di rumah. Orang tua mengatakan bahagia bisa menjadi orang tua
ketujuh anaknya.

8. Pola peran-hubungan
Pasien memiliki kedua orang tua, 6 orang kakak. Stresor dalam keluarga
pasien adalah pasien dirawat di RS. Interaksi antar anggota keluarga baik,
orang tua juga mengatakan puas menjadi orang tua.

9. Seksualitas

Kepuasan pasien terhadap gender (tidak terkaji). Orang tua tidak memiliki
masalah berkaitan dengan seksualitas dan penyakit alat reproduksi.

10. Koping-pola toleransi stres


Penyebab stres pada anak jika terasa sesak napas dan lapar. Cara orang tua
menanganinya dengan mengajak bicara dan memberi minum ASI. Jika terdapat
masalah di rumah, orang tua membicarakannya dengan cara musyawarah.

11. Nilai-pola keyakinan


Perkembangan moral anak pemilihan perilaku, dan komitmen belum dapat
dikaji. Keyakinan anak tentang kesehatan dan agamanya juga belum bisa dikaji.
Orang tua selalu berdoa untuk kesembuhan anaknya dan berharap dokter dan
perawat dapat merawat anaknya dengan baik.

IX. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum
Pasien lemah, composmentis
TTV : Nadi = 138x/menit, RR=29x/menit Suhu=38,40C
PB: 74 cm, BB: 7,3 kg
BB/PB : -3 : sangat kurus
2. Kepala
Bentuk kepala hidocepalus, tidak ada luka, tidak ada massa, bersih. Pasien
dapat mengangkat kepala, tidak ada kaku kuduk.
Warna rambut hitam, tidak mudah tercabut
Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Ubun-ubun datar, LK= 43 cm.
3. Mata
Mata mengalami eksoftalmus
Sklera tidak ikterik, tidak ada perdarahan
Konjungtiva tidak anemis
Pupil 2mm, reflek terhadap cahaya
Gerakan boal mata kanan dan kiri simetris, pasien mampu menengok ke atas
bawah, kanan kiri.
4. Telinga
Posisi simetris kanan kiri, bersih, tidak ada benda asing atau pun infeksi
pada membran timpani/ dinding telinga, pasien mampu mendengar dengan
baik.
5. Hidung
Simeris, bilateral
Ada pernapasan cuping hidung
Terpasang O2 nasal kanul 1 L/menit
Mukosa hidung tidak merah ataupun bengkak
6. Mulut dan tenggorokan
Warna agak pucat, mukosa bibir lembab, gusi dan palatum bersih, uvula dan
tonsil tidak mengalami pembesaran.
7. Dada/toraks
Inspeksi : simetris, gerakan reguler.
Memeriksa paru-paru: letak paru normal, apeks di sela iga 3, basis di
anterior sela iga 8 dan basis posterior di sela iga 2. Pernapasan 60x/menit,
irreguler, sulit, suara ronki basah. SPO2=98%.
Palpasi: tidak ada krepitasi pada costa.
Perkusi: resonan
Auskultasi: vesikuler dan ronki pada kedua lapang paru.
8. Jantung
Inspeksi:Tidak ada penonjolan dinding dada
Palpasi: point maksimum di sela iga ke-4 CPR< 2 detik.
Auskultasi: ireguler, HR: 138x/menit

9. Abdomen
Tidak asites, umbilikus bersih.
Bising usus 5 x/menit
Hepar teraba, tidak hepatomegali
Limfa teraba, tidak splenomegali
10. Kulit
Temperatur hangat, tidak sianosis, elasititas baik.
11. Ekstremitas
Gerakan ekstremitas aktif
Sindaktili di semua ekstremitas atas bawah
Bentuk kaki simetris
Reflex babinski ada
12. Genitalia dan anus
Pasien berjenis kelamin laki-laki
Gland penis tidak deformitas, meatus uretra normal, skrotum tidak terdapat
hernia.
Anus berlubang dan bersih
Tidak ada iritasi sekitar anus

X. PEMERIKSAAN PERKEMBANGAN
Gunakan Denver II untuk mengkaji perkembangan anak usia 0-6 tahun
1. Kemandirian dalam bergaul: pasien sudah bisa tepuk tangan, menyatakan
keinginan, daag-daag dengan tangan, main bola dengan pemeriksa, menirukan
kegiatan, namun belum bisa minum dengan cangkir.
2. Motorik halus: pasien dapat membenturkan dua kubus, menaruh kubus
dicangkir, danmencoret-coret.
3. Kognitif dan bahasa: pasien dapat mengoceh, memanggil papa mama, dan
berkata 1 kata.
4. Motorik kasar: pasien dapat berdiri 2 detik, berdiri sendiri, membungkuk
kemudian berdiri.
Hasil An.R normal pada setiap fase kecuali kemadirian dalam bergaul yaitu
delay (1), advance (0). Jadi, kesimpulannya An.R tidak mengalami gangguan
perkembangan.

XI. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hasil pemeriksaan CT Scan kepala: dalam batas normal
XII. INFORMASI LAIN
XIII. RINGKASAN RIWAYAT KEPERAWATAN
Anak mengalami pneumonia sehingga diperlukan tindakan untuk mengeluarkan
sekret dan mengoptimalkan pernapasannya.
XIV. PATHWAYS KASUS (tulis tangan)
XV. ASUHAN KEPERAWATAN
A. Analisa Data
DATA ETIOLOGI MASALAH
S: Infeksi. Ketidakefektifan jalan
ibu pasien mengatakan napas
bahwa pasien mengeluh
sesak napas.
O:
- RR : 65x/menit
- Retraksi subcostal
dan intracostal
- Ronki basah di
kedua lapang paru
- Diagnosa medis :
pneumoni
S: Penyakit Hipertermi
Keluarga pasien
mengatakan anaknya
panas
O:
Suhu :
- Suhu 38,40 C
- Akral teraba hangat
S : tidak ada Ketidakmampuan Ketidakseimbangan
O: menelan makanan (sering nutrisi kurang dari
- Pasien terpasang batuk) kebutuhan tubuh
NGT
- BB = -3 sd < BB < -
2 sd = gizi kurang
7,3 kg
- Pb/bb = - 3 sd :
sangat kurus

B. PRIORITAS DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
2. Hipertermi berhubungan dengan penyakit
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

B. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan Intervensi


Ketidakefektifan NOC: Respiratory status : ventilation NIC : Airway Management
bersihan jalan Tujuan = Setelah dilakukan tindakan
1. Posisikan pasien untuk
nafas keperawatan selama 3x24
memaksimalkan ventilasi
berhubungan jam, diharapkan napas pasien
2. Pantau respiratory dan
dengan dapat teratasi
oksigenasi pasien
obstruksi jalan
Kriteria hasil: 3. Auskultasi suara napas
napas
pasien, catat adanya suara
indikator a t
tambahan
1. Kedalaman 2 3
4. Beri oksigen sesuai
inspirasi
kebutuhan pasien 1 lpm
2. Penggunaan otot 1 3
5. Terapi farmakologi
tambahan/retraksi
ventolin menggunakan
3. Retraksi dada 2 3
nebulizer
4. RR 2 3
Keterangan:

1. Keluhan ekstrem
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluahan

NOC = airway patency

Tujuan = Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 3x24
jam, diharapkan pasien dapat
mempertahankan kepatenan
jalan nafas dengan indikator :

Kriteria hasil:

Indikator A T

1. Batuk 2 4
2. Suara
tambahan 2 4
3. Bersihan 2 3
sekresi

Keterangan:

1. Keluhan ekstrem
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluahan
Hipertermi NOC : Thermoregulation NIC :Fever Treathment
berhubungan 1. Kolaborasi pemberian
Setelah dilakukan tindakan
dengan farmakologi paracetamol
keperawatan selama 3x24 jam,
80 mg
diharapkan termoregulasi pasien dapat
2. Monitor suhu pasien
membaik dengan kriteria hasil :
3. Edukasi keluarga untuk
menjaga pasien tetap hangat
(menyelimuti pasien)
Indikator A T
4. Berikan terapi
1. RR 2 3
nonfarmakologi kompres
2. Hipertermi 2 4
hangat
3. Perubahan 2 4
warna kulit
4. Akral hangat 2 4

Keterangan :
1. Keluhan ekstrem
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan
Ketidakseimban NOC : Nutrition Status NIC : Nutrition Monitoring
gan nutrisi
Setelah dilakukan tindakan 1. Pasang NGT
kurang dari
keperawatan selama 3x24 jam, 2. Kolaborasi dengan ahli
kebutuhan
diharapkan cemas pasien dapat gizi terkait nutrisi yang
tubuh
menurun dengan kriteria hasil : dibutuhkan
3. Berikan nutrisi sesuai
Indikator A T
kebutuhan sonde
1. Asupan 2 4
ASI/PASI 90 cc/3 jam
makanan
4. Monitor input dan output
secara tube
cairan
feeding
2. Asupan cairan 2 4
intravena

Keterangan :
1. Keluhan ekstrem
2. Keluhan berat
3. Keluhan sedang
4. Keluhan ringan
5. Tidak ada keluhan

C. IMPLEMENTASI (tulis tangan)


BAB IV
PEMBAHASAN

Sesak napas yang dirasakan An.R berhubungan dengan adanya obstruksi


tracheobroncial oleh sekret yang banyak, dan penurunan ekspansi paru, maka pasien
mengalami kesulitan dalam bernafas menyebabkan pemasukan O2 berkurang sehingga
pemenuhan kebutuhan O2 dalam tubuh tidak mencukupi. Karena terdapat sekret yang
berlebih di dalam paru, maka kami mengangkat diagnosa ketidakefektifan bersihan
jalan napas. Intervensi untuk diagnosa tersebut yaitu mengkaji tanda-tanda vital,
memposisikan pasien setengah duduk, mengauskultasi suara nafas dan mencatat adanya
suara tambahan, melakukan fisioterapi dada, memposisikan pasien semi fowler untuk
memaksimalkan ventilasi, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi injeksi,
oksigen dan terapi bronkodilator dengan nebulizer (Nurarif, 2013).

Implementasi dilakukan pada tanggal 18 Mei 2017 21 Mei 2017 tindakan


yang pertama yaitu mengkaji tanda-tanda vital yang dilakukan untuk mengetahui
kondisi pasien dan melanjutkan intervensi, pengkajian ini pada hari pertama dilakukan
pada pukul 10.00 WIB, 14.00 WIB dan untuk hari selanjutnya dilakukan pada pukul
07.00 WIB. Tindakan yang kedua memposisikan pasien setengah duduk, ini bertujuan
untuk meningkatkan ekspansi dada (Muttaqin, 2008). Tindakan yang ketiga mengecek
adanya suara tambahan, seperti wheezing, krekels; mengkaji warna, kekentalan dan
jumlah sputum, ini merupakan tindakan tambahan yang dilakukan untuk mengetahui
berat ringannya obstruksi pada jalan nafas (Muttaqin, 2008). Tindakan berikutnya
memberikan fisioterapi dada, fisioterapi dada secara umum tujuannya membantu
membersihkan dan mengeluarkan secret serta melonggarkan jalan nafas namun
fisioterapi dada dilakukan dengan 3 teknik yaitu postural drainase, perkusi (clapping)
dan vibrasi (getaran) (Maidartati, 2014).

Tindakan yang terakhir yaitu memberikan terapi nebulizer dengan terapi


inhalasi/penguapan (combivent 2 ml + NaCl 1,5 ml) rutin diberikan setiap jam 09.00,
16.00 dan 22.00 WIB. Nebulizer merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengubah
obat yang berbentuk larutan ke dalam bentuk aerosol yang secara terus menerus dengan
tenaga bantuan gelombang ultrasonik (Wahyuni, 2015). Obat bronkodilator yang
diberikan untuk pasien Tn. S berupa combivent 2 ml sesuai anjuran dokter. Combivent
diberikan dengan cara inhalasi (penguapan) yang dihirup melalui hidung dan
dikeluarkan melalui mulut dengan bantuan sungkup yang tujuan dari penguapan ini
untuk melebarkan saluran pernapasan bawah (bronkus) dan mengencerkan secret agar
secret mudah dikeluarkan (Wahyuni, 2015). Terapi inhalasi dengan nebulizer efektif
dilakukan karena pengiriman obatnya lebih efektif sehingga reaksi obatnya cepat
sampai ke paru-paru daripada pemberian obat lewat oral atau sub cutan.

Intervensi untuk diagnosa hipertermia adalah dengan kompres hangat. Tujuan


dari kompres hangat adalah pelunakan jaringan fibrosa, membuat otot tubuh lebih
rileks, menurunkan rasa nyeri, dan mempelancar pasokan aliran darah dan memberikan
ketenangan pada klien. Kompres hangat merupakan metode untuk menurunkan suhu
tubuh. Pemberian kompres hangat pada daerah aksila (ketiak) lebih efektif karena pada
daerah tersebut banyak terdapat pembuluh darah besar dan banyak terdapat kelenjar
keringat apokrin yang mempunyai banyak vaskuler sehingga akan memperluas daerah
yang mengalami vasodilatasi yang akan memungkinkan percepatan perpindahan panas
dari dalam tubuh ke kulit hingga delapan kali lipat lebih banyak (Corwin, 2002).
Lingkungan luar yang hangat akan membuat tubuh menginterpretasikan bahwa suhu di
luar cukup panas sehingga akan menurunkan kontrol pengatur suhu di otak supaya tidak
meningkatkan pengatur suhu tubuh lagi, juga akan membuat pori-pori kulit terbuka
sehingga mempermudah pengeluaran panas dari tubuh (Sunardi, 2009). Menurut
penelitian Tamsuri (2006), daerah ketiak terdapat vena besar yang memiliki
kemampuan proses vasodilatasi yang sangat baik dalam menurunkan suhu tubuh dan
sangat dekat dengan otak yang merupakan tempat terdapatnya sensor pengatur suhu
tubuh yaitu hypothalamus. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kompres air hangat
lebih efektif 74,6% untuk menurunkan suhu pada pasien anak dengan demam daripada
kompres plester. Hasil penelitian didukung hasil penelitian Sukmawati yang
menunjukkan kompres di ketiak memberikan efektivitas tinggi bila dibandingkan
kompres di dahi dengan derajat penurunan suhu masing 0,234oC dan 0,145oC.
Tindakan pemasangan Selang Nasogastrik Tube adalah proses medis yaitu
memasukkan sebuah selang plastik melalui hidung, melewati tenggorokan dan terus
sampai ke dalam lambung. Nasogastric tubes (NGT) sering digunakan untuk
memasukkan obat-obatan dan makanan. NGT ini digunakan hanya dalam waktu yang
singkat ( Metheny dan Titler, 2001). Pemberian nutrisi melalui pipa NGT merupakan
tindakan pada pasien yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara oral
(Musrifatul dan Azis, 2008). Misalnya pada An. R tidak dapat menghisap ASI secara
adekuat. Untuk dapat memasukkan makanan sesuai kebutuhan kalori, maka diperlukan
tindakan ini. Kontraindikasi dari pemasangan NGT ini adalah pada pasien yang
memiliki tumor di rongga hidung, atau esofagus, dan pada pasien yang mengalami
cidera serebrospinal.

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, M. 2012. Medikal Bedah. Jakarta : Diva Press.


Crowin. (2002). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2005). Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Pedoman Hidup Sehat. Jakarta:
Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.(2007). Jumlah kasus pneumonia pada
balita menurut Provimsi dan kelompok umur ( http://www.depkes.go.id
diakses tanggal 21 Mei 2017 ).
Dinas Kesehatan Jawa Tengah. Menkes Kejar Traget MDGs tahun 2009. ( http://www.
Dinkesjatengprov.go.id diakses tanggal 19 Mei 2017).
Maidartati. (2014). Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Bersihan Jalan Nafas Pada
Anak Usia 1-5 Tahun Yang Mengalami Gangguan Bersihan Jalan Nafas Di
Puskesmas Moch. Ramdhan Bandung. Jurnal Ilmu Keperawatan, 2(1)
Metheny, N A. & Titler, M. (2001) Assessing Placement of Feeding Tubes.
American Journal of Nursing 101(5)
Musrifatul, dan Aziz. (2008). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik untuk Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin, A. ( 2008 ). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Nurarif, H. & Hardi, K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC.
Mediaction Publishing.
Raharjoe, N.( 2008). Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
Sunardi. (2009). Kontrol Persyarafan terhadap Suhu Tubuh. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Sunardi.(2009). Kontrol Persyarafan terhadap Suhu Tubuh. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Susilaningrum, R.( 2013). Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak. Jakarta : Salemba
Medika.
Tamsuri, A. (2006). Tanda-tanda Vital: Suhu Tubuh. Jakarta: EGC.
Wahyuni, L. (2015). Pengaruh Pemberian Nebulizer Dan Batuk Efektif Terhadap Status
Pernapasan Pasien COPD. Jurnal Penelitian Kesehatan. Volume 11
WHO. (2009). Pneumonia. Sumber : http//www.who.int/mediacentre/ (diakses tanggal
19 Mei 2017).

You might also like