You are on page 1of 175

EKSISTENSI SYARAT KHUSUS PADA PENJATUHAN

PIDANA BERSYARAT DALAM UPAYA


MEWUJUDKAN TUJUAN PEMIDANAAN
TERHADAP ANAK
STUDI DI PENGADILAN NEGERI UNGARAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Sarjana Hukum

Oleh

Azam Zaini Mukhtar


8111413289

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2017

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi berjudul Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat


dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di
Pengadilan Negeri Ungaran) disusun oleh Azam Zaini Mukhtar (8111413289)
telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang, pada :

Hari : Senin
Tanggal : 17 April 2017

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum Cahya Wulandari, S.H.,M.Hum.


NIP. 19640113200312201 NIP. 198402242008122001

Mengetahui

Wakil Dekan Bidang Akademik

Dr. Martitah, M.Hum.


NIP. 196205171986012001

ii
PENGESAHAN

Skripsi berjudul Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat


dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak (Studi di
Pengadilan Negeri Ungaran) disusun oleh Azam Zaini Mukhtar (8111413289)
telah dipertahankan di hadapan Sidang Ujian Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang, pada :
Hari :
Tanggal :

Penguji. Utama

Rasdi S.Pd.,M.H
NIP. 196406121989021003

Penguji Anggota I Penguji Anggota II

Dr. Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum Cahya Wulandari, S.H.,M.Hum


NIP. 196401132003122001 NIP. 198402242008122001

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum

Dr. Rodhiyah, S.Pd.,S.H.,M.Si


NIP. 197206192000032001

iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


Nama : Azam Zaini Mukhtar
NIM : 8111413289
menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Eksistensi Syarat Khusus pada
Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan
terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran) adalah hasil karya saya
sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar. Apabila dikemudian hari diketahui adanya plagiasi maka siap
mempertanggungjawabkan secara hukum.

Semarang, 17 April 2017


Yang Menyatakan,

Azam Zaini Mukhtar


(8111413289)

iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Negeri Semarang, saya yang bertanda


tangan di bawah ini:
Nama : Azam Zaini Mukhtar
NIM : 8111413289
Prodi : Ilmu Hukum
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Negeri Semarang Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive
RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul Eksistensi Syarat
Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan
Pemidanaan terhadap Anak (Studi di pengadilan negeri ungaran) dengan Hak
Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Negeri Semarang berhak menyimpan,
mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Semarang
Pada tanggal : 17 April 2017
Yang menyatakan

Azam Zaini Mukhtar


NIM. 8111413289

v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Bertakwallah kepada Allah dimana saja kamu berada dan ikutilah perbuatan
jahat itu dengan kebaikan supaya terhapus kejahatan, dan bergaullah dengan
sesama manusia dengan budi baik (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Soim


Pranoto S.Pd. dan Ibunda Muntini yang selalu
memberikan dukungan serta doa restu untuk
menjadi seseorang yang lebih baik
2. Adikku tersayang Artanti Nur Azizah P. yang
selalu memberikan dorongan dan semangat.
3. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang Angkatan 2013
4. Almamaterku Tercinta

vi
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga

dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Eksistensi Syarat Khusus

pada Penjatuhan Pidana Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan

Pemidanaan terhadap Anak (Studi di Pengadilan Negeri Ungaran). Penyusunan

skripsi ini bertujuan untuk memenuhi serta melengkapi persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum, di Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan skripsi ini tidak

terlepas dari kebijaksanaan, dukungan, bantuan serta bimbingan berbagai pihak.

Untuk itu Penulis menyampaikan terima kasih Kepada :

1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang

2. Dr. Rodiyah, S,Pd, S.H, M,Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang

3. Dr. Martitah M.Hum, Wakil Dekan 1 Bidang Akademik Fakultas Hukum

Universitas Negeri Semarang

4. Rasdi, S.Pd. M.H., Wakil Dekan 2 Bidang Umum dan Keuangan Fakultas

Hukum Universitas Negeri Semarang

5. Anis Widyawati S.H.,M.H., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Negeri Semarang

vii
6. Dr. Indah Sri Utari, S.H.,M.Hum Dosen Pembimbing 1 yang telah

memberikan bimbingan, motivasi kritik dan saran kepada Penulis dengan

sabar dalam penulisan skripsi ini.

7. Cahya Wulandari S.H.,M.Hum Dosen Pembimbing 2 yang senantiasa

sabar serta selalu meluangkan waktu di tengah kesibukanya untuk

memberikan bimbingan, kritik dan saran kepada penulis

8. Seluruh Dosen dan Staff Akademik Fakultas Hukum Universitas Negeri

Semarang

9. Orang tuaku tercinta Ayahanda Soim Pranoto,S.Pd. dan Ibu Muntini yang

tiada hentinya memberikan segala kasih sayangnya, dukungan semangat

dan doa yang terbaik untuk Penulis.

10. Adikku Tersayang Artanti Nur Azizah P. yang selalu memberikan

motivasi dan semangat kepada penulis.

11. Sahabatku Kosim, Imam Ashari, Mustajab, Arif Rahman Sutanto,

Muhammad Taufik, Arvian Alimul Khaq, Edo Iranda N. Ediet Saputra,

Sucma Jantra M. Ricky Cahyo Satrio, Randa Ananda L. yang selalu

memberikan keceriaan dan semangat kepada Penulis selama menempuh

perkuliahan.

12. Temanku di Penal Study Club kepengurusan tahun 2016, Hanif, Susilo,

Randa, Ana Guna, Ismail Khusni yang selalu memberikan semangat

kepada penulis dalam menimba ilmu khususnya hukum pidana. dan

teman-teman di UKM Lex Scientia, Reza, Roihana, Adi, Alef, Rini, Devi,

Kunta, serta teman-teman seperjuangan di UKM Fiat Justicia. Fajar,

viii
Didik, Aji, Arvian, dan teman-teman lainya yang tidak bisa penulis

tuliskan semua.

13. Seluruh Pihak pada Pengadilan Negeri Ungaran yang telah memberikan

izin serta bantuan kepada penulis dalam melakukan penelitian dalam

skripsi ini.

Akhir kata, Penulis telah menyelesaikan skripsi ini sehingga diharapkan

adanya kritik dan saran dari semua pihak, semoga skripsi dapat bermanfaat dan

memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya hukum

pidana anak bagi pembaca.

Semarang,
Penulis,

Azam Zaini Mukhtar


8111413289

ix
ABSTRAK

Azam Zaini Mukhtar. 2017. Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana
Bersyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan Terhadap Anak (Studi
di Pengadilan Negeri Ungaran). Skripsi, Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Negeri Semarang, Pembimbing 1 Dr. Indah Sri Utari S.H.,M.Hum, 2.Cahya
Wulandari S.H.,M.Hum.
Kata kunci: Syarat Khusus,Pidana Bersyarat,Anak,
Penjatuhan pidana atau pengenaan tindakan kepada anak pada hakikatnya
selalu mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi Anak, untuk itu jenis pidana
yang dapat dijatuhkan telah diatur secara khusus didalam Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 salah satunya adalah ketentuan pidana bersyarat yang mengatur
Hakim harus memberikan syarat umum dan syarat khusus kepada anak selama
masa percobaan. Namun pada praktiknya di Pengadilan Negeri Ungaran dalam
beberapa putusan Hakim yang menjatuhkan pidana bersyarat, tidak semuanya
memberikan syarat khusus kepada Anak
Permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) Bagaimana pertimbangan hakim
dalam memberikan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada anak?,
(2) Bagaimana kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat dalam
upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri
Ungaran?
Metode penelitian skripsi ini menggunakan metode pendekatan yuridis
sosiologis, dengan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan jenis
data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data primer yang berupa hasil
wawancara sebagai data utama dan data sekunder sebagai data pelengkap. Adapun
teknik pengumpulan data dalam skripsi ini dengan wawancara dengan Hakim
Anak yang menjatuhkan pidana bersyarat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pertimbangan hakim dalam
memberikan syarat khusus didasarkan pada pertimbangan yuridis dan non yuridis.
Terdapat pertimbangan yang berbeda dalam memberikan syarat khusus yaitu yang
pertama didasarkan atas berat ringanya perbuatan dan kedua didasarkan pada
upaya perbaikan perilaku anak di masa depan. Kedudukan syarat khusus yaitu,
sebagai fungsi special prevention dan general prevention dan harus dicantumkan
didalam putusan perbedaan kedudukan perbedaan merupakan berat ringanya
pidana, pemberian syarat khusus diberikan dengan cara memberitahukan kepada
orang tua.
Simpulan dalam penelitian ini terdapat pertimbangan yang berbeda oleh
Hakim dalam memberikan syarat khusus yaitu sebagai sarana perbaikan dan berat
ringanya perbuatan, belum terdapat kesamaan terkait kedudukan syarat khusus
dikarenakan pandangan yang berbeda dari hakim tentang syarat khusus. Saran
pertimbangan syarat khusus didasarkan untuk kepentingan terbaik bagi anak,
hakim harus mencantumkan syarat khusus terkait dengan pengawasan dan
pembimbingan oleh Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan.

x
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ............................................................... iii

PERNYATAAN ORISINALITAS........................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.............. v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................ vi

KATA PENGANTAR ............................................................................... vii

ABSTRAK ................................................................................................. x

DAFTAR ISI .............................................................................................. ix

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Identifikasi Masalah........................................................................... 5

1.3 Pembatasan Masalah .......................................................................... 6

1.4 Rumusan Masalah .............................................................................. 7

1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................... 7

1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................. 8

1.7 Sistematika Penulisan Skripsi ............................................................ 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ................ 11

2.1 Penelitian Terdahulu .......................................................................... 11

2.2 Konsep Eksistensi dalam Pemberlakuan Hukum .............................. 12

2.3 Pidana dan Pemidanaan dalam Perspektif Teori ............................... 15

xi
2.4 Dasar dan Teori tentang Tujuan Pemidanaan .................................... 21

2.5 Pidana Bersyarat dalam Pemidanaan ................................................. 42

2.6 Tinjauan Umum tentang Anak dan Pemidanaan terhadap Anak ....... 54

2.7 Kerangka Berpikir ............................................................................. 70

BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 71

3.1 Metode Pendekatan ............................................................................ 71

3.2 Jenis Penelitian .................................................................................. 72

3.3 Sumber Data ...................................................................................... 73

3.4 Lokasi Penelitian ............................................................................... 76

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ......................................................... 76

3.6 Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 77

3.7 Validitas dan Keabsahan Data ........................................................... 78

3.8 Metode Analisis Data ........................................................................ 77

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 81

4.1 Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Syarat Khusus pada

Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak ...................................... 82

4.1.1 Pertimbangan Yuridis ............................................................... 82

4.1.2 Pertimbangan Non Yuridis ....................................................... 114

4.2 Kedudukan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat

dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak

Di Pengadilan Negeri Ungaran .......................................................... 134

BAB V PENUTUP

5.1 Simpulan ............................................................................................ 152

5.2 Saran .................................................................................................. 153

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 154

xii
LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keputusan Dosen Pembimbing

Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 3 Surat Keterangan selesai penelitian

Lampiran 4 Pedoman wawancara

Lampiran 5 Putusan Pengadilan Negeri Ungaran

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penjatuhan pidana pada hakikatnya adalah suatu reaksi dari adanya

pelanggaran terhadap tata hukum atau norma yang telah di atur dalam hukum

pidana. dalam hukum pidana reaksi atas pelanggaran tersebut dikenal sebagai

sanksi. Adanya sanksi di dalam hukum pidana adalah berfungsi salah satunya

adalah sebagai alat pencegahan sesuai dengan fungsi hukum yaitu social

control dan social engineering. Sanksi tersebut merupakan penderitaan yang

sengaja di bebankan kepada pelaku tindak pidana oleh alat-alat negara dalam

hal ini adalah hakim di pengadilan. Dalam perkembangan ilmu hukum pidana,

sanksi dalam pemidanaan diharapkan mempunyai tujuan pemidanaan

tersendiri. Yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek perlindungan

individu atau perbaikan individu pelaku tindak pidana.

Dalam pembangunan hukum pidana nasional, Pidana dan Pemidanaan

menjadi salah satu persoalan penting. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Muladi

(1984:21), khusus mengenai masalah pidana sebagai salah satu masalah pokok

hukum pidana, persoalan yang sangat penting ialah mengenai konsep tujuan

pemidanaan, yang ingin mencari dasar pembenaran dari pidana, sebagai usaha

untuk menjadikan pidana lebih fungsional.

Dalam penjatuhan pidana seharusnya memuat tujuan dari pemidanaan

itu sendiri, begitu pula seharusnya pemidanaan kepada Anak pelaku tindak

1
2

pidana. Pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak selayaknya dilakukan

dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan diupayakan agar

anak dapat memperbaiki perbuatannya dan menjadi seseorang yang

bertanggung jawab dalam kehidupanya kelak. Hal inilah yang menjadi dasar

adanya peraturan khusus yang dijadikan dasar untuk penyelesaian perkara

pidana yang dilakukan oleh anak yaitu Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012

sistem peradilan anak yang telah berlaku selama empat tahun di Indonesia

sebagai salah satu wujud implementasi terhadap ratifikasi konvensi

internasional hak anak. Komite Hak Anak (Committee on the Rights of the

Child) menandaskan bahwa sistem peradilan pidana anak merupakan sistem

peradilan pidana yang dipisahkan secara khusus bagi anak sehingga anak

dapat menikmati perlindungan hukum (due process) dan hak asasi yang

melekat padanya. Pemisahan ini menjadi conditio sine quanon karena mereka

masih di bawah umur.

Perlakuan khusus untuk anak telah tercermin di dalam asas-asas yang

terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, antara lain, Perlindungan, Keadilan, non diskriminasi,

Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap pendapat anak,

kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, pembinaan dan

pembimbingan anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan

sebagai upaya terakhir, dan penghindaran pembalasan. Oleh karena itu

Undang-Undang ini mempunyai ketentuan hukum materil dan formil yang

menyimpang dari aturan umum hukum materil dan formil pidana di Indonesia
3

yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Hukum Acara Pidana.

Ketentuan hukum acara ini berbeda mulai dari tingkat penyidikan hingga

pembinaan setelah anak menjalani pidana. selain itu dari segi ketentuan

hukum materil terdapat sanksi pidana dan tindakan (Maatregel) yang berbeda

dengan Kitab Undang-Undang hukum pidana yang disesuaikan dengan

kepentingan terbaik untuk anak berhadapan dengan hukum.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat proses

diversi pada setiap tahap peradilan yang harus diutamakan untuk menghindari

anak dari penjatuhan pidana dan mencapai perdamaian antara anak dan korban

tindak pidana. akan tetapi jika proses diversi tersebut gagal dilaksanakan,

maka dilanjutkan kepada proses peradilan hingga pada persidangan dan

penjatuhan pidana. penjatuhan pidana kepada anak merupakan upaya terakhir

sebagaimana asas ultimum remidium. Istilah "ultimum remidium artinya

bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah

tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu Undang-Undang sanksi

pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir,setelah sanksi perdata,

maupun sanksi administratif. (Supeno 2010:53)

Penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim dalam sistem peradilan

pidana Anak mempunyai straftmaat dan straftmodus yang berbeda dengan

Kitab Undang-Undang hukum pidana ataupun Undang-Undang pidana khusus

lainya. Salah satu diantaranya adalah pidana bersyarat. Pidana bersyarat dapat

dijatuhkan oleh hakim apabila masa pidana penjara yang dijatuhkan kepada

anak tidak lebih dari 2 (dua) Tahun. Dalam penjatuhan pidana bersyarat
4

tersebut hakim harus berpedoman kepada tata cara penjatuhan yang diatur

didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Anak. Adapun syarat penjatuhan

pidana didalam undang-uindang tersebut sangat berbeda dengan tata cara

penjatuhan pidana bersyarat yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana. apabila di dalam KUHP dalam penjatuhan pidana bersyarat ditentukan

syarat umum yang bersifat wajib dan syarat khusus yang bersifat fakultatif

maka di dalam Undang-Undang Sistem peradilan anak ditentukan bahwa

syarat umum dan syarat khusus tersebut adalah kumulatif. Artinya, Dalam

putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat ditentukan syarat umum

dan syarat khusus yang ditetapkan pada putusan Hakim.

Namun berbeda dengan keadaan di Pengadilan Negeri Ungaran dalam

beberapa putusan yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada anak. Dalam

rentang waktu antara tahun 2014 sampai dengan 2016. Pengadilan Negeri

Ungaran telah menjatuhkan pidana bersyarat kepada anak sebagai berikut,

Tabel 1.1 Penjatuhan Pidana bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran


tahun 2014-2016
Tahun Nomor Putusan Vonis Pidana Bersyarat

2014 1/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Unr Tidak menyertakan syarat khusus

2015 3/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Unr Tidak menyertakan syarat khusus

2015 4/Pid.Sus-Anak/2015/PN Unr menyertakan syarat khusus

Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung

Dari tabel tersebut, dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan

terhadap putusan hakim mengenai syarat khusus dalam penjatuhan pidana

bersyarat. Padahal apabila kita berpedoman kepada Undang-Undang Nomor


5

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, penjatuhan pidana

bersyarat disertai syarat umum dan syarat khusus yang ditetapkan di dalam

putusan Hakim. Dengan keadaan yang terjadi di Pengadilan Negeri Ungaran

diatas maka menimbulkan pertanyaan tentang penerapan syarat khusus di

dalam penjatuhan pidana bersyarat. Dapat dikatakan keberadaan syarat khusus

tersebut antara ada dan tiada. Dari permasalahan tersebut, yang menarik untuk

dilakukan penelitian adalah kedudukan syarat khusus dalam penerapan pidana

dianalisis dengan hukum yang berlaku serta tujuan dari pemidanaan yang

dijatuhkan kepada anak.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, penulis merasa tertarik

untuk mengkaji lebih dalam tentang kedudukan syarat khusus dan

pertimbangan hukum hakim dalam memberikan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat kepada anak. Untuk itu penulis mengangkat

skiripsi dengan judul: Eksistensi Syarat Khusus Pada Penjatuhan Pidana

Besyarat Dalam upaya mewujudkan Tujuan Pemidanaan Terhadap

Anak di Pengadilan Negeri Ungaran

1.2 Identifikasi Masalah

Dalam Judul Skripsi Eksistensi Syarat Khusus Pada Penjatuhan

Pidana Besyarat dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap

Anak di Pengadilan Negeri Ungaran merupakan penelitian tentang kedudukan

syarat khusus dan Penerapan Syarat Khusus dalam penjatuhan pidana

bersyarat kepada Anak di Pengadilan Negeri Ungaran. Oleh karena itu,

Identifikasi masalah dalam skripsi ini antara lain,


6

1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menerapkan Syarat Khusus dalam

Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak.

2. Kedudukan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada

Anak dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak.

3. Hambatan hakim dalam memberikan syarat khusus dalam penjatuhan

pidana bersyarat kepada anak.

4. Penerapan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada

Anak.

5. Problem Pelaksanaan Pidana Bersyarat Kepada Anak.

6. Efektifitas Pemberian Syarat Khusus dalam penjatuhan pidana

Bersyarat Kepada Anak.

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dipaparkan diatas, maka

untuk membuat arah penelitian ini lebih fokus, permasalahan di dalam skripsi

ini dibatasi pada :

1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menerapkan Syarat Khusus dalam

Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada Anak

2. Kedudukan Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Kepada

Anak dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di

Pengadilan Negeri Ungaran


7

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi permasalah dan pembatasan masalah di

atas, maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam pemberian syarat khusus

pada penjatuhan pidana bersyarat terhadap anak ?

2. Bagaimana kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat

kepada dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak

di Pengadilan Negeri Ungaran ?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok pokok permasalahan

yang penulis kemukakan, maka dapat diketahui tujuan penelitian dalam

skripsi ini adalah sebagai berikut,

1. Memahami dasar pertimbangan hakim dalam pemberian syarat khusus

pada penjatuhan pidana bersyarat terhadap anak di Pengadilan Negeri

Ungaran

2. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan syarat khusus dalam

penerapan pidana bersyarat dalam rangka mewujudkan tujuan

pemidanaan kepada Anak di Pengadilan Negeri Ungaran

1.6 Manfaat Penelitian

Dapat kita ketahui bahwa sebuah penelitian tentunya harus

mempunyai manfaat yang dapat dipergunakan dalam bidang ilmu


8

pengetahuan yaitu penelitian dan bidang praktek penegakan hukum. Dalam

penulisan skripsi ini penulis mengharapkan manfaat dan kegunaan sebagai

berikut :

1.6.1 Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan tentang kedudukan dan Penerapan

syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat terhada dalam

rangka mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak

b. Dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada

umumnya dan khususnya dalam hukum pidana anak di Indonesia

1.6.2 Manfaat Praktis

a. Memberikan sumbangan pemikiran pada semua pihak terkait

dengan penerapan pidana kepada anak, khususnya dalam

penjatuhan pidana bersyarat kepada anak.

b. Dapat dijadikan bahan penelitian terkait dengan pemidanaan anak

selanjutnya

1.7 Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika merupakan penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan

ditulis untuk memahami garis besar penulisan. Sistematika Penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut,

1. Bagian Awal Skripsi

Bagian awal skripsi ini terdiri atas sampul, lembar judul, lembar

pengesahan, lembar pernyataan, lembar motto dan persembahan, abstrak,


9

kata pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar, dan daftar

lampiran.

2. Bagian Pokok Skripsi

Bagian Pokok dari skripsi ini terdiri 5 (Lima) Bab sebagai berikut,

BAB 1 PENDAHULUAN, Bab ini Memuat Latar Belakang Masalah,

Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah,

Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA, Bab ini Memuat Penelitian Terdahulu

yang berkaitan dengan judul skripsi ini, dan landasan teori yang

meliputi Eksistensi dalam perspektif teori, Pidana dan

pemidanaan dalam perspektif teori, Dasar dan teori tentang

tujuan pemidanaan, Teori tujuan pemidanaan yang integratif,

Pidana bersyarat dalam pemidanaan, pidana bersyarat dalam

system peradilan pidana anak, pertimbangan dan ukuran dalam

penjatuhan pidana bersyarat, Tujuan pidana bersyarat, Tinjauan

umum tentang anak dan pemidanaan terhadap anak, serta

Instrumen internasional tentang peradilan pidana anak, kerangka

berpikir.

BAB 3 METODE PENELITIAN, Memuat Jenis Penelitian, Pendekatan

Penelitian, Data dan Sumber data serta, Lokasi Penelitian,

Populasi dan Sampel Penelitian, Teknik Pengumpulan Data,

Validitas dan Keabsahan Data, Metode analisis data.


10

BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, Bab ini berisi

tentang hasil penelitian dan pembahasan terhadap

a. Kedudukan syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat

kepada anak

b. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam pemberian

syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan

terhadap anak

BAB 5 PENUTUP, Bab ini berisi simpulan dari keseluruhan hasil

penelitian dan saran-saran berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bagian Akhir Skripsi

Di bagian akhir skripsi ini terdiri dari Daftar Pustaka dan Lampiran-

lampiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

a. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Kholiq Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Negeri Semarang angkatan 2009 dalam skripsinya yang

berjudul Pelaksanaan Pembimbingan dan Pengawasan Anak pada Pidana

Bersyarat (Studi di Balai Pemasyarakatan Klas I Semarang dan Kejaksaan

Negeri Semarang). Adapun permasalahan dari penelitian tersebut

diantaranya adalah bagaimana perbandingan pengaturan pidana bersyarat

di dalam Kitab Undang - undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak, Konsep Kitab Undang undang Hukum Pidana

Nasional Tahun 2012 dan Undang undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan pelaksanaan dan pengawasan

anak pada pidana bersyarat oleh Balai Pemasyarakatan Klas I Semarang

dan Kejaksaan Negeri Semarang. Sedangkan dalam skripsi penulis yang

berjudul Eksistensi Syarat Khusus pada Penjatuhan Pidana Bersyarat

dalam Upaya Mewujudkan Tujuan Pemidanaan terhadap Anak Studi di

Pengadilan Ungaran ini yang menjadi permasalahan diantaranya adalah

bagaimana pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat dan kedudukan syarat khusus pada penjatuhan

pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap

11
12

anak, oleh karena itu penelitian ini memiliki perbedaan permasalahan dan

objek kajian yang akan diteliti dari penelitian terdahulu.

b. Penelitian yang dilakukan oleh Sumadi dalam Jurnal Ilmu Hukum Legal

Opinion Edisi 6, Volume 3, Tahun 2015 yang berjudul Tinjauan Yuridis

Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Anak dalam Delik Kelalaian Yang

Menyebabkan Matinya Orang Lain dalam jurnal tersebut permasalahan

yang di teliti adalah kesesuaian pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana bersyarat sudah sejalan dengan tujuan peradilan anak, serta dampak

penjatuhan pidana bersyarat terhadap terpidana yang dilakukan oleh anak.

Penelitian tersebut menghasilkan simpulan bahwa Penjatuhan pidana

bersyarat pada anak sudah sejalan dengan teori tujuan peradilan anak,

dimana peradilan anak diselenggarakan dengan tujuan untuk mendidik

kembali dan memperbaiki sikap dan perilaku anak sehingga ia dapat

meninggalkan perilaku buruk yang selama ini telah ia lakukan. Sedangkan

dalam skripsi penulis yang menjadi permasalahan adalah pertimbangan

hakim dalam pemberian syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat

Eksistensi atau kedudukan Syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat

oleh hakim, dengan demikian penelitian dalam skripsi ini memiliki

perbedaan permasalahan dan objek kajian yang akan diteliti dari penelitian

sebelumnya.

2.2 Konsep Eksistensi dalam Pemberlakuan Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian eksistensi adalah

keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Selain itu menurut


13

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online oleh Kemdikbud

http://kbbi.kemdikbud.go.id/ menyatakan arti dari eksistensi adalah hal

berada; Keberadaan

Ensiklopedia bebas Wikipedia terdapat pengertian dari eksistensi

yaitu, berasal dari kata bahasa latin existere yang artinya muncul, ada, timbul,

memiliki keberadaan aktual. Existere disusun dari ex yang artinya keluar

dan sistere yang artinya tampil atau muncul

Sedangkan menurut Abidin (2007:16) Eksistensi adalah adalah suatu

proses yang dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal

kata eksistensi itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari,

melampaui atau mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti,

melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya

kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan

potensi-potensinya

Dalam ilmu Filsafat, terdapat istilah eksistensialisme yang disebut-

sebut sebagai garis besar karya pemikiran Jean-Paul Sartre (1905-1980).

Pemikiran Sarte tersebut dikenal dengan teorinya tentang Ada dan

Ketiadaan atau istilahnya, Being and Nothingness. Menampilkan sebuah

teori yang amat menyentuh secara mendalam realitas nyata keberadaan

manusia, tentang keberadaanya di dunia, dan pemahaman mereka atas diri

mereka sendiri dan sesamanya. (Garvey, 2010:273)

Dalam lapangan hukum, Konsep eksistensi di temukan didalam

pemberlakuan hukum islam di Indonesia, teori eksistensi merupakan teori


14

Sebagai kelanjutan dari teori Receptie Exit dan teori Reception A Contrario

yang dikemukakan oleh Ichtijanto S.A yang menegaskan bahwa hukum Islam

ada di dalam hukum nasional. Bentuk eksistensi hukum Islam di dalam

hukum nasional Indonesia adalah : (Ichtijanto, 1991:131)

a. Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional

Indonesia.

b. Ada dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui

adanya dan kekuatan dan wibawanya oleh hukum nasional dan

diberi status sebagai hukum nasional.

c. Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam

(agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum

nasional Indonesia.

d. ada dalam arti sebagai bahan utama hukum nasional Indonesia

Sedangkan pengertian eksistensi di dalam lapangan atau bidang

hukum Menurut Sukamto Satoto (2004:4), sampai saat kini tidak ada satupun

tulisan ilmiah bidang hukum, baik berupa buku, disertasi maupun karya

ilmiah lainnya yang membahas secara khusus pengertian eksistensi.

Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan kedudukan dan fungsi

hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu. Sjachran Basah

mengemukakan pengertian eksistensi dihubungkan dengan kedudukan,

fungsi, kekuasaan atau wewenang pengadilan dalam lingkungan badan

peradilan administrasi di Indonesia.


15

Di dalam skripsi ini istilah eksistensi yang digunakan adalah merujuk

pada pengertian eksistensi dalam bidang hukum yang dijelaskan oleh

Sukamto Satoto diatas yaitu kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu

lembaga hukum tertentu.

2.3 Pidana dan Pemidanaan dalam Perpektif Teori

Dari beberapa pengertian pidana menurut doktrin para ahli, dapat

diketahui bahwa pidana merupakan reaksi berupa penderitaan yang sengaja

diberikan oleh negara kepada seseorang yang telah melakukan suatu tindak

pidana atau hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:1), Pidana (Straft),

Pada dasarnya merupakan suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan kepada

seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.

Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang

sengaja dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang

sebagai akibat hukum (sanksi) Baginya atas perbuatanya yang telah

melanggar larangan hukum pidana. secara khusus larangan didalam hukum

pidana ini disebut sebagai Tindak Pidana (straftbaar feit). (Chazawi, 2012:24-

25)

Beberapa ahli membedakan istilah pidana dengan hukuman.

Menurut Adami Chazawi, Pidana berasal dari kata straft (belanda), yang

adakalanya disebut dengan istilah hukuman, istilah pidana lebih tepat dari

istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari

recht. (Chazawi, 2012:5)


16

Mengacu pada sebagian besar para sarjana, penjatuhan suatu derita

sebagai pembalasan akan terjadinya suatu tindak pidana merupakan ciri

khusus dari kata pidana yang membedakanya dengan makna kata hukuman.

Pendapat para sarjana yang memberikan pengertian pidana yang berbeda

dengan hukuman telah dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagai

berikut (Zulfa, 2011:10) :

a. Sudharto yang mendefinisikan pidana sebagai penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan

yang memenuhi syarat-syarat tertentu

b. Roeslan Saleh menyatakan bahwa pidana adalah reaksi atas suatu

delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja

ditimpakan Negara pada pembuat delik itu;

c. Fitzgerald merumuskan punishment is the authotitative infliction

of suffering for an offence

d. Sir Ruper Cross mengartikan punishment sebagai The infliction of

pain by the state on someone who has been convicted of an

offence.

Definisi lain dari pidana secara khusus yang diusulkan oleh Garland

(1990:132) sebagaimana dikutip oleh Zulfa (2011:10) adalah The legal

process whereby violators of criminal law are condemned and sanctioned in

accordance with specified legal categories and procedures (suatu proses

hukum dimana merupakan suatu celaan dan sanksi terhadap pelanggar hukum

pidana sesuai dengan kategorisasi dan aturan hukum yang telah ditetapkan).
17

Perbedaan-perbedaan konsep tentang pidana tersebut telah ada sudah

sejak sangat lama sekali hingga sekarang masih terdapat perbedaan tentang

definisi pidana seperti yang telah disebutkan diatas. Dalam pandangan teoritis

pun, bila dikaji akan terlihat bahwa konsep-konsep tersebut pada dasarnya

adalah bagian dari tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Karenanya

beberapa interpretasi yang digunakan untuk memakai terminology pidana

tersebut pada masa sekarang adalah (Zulfa, 2011:11) :

a. Alat penderitaan yang terukur (pain delivery)

b. Sarana merehabilitasi seorang pelaku tindak pidana

c. Sarana utama bagi upaya perbaikan

d. dalam pengertian yang luas, makna penghukuman menyangkut

segala hal yang merupakan penghukuman

Diberikan oleh otoritas atau lembaga yang berwenang menjadi salah

satu kata kunci dari ciri pidana. Dalam ilmu hukum pidana, menurut Sudarto

(1990:10) Penjatuhan pidana oleh Negara atau ius poenale ini haruslah sesuai

dengan apa yang disebut dengan ius puniendi yaitu hak yang diberikan

kepada Negara untuk mengancamkan dengan suatu sanksi pidana terhadap

pelanggaran-pelanggaran peraturan perundang-undangan yang telah

ditetapkan

Adapun sanksi atau jenis Pidana yang dijatuhkan kepada seseorang

tersebut telah diatur didalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) dan Undang-Undang pidana khusus yang tersebar di luar KUHP,

jenis-jenis pidana di dalam Pasal 10 KUHP tersebut juka berlaku untuk delik
18

yang tercantum di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kecuali apabila

Undang-Undang tersebut menentukan menyimpang dari aturan umum Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana di maksud di dalam ketentuan

Pasal 103 KUHP. Jenis pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana di kelompokan menjadi dua bagian yaittu

1. Pidana Pokok, terdiri dari :


a. Pidana Mati;
b. Pidana Penjara;
c. Pidana Kurungan;
d. Pidana Denda;
e. Pidana Tutupan
2. Pidana Tambahan, terdiri dari :
a. Pidana pencabutan hak tertentu
b. Pidana perampasan barang-barang tertentu
c. Pidana pengumuman putusan hakim

Adapun penjelasan dari jenis pidana yang diatur didalam pasal 10 KUHP

tersebut sebagai berikut,

1. Pidana Mati

Di beberapa negara pidana mati telah di hapuskan. Sedangkan di

negara Indonesia pidana mati masih tetap dipertahankan, bahkan terdapat

beberapa Undang-Undang di luar KUHP mengatur sanksi pidana mati.

Pada awalnya di dalam KUHP, cara penerapan pidana mati

dijalankan oleh algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali

yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian

menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. Akan tetapi telah di ubah

dengan penetapan presiden Nomor 2 tahun 1964, Lembaran Negara 1964

Nomor 38, ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969

yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan menembak mati


19

terpidana. Pidana mati dijalankan dengan dihadiri jaksa sebagai

eksekutor dan secara teknis dilaksanakan oleh Brimob dari kepolisian.

2. Pidana Penjara

Pidana penjara adalah salah satu bentuk pidana yang merampas

kemerdekaan terpidana. Di Indonesia orang yang menjalani pidana

penjara di tempatkan di dalam gedung Lembaga Pemasyarakatan

(Lapas).

Secara umum, Pidana penjara dapat dijatuhkan paling pendek satu hari

atau paling lama lima belas tahun berturut-turut. Akan tetapi hakim boleh

menjatuhkan pidana penjara 20 (dua puluh) Tahun dalam hal kejahatan

yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur

hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Batasan waktu 15 (lima

belas) tahun tersebut dapat dilampaui karena tindak pidana yang

dilakukan dengan perbarengan dan pengulangan.

3. Pidana Kurungan

Pidana kurungan hampir sama dengan pidana penjara, namun

perbedaanya adalah batas waktu minimal satu hari dan maksimal satu

tahun. Namun jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena

pengulangan atau perbarengan maka kurungan dapat dijatuhkan paling

lama satu tahun empat bulan. Pidana kurungan di ancamkan pada tindak

pidana yang dianggap ringan seperti tindak pidana kealpaan dan

pelanggaran. Perbedaan lainya dengan pidana penjara adalah pelaksanaan


20

kerja dalam pidana kurungan lebih ringan dari pada pelaksanaan pidana

penjara

4. Pidana Denda

Pidana denda adalah pidana yang mewajibkan terpidana untuk membayar

sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dengan aturan besaran yang

ditentukan oleh Undang-Undang. Pidana denda apabila tidak dibayar

maka dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti denda

5. Pidana Tutupan

Diantara pidana pokok yang diatur didalam Pasal 10 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, pidana pokok merupakan salah satu pidana yang

jarang dijatuhkan. Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan

KUHP didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946

tentang Hukuman Tutupan. Hukuman tutupan dapat dijatuhkan Terhadap

orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman

penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati

6. Pidana Tambahan

a. Pencabutan Hak-hak tertentu

Pidana tembahan berupa pencabutan hak-hak tertentu hanya untuk

tindak pidana yang tegas ditentukan oleh Undang-Undang bahwa

tindak pidana tersebut diancam oleh pidana tambahan. Lamanya

jangka waktu pencabutan hak-hak tertentu adalah pada pidana

seumur hidup, lamanya seumur hidup. Adapun pada pidana penjara

dan kurungan lamanya minimal dua tahun dan maksimal lima tahun
21

lebih lama dari pidana pokoknya. Dalam pidana denda, lama

pencabutan minimal dua tahun dan maksimal lima tahun.

Hak-hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 KUHP, yaitu: hak

memegang jabatan tertentu; hak memasuki angkatan bersenjata; hak

memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan

aturan-aturan umum; hak menjadi penasihat atau pengurus menurut

hukum, wali pengawas, pengampu pengawas atas orang yang bukan

anaknya sendiri; hak untuk menjalankan kekuasaan bapak, perwalian

atau pengampuan atas anak sendiri; dan hak menjalankan pekerjaan

tertentu.

b. Perampasan barang tertentu

Yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana

yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk

melakukan kejahatan. Hasil perampasan barang tersebut dapat

diserahkan kepada pemerintah dalam hal barang-barang tersebut

ditetapkan untuk disitia oleh hakim

c. Pengumuman putusan hakim

Pidana pengumuman putusan hakim jarang diterapkan di Indonesia.

Pada dasarnya pengumuman putusan hakim ini diumumkan secara

luas agar masyarakat berhati-hati terhadap terpidana

2.4 Dasar dan Teori tentang Tujuan Pemidanaan

di dalam ilmu hukum pidana terdapat aliran-aliran dari pemidanaan

untuk menentukan tujuan pemidanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Muladi


22

(2008:28), Aliran-aliran tersebut berusaha untuk memperoleh suatu sistem

hukum pidana yang praktis dan bermanfaat sesuai dengan perkembangan dan

persepsi masyakat tentang hak asasi manusia. Lebih lanjut di dalam buku

yang berjudul Lembaga Pidana Bersyarat, Muladi (2008:21) menjelaskan

bahwa Khusus mengenai masalah pidana sebagai salah satu masalah pokok

hukum pidana, persoalan yang sangat penting ialah mengenai konsep tujuan

pemidanaan, yang ingin mencari dasar pembenaran dari pidana sebagai usaha

untuk menjadikan pidana lebih fungsional. Untuk dapat memahami secara

luas teori-teori tentang tujuan pemidanaan ini, maka titik tolak pembahasan

harus dikaitkan dengan aliran-aliran di dalam hukum pidana, yakni aliran

klasik, aliran modern dan aliran neo klasik. aliran aliran yang dimaksud

adalah sebagai berikut:

1. Aliran Klasik

Aliran klasik muncul sebagai reaksi terhadap ancien regime

yang arbitrair pada abad XVIII di prancis dan inggris yang banyak

menimbulkan ketidak pastian hukum, ketidaksamaan hukum dan

ketidak adilan. (Hiariej 2014:24)

Aliran Klasik ini terutama menghendaki hukum pidana yang

tersusun secara sistematis dan menitikberatkan kepada perbuatan,

perumusan Undang-Undang dan perbuatan melawan hukum pidana.

perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis

belaka terlepas dari orang yang melakukanya. Jadi aliran ini ingin
23

mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku.

(Setiady, 2010:36)

Dapat di katakan aliran ini sangatlah kaku. Seperti yang

dikatakan oleh Muladi (2008:29), Aliran ini sangat membatasi

kebebasan hakim untuk menetapkan jenis pidana dan ukuran-ukuran

pemidanaanya.

Menurut Sudarto sebagaimana dikutip dalam Sholehudin

(2004:25) aliran klasik dalam hukum pidana bersifat retributif dan

represif terhadap tindak pidana. Aliran ini berpaham indeterminisme

mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan pada

perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendaki hukum pidana

perbuatan dan bukan pada pelakunya (daad strafrecht). Dalam sistem

pemidanaan, aliran klasik pada prinsipnya hanya menganut single track

system, yakni sistem sanksi tunggal berupa jenis sanksi pidana.

Hugo Grotius menggambarkan teori ini sebagai malus passionis

propter malum actionis (an evil to be inflicted because an evil has been

commited). Karena pada dasarnya kriteria berhasil dari model seperti ini

adalah derita atau kesakitan, karena pidana merupakan bentuk

kompensasi atas kejahatan yang telah dilakukan. Hal yang nyata dikutip

Muladi dari pandangan Immanuel Kant sebagai berikut: (Zulfa,

2011:51)

pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata


sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan
lain, baik bagi sipelaku itu sendiri maupun bagi
masyarakat, tetapi dalam hal semua harus dikenakan
24

hanya karena orang bersangkutan telah melakukan


kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat
sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri
(membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang
masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebelum
resolusi / keputusan pembubaran masyarakat itu
dilaksanakan hal ini dilakukan karena setiap orang
seharusnya menerima ganjaran dari perbuatanya, dan
perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada
anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian
mereka semua dapat dipandang sebagai orang pelanggar
yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu
merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum

Pendapat Muladi dan Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip

dalam Hiariej (2014:24) Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak

pada tiga tiang. Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak

ada pidana tanpa Undang-Undang , tidak ada perbuatan pidana tanpa

Undang-Undang dan tidak ada penuntutan tanpa Undang-Undang.

Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana

untuk tindak pidana yang dilakukanya dengan sengaja atau kesalahan.

Ketiga atau yang terakhir adalah asas pembalasan yang sekuler yang

berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud

untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal

dengan berat-ringanya perbuatan yang dilakukan.

2. Aliran Modern

Apabila pusat perhatian pada teori klasik adalah perbuatan yang

telah dilakukan oleh pelaku, maka pada pusat perhatian pada aliran

modern ini adalah pelaku itu sendiri. Aliran ini juga disebut aliran

positif karena dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode


25

ilmu pengetahuan dan bermaksud untuk melakukan pendekatan kepada

pelaku.

Berbeda dengan aliran klasik hukum pidana yang bertujuan

untuk melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan,

aliran modern dalam hukum pidana bertujuan melindungi masyarakat

dari kejahatan. Tujuan ini berpegang pada postulat le salut du people est

la supreme loi yang berarti hukum tertinggi adalah perlindungan

masyarakat (Hiariej, 2014:26)

Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:32) berpendapat bahwa,

Aliran ini sering juga disebut aliran positif karena dalam mencari sebab

kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan bermaksud untuk

langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat secara positif sejauh

dia masih dapat diperbaiki. Menurut aliran ini, perbuatan seseorang

tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata

terlepas dari orang yang melakukanya,. Tetapi harus dilihat secara

konkret bahwa dalam kenyataanya perbuatan seseorang itu dipengaruhi

oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis maupun faktor lingkungan

masyarakatnya. Jadi, aliran ini bertitik tolak mempunyai kebebasan

berkehendak tetapi dipengaruhi oleh watak dari lingkunganya, maka ia

tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana.

Jadi, aliran ini menolak pandangan adanya pembalasan berdasarkan

kesalahan yang subjektif.


26

Lebih lanjut di dalam buku Lembaga pidana bersyarat, Muladi

(2008:33) perpendapat bahwa, aliran ini bertitik tolak pada pandangan

determinisme untuk menggantikan doktrin kebebasan berkehendak.

Karena manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan kehendak tapi

dipengaruhi oleh watak dan lingkunganya, maka ia tidak dapat

dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan dan dipidana. Jadi aliran ini

menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan yang subjektif.

Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan kesalahan harus diganti

dengan sifat berbahayanya si pembuat. Bentuk pertanggungjawaban

terhadap sipembuat lebih bersifat tindakan perlindungan masyarakat.

Kalau toh digunakan istilah pidana, maka, menurut aliran ini, pidana

harus tetap diorientasikan pada sifat-sifat si pembuat. Jadi aliran ini

menghendaki adanya individualisasi pidana untuk mengadakan

resosialisai pelaku.

3. Aliran Neo Klasik

Perkembangan lebih lanjut aliran dalam hukum pidana adalah

aliran neo-klasik. Jika aliran klasik berorientasi pada perbuatan pidana

dan aliran modern berorientasi pada pelaku perbuatan pidana, maka

aliran neo-klasik berorientasi pada perbuatan pidana dan pelaku

perbuatan pidana atau yang dikenal dengan istilah daad-dader-

straftrecht. Aliran neo-klasik berawal dari doktrin kebebasan kehendak

sebagaimana yang ada pada aliran klasik, akan tetapi dengan

dipengaruhi aliran modern, aliran neoklasik mengenal adanya faktor-


27

faktor yang meringankan dalam pertanggungjawaban pidana. (Hiariej,

2014:28)

Pandangan M.P Rossi (1787-1844) sebagaimana dijelaskan oleh

Bakhri (2010:67) dengan memperhatilan keadaan individu maupun

masyarakat, dalam jajaran teori absolut, maupun aliran klasik, yang

mencirikan oleh penerapan sejalan Undang-Undang, metode, asumsi,

posisi pidana adalah tetap. Maka pandangan ini, telah mengawali era

hukum pidana neoklasik. Bahwa menjatuhkan pidana terutama

menerapkan pembalasan, menjalankan keadilan walaupun hidup

didalam masyarakat tidak sempurna sehingga tidak mungkin untuk

menuntut keadilan yang absolut. Pemidanaan didasarkan atas tertib

sosial, etika yang tidak sempurna. Penerapan hukum pidana yang

manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat.

Maka kebebasan yang luas oleh hakim dalam menjatuhkan pidana.

Pentingnya juga prevensi umum, selain pembalasan. Pembalasan dalam

hukum pidana tidak boleh melampaui apa yang selayaknya diterima

oleh pelaku kejahatan.

Ahli teori neoklasik memandang manusia sebagai mahluk

rasional dan menyukai kesenangan. Sasaran pidana adalah

menyampaikan suatu pesan kepada masyarakat bahwa pidana yang

dijatuhkan kepada penjahat diharapkan dapat mencegah orang lain yang

mendengar atau mengetahui pemidanaan tersebut agar tidak melakukan

kejahatan serupa. (Widodo, 2009:66)


28

Disamping aliran klasik dan aliran modern tersebut, terdapat

aliran yang dinamakan aliran neoklasik yang berkembang pada abad ke

19. Pokok dari aliran ini adalah, penolakan dari pidana yang dirasakan

sangat keras dari aliran neo klasik akan merusak semangat

kemanusiaan. Maka dilakukan perbaikan sebagai contoh the french

penal code 1791. Yang kemudian diperbaiki pada tahun 1810. Dalam

perbaikan tersebut dimungkinkan adanya kebijaksanaan hakim dalam

menjatuhkan pidana. dengan merumuskan pidana minimun dan

maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan.

Tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang berbeda.

Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran dalam hukum

pidana. Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari tujuan pidana

terdiri dari aliran klasik, aliran modern dan neoklasik, maka tujuan pidana

secara garis besar juga terbagi menjadi tiga, yakni teori absolut, teori relative

dan teori gabungan. (Hiariej, 2014:31).

Mengenai teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan

pengertian hukum pidana subjektif atau ius puniendi. Teori-teori ini mencari

dan menerangkan tentang dasar dari hak Negara dalam menjatuhkan dan

menjalankan pidana tersebut. (Chazawi, 2012:156)

Adapun mengenai teori-teori pemidanaan menurut para ahli adalah sebagai

berikut,
29

1. Teori Absolut atau Pembalasan

Menurut Loewy sebagaimana dikutip oleh Hiariej (2014:31)

Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana. Menurut teori

ini pembalasan adalah legitimasi pemidanaan. Negara berhak

menjatuhkan pidana karena penjahat telah melakukan penyerangan dan

perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telah dilindungi. Vos

dalam leerboek-nya berkomentar De absolute theorieen, die vooral

tegen het eind det 18e euuw opkomen, zoeken de rechtsgrond van de

straft in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond

om de dader te bestraffen (Teori absolut, terutama bermunculan pada

akhir abad ke-18 mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan:

kejahatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku).

Pada dasarnya terori pembalasan menitikberatkan kepada unsur

pembalasan karena pelaku telah melakukan suatu tindak pidana atau

kejahatan. Penganut dari teori ini adalah diantaranya adalah Kant, Hegel,

dan Stahl. Menurut Lamintang (2012:12) di dalam teorinya mereka

mencari dasar pembenaran dari pidana pada kejahatanya sendiri, yakni

suatu akibat yang wajar, yang timbul daru setiap kejahatan. Adapun

mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaan itu sendiri tidak

mendapat perhatiam di dalam teori-teori tersebut.

Menurut teori Kant sebagaimana dijelaskan oleh Lamintang

(2012:12), dasar pembenaran Suatu Pidana terdapat dalam apa yang

disebut kategorischen imperative, yang menghendaki agar setiap


30

perbuatan melawan hukum harus dibalas. Keharusan menurut keadilan

dan hukum, merupakan suatu keharusan yang sifatnya mutlak, hingga

setiap pengecualian atau setiap pembatasan yang semata-mata didasarkan

pada sesuatu tujuan harus dikesampingkan.

Sedangkan menurut Hegel sebagaimana dijelaskan oleh Muladi

dan Barda Nawawi Arief (2005:12) pidana merupakan keharusan logis

sebagai konsekuensi dari adanya kejahatan. Karena kejahatan adalah

pengingkaran terhadap ketertiban hukum Negara yang merupakan

perwujudan dari cita-susila, maka pidana merupakan peniadaan atau

pengingkaran terhadap pengingkaran.

Berikut ciri-ciri pokok atau karakteristik teori retributif

dikemukakan secara terinci oleh Karl. O. Christianen sebagai berikut:

(Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:17)

a. Tujuan Pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

b. pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak

mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk

kesejahteraan masyarakat;

c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya

pidana;

d. pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar

e. pidana melihat kebelakang; ia merupakan pencelaan yang

murni dan tujuanya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau

memasyarakatkan kembali si pelanggar.


31

Menurut Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawai Arief

(2005:14), sebenarnya sekarang sudah tidak ada lagi penganut ajaran

pembalasan yang klasik, dalam arti bahwa pidana merupakan suatu

keharusan demi keadilan belaka. Apabila masih ada penganut teori

pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai penganut teori pembalasan

yang modern. Misalnya Van Bemmelen, Pompe, Enschede. Pembalasan

disini bukanlah sebagai tujuan sendiri, melainkan sebagai pembatasan

dalam arti harus ada keseimbangan antara perbuatan dan pidana. Maka

dapat dikatakan ada asas pembalasan yang negatif. Hakim hanya

menetapkan batas-batas dari pidana yang tidak boleh melampaui batas

dari kesalahan pembuat.

2. Teori Utilitarian

Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan

tertib masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk prevensi terjadinya

kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu menakutkan,

memperbaiki atau membinasakan. Sehubungan dengan hal tersebut,

ditegaskan oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (1984:13) dalam

Setiadi (2010:56) bahwa, Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est

(karena orang membuat kejahatan) melainkan ne paccatum (supaya

orang jangan melakukan kejahatan)

Selanjutnya Karl O. Cristianen sebagaimana dikutip dalam

(Priyatno, 2013:26) memberi ciri pokok atau karakteristik teori utilitarian

sebagai berikut,
32

a. Tujuan Pidana adalah pencegahan;

b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan

masyarakat;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hokum yang dapat

dipersalahkan kepada sipelaku saja yang memenuhi syarat

untuk adanya pidana

d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan

e. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif); pidana dapat

mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan

maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:17) mengenai

tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara

istilah prevensi special dan prevensi general atau sering juga digunakan

istilah Special deterrence dan general deterrence.

Menurut Von Feuerbach sebagaimana dijelaskan oleh Hiariej

(2014:33) prevensi general atau prevensi umum dikenal dengan istilah

teori psychologischezwang atau paksaan psikologis. Artinya, adanya

pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan

akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat.
33

Lebih lanjut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:17)

menjelaskan bahwa, Dengan Prevensi general dimaksudkan pengaruh

pidana terhadap masyarakat pada umumnya. Artinya, pencegahan

kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah

laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan pidana.

Sedangkan dengan prevensi special menurut Th. W. Van Veen

dalam disertasinya dengan judul general preventive sebagaimana

dijelaskan oleh Hiariej (2005:33), menyatakan ada tiga fungsi

pencegahan umum. Pertama, menjaga atau menegakan wibawa penguasa,

terutama dalam perumusan perbuatan pidana yang berkaitan dengan

wibawa pemerintah, seperti kejahatan terhadap penguasa umum. Kedua,

menjaga atau menegakan norma hukum. Ketiga, pembentukan norma

untuk menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu

dianggap asusila dan oleh karena itu tidak diperbolehkan

Prevensi special juga dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

terpidana. Jadi, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana

dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan

tindak pidana lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana itu

berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat.

Teori tujuan pidana serupa ini dikenal dengan sebutan reformation atau

rehabilitation theory. (Muladi dan Barda Nawawi Arief 2005:17)


34

Van Hamel sebagaimana dijelaskan oleh Chazawi (2012:166)

membuat suatu gambaran berikut ini tentang pemidanaan yang bersifat

pencegahan khusus ini sebagai berikut:

a. pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni

untuk menakut-nakuti orang yang cukup dapat dicegah

dengan cara menakut-nakutinya melalui penjatuhan pidana

itui agar ia tidak melakukan niat jahatnya.

b. akan tetapi, bila ia tidak dapat lagi ditakut-takuti dengan

cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat

memperbaiki dirinya.

c. apabila bagi penjahat tersebut tidak dapat lagi diperbaiki,

penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau

membikin mereka tidak berdaya.

d. tujuan satu-satunya dari pidana ialah mempertahankan tata

tertib hukum di dalam masyarakat.

Selain prevensi special dan prevensi general, Van Bemmelen

sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005:19)

memasukan juga dalam golongan teori relatif ini apa yang disebutnya

daya untuk mengamankan (de beveil igende werking). Dalam hal ini

dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan

kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama

penjahat tersebut berada didalam penjara daripada kalau dia tidak dalam

penjara.
35

3. Teori Gabungan

Disamping pembagian secara tradisional teori-teori pemidanaan seperti

dikemukakan diatas, yaitu teori absolut dan teori relative, ada teori ketiga

yang disebut dengan teori gabungan (verenignings theorieen). Penulis

yang pertama mengajukan teori gabungan ini ialah Pellegrino Rossi

(1787-1848). Sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas

dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu

pembalasan yang adil, tetapi dia berpendirian bahwa pidana mempunyai

pelbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam

masyarakat.

Menurut Chazawi (2012:166-167) teori gabungan ini dapat dibedakan

menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

a. teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi

pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang

perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib

masyarakat. Pakar hukum pendukung teori gabungan ini

adalah Zevenbergen yang berpandangan bahwa makna setiap

pidana ialah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud

melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah

mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada hukum

dan pemerintahan. Oleh sebab itu, pidana baru dijatuhkan

jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata

tertib hukum itu.


36

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak

boleh lebih berat dari pada yang dilakukan terpidana.

Penganut teori gabungan yang kedua ini adalah Thomas

Aquino yang berpendapat bahwa dasar pidana itu ialah

kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus adanya

kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan (schuld)itu

hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan

secara sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang

melakukan perbuatan yang dilakukan dengan sukarela inilah

bersifat pembalasan. Sifat membalas dari pidana merupakan

sifat umum dari pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab

tujuan dari pidana pada hakikatnya adalah pertahanan dan

perlindungan tata tertib masyarakat.

Penganut lainya dari teori gabungan ini adalah Vos. Dijelaskan

oleh Hiariej (2005:34) bahwa, Vos secara tegas menyatakan bahwa selain

teori absolut dan teori relatif juga terdapat kelompok ketiga yang disebut

dengan teori gabungan. Disini terdapat suatu kombinasi antara

pembalasan dan ketertiban masyarakat. Selain titik berat pada

pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk

melindungi ketertiban hukum. Vos menyatakan titik berat yang sama

pada pidana adalah pembalasan dan perlindungan masyarakat. Dengan


37

demikian vos memberi bobot yang sama antara pembalasan dan

perlindungan masyarakat.

4. Teori Kontemporer

Menurut Hiariej (2005:35). Selain teori absolut, teori relative dan

teori gabungan sebagai tujuan pidana, dalam perkembanganya terdapat

teori-teori baru yang disebut dengan teori kontemporer. Bila dikaji lebih

mendalam, sesungguhnya teori-teori kontemporer ini berasal dari ketiga

teori tersebut diatas dengan beberapa modifikasi. Seperti menurut Wayne

R. Lafave menyebutkan salah satu tujuan pidana bertujuan sebagai

edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik dan

mana perbuatan yang buruk. Tujuan pidana yang lain adalah rehabilitasi.

Artinya, pelaku kejahatan harus diperbaiki kearah yang lebih baik, agar

ketika kembali ke masyarakat ia dapat diterima oleh komunitasnya dan

tidak lagi mengulangi perbuatan jahat. Pidana juga bertujuan sebagai

pengendalian sosial. Artinya, pelaku kejahatan diisolasi agar tindakan

berbahaya yang dilakukanya tidak merugikan masyarakat. Dan terakhir

menurut lafave, pidana bertujuan untuk memulihkan keadilan yang

dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif

dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut

hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga

korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari

penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali

pada keadaan semula dan bukan pembalasan.


38

Teori-teori pemidanaan yang banyak dikemukakan oleh para sarjana

tersebut mempertimbangkan berbagai aspek sasaran yang hendak dicapai, di

dalam penjatuhan pidana, yang dalam hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai

sosial budaya yang dihayati oleh para sarjana tersebut (Priyatno, 2013:22).

Maka dalam hal ini para sarjana berbeda pendapat tentang tujuan

dari pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan Tujuan pemidanaan) tercermin

dari teori-teori pemidanaan yang dianut oleh para sarjana. Hal ini seperti yang

dikatakan oleh Lamintang (2012:11) Mengenai tujuan yang ingin dicapai

dengan suatu pemidanaan ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat

diantara para pemikir atau di antara para penulis.

Namun pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan

yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: (Lamintang, 2012:11).

1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri


2. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-
kejahatan,
3. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu
melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-
cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Penetapan tujuan-tujuan pemidananan ini oleh Karl O.

Christiansen dikatakan sebagai syarat yang fundamental. Selanjutnya

dalam masalah ini Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh

Sholehudin (2003:118) menyatakan bahwa sehubungan dengan masalah

pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu, maka sudah barang tentu

harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan

dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut barulah kemudian


39

dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat diterapkan cara,

sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan.

Mengacu pada pendapat tersebut. Jika kita melihat Didalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang belum

merumuskan tentang tujuan dari sebuah pemidanaan, akan tetapi berbeda

dengan konsep rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional

yang telah menerangkan secara tegas Tujuan Pemidanaan.

Dalam Konsep Rancangan Buku 1 KUHP Nasional yang disusun

oleh LPHN pada tahun 1972 dirumuskan dalam pasal 2 sebagai berikut:

(1) Maksud tujuan pemidanaan ialah:


1. untuk mencegah dilakukanya tidak pidana demi
pengayoman Negara, masyarakat dan penduduk.
2. untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi
anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna
3. untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh
tindakan pidana.
(2) Pemidananan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia

Kemudian perkembangan terbaru dari konsep tujuan pemidanaan

di Indonesia tercantum di dalam konsep KUHP tahun 2012,terdapat

didalam Pasal 54 ayat (1) menjelaskan bahwa pemidanaan bertujuan :

1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan


norma hukum demi pengayoman masyarakat;
2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
4. memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai
dalam masyarakat; dan
5. membebaskan rasa bersalah pada terpidana
40

5. Teori Tujuan Pemidanaan yang Integratif (kemanusiaan dalam system

Pancasila

Menurut Muladi (2008:53) di dalam bukunya yang berjudul

Lembaga Pidana Bersyarat berpendapat bahwa dewasa ini masalah

pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih

memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak-hak asasi manusia, serta

menjadikan pidana bersifat operasional dan fungsional. Untuk ini diperlukan

pendekatan multi dimensional yang bersifat mendasar terhadap pemidanaan,

baik yang menyangkut dampak yang bersifat social. Pendekatan semacam ini

mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori integratif tentang

tujuan pemidanaan, yang dapat memenuhi fungsinya dalam rangka mengatasi

kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana.

Pemilihan teori ini telah didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat

yuridis, sosiologis ideologis. Sebagai berikut, Muladi (2008:53)

a. Alasan Sosiologis

Secara sosiologis telah dikemukakan oleh Stanley Group, Bahwa

kelayakan suatu pemidanaan tergantung pada anggapan-anggapan

seseorang terhadap hakekat manusia, informasi yang diterima sesorang

sebagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat, macam dan luas pengetahuan

yang mungkin dicapai dan penilaian terhadap persyaratan-persyaratan

untuk menerapkan teori tertentu serta kemungkinan-kemungkinan yang

dapat dilakukan untuk menemukan persyaratan-persyaratan tersebut.

(Muladi, 2008:54)
41

b. Alasan Ideologis

Dalam alasan ideologis pada tujuan pemidanaan ini sebenarnya

erat sekali hubunganya dengan alasan yang bersifat sosiologis tersebut

ditonjuolkan filsafat keseimbangan (evenwicht, harmonie) di dalam

kehidupan masyarakat tradisional Indonesia dengan konsekuensi bahwa

tujuan pemidanaan adalah mengembalikan keseimbangan di masyarakat,

maka di dalam alasan ideologis akan dibahas sampai berapa jauh filsafat

keseimbangan tersebut dijadikan pedoman di dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara di Indonesia (Muladi, 2008:58)

c. Alasan Yuridis-Filosofis

Hebert L Packer (1968:62) dalam Muladi (2008:58) menyatakan

bahwa hanya ada dua tujuan utama dari pemidanaan, yakni pengenaan

penderitaan yang setimpal terhadap penjahat dan pencegahan kejahatan.

Teori pemidanaan yang integrative mensyaratkan pendekatan yang integral

terhadap tujuan-tujuan pemidanaan, berdasarkan pengakuan bahwa

ketegangan-ketegangan yang terjadi diantara tujuan tujuan pemidanaan

tidak dapat dipecahkan secara menyeluruh. Didasarkan atas pengakuan

bahwa tidak ada satupun tujuan pemidanaan bersifat definitive, maka teori

pemidanaan yang integrative ini meninjau tujuan pemidanaan tersebut dari

berbagai perspektif. Dengan teori tujuan pemidanaan yang integratif ini

maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk

memperbaiki kerusakan individual dan sosial (Individual and social

damages) yang diakibatkan oleh tindak pidana. Hal ini terdiri dari
42

seperangkat tujuan pemidanaan yang harus dipenuhi, dengan catatan,

bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya kasuistis.

Menurut Sudarto (1997:571) sebagaimana dikutip oleh Muladi

(2008:59) Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksudkan diatas adalah :

(1) Pencegahan (umum dan khusus); (2) Perlindungan masyarakat; (3)

memelihara solidaritas masyarakat; (4) pengimbalan/pengimbangan.

2.5 Pidana Bersyarat dalam Pemidanaan

2.6.1 Pengaturan Pidana Bersyarat

Pengaturan tentang pidana bersyarat terdapat di dalam kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP). Perlu di ketahui bahwa Pidana Bersyarat

bukan merupakan pidana pokok ataupun pidana tambahan yang terdapat di

dalam Pasal 10 KUHP seperti halnya, Pidana Penjara, Denda, kurungan, dan

Pidana mati. Pidana Bersyarat bukan merupakan jenis pidana atau Straftsoort.

Melainkan merupakan cara pengenaan pidana atau Straftmodus.

Di dalam hukum pidana Indonesia pidana bersyarat merupakan

perkembangan pidana yang lebih humanis dan memberikan resosialisasi

kepada pelaku tindak pidana. hal ini dinyatakan oleh Prof. Muladi (2008:62-

63) sebagai berikut, dalam hukum pidana Indonesia, perkembangan ini

terlihat dengan dimasukanya Pasal-Pasal 14a-14 f kedalam W.v.S. 1915 pada

tahun 1926 (S.1926-251 jo. 486) beserta ordonasi pelaksanaanya (S.1926-

487) tentang pidana bersyarat (voorwaardelijke veroordeling).


43

Adapun pengaturan pidana bersyarat di dalam KUHP adalah sebagai

berikut. Yang pertama adalah mengenai ketentuan dalam penjatuhan pidana

bersyarat yang terdapat di dalam Pasal 14a ayar (1),(2),(3),(4) dan (5) KUHP.

Sebagai berikut,

1. Apabila Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama


satu tahun atau kurungan, tidak termasuk kurungan
pengganti, maka dalam putusanya dapat memerintahkan
pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika
dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain,
disebabkan karena melakukan suatu perbuatan pidana
sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah
tersebut diatas habis, atau karena terpidana selama masa
percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin
ditentukan dalam perintah itu.
2. Hakim juga mempunyai kewenangan seperti diatas,
kecuali dalam perkara-perkara mengenai penghasilan dan
persewaan negara apabila menjatuhkan denda, tetapi harus
ternyata kepadanya bahwa denda atau perampasan yang
mungkin diperintahkan pula, akan sangat memberatkan
terpidana. Dalam menggunakan ayat ini, kejahatan dan
pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara
mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan
pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhi
denda, tidak berlaku ketentuan Pasal 30 ayat 2.
3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah
mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan
4. Perintah tersebut dalam ayat 1 hanya diberikan jika hakim,
berdasarkan penyelidikan yang teliti , yakin bahwa dapat
diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya
syarat umum, yaitu bahwa terpidana tidak akan melakukan
perbuatan pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya
syarat-syarat itu ada.
5. Perintah tersebut dalan ayat 1 harus disertai hal-hal atau
keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.

Di dalam penjatuhan pidana bersyarat tersebut ditentukan suatu masa

percobaan oleh hakim. Yaitu dalam waktu tersebut terpidana wajib untuk

melakukan atau tidak melakukan syarat-syarat yang diberikan oleh hakim.


44

Kemudian mengenai masa percobaan di atur di dalam Pasal 14b KUHP.

Yang pada intinya adalah sebagai berikut,

(1) Khusus untuk kejahatan dan pelanggaran yang diatur di


dalam Pasal 492, 504, 505, 506, dan 536 paling lama
adalah tiga tahun. Sedangkan untuk pelanggaran yang
lain masa percobaan diberikan paling lama dua tahun.
(1) Masa percobaan tersebut di mulai sejak saat putusan
telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada
terpidana menurut cara yang diatur oleh Undang-
Undang,
(2) masa percobaan tersebut tidak termasuk selama terpidana
dihilangkan kemerdekaanya karena tahanan yang sah.
Adapun mengenai syarat-syarat yang harus di penuhi oleh terpidana

selama masa percobaan telah diatur di dalam Pasal 14 c KUHP. Yang

isinya adalah sebagai berikut,

(1) Dalam Perintah yang dimaksud dalam Pasal 14a kecuali


jika dijatuhkan denda, selain menetapkan syarat umum
bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana,
hakim dapat menentukan syarat khusus bahwa terpidana
dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada masa
percobaanya harus mengganti segala kerugian yang
ditimbulkan oleh perbuatan pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari
tiga bulan atau kurungan, atas salah satu pelanggaran
tersebut dalam Pasal 492, 502, 505, 506, dan 536, maka
boleh ditetapkan syarat-syarat khusus lainya mengenai
tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa
percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi
kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik bagi
terpidana.

Kemudian dalam hal pengawasan terhadap pidana bersyarat diatur

didalam Pasal 14d. dijelaskan oleh Muladi (2008:64) pasal 14d KUHP

mengatur tentang pejabat yang diserahi tugas mengawasi supaya syarat-

syarat yang dipenuhi, ialah pejabat yang berwenang menyuruh


45

menjalankan putusan, jika kemudian ada perintah untuk menjalankan

putusan. Kemudian didalam pasal 14d ayat (2) ditentukan bahwa untuk

memberikan pertolongan atau membantu terpidana dalam memenuhi

syarat-syarat khusus, hakim dapat mewajibkan kepada lembaga yang

berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah penampung atau

pejabat negara

2.6.1 Pertimbangan dan Ukuran dalam Penjatuhan Pidana Bersyarat

Dilihat dari keberadaan pelaku, maka ukuran ukuran bagi hakim dalam

menjatuhkan putusan pidana bersyarat diantanya sebagai berikut (Muladi,

2008:198-200) :

a. Keputusan tentang pidana bersyarat secara umum dikaitkan dengan

bentuk bentuk tindak pidana tertentu atau catatan kejahatan sesorang

pelaku tindak pidana, melainkan harus didasarkan atas kenyataan-

kenyataan dan keadaan-keadaan yang menyangkut setiap kasus.

Pengadilan harus mempertimbangkan hakekat dan keadaan-keadaan yang

menyertai suatu kejahatan, riwayat dan perilaku pelaku tindak pidana, dan

lembaglembaga serta sumbersumber yang ada di dalam masyarakat.

Pidana bersyarat harus mendapatkan prioritas utama di dalam penjatuhan

pidana, kecuali pengadilan berpendapat bahwa :

1) Perampasan kemerdekaan diperlukan untuk melindungi


masyarakat terhadap tindak pidana lebih lanjut yang
mungkin dilakukan oleh si pelaku tindak pidana;
2) Pelaku tindak pidana membutukan pembinaan untuk
perbaikan dan dengan pertimbangan efektifitas dalam hal
ini diperlukan pembinaan di dalam lembaga;
3) Penerapan pidana bersyarat akan mengurangi kesan
masyarakat terhadap beratnya tindak pidana tertentu.
46

b. Penentuan penjatuhan pidana bersyarat lebih bersifat normatif berdasarkan

penilaian obyektif daripda memperhatikan hal hal yang bersifat

psikologis. Di samping hal hal yang tersebut, maka ada faktor lain yang

dapat dijadikan pedoman di dalam penjatuhan pidana bersyarat adalah

sebagai berikut (Muladi dalam Setiady, 2009:121-122) :

1) Sebelum melakukan tindak pidana tersebut terdakwa belum


pernah melakukan tindak pidana yang lain dan selalu taat
pada hukum yang berlaku;
2) Terdakwa masih sangat muda (12-18 tahun);
3) Tindak pidana yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian
yang terlalu besar;
4) Terdakwa tidak menduga, bahwa tindak pidana yang
dilakukannya akan menimbulkan kerugian yang besar;
5) Terdakwa melakukan tindak pidana disebabkan adanya
hasutan orang lain yang dilakukan dengan intensitas yang
besar;
6) Terdapat alasan alasan yang cukup kuat, yang cenderung
untuk dapat dijadikan dasar memaafkan perbuatannya;
7) Korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana
tersebut;
8) Terdakwa telah membayar ganti rugi atau akan membayar
ganti rugi kepada si korban atas kerugian kerugian atau
penderitaan penderitaan akibat perbuatannya;
9) Tindak pidana tersebut merupakan akibat dari keadaan
keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
10) Kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia
tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
11) Pidana perampasan kemerdekaan akan menimbulkan
penderitaan yang besar baik terhadap terdakwa maupun
terhadap keluarganya;
12) Terdakwa diperkirakan dapat menanggapi dengan baik
pembinaan yang bersifat non-institusional;
13) Tindak pidana terjadi di kalangan keluarga;
14) Tindak pidana terjadi karena kealpaan;
15) Terdakwa sudah sangat tua;
16) Terdakwa adalah pelajar atau mahasiswa;
17) Khusus untuk terdakwa yang dibawah umur, hakim kurang
yakin akan kemampuan orangtua untuk mendidiknya.
47

2.6.2 Tujuan dan Manfaat Pidana Bersyarat

Di dalam hukum positif yaitu KUHP dan Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak ditemukan

secara eksplisit tujuan-tujuan yang akan dicapai dari pengenaan suatu jenis

pidana. Oleh karena hal tersebut, dalam tulisan ini penulis mengutip dari

pendapat para ahli hukum pidana tentang tujuan pidana bersyarat. Penerapan

pidana bersyarat harus diarahkan pada manfaat-manfaat sebagai berikut

(Muladi, 2008:197) :

a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus dapat


meningkatkan kebebasan individu, dan di lain pihak
mempertahankan tertib hukum serta memberikan
perlindungan kepada masyarakat secara efektif terhadap
pelanggaran hukum lebih lanjut;
b. Pidana bersyarat harus dapat meningkatkan persepsi
masyarakat terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara
memelihara kesinambungan hubungan antara narapidana
dengan masyarakat secara normal;
c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan dan melemahkan
akibat akibat negatif dari perampasan kemerdekaan yang
seringkali menghambat usaha pemasyarakatan kembali
narapidana ke dalam masyarakat;
d. Pidana bersyarat mengurangi biaya biaya yang harus
dikeluarkan oleh masyarakat untuk membiayai sistem
koreksi yang berdaya guna;
e. Pidana bersyarat diharapkan dapat membatasi kerugian dari
penerapan pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya
terhadap mereka yang kehidupannya tergantung kepada si
pelaku tindak pidana;
f. Pidana bersyarat diharapkan dapat memenuhi tujuan
pemidanaan yang bersifat integratif , dalam fungsinya
sebagai sarana pencegahan umum

Penjelasan lain mengenai tujuan pidana bersyarat diungkapkan oleh

Marlina (2009: 113) bahwa program pemasyarakatan bagi anak bertujuan

agar anak dapat terhindar dari mengulangi perbuatan pidana yang pernah
48

dilakukannya dan tetap dapat menjalani kehidupannya secara normal.

Program yang dibuat dalam lembaga pemasyarakatan lebih mengutamakan

kerja sosial dan aktivitas yang dapat mengembangkan kemampuan anak di

masa depan

Dijelaskan oleh Muladi (2008:152) bahwa pidana bersyarat

mempunyai manfaat atau keuntungan-keuntungan kepada individu terpidana

sebagai berikut:

a. Pertama, Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepada

terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat, sepanjang

kesejahteraan terpidana dipertimbangkan sebagai hal yang paling

utama daripada resiko yang mungkin diderita oleh masyarakat,

seandainya terpidana dilepas di Masyarakat.

b. Keuntungan yang kedua adalah bahwa pidana bersyarat

memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan

hidupnya sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilai-

nilai yang ada di masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan ini antara lain

adalah melakukan tugas pekerjaanya, melaksanakan kewajiban-

kewajibanya didalam keluarga, ikut serta didalam kegiatan rekreasi

dan tindakan-tindakan lain yang akan bermanfaat baginya sebagai

anggota masyarakat dan sebaliknya hal ini juga sangat bermanfaat

bagi masyarakat.

c. Manfaat yang ketiga adalah, bahwa pidana bersyarat akan

mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana


49

perampasan kemerdekaan, yang oleh Jerome H. Skolnick disebut

sebagai salah satu konsekwensi diluar hukum yang harus

diperhitungkan didalam kebijaksanaan para penegak hukum.

Stigma ini seringkali dirasakan juga oleh keluarganya.

Selanjutnya selain manfaat untuk individu, pidana bersyarat juga

mempunyai manfaat kepada masyarakat sebagai berikut: (Muladi 2008:153)

a. pertama, didalm menentukan apakah harus dijatuhkan pidana

bersyarat ataukah perampasan kemerdekaan, maka salah satu

pertimbangan utama adalah sampai seberapa jauhkah unsur-unsur

pokok kehidupan masyarakat memperoleh manfaat dari pemberian

pidana bersyarat tersebut. Hal ini dapat diamati dari keikutsertaan

terpidana bersyarat didalam pekerjaan-pekerjaan yang secara

ekonomis menguntungkan kehidupan masyarakat.

b. manfaat kedua bilamana ditinjau dari segi masyarakat adalah,

secara finansiil maka pidana bersyarat yang merupakan pembinaan

diluar lembaga akan lebih murah dibandingkan dengan pembinaan

didalam lembaga

2.6.3 Pidana Bersyarat dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketentuan tentang Pidana Bersyarat telah diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, namun sesuai dengan ketentuan Pasal 103

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, apabila Undang-Undang mengatur

lain atau menyimpang dari aturan khusus maka aturan umum tidak berlaku.

Maka dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis.
50

Ketentuan yang khusus tersebut disesuaikan dengan asas yang terdapat

didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan

anak salah satunya adalah kepentingan terbaik bagi anak.

Ketentuan pidana dengan syarat Pasal 71 ayat (1) huruf b Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 hakikatnya telah dikenal dalam KUHP

Indonesia. Pidana dengan syarat ini dikenal sebagai pidana percobaan

(voordardelijke verordering), sebagaimana ketentuan Pasal 14 a sampai

dengan f KUHP. Pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012, pidana dengan

syarat ini dilakukan melalui pembinaan diluar lembaga, pelayanan

masyarakat, atau pengawasan. (Mulyadi 2014:166)

Pengaturan pidana bersyarat yang diatur di dalam Pasal 73 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:

(1) Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan hakim dalam hal


pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun
(2) dalam putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan syarat umum
dan syarat khusus.
(3) Syarat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
Anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama
menjalani masa pidana dengan syarat.
(4) Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah
untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang
ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap
memperhatikan kebebasan Anak.
(5) Masa pidana dengan syarat khusus lebih lama daripada
masa pidana dengan syarat umum.
(6) Jangka waktu masa pidana dengan syarat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun.
(7) Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut
Umum melakukan pengawasan dan Pembimbing
Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar Anak
menempati persyaratan yang telah ditetapkan.
51

(8) Selama Anak menjalani pidana dengan syarat


sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Anak harus
mengikuti wajib belajar 9 (sembilan) tahun.

Apabila dijabarkan lebih lengkap ketentuan pidana dengan syarat

sebagaimana ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

menentukan beberapa dimensi yaitu : (Mulyadi 2014:168-169)

a. Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan apabila hakim anak

menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

Pidana dengan syarat harus memenuhi syarat umum yaitu tidak

akan melakukan tindak pidana apapun selama masa pidana

dengan syarat. Kemudian syarat khusus yaitu untuk melakukan

atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam

putusan hakim anak. Syarat khusus tersebut harus tetap

memperhatikan kebebasan anak termasuk untuk kebebasan

beragama.

b. jangka waktu batas maksimal pidana dengan syarat adalah 3

tahun. Pasal ini tidak menentukan secara spesifik dan khusus

apakah tenggang waktu tersebut dimaksudkan untuk masa

pidana dengan syarat umum atau syarat khusus. Konsekuensi

logisnya, tentu harus diinterpretasikan sebagai masa pidana

dengan syarat khusus, mengingat masa pidana yang lebih lama

dengan syarat umum.

c. pengawasan pidana dengan syarat dilakukan penuntut umum

anak, sehingga apabila terjadi kegagalan dalam memenuhi


52

syarat umum dan syarat khusus, penuntut umum anak

berkewajiban meminta hakim anak yang memutus perkara pada

tingkat pertama untuk memerintahkan agar pidana yang telah

dijatuhkan putusan terdahulu harus dijalankan. Oleh karena itu,

seorang anak dianggap telah gagal memenuhi syarat umum,

jikalau anak tersebut telah terbukti melakukan tindak pidana

dalam masa pidana bersyarat dengan syarat umum dan hal

tersebut dibuktikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Kemudian seorang anak dianggap

telah gagal memenuhi syarat khusus apabila anak tersebut telah

terbukti tidak memenuhi syarat khusus, dalam hal ini dibuktikan

dengan putusan hakim anak. Berikutnya, untuk membantu anak

dalam memenuhi syarat umum dan syarat khusus maka Undang-

Undang mewajibkan kepada pembimbing kemasyarakatan

sebagai pihak yang berkewajiban untuk membantu akan

memenuhi syarat umum dan syarat khusus.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, terhadap

anak yang dijatuhkan pidana dengan syarat, diwajibkan pula untuk

dikenakan salah satu 3 (tiga) kemungkinan pembinaan sebagai berikut :

(Mulyadi 2014:170)

a. Pertama, pembinaan di luar lembaga. Konteks ini dapat berupa

mengikuti program pembimbingan dan penyuluhan yang

dilakukan oleh pejabat pembina, mengikuti terapi akibat


53

penyalahgunaan alcohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainya. Masa pembinaan diluar lembaga dapat diperpanjang

selama 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dijalani, dalam

hal ini tidak dipenuhinya syarat khusus sebagaimana ketentuan

pasal 73 ayat (4) UU SPPA, dan oleh karena itu masa

pembinaan diluar lembaga tidak dapat melebihi batas waktu 3

(tiga) tahun, yang merupakan maksimal dari masa pidana

dengan syarat.

b. Kedua, pidana pelayanan masyarakat. Konteks pidana ini

diartikan untuk mendidik anak meningkatkan kepedulianya pada

kegiatan kemasyarakatan yang positif. Kegiatan tersebut dapat

berupa kegiatan membantu pekerjaan dilembaga pemerintah

atau lembaga kesejahteraan sosial. Bentuk pelayanan

masyarakat misalnya berupa membantu lansia, orang cacat, atau

anak yatim piatu dan membantu administrasi ringan dikantor

kelurahan. Kemudian pidana pelayanan masyarakat dijatuhkan

untuk paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus

dua puluh) jam, dan dapat diulang baik seluruhnya maupun

sebagian kewajiban.

c. Ketiga, pidana pengawasan. Jenis pidana ini hanya dapat

dijatuhkan kepada anak sebagaimana diatur dalam ketentuan

pasal 71 ayat (1) huruf b angka 3 UU SPPA paling singkat

adalah tiga bulan dan paling lama dua tahun. Kemudian anak
54

ditempatkan dibawah pengawasan penuntut umum anak dan

dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan. Anak dalam

kehidupan sehari-hari dirumah anak dan pemberian bimbingan

yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan.

2.6 Tinjauan umum tentang Anak dan Pemidanaan Terhadap anak

2.7.1 Anak dalam Hukum Positif di Indonesia

Menurut Sambas (2013:4) pengertian anak dapat dikaji dari

perspektif sosiologis, psikologis dan yuridis. Ditinjau dari perspektif yuridis

berarti kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum, dalam

lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan seorang

anak menyangkut kepada persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah

kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan anak dan lain-

lain. Sedangkan dalam lapangan hukum pidana menyangkut masalah

pertanggungjawaban pidana.

Pengertian anak secara hukum atau yuridis, dimana pengertian anak

diletakkan sebagai objek sekaligus subjek utama dalam suatu proses

legitimasi, generalisasi dan sistematika aturan yang mengatur tentang anak.

Perlindungan secara hukum inilah yang akan memberikan perlindungan

hukum terhadap eksistensi dan hak-hak anak. Maulana Hasan Wadong

(2010:5) dalam (Reskia, 2013:3). Berikut pengertian anak menurut

perundang-undangan di Indonesia,

1. Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP), pengertian anak

terdapat di dalam Pasal 45 anak yang belum dewasa apabila


55

belum berumur 16 (enam belas) tahun. Sedangkan apabila

ditinjau batasan umur anak sebagai korban kejahatan (Bab XIV)

adalah apabila berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 ayat (8) ditentukan bahwa anak

didik pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak

sipil yang dididik di lapas paling lama berumur 18 (delapan belas)

tahun.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan

Anak, menurut ketentuan pasal 1 ayat (2), Anak adalah seseorang

yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu tahun) dan belum

pernah kawin.

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan anak

diberikan batasan bahwa anak yang dimaksud dalam Undang-

Undang tersebut adalah anak nakal adalah orang telah mencapai

umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan

belas) tahun dan belum pernah kawin. Batasan 8 tahun tersebut

merupakan anak yang dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatanya berdasarkan Undang-Undang tersebut.

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, penjelasan tentang anak terdapat dalam Pasal 1 ayat 1

sebagai berikut, Anak adalah seorang yang belum berusia 18


56

(delapan belas) tahun termasuk anak yang berada dalam

kandungan.

6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi,

disebutkan Anak adalah seseorang yang berumur 18

(delapanbelas tahun)

7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan

tindak pidana perdagangan orang, disebutkan dalam pasal 1 angka

5 bahwa anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan

belas tahun) temasuk yang berada didalam kandungan.

8. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Nomor: 1/PUUVII/2010,

Tanggal 24 Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah

Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frase 8 tahun dalam Pasal

1 angka 1, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD 1945,

sehingga Mahkamah Konstitusi memutuskan batas minimal usia

anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12

tahun.

9. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, tentang perlindungan

anak, di dalam pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa, Anak adalah

seseorang yang belum berumur delapan belas tahun atau yang

masih berada di dalam kandungan

10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

anak. Pengertian di dalam Undang-Undang ini telah merubah


57

Batasan usia anak sebagai orang yang dapat

dipertanggungjawabkan dalam proses peradilan. Disebutkan

dalam pasal 1 ayat 2 berbunyi sebagai berikut, Anak yang

Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan

hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang

menjadi saksi tindak pidana. Kemudian penjelasan dari ayat 2

tersebut terdapat di dalam ayat 3 yang berbunyi sebagai

berikut,Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)

tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga

melakukan tindak pidana.

Berkaitan dengan peradilan pidana Anak dan pemidanaan terhadap Anak

maka dalam skripsi ini definisi Anak yang digunakan adalah pengertian

Anak yang berhadapan dengan hukum dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2.7.2 Pemidanaan Terhadap Anak

Menurut Sutatiek (2013:2), Subjek hukum yang dapat dijatuhi

pidana dan tindakan adalah setiap pelaku pidana, sesuai dengan situasi dan

kondisinya. Anak-anak pelaku tindak pidana pun dapat dijatuhi pidana

atau tindakan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan

pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat

dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atau


58

mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan

kemanusiaan.

Pada hakikatnya untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi

anak telah di atur jenis pidana dan tindakan yang telah diatur sedemikian

rupa sehingga berbeda dengan jenis pidana yang terdapat di dalam Kitab

Undang-Undang hukum Pidana. Hal ini terlihat pada konsideran Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012. Jenis-jenis pidana yang dijatuhkan kepada

anak diatur di dalam Bab V Pasal 69 Sampai dengan Pasal 81. Kemudian

diatur pula mengenai Tindakan (maatregel) Sedangkan Jenis Tindakan

yang dapat dijatuhkan kepada anak diatur di dalam Pasal 82 sampai

dengan Pasal 83.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak diatur bahwa anak hanya dapat dijatuhi pidana atau

dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang.

Sedangkan anak yang belum berusia 12 tahun hanya dapat dikenai

tindakan. Ringanya perbuatan, keadaan pribadi anak atau keadaan pada

waktu dilakukan perbuatanya atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan

dasar pertimbangan hakim untuk dapat menjatuhkan pidana atau

mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan

kemanusiaan. (Pramukti dan Primaharsya, 2015:87)

Pemberian sanksi terhadap anak harus tetap memperhatikan berat

ringanya kenakalan yang dilakukan, dapat saja dilakukan pemberian sanksi

pidana, atau sanksi pidana dan tindakan maupun pemberian tindakan saja.
59

Namun demikian, mengingat fungsi restoratif dari tujuan penanganan

anak, tingkat usia anak, kondisi kejiwaan anak, serta masa depan anak

adalah hal yang sangat mendasar menjadi pertimbangan utama. (Sambas,

2010:217)

Adapun jenis jenis pidana bagi anak terdiri dari pidana pokok dan

pidana tambahan yang telah diatur didalam Bab V Pasal 71 Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 sebagai berikut;

(1) Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:


a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana;
b. pemenuhan kewajiban adat.

Berikut penjelasan dari tiap-tiap jenis sanski pidana dalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tersebut : (Pramukti dan

Primaharsya 2015:88-92)

a. Pidana Peringatan

pidana peringatan adalah pidana ringan yang tidak

mengakibatkan pembatasan kebebasan hak. Dalam hal ini anak

hanya diberikan hukuman berupa peringatan. Sebagai contoh

apabila seorang anak yang melakukan pencurian beberapa

buah manga yang dimiliki oleh tetangganya. Pada kasus


60

tersebut akan diberikan pidana peringatan saja yang diberikan

kepada anak dan tidak sampai ke meja pengadilan.

b. Pidana Bersyarat

pidana dengan syarat dapat dijatuhkan hakim dalam hal

pidana penjara yang dijatuhkan paling lama dua tahun. Dalam

putusan pengadilan mengenai pidana bersyarat, ditentukan

mengenai syarat umum dan syarat khusus. Dan dapat meliputi

kegiatan pembinaan diluar lembagam pelayanan masyarakat

dan pengawasan.

c. Pelatihan kerja

pidana pelatihan kerja dilaksanakan dilembaga yang

melaksanakan pelatihan kerja sesuai dengan usia anak.

Lembaga yang melaksanakan pelatihan kerja antara lain, Balai

Latihan Kerja, lembaga pendidikan vokasi. Pidana iini

dikenakan paling singkat selama 3 bulan dan paling lama 1

tahun.

d. Pembinaan

pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan

ditempat pelatihan kerja atau lembaga pembinaan yang

diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Pidana

pembinaan di dalam lembaga dijatuhkan apabila keadaan dan

perbuatan anak tidak membahayakan masyarakat. Dalam hal

ini pembinaan dalam lembaga dilakukan paling singkat 3 bulan


61

dan paling lama 24 bulan. Dalam pasal 80 ayat (4) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 menyebutkan bahwa anak yang

telah menjalani dari lamanya pembinaan di dalam lembaga

dan tidak kurang dari 3 bulan berkelakuan baik berhak

mendapatkan pembebasan bersyarat.

e. Penjara

pidana pembatasan kebebasan dilakukan dalam hal

anak melakukan tindak pidana yang disertai kekerasan. Dalam

pasal 79 ayat (2) menyebutkan bahwa pidana pembatasan

kebebasan dijatuhkan terhadap anak paling lama setengah dari

maksimum pidana penjara yang diancamkan orang dewasa.

Selain itu, minimum khusus pidana penjara tidak berlaku

terhadap anak. Dalam ketentuan mengenai pidana penjara

dalam KUHP berlaku juga terhadap anak sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Anak yang dijatuhi hukuman pidana

penjara ditempatkan di LKPA.

Selain pidana pokok yang telah diuraikan diatas. Diatur juga

mengenai pidana tambahan. Perihal pidana tambahan diatur dalam

pasal 71 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 berupa:

a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana .

dari aspek teknis-yuridis terminology perampasan

merupakan terjemahan dari istilah belanda Verbeurd


62

verklaring. Sebgaia pidana tambahan yang dapat dijatuhkan

hakim disamping pidana pokok. (Mulyadi 2005:139)

pengertian perampasan keuntungan yang diperoleh dari

tindak pidana adalah mencabut dari orang-orang yang

memegang keuntungan dari tindak pidana yang diperoleh dari

keuntungan Negara. (Pramukti dan Primaharsya 2015:91)

b. Pemenuhan Kewajiban Adat

yang dimaksud denga kewajiban adat adalah denda atau

tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat

yang tetap menghormati harkat dan martabat anak serta tidak

membahayakan fisik dan mental anak (Pramukti dan

Primaharsya 2015:91)

Berangkat dari tujuan pemidanaan dalam upaya memberikan

perlindungan demi tercapainya kesejahteraan anak, maka kriteria standar

berat ringanya pemberian sanksi bukan hanya dilihat atau diukur secara

kuantitatif. Melainkan lebih didasarkan kepada pertimbangan kualitatif.

Oleh karena itu pertimbangan berat ringanya sanksi bukan hanya sebatas

adanya pengurangan dari ancaman sanksi untuk orang dewasa, melainkan

perlu dipertimbangkan juga bobot sanksi yang diancamkan (Sambas

2010:225)

Saat ini Tujuan pemidanaan terhadap anak belum tercantum secara

tegas di dalam perundang-undangan. Akan tetapi terdapat beberapa asas

yang mendasari segala tindakan di dalam proses peradilan anak. Yaitu


63

tercantum di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Antara lain, Perlindungan,

Keadilan, non diskriminasi, Kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan

terhadap pendapat anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak,

pembinaan dan pembimbingan anak, proporsional, perampasan

kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir, dan penghindaran

pembalasan.

Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak, tidak secara eksplisit mengatur tujuan pemidanaan,

namun secara umum dapat dilihat dalam konsideranya. Tujuan yang

hendak dicapai adalah dalam upaya melindungi dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh,

serasi, selaras dan seimbang (Sambas, 2010:25).

Terkait dengan hal tersebut Anis Widyawati dalam jurnal South

East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law,

menyatakan bahwa:

the punishment which is decided by the judge was not merely


punishment, but such penalties should also concern to the
interests of the children, that the children are not only
deterrent but also has benefits for the child's development in
the future that is education

Selain itu telah disepakati oleh masyarakat internasional

sebagaimana diungkapkan dalam konvensi hak-hak anak yang telah

diratifikasi oleh Negara Indonesia, secara tegas dinyatakan bahwa:


64

In All actions concerning children, wheter undertaken by public

or private social welfare institution, courts of law, administrative

authorities or legislative bodies, the best interest of the child shall be a

primary consideration (dalam semua tindakan yang menyangkut anak

yang dilakukan oleh lembaha-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah

atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif,

kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama. (Sambas,

2010:25).

Adapun instrumen hukum internasional lain menyatakan sejalan

dengan konvensi hak-hak anak yaitu Standard Minimum Rule Juvenile

Justice (SMR-JJ) atau yang di kenal dengan Beijing Rule, menegaskan

prinsip-prinsip pedoman dalam mengambil keputusan. Berdasarkan Rule

17.1, menyatakan prinsip-prinsip yang harus dijadikan pedoman dalam

pengambilan keputusan adalah sebagai berikut : (Sambas, 2010:25)

a) Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang di ambil selamanya harus

diseimbangkan tidak hanya pada keadaan-keadaan dan

keseriusan berat ringanya tindak pidana (the circumstances

and the grafity of the offence), tetapi juga keadaan-keadaan dan

kebutuhan-kebutuhan si anak (the circumstances and of the

juvenile) serta pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat (the

need of the society)


65

b) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak

hanya dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan

dibatasi seminimal mungkin

c) Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali

anak melakukan tindakan kekerasan yang serius terhadap

orang lain atau terus-menerus melakukan tindak pidana serius

dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang lebih tepat;

d) Kesejahteraan anak harus menjadi faktor pedoman dalam

mempertimbangkan kasus anak

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, tampak jelas bahwa

dalam penjatuhan sanksi terhadap anak, tujuan yang hendak dicapai adalah

perlindungan hukum yang harus mengedepankan yang terbaik bagi

kepentingan anak, sehingga dapat tercapainya kesejahteraan anak

2.7.3 Instrumen Internasional Tentang Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana

Anak

Sejumlah konvensi internasional yang seharusnya menjadi dasar atau

acuan pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan atau pelaksanaan

peradilan anak dan menjadi standar perlakuan terhadap anak-anak yang berada

dalam system pemasyarakatan adalah sebagai berikut,

a. Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik

(International Covenant on Civil and Political Rights), resolusi

Majelis Umum 2200 A (XXI) Tanggal 16 Desember 1976.


66

Dalam Pasal 10 ICCPR, Terkait dengan hak anak dalam peradilan

pidana ditentukan prinsip bahwa pelanggar hukum yang belum

dewasa (anak) harus dipisahkan dari yang sudah dewasa dan

diberlakukan yang layak bagi usia dan status hukum mereka, serta

perlunya diutamakan rehabilitasi. Hal ini berarti peradilan yang

menempatkan anak sebagai tersangka ataupun terdakwa harus

dipisahkan agar anak yang berkonflik dengan hukum tersebut tidak

mendapat hukuman yang bersifat menyakiti tetapi hukuman yang

bersifat restorative dan rehabilitative.

b. Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child),

Resolusi Majelis Umum PBB No. 109 Tahun 1990

Sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap generasi penerus bangsa,

sampai saat ini konvensi hak anak tersebut diratifikasi melalui

Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Konvensi ini mengatur hak-hak anak

secara rinci, konvensi ini merumuskan prinsip-prinsip hak anak yang

ditujukan untuk melindungi hak anak (Djamil, 2013:58)

c. Peraturan-peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa

Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (The Beijing Rules),

Resolusi Majelis Umum PBB No. 40/33 Tahun 1985

The Beijing Rules merupakan salah satu instrument hukum yang

sering digunakan sebagai landasan administrasi peradilan bagi anak.

Prinsip umum dalam dokumen ini adalah setiap remaja atau anak yang

sedang berhadapan dengan peradilan anak berhak atas semua


67

perlakuan yang ditetapkan didalam peraturan ini. Sedangkan prinsip

khususnya memuat beberapa rumusan, yaitu bahasa sistem peradilan

bagi anak-anak akan mengutamakan kesejahteraan anak. Karena itu

mereka diberi kebebasan membuat keputusan pada seluruh tahap

proses peradilan dan pada tahap-tahap berbeda dari administrasi

peradilan bagi anak, termasuk pengusutan, penuntutan, pengambilan

keputusan dari pengaturan-pengaturan lanjutanya. (Pramukti dan

Primaharsya 2015:56)

d. Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Rangka

Pencegahan Tindak Pidana Remaja (United Nations Guideilines for

the Preventive of Juvenile Deliquency, Riyadh Guidelines),

Resolusi Majelis Umum PBB No. 45/112 Tahun 1990

Prinsip-prinsip yang dirumuskan dalam Riyadh Guidelines adalah

bahwa program dan pelayanan masyarakat untuk pencegahan

kenakalan anak agar dikembangkan dan badan-badan pengawasan

sosial yang resmi supaya dipergunakan sebagai upaya akhir. Penegak

hukum dan petugas lain yang relevan dari kedua jenis kelamin, harus

dilatih agar tanggap atas kebutuhan khusus anak dan agar terbiasa dan

menerapkan semaksimal mungkin program-program dan

kemungkinan-kemungkinan penunjukan pengalihan anak dari system

pengadilan (Pramukti dan Primaharsya 2015:58)

e. Konvensi Menentang Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman

lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat


68

manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or

Degrading Treatment or Punishment) Resolusi 39/46 tanggal 10

Desember 1984, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik

Indonesia dengan UU nomor 5 Tahun 1998.

Konvensi internasional tersebut merumuskan beberapa prinsip yang

juga terkait dengan anak yang berkonflik dengan hukum. Dalam

konvensi tersebut dirumuskan bahwa setiap negara menjamin semua

perbuatan penganiayaan merupakan pelanggaran hukum pidana.

(Djamil, 2014:60)

f. Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan

Kebebasanya, Resolusi 45/113 Tahun 1990.

Resolusi PBB yang dikeluarkan pada tahun 1990 ini cukup rinci

merumuskan tentang hak anak terutama yang terkait dengan anak

yang kehilangan kebebasanya. Prinsip umumnya adalah bahwa

peraturan ini harus diterapkan secara tidak berat sebelah, tanpa

diskriminasi, dengan menghormati kepercayaan-kepercayaan, praktik

agama dan budaya, serta konsep moral anak yang bersangkutan.

Bahkan terkait dengan pengenaan pidana penjara, aturan ini

mengharuskan pidana penjara harus digunakan sebagai upaya akhir

dan harus menjamin para anak mendapatkan manfaat dari kegiatan-

kegiatan dan program-program yang diadakan lembaga. Mereka harus

dipisah dari orang dewasa. (Djamil, 2014:69)


69

g. Aturan-aturan mengenai tingkah laku bagi petugas penegak hukum,

resolusi majelis umum PBB No.34/169 Tanggal 17 Desember 1979.

Prinsip-prinsip yang terkait dalam penyelenggaraan peradilan dalam

dokumen ini adalah bahwa petugas penegak hukum harus melayani

masyarakat dengan melindungi martabat manusia dan menjaga serta

menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia semua orang dan

menggunakan kekerasan ketika benar-benar diperlukan (Pramukti dan

Primaharsya, 2015:55)
70

KERANGKA BERPIKIR

Tindak Pidana Pemidanaan Berdasar Tujuan Pemidanaan


UU Sistem Peradilan (Kepentingan
Anak Pidana Anak Terbaik Bagi
Anak)

Pidana Bersyarat
Teori Tujuan
(Pasal 73 UU No.11 Pemidanaan
Tahun 2012)

Syarat Khusus yang


Syarat Umum di tetapkan hakim
dalam putusanya

Di Pengadilan Negeri Ungaran Tidak


Menyertakan Syarat Khusus

Kedudukan/ Pertimbangan dalam


eksistensi Syarat Memberikan Syarat
Khusus Khusus
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan yuridis sosiologis yang merupakan suatu pendekatan selain

menggunakan asas dan prinsip hukum dalam meninjau, melihat dan

menganalisa masalah yang terjadi (Soekanto 1997:10).Yuridis Sosiologis

adalah pendekatan yang mengutamakan pada aturan hukum/yuridis yang

dipadukan dengan menelaah fakta-fakta sosial yang terkait dengan

penelitian. Yuridis Sosiologis dilakukan berdasarkan permasalahan-

permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, baik tindakan yang dilakukan

oleh manusia dilingkungan masyarakat, maupun pelaksanaan hukum oleh

lembaga-lembaga sosial. (Sugono, 2006:101)

Selain itu Ronny Hanitijo Soemitro (1990:12) mengatakan bahwa

dalam menghadapi suatu permasalahan yang dibahas berdasarkan peraturan-

peraturan yang berlaku kemudian dihubungkan pada kenyataan-kenyataan

yang terjadi di dalam masyarakat.

Dalam penelitian ini aspek yuridis yang dipahami dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak di atur tentang pidana bersyarat dimana di dalam penjatuhan

pidana bersyarat ditentukan syarat umum dan syarat khusus yang

dicantumkan dalam putusan hakim. Akan tetapi pada tataran praktiknya

71
72

hakim menjatuhkan pidana bersyarat hanya mencantumkan syarat umum dan

tidak mencantumkan syarat khusus yang wajib dilakukan atau tidak dilakukan

oleh terpidana. Maka aspek Sosiologisnya adalah dengan meneliti kedudukan

Syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak di Pengadilan

Negeri Ungaran dan Pertimbangan Hakim dalam Menerapkan Syarat Khusus

pada Penjatuhan Pidana Bersyarat Bagi anak.

3.2 Jenis Penelitian

Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam skripsi ini, jenis

penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif. Selanjutnya penelitian

kualitatif menurut Moleong (2007:6) adalah penelitian yang bermaksud untuk

memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain., secara holistik,

dan dengan cara deskripsi dalam bentuk katakata dan bahasa, pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

alamiah.

Sedangkan menurut Bogdam dan Taylor dalam Moleong (2002:3)

kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati.

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang

manusia, keadaaan atau gejala lainya sesuai dengan dasar jenis penelitian

yang telah diuraikan tersebut maka penelitian dalam skripsi ini diharapkan
73

dapat menganalisis permasalahan-permasalahan yang akan di teliti yaitu

penerapan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak di

Pengadilan Negeri Ungaran dan Pertimbangan Hakim dalam menerapkan

syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat bagi anak, dan kedudukan

syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada anak di Pengadilan

Negeri Ungaran.

3.3 Data dan Sumber Data

Dalam suatu penelitian tentunya memerlukan data dari obyek yang

di teliti. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini penulis menentukan

lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Ungaran. Berdasarkan jenis penelitian

skripsi ini maka data yang penulis gunakan adalah:

a. Data Primer

Data Primer adalah Data primer adalah data yang diperoleh

secara langsung dari informan atau masyarakat (Soemitro

1988:10). Menurut Moleong (2004:157), sumber data utama

dapat diperoleh dari kata-kata dan tindakan orang-orang yang

diamati atau diwawancarai. Sumber utama ini dicatat melalui

catatan tertulis atau rekaman video atau audio tape, pengambilan

foto atau film. Pencatatan sumber data utama melalui wawancara

hasil usaha gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan

bertanya. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari


74

1. Responden

Responden adalah orang yang menjawab pertanyaan yang

diajukan peneliti, untuk tujuan peneliti itu sendiri (Ashofa,

2004:2). Lebih lanjut Fajar dan Achmad (2013:174)

menjelaskan bahwa responden ini merupakan orang atau

individu yang terkait secara langsung dengan data yang

dibutuhkan. Maka untuk mendapatkan data primer yang dapat

digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini,

responden yang dipilih adalah Hakim anak pada Pengadilan

Negeri Ungaran yang telah menjatuhkan putusan pidana

bersyarat kepada anak.

2. Informan

Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan

informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moleong,

2006:132). sebab informan hanya orang yang memberikan

informasi data yang dibutuhkan oleh peneliti sebatas yang

diketahuinya dan peneliti tidak dapat mengarahkan jawaban

sesuai dengan yang diinginkanya (Fajar dan Achmad

2013:135). Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam

skripsi ini maka informan pada penelitian ini adalah Ketua

Pengadilan Negeri Ungaran.


75

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui bahan

kepustakaan (Soemitro 1988:10). Data sekunder dalam penelitian

hukum terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai

otoritas (autoritatif). (Ali 2009:47). Dalam penelitian ini

bahan hukum primer khususnya peraturan Perundang-

undangan seperti:

1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak

3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang

hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi (Ali

2009:54). Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini

adalah buku-buku teks yang berisi materi tentang sistem

Peradilan anak. Dan data-data serta berkas pengadilan

Negeri Ungaran

3. Bahan Hukum Tersier


76

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan

sebagai pelengkap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder. Dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang

dipakai adalah kamus Hukum, Kamus Bahasa Indonesi

3.4 Lokasi Penelitian


Dalam penelitian ini lokasi yang dipilih adalah Pengadilan Negeri

Ungaran yang berlokasi Jl. Merapi, Bandarjo, Ungaran Barat., Semarang,

Jawa Tengah (50517). Alasan penulis memilih lokasi tersebut untuk

dilakukan penelitian adalah adanya putusan Pengadilan Negeri Ungaran yang

di dalam putusan tersebut terdapat vonis pidana bersyarat, 2 (dua) Putusan

tidak memuat syarat khusus dan 1 (satu) putusan tidak memuat syarat khusus.

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian

3.5.1 Populasi

Populasi adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh

gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. (Soemitro,

1988: 44). Ashshofa (2007: 79) menyatakan populasi yaitu keseluruhan dari

obyek pengamatan atau obyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini

adalah Hakim Anak pada Pengadilan Negeri Ungaran

3.5.2 Sampel

Menurut Ashofa (2007: 79) menyatakan bahwa sampel merupakan

bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya. Menurut

Soekanto (2014:172) tata cara pengambilan sampling terdiri atas probability

sampling dan non-probability sampling yaitu penerapan sampling apabila


77

peneliti ingin melakukan penelitian yang bersifat eksplanatoris yang dapat

dilakukan dengan teknik, quota sampling yaitu pengambilan sampel dengan

mendapatkan replika dari populasi yang hendak digeneralisasikan, accidental

sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu peristiwa

tertentu. Dan purposive sampling yaitu pengambilan sampel dengan

menetapkan ciri yang sesuai dengan tujuan.

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan

purposive sampling yaitu dalam memilih sampel dari populasi dilakukan

secara tidak acak dan didasarkan dalam suatu pertimbangan tertentu yang

dibuat oleh peneliti sendiri berdasarkan ciri atau sifat populasi yang sudah

diketahui sebelumnya (Moleong, 2004). Jadi dalam hal ini peneliti

menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi.

Sampel dari penelitian ini adalah Hakim Anak yang telah menjatuhkan

Pidana Bersyarat kepada Anak.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

3.6.1 Wawancara

Menurut Moleong (2005:186), Wawancara adalah percakapan dengan

maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara

(interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Lebih lanjut

Suratman dan Dillah (2012:127) mengatakan bahwa selama ini metode

wawancara seringkali dianggap sebagai metode yang paling efektif dalam

pengumpulan data primer di lapangan. Dianggap efektif karena interviewer


78

dapat bertatap muka langsung dengan responden untuk menanyakan perihal

pribadi responden, fakta-fakta yang ada dan pendapat opinion maupun

persepsi diri responden dan bahkan saran-saran dari responden. Dalam

mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam skripsi ini maka wawancara

dilakukan kepada Hakim pada Pengadilan Negeri Ungaran yang menjatuhkan

pidana bersyarat kepada anak.

3.6.2 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan metode pengumpulan data yang dipergunakan

bersama-sama metode lain seperti wawancara, pengamatan (observasi) dan

kuesioner. (Suratman dan Dillah 2014:123).

Penulis melakukan studi pustaka terhadap buku-buku dan literatur-literatur

yang berhubungan dengan penelitian ini untuk memperoleh acuan dan

landasan teoritis yang dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan

yang diteliti di dalam skripsi ini

3.7 Validitas dan Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif terdapatnya validitas data yang diambil

sangat penting sesuai dengan penjelasan oleh Moleong (2011: 171)

menyatakan bahwa data merupakan konsep kesatuan validitas dan kendala

atau reabilitas versi positifisme dan disesuaikan dengan tuntutan pengetahuan,

kriteria dan paradigma sendiri. Pemeriksaan keabsahan data dilakukan

dengan tehnik trianggulasi. Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2011: 330).

Trianggulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik


79

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat

yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton, 1987: 331) dalam

(Moleong, 2011: 330). Trianggulasi dengan sumber derajat dicapai dengan

jalan:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara;

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa

yang dikatakannya secara pribadi;

3. Membandingkan apa yang orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu;

4. Membandingkan keadan dan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang

berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, dan orang

pemerintahan; dan

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang

berkaitan . (Moleong, 2011: 331).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan trianggulasi dengan sumber

derajat dicapai dengan jalan membandingkan hasil wawancara dengan isi

suatu dokumen yang berkaitan yaitu Putusan Pengadilan Negeri Ungaran

serta peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


80

3.8. Metode Analisis Data

Lexy J Moleong (2010:248) Analisis data adalah proses mengatur urutan

data, mengorganisasikan kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian

dasar. Sedangkan analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan

jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya

menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskanya, mencari dan

menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan

memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Nasution (2008:184) Teknik analisis pada dasarnya adalah analisis deskriptif,

diawali dengan mengelompokan data dan informasi yang sama menurut sub

aspek dan selanjutnya melakukan interpretasi untuk memberikan makna

terhadap sub aspek dan hubunganya satu sama lain, kemudian setelah itu

dianalisis atau interpretasi keseluruhan aspek yang menjadi pokok

permasalahan penelitian yang dilakukan secara induktif sehingga memberikan

gambaran secara utuh.


BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pertimbangan Hakim dalam Memberikan Syarat Khusus Pada

Penjatuhan Pidana Bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran

4.1.1 Pertimbangan Yuridis

Pada hakikatnya pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana terdiri

dari dua aspek pertimbangan yaitu pertimbangan yuridis dan pertimbangan

sosiologis. Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana

yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan Hakim Anak karena

pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandellen) dari

suatu tindak pidana apakah perbuatan Anak tersebut telah memenuhi dan sesuai

dengan tindak pidana yang didakwakan jaksa/Penuntut Umum Anak. Dapat

dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara

langsung akan berpengaruh besar terhadap amar putusan Hakim Anak. (Mulyadi,

2014:297)

Untuk dapat menjatuhkan suatu pidana maka harus terdapat

pertimbangan terhadap pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan oleh Penuntut Umum. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah

pertimbangan Hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap

dalam persidangan dan oleh Undang-Undang ditetapkan sebagai hal yang harus

dimuat dalam putusan (Muhammad, 2007:220)

81
82

Sebelum meninjau pertimbangan Hakim dalam memilih pidana bersyarat

yang dijatuhkan kepada Anak maka harus meninjau pertimbangan yuridis

mengenai unsur-unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh Anak. Pada putusan

mengenai pidana bersyarat kepada Anak di pengadilan Negeri Ungaran Nomor

4/Pid.sus-Anak/2015.PN.Unr. dapat diketahui bahwa Hakim Anak Dalam

memutus perkara pidana dan menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak

khususnya dalam memberikan syarat khusus, pertimbangan-pertimbangan yuridis

yang digunakan oleh Hakim yaitu meliputi surat dakwaan, kesesuaian alat bukti

dan perbuatan, Tuntutan dari Penuntut Umum dan Pledoi dari penasihat hukum.

Adapun Dakwaan dari Penuntut Umum adalah sebagai berikut,

DAKWAAN

- Bahwa Terdakwa I. TERDAKWA I, Terdakwa II. TERDAKWA II, MNC


(berkas terpisah), MZH (berkas terpisah), FH (berkas terpisah),ND (berkas
terpisah), WH (berkas terpisah) , pada hari Minggu tanggal 13 September
2015 sekira jam 03.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu lain di
bulan September tahun 2015, bertempat di Jalan Raya Dusun Xxxxx Blok
A Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang atau setidak-
tidaknya di suatu tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Kabupaten Semarang di Ungaran, telah mengambil
barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,yang
didahului,disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah
pencurian atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan
melarikan diri sendiri atau peserta lainnya atau untuk tetap menguasai
barang yang dicuri, jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, dijalan umum,
atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, yang dilakukan oleh
dua orang atau lebih dengan bersekutu,jika niat untuk itu telah ternyata
dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu
bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri, yang
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
- Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana terurai diatas, berawal pada
hari Sabtu tanggal 12 September 2015 sekira pukul 22.00 wib Terdakwa I.
TERDAKWA I, Terdakwa II. TERDAKWA II, MNC (berkas terpisah),
83

MZH (berkas terpisah), FH (berkas terpisah), ND (berkas terpisah), WH


(berkas terpisah) berkumpul kemudian pesta miras dipemuda Semarang,
- kemudian setelah itu mempunyai ide untuk pergi ke jogja dengan
mengendarai 4 (empat) spm Terdakwa I berboncengan dengan MZH
mengendarai Scoopy warna putih, Terdakwa II dengan FH mengendarai
Suzuki Satria FU warna hijau putih , WH berboncengan dengan ND
mengendarai Mio J wana hijau, sedangkan MNC menggunakan Suzuki
Satria FU warna hijau putih kemudian berangkat lewat Lemah Abang
kearah Bandungan
- sesampai di Bandungan berhenti untuk istirahat kemudian sekira pukul
02.30 wib FH bilang pulang aja dah malam kemudian bertujuh
melanjutkan perjalanan pulang melewati jalan Xxxxx ke arah Xxxxx
Kendal sesampai di pertengahan jalan antara Xxxxx dan daerah Xxxxx
semua berhenti hendak kencing.
- Pada saat berhenti dipertengahan jalan Xxxxx-xxxxx kemudian FH
berkata ayo kerja selang beberapa menit ada pengendara sepeda motor
Mega Pro dengan rombong berisi sayuran lewat kemudian diberhentikan
oleh FH, MNC, MZH dan ND
- setelah pengendara tersebut berhenti MNC dan FH langsung menarik tas
model samping yang dibawa oleh saksi SAKSI KORBAN tetapi saksi
SAKSI KORBAN melawan dengan mempertahankan tas tersebut
kemudian FH dengan menggunakan 1 (satu) buah kayu balok berukuran
1 meter memukul pergelangan tangan kanan saksi SAKSI KORBAN,
- MNC memukul saksi SAKSI KORBAN dibagian wajah dengan
menggunakan tangan kosong selanjutnya mencabut kunci motor Mega Pro
milik saksi SAKSI KORBAN kemudian membuangnya, 1 (satu) buah
helm GIX warna pink digunakan oleh MZH untuk memukul bagian lengan
tangan kiri saksi SAKSI KORBAN, 1 (satu) buah helm VOG warna hitam
digunakan oleh WH untuk memukul kepala saksi SAKSI KORBAN, ND
dengan menggunakan gesper memukul kepala saksi SAKSI KORBAN
beberapa kali sedangkan Terdakwa I diatas spm Honda Scopy bertugas
mengawasi situasi dan Terdakwa II diatas spm Honda Vario bertugas
mengawasi keadaan sekitar diatas motor.
- setelah saksi SAKSI KORBAN terjatuh dari motor kemudian berteriak
maling... maling dan situasi jalan mulai ramai kemudian Terdakwa I,
Terdakwa II, MNC (berkas terpisah), MZH (berkas terpisah), FH (berkas
terpisah), ND (berkas terpisah), WH (berkas terpisah) melarikan diri
kearah Xxxxx;
- Berdasarkan Visum et Repertum Nomor : 445/VER/267/IX/15 tanggal 22
September 2015 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Hery Wahyono
Nip. 197502082006041008, dokter yang memeriksa pada UPTD
Puskesmas Xxxxx terhadap SAKSI KORBAN dengan kesimpulan bahwa:
dari pemeriksaan luar didapat tanda-tanda: luka robek kepala sebelah
depan kurang lebih 5 cm, luka lebam dihidung bagian tengah atas, tangan
kanan bengkak sebab perlukaan diduga akibat kekerasan dengan benda
tumpul dan tidak menyebabkan kematian;
84

Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2)
ke 1,2 KUHP jo 53 ayat (1) KUHP jo UU RI. No. 11 Tahun 2012;

Adapun Pasal 365 ayat (2) ke 1,2 KUHP jo 53 ayat (1) KUHP yang

didakwakan kepada Terdakwa oleh Penuntut Umum tersebut memiliki unsur-

unsur sebagai berikut:

1. Barangsiapa;

2. Mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang

lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum;

3. Yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau

mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk

tetap menguasai barang yang dicuri;

4. Dilakukan pada waktu malam di dalam sebuah rumah atau pekarangan

tertutup yang ada rumahnya atau di jalan umum atau di dalam kereta

api atau trem yang sedang berjalan;

5. Dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;

6. Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah

ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya

pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya.

dalam perkara tersebut penasihat hukum tidak mengajukan eksepsi dan

menyatakan menerima dakwaan dari Penuntut Umum. Di dalam tahap

pembuktian untuk dapat membuktikan bahwa Terdakwa terbukti bersalah

melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, Hakim


85

mempertimbangkan segala alat bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum. Alat

bukti didalam perkara tersebut meliputi keterangan saksi-saksi. Keterangan saksi

didalam perkara tersebut dipandang dapat membuktikan tiap-tiap unsur tindak

pidana sebagaimana yang telah didakwakan Penuntut Umum. Adapun

pertimbangan terhadap keterangan saksi tersebut adalah sebagai berikut,

- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam

persidangan berawal pada hari Sabtu tanggal 12 September 2015

sekitar pukul 22.00 Wib, para Terdakwa dan MNC, MZH, FH, ND,

WH, kumpul-kumpul dan pesta minuman keras di Pemuda Semarang,

setelah itu atas ide dari FH mengajak pergi ke Yogyakarta dengan

mengendarai empat sepeda motor yaitu Terdakwa I berboncengan

dengan MZH mengendarai Scoopy warna putih, Terdakwa II dengan

FH mengendarai Suzuki Satria FU warna hijau putih, WH

berboncengan dengan ND mengendarai Mio J warna hijau, MNC

seorang diri mengendarai Suzuki Satria FU warna hijau putih; Dalam

perjalanan, motor yang berada pada posisi paling depan tidak menuju

arah Yogyakarta namun mengarah menuju Bandungan dan diikuti

oleh motor yang lainnya; Sesampainya di Bandungan para Terdakwa

serta teman-temannya berhenti untuk istirahat lalu sekitar pukul 02.30

Wib, FH mengajak pulang karena sudah larut malam selanjutnya para

Terdakwa serta teman-temannya melanjutkan perjalanan pulang

melalui jalan Xxxxx ke arah Xxxxx Kendal; Dalam pertengahan

perjalanan Xxxxx ke Xxxxx Kendal tersebut sekitar pukul 03.00 Wib


86

hari Minggu tanggal 13 September 2015 di jalan raya dusun Xxxxx

Blok A, Desa Xxxxx, Kecamatan Xxxxx, Kabupaten Semarang, para

Terdakwa dan teman-temannya kembali buang air kecil , ND

memberitahu kalau ada orang lewat yang terlihat dari sorot lampu

motor yang dikendarai korban, kemudian FH mengatakan ayo kerja,

setelah itu FH, MNC, WH, ND memberhentikan sepeda motor Mega

Pro dengan rombong sayuran yang dikendarai oleh korban (SAKSI

KORBAN); Setelah korban berhenti, MNC dan FH langsung menarik

tas cangklong yang dikenakan di pinggang korban hingga talinya

putus dan bersama-sama dengan MZH dan ND melakukan pemukulan

namun korban melakukan perlawanan untuk mempertahankan tas

tersebut;

- Menimbang bahwa berdasarkan keterangan Saksi FH, MNC, MZH,

WH, perbuatan para Terdakwa serta teman-temannya bersifat

spontanitas dan ketika peristiwa terjadi para Terdakwa hanya duduk di

atas motor masing-masing yaitu Terdakwa I duduk di atas motor

Honda Scoopy dan Terdakwa II duduk di atas motor Honda Vario,

tidak ikut merampas tas dan juga tidak ikut serta melakukan kekerasan

atau ancaman kekerasan untuk memperlancar perbuatannya;

Meskipun para Terdakwa hanya duduk di atas motor saja namun

Hakim berpendapat para Terdakwa mengetahui maksud dari perbuatan

teman-temannya tersebut, para Terdakwa juga tidak menghindar

ataupun mencegah perbuatan teman-temannya yang lain; Hakim juga


87

berpendapat, para Terdakwa meskipun masih tergolong Anak namun

karena sudah berusia enam belas tahun lebih tentulah dapat

menangkap atau menduga serta menafsirkan suatu peristiwa yang

tidak sewajarnya antara lain menghentikan kendaraan orang lain pada

dini hari dan juga dari kata-kata temannya yang berupa ayo kerja,

selain itu kecil kemungkinan perbuatan tersebut dilakukan secara

spontanitas karena dengan melihat rangkaian dan cara kerja dalam

melakukan kejahatan, kemungkinan perbuatan serupa pernah

dilakukan sehingga mereka sudah berpengalaman, dengan demikian

Hakim berpendapat terdapat kesatuan niat diantara mereka untuk

mengambil tas tersebut tanpa seijin korban dengan cara-cara yang

bertentangan dengan hukum, selanjutnya hasil kejahatan akan dibuat

untuk senang-senang;

bahwa terhadap keterangan saksi tersebut, Hakim berpendapat bahwa

fakta-fakta yang diungkapkan oleh saksi tersebut dapat memenuhi unsur

Mengambil barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dengan

maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Berikutnya untuk membuktikan unsur Yang didahului, disertai atau

diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud

untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap

tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau

untuk tetap menguasai barang yang dicuri; Hakim mempertimbangkan keterangan

saksi dan alat bukti surat visum et repertum sebagai berikut


88

- dengan menggunakan tangan kosong selanjutnya mencabut kunci

kontak motor Mega Pro milik korban dan membuangnya, 1 (satu)

buah helm GIX warna pink digunakan oleh MZH untuk memukul

bagian lengan tangan kiri korban, 1 (satu) buah helm VOG warna

hitam digunakan oleh WH untuk memukul kepala korban, ND dengan

menggunakan gesper memukul kepala korban beberapa kali

sedangkan Terdakwa I berada di atas sepeda motor Honda Scopy dan

Terdakwa II berada di atas Honda Vario; Atas kejadian tersebut,

korban terjatuh dari motor kemudian berteriak maling dan ada orang

yang datang terlihat dari sorot lampu kendaraannya sehingga para

Terdakwa dan teman-temannya tersebut melarikan diri ke arah

Xxxxx;Menimbang bahwa dengan demikian diketahui teman-teman

Terdakwa yang lain setidak-tidaknya telah mempergunakan tenaga

atau kekuatannya dan tidak dipersoalkan apakah itu kekuatan

maksimal atau minimal,artinya ada suatu daya / upaya paksa untuk

mengambil tas cangklong tersebut atau lebih tepatnya merampas

sehingga barang itu dapat beralih ke dalam kekuasaannya; Artinya

dengan kekerasan yang menyertai pencurian tersebut setidak-tidaknya

akan mempermudah jalannya pencurian namun karena ada

perlawanan dari korban maka tas tersebut tidak serta merta lepas dari

korban; Pada diri para Terdakwa sendiri juga tidak ada tindakan

apapun untuk mencegah atau menghentikan tindakan kekerasan

tersebut;
89

- Menimbang bahwa akibatnya korban menderita luka robek kepala

sebelah depan kurang lebih lima centimeter, luka lebam di hidung

bagian tengah atas, tangan kanan bengkak, sebagaimana hasil visum et

repertum

Bahwa selanjutnya Hakim mempertimbangkan dari fakta-fakta yang

terungkap dipersidangan yang bersumber pada keterangan saksi, keterangan

Terdakwa dan alat bukti surat berupa visum et repertum Hakim menyatakan

bahwa perbuatan para Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari Pasal

yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan tunggal, sehingga Hakim

berkesimpulan bahwa para Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan

melakukan tindak pidana Percobaan Pencurian dengan Kekerasan Dalam

Keadaan Memberatkan;

Adapun Tuntutan Penuntut Umum dalam putusan Nomor

5/Pid.sus/2015.PN.Unr yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada terdakwa pada

pokoknya memohon kepada majelis Hakim agar mengabulkan tuntutan sebagai

berikut:

1. Menyatakan masing-masing Terdakwa Terdakwa I. TERDAKWA I

dan Terdakwa II. TERDAKWA II bersalah melakukan tindak

pidana percobaan pencurian dengan kekerasan sebagaimana diatur

dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke 1,2 KUHP jo 53

ayat (1) KUHP jo UU RI. No. 11 Tahun 2012 dalam Surat Dakwaan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap masing-masing Terdakwa I .

TERDAKWA I dan Terdakwa II. TERDAKWA II berupa pidana


90

penjara selama 2 (dua) bulan dengan masa percobaan selama 2

(bulan);

3. Menetapkan barang bukti berupa :1 (satu) buah helm biru merk INK;

dikembalikan kepada Terdakwa II. TERDAKWA II;

4. Menetapkan agar masing-masing Terdakwa I dan Terdakwa II

membayar biaya perkara sebesar Rp.2.000.- (dua ribu rupiah)

Di dalam perkara tersebut Selanjutnya Hakim mempertimbangkan pledoi

atau nota pembelaan dari penasihat hukum Terdakwa. Yang digunakan sebagai

pertimbangan mengenai keadaan pribadi Terdakwa. Adapun pledoi yang

disampaikan Terdakwa dalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr yang

memuat syarat khusus tersebut adalah sebagai berikut,

1. Memberikan kesempatan kepada Orang Tua untuk mengawasi dan

mendidik para Terdakwa di rumah;

2. Memberikan hukuman bersyarat sebagaimana anjuran/saran dari

Bapas; Atau;

3. Apabila berpendapat lain mohon dalam menjatuhkan putusan kepada

para Terdakwa dengan putusan yang seadil-adilnya;

Atas tuntutan dari Penuntut Umum tersebut , Hakim Anak dalam putusan

Nomor 4/Pid.Sus.2015/PN.Unr dalam memutus perkara mempertimbangkan

unsur-unsur (bestandellen delict) dari tindak pidana yang didakwakan d sebagai

berikut

- Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tersebut, ternyata perbuatan para Terdakwa telah memenuhi seluruh


91

unsur-unsur dari Pasal yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan

tunggal, sehingga Hakim berkesimpulan bahwa para Terdakwa telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

Percobaan Pencurian Dengan Kekerasan Dalam Keadaan

Memberatkan;

Selanjutnya untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang yang

telah terbukti melakukan suatu tindak pidana, haruslah berdasarkan asas tiada

pidana tanpa kesalahan nulla poena sine culpa. Maka dalam hal ini Hakim harus

membuktikan dan menyatakan bahwa Terdakwa adalah seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan. Seperti didalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr

sebagai berikut,

- Menimbang, bahwa dari kenyataan yang diperoleh selama

persidangan dalam perkara ini, Hakim tidak menemukan hal-hal yang

dapat melepaskan para Terdakwa dari pertanggungjawaban pidana,

baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, oleh

karenanya Majelis Hakim berkesimpulan bahwa perbuatan yang

dilakukan para Terdakwa harus dipertanggungjawabkan kepadanya;

- Menimbang, bahwa oleh karena para Terdakwa mampu bertanggung

jawab, maka para Terdakwa harus dinyatakan bersalah atas tindak

pidana yang didakwakan kepadanya oleh karena itu harus dijatuhi

pidana;

Selanjutnya apabila telah terbukti perbuatan yang dilakukan oleh

Terdakwa adalah merupakan suatu tindak pidana, serta terbukti unsur kesalahan
92

atau Terdakwa adalah seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan maka

selanjutnya Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa. Sebagaimana diatur

didalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila ketentuan pasal tersebut dijabarkan

secara detail, dijelaskan bahwa putusan pemidanaan dapat terjadi jika :

a. Dari hasil pemeriksaan didepan persidangan

b. Hakim Anak/majelis Hakim Anak berpendapat bahwa:

i. perbuatan Anak sebagaimana didakwakan jaksa/Penuntut

Umum Anak dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan

meyakinkan menurut hukum;

ii. perbuatan Anak tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana

kejahatan atau pelanggaran; dan

iii. dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta

dipersidangan (Pasal 183, 184 ayat (1) KUHAP

c. oleh karena itu kemudian Hakim Anak/majelis Hakim Anak

menjatuhkan putusan pemidanaan kepada Anak (Mulyadi

2014:282)

Dalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015/PN.Unr Hakim Anak di Pengadilan

Negeri Ungaran mempertimbangkan rekomendasi hasil penelitian pembimbing

Pemasyarakatan didalam putusanya sebagai berikut:

- Menimbang bahwa selanjutnya Hakim juga telah membaca dan

mempelajari laporan hasil penelitian Kemasyarakatan dari

Pembimbing Kemasyarakan yang bernama Sudiastuti Rahayu

terhadap Terdakwa I. TERDAKWA I yang pada esensinya


93

pembimbing Kemasyarakatan (PK) aquo memberikan

rekomendasi/saran agar klien tersebut diatas, diberikan Pidana

Dengan Syarat sesuai dengan bunyi Pasal 71 ayat 1 huruf b angka 1

yaitu pidana pengawasan oleh Bapas Klas I Semarang, dengan

pertimbangan :

1. Menghilangkan stigma/label napi bagi Anak;

2. Pidana penjara adalah alternative terakhir bagi ABH dengan

memberikan syarat khusus:

Klien tetap melanjutkan sekolah dan diberi pengawasan

serta pembimbingan oleh pihak sekolah;

Klien mengikuti konseling dan ekstrakurikuler dari

sekolah;

Klien tidak boleh main di malam hari; Klien tidak

bergaul dengan temannya yang membawa pengaruh

buruk bagi dirinya (tidak merokok, tidak

mengkonsumsi minuman keras dan Napza);

Pengawasan dan pembimbingan oleh Bapas selama

masa pidana bersyarat yang diputuskan oleh Hakim;

Pengawasan dan pembimbingan oleh pamong setempat;

Pengawasan dan pembimbingan oleh Peksos;

Syarat umum: Klien tidak melanggar hukum selama

menjalani masa pidana bersyarat yang telah diputuskan

Hakim;
94

Pertimbangan Hakim terhadap hasil penelitian Pembimbing

Kemasyarakatan untuk Terdakwa II dapat diketahui di dalam putusan sebagai

berikut,

- Menimbang bahwa Hakim juga telah membaca dan mempelajari

laporan hasil penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing

Kemasyarakan yang bernama Imam Syafii terhadap Terdakwa II.

TERDAKWA II yang pada esensinya pembimbing Kemasyarakatan

(PK) aquo memberikan rekomendasi/saran agar klien tersebut diatas,

diberikan Pidana Dengan Syarat sesuai dengan bunyi Pasal 71 ayat

1 huruf b (3) UU RI No.11 Tahun 2012 yang berbunyi Pidana

dengan syarat pengawasan;

1. Syarat Umum:

Klien tidak mengulangi perbuatan yang melanggar hukum lagi;

2. Syarat khusus:

Tidak bergaul dengan teman-teman yang membawa pengaruh

buruk bagi dirinya;

Pengawasan dan pembimbingan oleh Bapas selama masa

pidana bersyarat diputuskan oleh Hakim;

Tidak merokok dan minum-minuman keras;

Melanjutkan pendidikannya lewat kejar Paket C;

Pengawasan dan pembimbingan dari pamong setempat;

Pengawasan dan pembimbingan dari petugas Peksos;

Tidak mengendarai sepeda motor sebelum mempunyai SIM


95

- bahwa terhadap saran/rekomendasi dari Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut di atas, Hakim secara substansial

menyatakan sependapat sepenuhnya dengan pengertian bahwa

rekomendasi berupa pidana dengan syarat tersebut merupakan

pidana yang dianggap paling tepat untuk diterapkan kepada para

Terdakwa aquo, namun saran/rekomendasi tersebut tentulah juga

harus mendasarkan kepada ketentuan Pasal 73 ayat (1), (2),

(3),(4),(5),(6), (7),(8) dari UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, karena pada prinsipnya pidana dengan

syarat tersebut mempunyai sifat-sifat kekhususan sebagaimana yang

ditentukan dalam Pasal 73 ayat (1) sampai dengan (8) aquo, sehingga

nantinya dalam amar putusan, Hakim selain akan menentukan syarat

umum dan syarat khusus sebagaimana ketentuan persyaratan yang

direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan, Hakim juga

akan menentukan lamanya Pidana Penjara yang akan dijatuhkan

terhadap para Terdakwa apabila ternyata ternyata para Terdakwa

dianggap melanggar persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam

syarat umum dan syarat khusus.

Menurut analisis penulis, rekomendasi hasil penelitian dari Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut menghendaki agar Anak dihindarkan dari pidana

perampasan kemerdekaan sebagaimana paradigma pemidanaan terhadap Anak

yang tercantum didalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yaitu

asas kepentingan terbaik bagi Anak yaitu segala pengambilan keputusan harus
96

selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak, asas

penghindaran perampasan kemerdekaan yaitu prinsip menjauhkan Anak dari

perampasan kemerdekaan yang harus digunakan sebagai upaya terakhir apabila

Anak tidak dapat diperbaiki, asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang

Anak, dan penghindaran pembalasan yaitu penghindaran dari upaya pembalasan

dalam sistem peradilan pidana. Rekomendasi hasil penelitian oleh Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut mendapatkan kekuatan sebagai bahan pertimbangan

yang wajib dicantumkan oleh Hakim.

Pertimbangan Hakim atas rekomendasi hasil penelitian dari Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

menentukan bahwa Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian

Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum menjatuhkan

putusan perkara. Hal tersebut juga diungkapkan oleh Mulyadi (2014:300), bahwa

Pemberian kesempatan Hakim Anak kepada Orang Tua/wali dan/atau

pendamping hakikatnya untuk kebaikan, kemanfaatan bagi Anak dalam meneliti

kehidupanya kelak karena Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara.

Kewajiban imperatif Hakim Anak mempertimbangkan laporan penelitian

Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum putusan perkara

urgent sifatnya, dan apabila tidak dipertimbangkan dalam putusan Hakim Anak,

putusan batal demi hukum dalam artian tanpa dimintakan untuk dibatalkan dan

putusan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan hal tersebut


97

Hakim Anak Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H. dalam wawancara dengan penulis di

Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB,

memberikan tanggapanya tentang kedudukan dari hasil penelitian Pembimbing

Kemasyarakatan sebagai pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara Pidana

Anak sebagai berikut,

Itu acuan, disitu ada penelitian tentang kehidupan keluarga,


lingkungan Masyarakat dan sekolah. Jadi kita bisa tau. Ini tepat
apa tidak rekomendasi dari bapas. Tapi Kita lihat lagi
dipersidangan. Misalnya sikap Terdakwa dipersidangan.
Terkadang ada yang petetang petenteng ya kita jadikan
pertimbangan. Misalnya seperti ini, bapas mintanya dikembalikan
kepada Orang Tua, namun dalam persidangan keadaan Anak
seperti ini, ya apakah kita mau manut bapas, ya kita ada
pertimbangan tersendiri.

Berdasar hasil wawancara tersebut, jika dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, bahwa Hakim dapat

menyimpangi atau tidak menggunakan rekomendasi dari hasil penelitian yang

dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Hal ini tentunya didasarkan oleh

fakta-fakta dipersidangan dan pertimbangan Hakim itu sendiri dalam memberikan

pidana yang dipandang tepat bagi Anak, namun rekomendasi hasil penelitiab oleh

Pembimbing Kemasyarakatan tersebut wajib dipertimbangkan, artinya Undang-

Undang hanya mewajibkan Hakim untuk mempertimbangkan rekomendasi dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan dan tidak

wajib untuk memakai rekomendasi hasil penelitain dari Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut apabila memang menurut pandangan Hakim sendiri

hasil penelitian tersebut tidak sesuai atau tidak tepat dalam memberikan

kepentingan terbaik bagi Anak karena pada dasarnya Hakim memiliki


98

kewenangan sendiri untuk memberikan jenis pidana apa yang cocok untuk

kepentingan terbaik bagi Anak. Apabila dikaitkan dengan pertimbangan Hakim

mengenai hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan didalam Putusan

Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2015.PN.Unr tersebut, Bahwa didalam pertimbanganya

dalam memperhatikan hasil penelitian lembaga Kemasyarakatan, Hakim

berpendapat bahwa hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan tersebut

telah sesuai untuk kepentingan terbaik bagi Terdakwa Anak itu sendiri maupun

sesuai dengan ketentuan mengenai pidana bersyarat yang terdapat didalam Pasal

73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Serta Hakim berpendapata bahwa

adanya syarat -syarat tersebut memang yang menjadi kekhususan dari Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yuridis yang telah diuraikan

diatas, Hakim menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak yang disertai syarat

khusus didalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015.PN.Unr sebagai berikut,

MENGADILI

1. Menyatakan Terdakwa I. TERDAKWA I dan Terdakwa II.

TERDAKWA II telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana Percobaan Pencurian Dengan

Kekerasan Dalam Keadaan Memberatkan;

2. Menjatuhkan pidana terhadap para Terdakwa dengan pidana

penjara masing-masing selama 2 (dua) bulan;

3. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalankan kecuali

kalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan Hakim,


99

bahwa terpidana sebelum waktu percobaan selama 3 (tiga) bulan

berakhir telah bersalah melakukan sesuatu tindak pidana dan

dengan syarat khusus dalam jangka waktu 4 (empat) bulan,

Terdakwa I.

TERDAKWA I harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk

bagi Terdakwa I;

b. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta

napza;

c. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum

mempunyai SIM;

Terdakwa II.

TERDAKWA II harus melakukan hal-hal sebagai berikut :

a. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk

bagi Terdakwa II;

b. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta

napza;

c. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum

mempunyai SIM.

Berdasar pada analisis atas putusan Hakim tersebut, dapat diketahui

bahwa lama masa percobaan didalam putusan Hakim tersebut melebihi tuntutan

dari Penuntut Umum yang menuntut para Terdakwa diberikan masa percobaan

selama 2 bulan sedangkan didalam putusan tersebut Hakim memberikan masa


100

percobaan selama 3 bulan untuk syarat umum dan 4 bulan untuk syarat khusus,

hal ini merupakan perintah dari ketentuan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 apabila Hakim menetapkan syarat khusus maka ditentukan masa

percobaan yang lebih lama dari masa percobaan syarat umum terkait dengan

putusan pidana bersyarat tersebut, dalam memberikan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat khususnya dalam menentukan syarat khusus kepada

Terdakwa Hakim Anak tidak sepenuhnya mendasarkan kepada rekomendasi hasil

penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan hal ini terlihat pada perbedaan dari

jumlah syarat yang dijatuhkan dan syarat-syarat yang direkomendasikan oleh

Pembimbing Kemasyarakatan, hal ini merupakan kewenangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana. Didalam pertimbanganya terkait dengan pemberian syarat

khusus yang direkomendasikan oleh Pembimbing Kemasyarakatan tersebut

Hakim berpedoman pada ketentuan Pasal 73 ayat (1), (2), (3),(4),(5),(6), (7),(8)

dari UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, karena pada

prinsipnya pidana dengan syarat tersebut mempunyai sifat-sifat kekhususan

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 73 ayat (1) sampai dengan (8). Artinya

Hakim melakukan seleksi terhadap syarat-syarat yang ditentukan oleh

Pembimbing Kemasyarakatan dengan mendasarkan pada ketentuan-ketentuan

tersebut Menurut Mulyadi (2014:168-169) syarat khusus yaitu untuk melakukan

atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan Hakim Anak.

Syarat khusus tersebut harus tetap memperhatikan kebebasan Anak termasuk

untuk kebebasan beragama.


101

Adapun ketentuan tentang syarat-syarat yang dapat diberikan oleh

Hakim kepada Terdakwa Anak tersebut adalah sebagai berikut, diatur didalam

Pasal 73 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak sebagai berikut,

Syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah untuk


melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam
putusan Hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak.

Menurut analisis penulis, berdasarkan Pasal 197 Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana, Dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, Hakim

harus memiliki dasar peraturan terhadap jenis pidana yang akan dijatuhkan.

Ketentuan ini diatur di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalam

Pasal 197 ayat (1) yaitu surat putusan pemidanaan harus memuat Pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal

peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai

keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa.

Penjatuhan pidana bersyarat yang disertai syarat khusus pada Putusan

Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr, Hakim telah mendasarkan pemidanaan dalam

putusanya tersebut pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogate lege

generalis. Apabila ketentuan tentang pemidanaan terhadap Anak diatur khusus

yaitu didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, maka Hakim

harus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum yaitu Pasal 10 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana.


102

Sedangkan didalam putusan yang tidak menyertakan syarat khusus yaitu

Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr, pertimbangan-pertimbangan yuridis oleh

Hakim adalah sebagai berikut,

Bahwa Hakim memperhatikan dakwaan dari Penuntut Umum yang

disusun dengan dakwaan tunggal sebagai berikut,

- Bahwa Terdakwa TERDAKWA, pada hari Minggu tanggal 21

September 2014 sekitar pukul 00.30 Wib atau setidak-tidaknya pada

waktu lain dalam bulan September tahun 2014 atau setidak-tidaknya

pada waktu lain dalam tahun 2014, bertempat di jalan dekat hotel

Xxxxx Dusun Xxxxx Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten

Semarang, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat lain yang masih

termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten

Semarang di Xxxxx, mengemudikan kendaraan bermotor yang karena

kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang

mengakibatkan orang lain meninggal dunia, perbuatan Terdakwa

dilakukan dengan cara sebagai berikut :

- Bahwa Terdakwa TERDAKWA yang masih berumur 17 tahun (

berdasarkan kutipan akta kelahiran no xxxxx tertanggal 19 Mei 2000,

lahir tanggal 8 Desember 1996), pada Minggu tanggal 21 September

2014 sekitar pukul 00.30 WIB mengemudikan kendaraan bermotor

Honda jazz nopol H 9264 ZC bersama terman Terdakwa yang

bernama SAKSI IV dari Xxxxx hendak pulang ke rumah arah

Lemah Abang, sesampainya di jalan dekat hotel Xxxxx Dusun.


103

Xxxxx Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang, jalan

menikung kekiri dan Terdakwa mengemudikan kedaraan Jazz berjalan

terlalu kekanan hingga melebihi marka jalan, bersamaan dengan itu

dari arah berlawanan atau dari arah Lemah Abang berjalan sepeda

motor Kawasaki nopol AA 6666 BF yang dikendarai korban

KORBAN dan karena jarak sudah dekat maka Terdakwa tidak bisa

menghindar lalu menabrak korban KORBAN hingga meninggal

dunia, sebagaimana dalam visum et repertum no 445/VER/2956/ 2014

tanggal 23 September 2014 dari Rumah Sakit Umum Daerah

Ambarawa yang ditanda tangani oleh dr. Tonari yang menyebutkan

penderita datang sudah meninggal dunia habis kecelakaan ,patah

tulang dikepala, keluar darah dari hidung,keluar darah dari telinga,

patah tulang ditangan kanan.

- Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam pidana Pasal 310 ayat 4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang

Lalu lintas dan Angkutan Jalan jo Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak;

Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan

Angkutan Jalan yang didakwakan oleh Penuntut Umum tersebut memiliki unsur-

unsur sebagai berikut,

1. Unsur Setiap Orang

2. Unsur mengemudikan kendaraan bermotor;


104

3. Unsur yang karena kelalainnya mengakibatkan Kecelakaan Lalu

Lintas;

4. Unsur mengakibatkan orang lain meninggal dunia;

Untuk membuktikan Terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan tersebut, Hakim mempertimbangkan dari keadaan-keadaan yang

terjadi dipersidangan, berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan Terdakwa

dan alat bukti lain dalam kasus ini adalah visum et repertum.

- Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan Terdakwa

tersebut diatas yang apabila dihubungkan dengan barang bukti dan alat

bukti yang lain telah diperoleh fakta-fakta sebagai berikut:

- Bahwa pada hari Minggu tanggal 21 September 2014 sekitar pukul 00.30

WIB Terdakwa mengemudikan kendaraan bermotor Honda jazz nopol H

9264 ZC bersama saksi SAKSI IV dari Xxxxx hendak pulang ke rumah

arah Lemah Abang, sesampainya di jalan dekat hotel Xxxxx Dusun.

Xxxxx Desa Xxxxx Kecamatan Xxxxx Kabupaten Semarang, jalan

menikung kekiri dan Terdakwa mengemudikan kedaraan Jazz dengan

kecepatan 30 km/jam berjalan terlalu kekanan hingga melebihi marka

jalan;

- Bahwa bersamaan dengan itu dari arah berlawanan atau dari arah Lemah

Abang berjalan sepeda motor Kawasaki nopol AA 6666 BF yang

dikendarai korban KORBAN dan karena jarak sudah dekat maka

Terdakwa tidak bisa menghindar lalu menabrak korban KORBAN hingga

meninggal dunia;
105

- Bahwa akibat kecelakaan tersebut korban KORBAN berdasarkan Visum

et repertum Nomor 445/VER/2956/ 2014 tanggal 23 September 2014 dari

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa yang ditanda tangani oleh dr

TONARI yang dalam kesimpulannya menyebutkan Korban datang sudah

meninggal dunia habis kecelakaan ,patah tulang dikepala, keluar darah dari

hidung,keluar darah dari telinga, patah tulang ditangan kanan;

- Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut ternyata benar bahwa

Terdakwa telah mengemudikan kendaraan bermotor Honda Jazz nopol H

9264 ZC yang pengertian dan spesifikasinya sebagaimana uraian diatas

sehingga unsur mengemudikan kendaraan bermotor telah terpenuhi.

Unsur yang karena kelalainnya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas;

- Menimbang, bahwa sebagaimana fakta-fakta tersebut diatas ternyata pada

hari Minggu tanggal 21 September 2014 sekitar pukul 00.30 Wib

Terdakwa mengemudi kendaraan bermotor Honda jazz nopol H 9264 zc

dari xxxxx hendak pulang kerumah arah Lemah Abang, sesampainya

dijalan dekat hotel Xxxxx Dusun Xxxxx Desa Kecamatan Xxxxx

Kabupaten Semarang pada saat jalan menikung kekiri dan jalan gelap

tanpa ada penerangan lampu jalan, Terdakwa mengemudikan kedaraan

Honda Jazz dengan kecepatan 30-40 km/jam berjalan terlalu kekanan

hingga melebihi marka jalan dan dari arah yang berlawanan atau dari arah

Lemah Abang berjalan sepeda motor Kawasaki nopol AA 6666 BF yang

dikendarai korban KORBAN dengan mengendarai sepeda motor Kawasaki

tanpa menyalakan lampu sepeda motor dan karena jarak sudah dekat
106

maka Terdakwa tidak bisa menghindar lalu menabrak korban KORBAN

hingga meninggal dunia;

Adapun Pertimbangan terhadap Unsur delik selanjutnya yaitu Mengakibatkan

Orang Lain Meninggal Dunia adalah sebagai berikut

- Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi serta

keterangan Terdakwa sendiri yang saling bersesuaian, dipersidangan

terungkap bahwa kecelakaan tersebut mengakibatkan korban

meninggal dunia, serta adanya barang bukti berupa kendaraan Honda

jazz nopol H 9264 ZC yang diperlihatkan fotonya dipersidangan dapat

diperoleh fakta bahwa akibat kecelakaan tersebut mengakibatkan

korban yakni nama KORBAN meninggal dunia, hal ini dikuatkan

dengan Visum et Repertum, dengan hasil pemeriksaan adalah sebagai

berikutVisum Et Repertum No.445/VER/2956/2014 tanggal 23

September 2014 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.TONARI

selaku Dokter Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa dengan

kesimpulan :Menyebutkan Korban datang sudah meninggal dunia

habis kecelakan, patah tulang dikepala, keluar darah dari hidung,

keluar darah dari telingga, patah tulang ditangan kanan;

Menurut analisis penulis bahwa dari pertimbangan-pertimbangan tersebut

diatas yang didasarkan pada alat-alat bukti yang sah maka timbul keyakinan

bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana

dakwaan Penuntut Umum Hakim mendapatkan keyakinan bahwa Terdakwa

terbukti bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Hakim telah


107

mempertimbangkan fakta-fakta didalam persidangan yang meliputi keterangan

saksi, keterangan Terdakwa, alat bukti surat yang saling bersesuaian artinya dapat

dijadikan Hakim sebagai alat bukti petunjuk.

Selanjutnya seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan pertimbangan

Hakim pada perkara sebelumnya. berdasarkan ketentuan Pasal 193 ayat (1)

KUHAP, Bahwa setelah terbukti Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana,

maka selanjutnya Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa. Dalam

menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, Hakim mempertimbangkan tuntutan dari

Penuntut Umum yang pada pokoknya menuntut Terdakwa dengan pidana sebagai

berikut,

- Menyatakan Terdakwa TERDAKWA terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena

kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia .

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan 310 ayat (4) UU RI No. 22 tahun 2009jo

UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

- Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TERDAKWA, berupa

pidana penjara selama .6 (enam) bulan, dengan masa percobaan

selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebanyak Rp 1.000.000,- (satu

juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan;

Menurut Analisis Penulis, tuntutan Penuntut Umum tersebut Pada

pokoknya menuntut agar Terdakwa dijatuhi pidana bersyarat dan didalam

tuntutanya tidak menuntut apakah Terdakwa harus diberikan syarat umum dan
108

syarat khusus sebagaimana diatur didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012. Atas tuntutan pidana bersyarat dari Penuntut Umum tersebut, Hakim

mempertimbangkan pembelaan dari penasihat hukum dan permohonan Orang Tua

untuk memberikan pendapat tentang segala sesuatu yang bermanfaat bagi Anak.

Hal ini diatur didalam ketentuan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012 yang mengatur sebelum menjatuhkan putusan, Hakim memberikan

kesempatan kepada Orang Tua/wali dan/atau pendamping Anak untuk

mengemukakan hal yang bermanfaat bagi Anak. didalam Putusan tersebut

dijelaskan bahwa Orang Tua memberikan permohonan kepada Hakim yang telah

dicantumkan didalam putusan tersebut sebagai berikut

- Setelah mendengar Pembelaan Penasihat Hukum Terdakwa dan

permohonan Orang Tua Terdakwa yang pada pokoknya memohon

agar Terdakwa dikembalikan kepada Orang Tuanya untuk dididik,

atau apabila dijatuhi pidana agar dihukum yang seringan-ringannya;

Dari permohonan Orang Tua tersebut, dapat dianalisis bahwa Orang Tua

dari Terdakwa telah mengemukakan hal-hal yang bermanfaat bagi Anak, salah

satunya adalah meminta agar Terdakwa dikembalikan kepada Orang Tuanya

untuk dididik. Permohonan Orang Tua kepada Hakim ini pada dasarnya adalah

memohon agar Hakim tidak menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan

sebagaimana asas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak yaitu hak asasi

yang paling mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintah,

Masyarakat, keluarga dan Orang Tua dalam sistem Peradilan Pidana Anak.

berdasarkan hal tersebut Hakim telah melaksAnakan ketentuan Pasal ketentuan


109

Pasal 60 ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Yaitu telah memberikan kesempatan kepada Orang

Tua/wali untuk mengemukakan hal-hal yang bermanfaat bagi Anak.

Pertimbangan lain yang wajib dicantumkan Hakim didalam putusanya

adalah pertimbangan terhadap laporan hasil penelitian Kemasyarakatan dari

Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana diatur didalam Pasal 60 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 menentukan bahwa:

Hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian


Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan sebelum
menjatuhkan putusan perkara.

Didalam Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr tersebut Hakim

mempertimbangkan hasil penelitian Kemasyarakatan sebagai berikut,

- Menimbang, bahwa setelah mempelajari hasil penelitian Balai


Pemasyarakatan yang pada pokoknya dalam rekomendasinya
untuk kepentingan masa depan Anak serta melindungi Anak dari
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat manusia
maka jalan terbaik adalah menjauhkan Anak dari sistem
Peradilan pidana melalui Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan
(TPP) Balai Pemasyarakatan Klas I Semarang pada tanggal 09
Oktober 2014, serta rekomendasi Kepala Bapas Klas I Semarang
maka Pembimbing Kemasyarakatan menyarakan: Klien
Diberikan Pidana Bersyarat, dan memperhatikan permohonan
Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya
memohon untuk dikembalikan kepada Orang Tuanya atau
mohon hukuman yang seringan-ringannya, dalam hal ini dengan
memperhatikan kepentingan Anak dan dalam usaha memberi
keadilan bagi korban, maka sebagaimana Tuntutan Penuntut
110

Umum, maka akan lebih baik jika kepada Terdakwa dipidana


dengan pidana bersyarat;
Terkait dengan kewajiban imperatif Hakim dalam mempertimbangkan

hasil penelitian Kemasyarakatan tersebut, Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H. selaku

Hakim yang memutus perkara tersebut melalui wawancara wawancara dengan

Penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17

WIB memberikat pendapat sebagai berikut,

dari bapas di pertimbangkan ada hasil penelitian. Nanti kita


mempertimbangkan sendiri tergantung nanti sesuai apa tidak. Bisa
juga kita beda dengan bapas.
Berdasar pada pertimbangan atas rekomendasi Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut dapat dianalisis bahwa, berkaitan dengan syarat-syarat

didalam pidana bersyarat jika melihat dari hasil penelitian dari bapas tersebut

dapat diketahui bahwa rekomendasi dari bapas hanya menjatuhkan pidana

bersyarat kepada Terdakwa Anak dan tidak merekomendasikan agar Terdakwa

diberikan syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diatur didalam Pasal 73

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Dengan melihat ketentuan Pasal 60 Ayat

(3) serta hasil wawancara terkait dengan kewenangan Hakim dalam

mempertimbangkan hasil penelitian dari bapas, maka dapat diketahui dalam hal

ini apabila Hakim memandang penelitian dari Bapas tidak tepat atau tidak sesuai

dengan kepentingan terbaik bagi Anak Hakim dapat menyimpangi hasil

penelitian tersebut. terkait dengan pertimbangan Hakim mengenai tepat atau

tidaknya penelitian dari bapas untuk diterapkan kepada Terdakwa dapat diketahui

didalam pertimbangan diatas yaitu Hakim telah menganggap bahwa rekomendasi

penelitian pembimbin Kemasyarakatan adalah tepat serta memperhatikan


111

permohonan Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada pokoknya

memohon untuk dikembalikan kepada Orang Tuanya atau mohon hukuman yang

seringan-ringannya dalam hal ini dengan memperhatikan kepentingan Anak dan

dalam usaha memberi keadilan bagi korban, maka sebagaimana Tuntutan

Penuntut Umum, maka akan lebih baik jika kepada Terdakwa dipidana dengan

pidana bersyarat.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Hakim memberikan

putusan pidana bersyarat kepada Anak sebagai berikut,

Memperhatikan Pasal Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan

jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, serta Pasal Pasal lain dari peraturan

perundang undangan yang bersangkutan dengan perkara ini;

MENGADILI

1. Menyatakan Terdakwa TERDAKWA telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Karena

Kelalaiannya Menyebabkan Orang Lain Meninggal Dunia" ;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa TERDAKWA, berupa

pidana penjara selama .6 (enam) bulan dan denda sebanyak

Rp.1.000.000,-(Satu juta rupiah)

3. Menetapkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali ada putusan

Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menyangkut


112

perbuatan Terdakwa tersebut sebelum habis masa percobaan selama

10 (Sepuluh) bulan;

Dalam menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, Hakim harus memiliki

dasar peraturan terhadap jenis pidana yang akan dijatuhkan. Ketentuan ini diatur

di dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalam Pasal 197 ayat (1) huruf

f yang berbunyi sebagai berikut,

Surat putusan pemidanaan memuat :


.
f. Pasal peraturan peruindang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndang-
Undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa.
Menurut Analisis Penulis, Dasar bagi Hakim dalam menjatuhkan pidana

kepada Anak tersebut adalah Pasal 310 ayat 4 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan jo

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Di dalam Undang-Undang sistem Peradilan Pidana Anak

ditentukan penjatuhan dalam hal Hakim menjatuhkan pidana bersyarat maka

ditentukan syarat umum dan syarat khusus didalam putusanya. Dalam perkara ini

Hakim tidak mencantumkan syarat khusus, akan tetapi dalam pertimbanganya

Hakim memandang tepat apa yang direkomendasikan oleh Pembimbing

Kemasyarakatan dalam penelitianya yaitu dijatuhi hukuman pidana bersyarat.

Apabila dianalis, rekomendasi dari Pembimbing Kemasyarakatan agar hakim

menjatuhkan pidana bersyarat tersebut seperti ketentuan yang terdapat didalam

Pasal 14 KUHP yang tidak wajib untuk mencantumkan syarat khusus kepada

Terdakwa. Penjatuhan Pidana bersyarat memang diatur didalam Pasal 14 KUHP


113

dan Jika untuk Terdakwa Anak diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 dalam hal ini berlaku asas Lex specialis derogat lege generalis, artinya

segala hal yang telah diatur oleh Undang-Undang sistem Peradilan Pidana Anak

tersebut harus dijadikan dasar pertimbangan bagi Hakim untuk menjatuhkan

pidana Bersyarat kepada Anak khususnya dalam rangka memberikan syarat umum

dan syarat khusus. berkaitan dengan ketentuan syarat khusus yang diatur

kumulatif didalam undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 yang merupakan lex

generalis tersebut, Informan dalam skripsi ini Bapak Makmur S.H.,M.H Hakim

pada Pengadilan Negeri Ungaran memberikan pendapatnya dalam wawancara di

Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB

sebagai berikut,

Persyaratan khusus maupun umum sebagaimana ditentukan oleh


Undang-Undang, kalau memang itu harus diatur oleh Undang-Undang
maka harus dicantumkan. Persyaratan membuat putusan yang benar itu
harus ditaati oleh Hakim dalam membuat putusan yang benar sesuai
dengan perundang-Undangan baik itu Undang-Undang kekuasaan
kehakiman, Undang-Undang Peradilan umum maupun Undang-Undang
menyangkut kasus konkritnya. Pertimbangan ini merupakan ratio
decidendi bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana atau tindakan kepada
Anak, dari dasar pertimbangan itu apakah Hakim sudah
mempertimbangkan secara komprehensif atau belum.
Menurut analisis Penulis, Dari pertimbangan-pertimbangan Hakim di

dalam kedua putusan tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa pertimbangan-

pertimbangan yuridis didalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr yang

menyertakan syarat khusus, dalam memberikan syarat khusus dalam penjatuhan

pidana bersyarat kepada Anak tersebut didasarkan kepada fakta-fakta yuridis

didalam persidangan, tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut agar

Terdakwa dijatuhi pidana bersyarat, pledoi dari penasihat hukum Terdakwa, Hasil
114

penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan yang

merekomendasikan agar Terdakwa dijatuhi hukuman pidana bersyarat dengan

syarat umum dan syarat khusus. Pada pemilihan pidana yang tepat bagi Anak,

Hakim dapat menyimpangi rekomendasi dari hasil penelitian Pembimbing

Kemasyarakatan apabila dipandang tidak tepat namun di dalam putusan tersebut

Hakim berpendapat rekomendasi dari hasil penelitian Pembimbing

Kemasyarakatan tersebut adalah tepat. kemudian dalam memilih jenis pidana

yang dijatuhkan kepada Anak, Hakim mendasarkan kepada ketentuan Pidana

yang terdapat didalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam memberikan syarat khusus kepada Anak

pertimbangan Hakim didasarkan atas ketentuan didalam Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memang mengatur

adanya syarat umum dan syarat khusus didalam penjatuhan pidana bersyarat

kepada Anak.

Sedangkan pada putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr yang tidak

menyertakan syarat khusus, menurut analisis penulis, pertimbangan yuridis yang

digunakan oleh Hakim adalah didasarkan kepada fakta-fakta yuridis didalam

persidangan, tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut agar Terdakwa dijatuhi

pidana bersyarat, pledoi dari penasihat hukum Terdakwa, sedangkan untuk

menentukan jenis dan berat ringanya pidana yang akan dijatuhkan Hakim

memperhatikan Hasil penelitian Kemasyarakatan dari Pembimbing

Kemasyarakatan yang memberikan rekomendasi agar Terdakwa dijatuhi hukuman

pidana bersyarat yang dapat disimpangi hakim apabila hakim berpendapat bahwa
115

hasil penelitian tersebut tidak tepat, namun didalam putusan tersebut Hakim

berpendapat bahwa hasil rekomendasi tersebut adalah tepat apabila dikaitkan

dengan tuntutan Penuntut Umum, dan permohonan Orang Tua Terdakwa.

mendasarkan penjatuhan pidana bersyarat tersebut pada Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak akan tetapi belum sesuai

dengan ketentuan Pasal 73 yang mengatur adanya syarat umum dan syarat khusus.

4.1.2 Pertimbangan Non Yuridis dalam memberikan syarat khusus

Untuk menentukan sentencing atau straftoemeting Hakim Anak

menguraikan tentang keadaan baik yang memberatkan maupun yang

meringankan. Hendaknya putusan Hakim Anak juga menguraikan pertimbangan

selain faktor yuridis seperti faktor non yuridis misalnya berupa faktor psikologis

Anak, apakah menderita kleptomania, sosiopatik, gejala skizofrenia atau depresi

mental, faktor kejiwaan pada umumnya, kemdian dipertimbangkan faktor sosial

ekonomi Anak, faktor edukatif, faktor lingkungan Anak bertempat tinggal dan

dibesarkan, faktor religious dan lain sebagainya (Lilik Mulyadi 2014:295).

Lebih lanjut Hidayat (2014:93) dalam hasil penelitianya menyatakan

bahwa pertimbangan yuridis saja tidaklah cukup untuk menentukan nilai keadilan

dalam pemidanaan Anak dibawah umur, tanpa ditopang dengan pertimbangan

yang bersifat sosiologis, psikologis, kriminologis dan filosofis.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak diatur bahwa Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan

berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang. Sedangkan Anak yang belum

berusia 12 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Ringanya perbuatan, keadaan


116

pribadi Anak atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatanya atau yang terjadi

kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk dapat menjatuhkan

pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan

kemanusiaan. (Pramukti dan Primaharsya 2015:87)

Pemberian sanksi terhadap Anak harus tetap memperhatikan berat

ringanya kenakalan yang dilakukan, dapat saja dilakukan pemberian sanksi

pidana, atau sanksi pidana dan tindakan maupun pemberian tindakan saja. Namun

demikian, mengingat fungsi restoratif dari tujuan penanganan Anak, tingkat usia

Anak, kondisi kejiwaan Anak, serta masa depan Anak adalah hal yang sangat

mendasar menjadi pertimbangan utama. (Sambas 2010:217)

Pertimbangan-pertimbangan non yuridis ini juga diatur oleh Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana didalam Pasal 197 ayat (1) huruf f yang

berbunyi sebagai berikut,

Surat putusan pemidanaan memuat :


Pasal peraturan peruindang-undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan perUndang-
Undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa.

berdasarkan hal tersebut dalam hal Hakim akan menjatuhkan pidana

kepada Anak harus mempertimbangkan keadaan-keadaan yang memberatkan dan

meringankan bagi Anak. Penegasan tentang aspek ini adalah untuk menentukan

berat ringanya hukuman yang akan dijatuhkan kepada Anak. Pada dasarnya baik

keadaan memberatkan maupun meringankan tercemin dari diri Anak mengenai

perilakunya, kepribadianya maupun untuk kepentingan masa depanya dan lain

sebagainya. (Mulyadi 2014:300)


117

bahwa pertimbangan tentang hal-hal yang meringankan dan

memberatkan tersebut digunakan oleh Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran

dalam menjatuhkan pidana bersyarat hal ini dapat diketahui di dalam putusan

Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr sebagai berikut,

- Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap diri para

Terdakwa, maka perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang

memberatkan dan meringankan;

Hal-hal yang memberatkan :

- Perbuatan para Terdakwa meresahkan Masyarakat dan juga

membahayakan keselamatan orang lain;

Hal-hal yang meringankan:

- Para Terdakwa masih kategori Anak dan masih mempunyai masa

depan untuk tumbuh dan berkembang dengan lebih baik;

- Korban dan para Terdakwa telah saling memaafkan, pihak Orang

Tua para Terdakwa juga telah memberikan bantuan finansial untuk

biaya pengobatan korban;

- Para Terdakwa bersikap sopan di persidangan , serta menyesali

perbuatannya;

- Para Terdakwa belum menikmati hasil kejahatannya;

Menurut analisis Penulis, pertimbangan Hakim didalam putusan tersebut

sesuai dengan ketentuan Pasal 70 Nomor Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang yang menentukan bahwa ringanya

perbuatan, keadaan pribadi Anak, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
118

atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan Hakim untuk

tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan

segi keadilan dan kemanusiaan.

Menurut analisis penulis dalam hal ini Hakim Anak mempunyai

kewenangan yang sangat luas dalam mempertimbangkan hal-hal yang

memberatkan dan meringankan Terdakwa Anak yang dapat meliputi sikap

Terdakwa dipersidangan dan sikap Terdakwa yang menyesali perbuatanya,

keluarga korban sudah memaafkan, serta ganti rugi atau bantuan finansial yang

telah diberikan oleh Terdakwa kepada korban tindak pidana.

Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat

khusus maka harus diketahui terlebih dahulu pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana bersyarat. Menurut analisis Penulis, Untuk memberikan

kepentingan terbaik bagi Anak dan masa depanya, selain mempertimbangkan hal-

hal yang meringankan dan memberatkan Terdakwa dalam penjatuhan pidana

bersyarat kepada Anak, terdapat alasan-alasan sosiologis lainya yang di

pertimbangkan oleh Hakim salah satunya adalah pertimbangan terhadap fungsi

dan kemanfaatan dari pidana yang dijatuhkan. alasan sosiologis yang dijadikan

Pertimbangan Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran dalam menjatuhkan

pidana bersyarat kepada Anak tersebut dijelaskan oleh Ibu Fitri Ramadhan

S.H.,M.H. melalui wawancara kepada Penulis di Pengadilan Negeri Ungaran pada

tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB sebagai berikut,

kalau pidana bersyarat Anak kan tidak perlu masuk kedalam


lembaga Pemasyarakatan khusus Anak. Jadi kalau masuk
kedalam lembaga Pemasyarakatan disitu kan dibina. Tapi kalau
119

dijatuhi pidana bersyarat kan tidak perlu menjalani, jadi lebih


aman atau lebih save dengan Orang Tuanya tetapi tetap dengan
pengawasan jaksa.

pertimbangan terhadap segi kemanfaatan dari pidana bersyarat tersebut

juga digunakan oleh Hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat. Hal ini

diungkapkan oleh Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H, melalui wawancara di

Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB

selaku Hakim Anak sebagai berikut

Pidana bersyarat ini memberikan efek jera juga karena kalau


pidana bersyarat kan ada jangka waktunya misalnya dipidana 2
bulan penjara tapi diberi masa percobaan dalam satu tahun tidak
boleh melakukan tindak pidana. Tapi kalau dia melakukan tindak
pidana dia masuk yang 2 bulan. Jadi dalam jangka waktu
persyaratan atau percobaan yang diberikan itu berfungsi untuk
mengerem hal hal yang dilakukan. Ada pembelajaran juga disitu
tetapi tidak perlu masuk kedalam penjara khusus Anak.

Menurut Analisis Penulis, dari hasil wawancara tersebut Hakim

mempertimbangkan sifat-sifat dari jenis pidana yang dijatuhkan beserta

keuntungan dan manfaatnya. Pertimbangan-pertimbangan yang disampaikan

Hakim tersebut sesuai dengan manfaat-manfaat dari pidana bersyarat

sebagaimana Dijelaskan oleh Muladi (2008:152) bahwa pidana bersyarat

mempunyai manfaat atau keuntungan-keuntungan kepada individu terpidana

sebagai berikut:

d. Pertama, Pidana bersyarat akan memberikan kesempatan kepada

terpidana untuk memperbaiki dirinya di Masyarakat, sepanjang

kesejahteraan terpidana dipertimbangkan sebagai hal yang paling


120

utama daripada resiko yang mungkin diderita oleh Masyarakat,

seandainya terpidana dilepas di Masyarakat.

Dalam hal ini Hakim berpendapat bahwa dengan menjatuhkan pidana

bersyarat, Anak dapat terhindar dari kebiasaan-kebiasaan buruk yang

ditetapkan didalam syarat-syaratnya dan hal tersebut menjadi sebuah

pembelajaran bagi Anak.

e. Keuntungan yang kedua adalah bahwa pidana bersyarat

memungkinkan terpidana untuk melanjutkan kebiasaan-kebiasaan

hidupnya sehari-hari sebagai manusia, yang sesuai dengan nilai-nilai

yang ada di Masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan ini antara lain adalah

melakukan tugas pekerjaanya, melaksAnakan kewajiban-kewajibanya

didalam keluarga, ikut serta didalam kegiatan rekreasi dan tindakan-

tindakan lain yang akan bermanfaat baginya sebagai anggota

Masyarakat dan sebaliknya hal ini juga sangat bermanfaat bagi

Masyarakat.

Mengenai hal ini Hakim berpendapat bahwa apabila dijatuhi pidana

bersyarat maka dipandang lebih aman atau lebih save dengan Orang

Tuanya tetapi tetap dengan pengawasan jaksa. Dari pada harus masuk

kedalam lembaga Pemasyarakatan Anak.

Dalam hal ini Hakim

f. Manfaat yang ketiga adalah, bahwa pidana bersyarat akan mencegah

terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan

kemerdekaan, yang oleh Jerome H. Skolnick disebut sebagai salah


121

satu konsekwensi diluar hukum yang harus diperhitungkan didalam

kebijaksanaan para penegak hukum. Stigma ini seringkali dirasakan

juga oleh keluarganya.

Berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan yang bermanfaat bagi Anak

tersebut, Informan dalam skripsi ini, Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran

Bapak Makmur S.H.,M.H dalam wawancara dengan Penulis di Pengadilan Negeri

Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul 10.36 WIB memberikan

penjelasan sebagai berikut

Putusan itu ada tiga aspek yaitu keadilan kepastian kemanfaatan,


bagaimana suatu aspek ini dapat terangkum didalam putusan. Kita
lihat keseimbangan antara perbuatan dengan sanksi yang akan
dijatuhkan. Kepastian yaitu menjadi dasar hukum yang digunakan
oleh Hakim. Kemudian kemanfaatan harus menjamin putusan ini
setidak-tidaknya bermanfaat bagi Terdakwa Anak, atau kepada
korban ataupun secara luas kepada Masyarakat.. Dalam hal
berbicara kemanfaatan kita harus mempertimbangkan segala sesuatu
misalnya masa depan Anak, kita harus membuat putusan itu
bermanfaat bagi Anak.

Menurut analisis Penulis berdasar hasil wawancara tersebut dikaitkan

dengan ketentuan tentang Pemidanaan di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dalam menjatuhkan pidana kepada

Anak Hakim mempunyai pertimbangan yang sangat luas yaitu tidak hanya terkait

dengan hal-hal yang meringankan dan memberatkan saja namun juga masa depan

bagi Anak. pertimbangan tersebut harus dipakai demi kepentingan terbaik bagi

Anak dan Masyarakat. Pertimbangan tersebut merupakan pertimbangan non

yuridis yang bersifat filosofis yaitu sesuai dengan filosofi sistem Peradilan Pidana

Anak yaitu kepentingan terbaik bagi Anak yang telah digariskan oleh Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012. Hal ini juga sesuai dengan prinsip-prinsip
122

pedoman dalam mengambil keputusan terhadap Anak yang diatur didalam

Standard Minimum Rule Juvenile Justice (SMR-JJ) atau yang di kenal dengan

Beijing Rule, yang menegaskan didalam Rule 17.1, menyatakan prinsip-prinsip

tersebut adalah sebagai berikut

a) Bentuk-bentuk reaksi/sanksi yang di ambil selamanya harus

diseimbangkan tidak hanya pada keadaan-keadaan dan keseriusan

berat ringanya tindak pidana (the circumstances and the grafity of the

offence), tetapi juga keadaan-keadaan dan kebutuhan-kebutuhan si

Anak (the circumstances and of the juvenile) serta pada kebutuhan-

kebutuhan Masyarakat (the need of the society)

b) Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi Anak hanya

dikenakan setelah pertimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal

mungkin

c) Perampasan kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali Anak

melakukan tindakan kekerasan yang serius terhadap orang lain atau

terus-menerus melakukan tindak pidana serius dan kecuali tidak ada

bentuk sanksi lain yang lebih tepat;

d) Kesejahteraan Anak harus menjadi faktor pedoman dalam

mempertimbangkan kasus Anak

Dari hasil wawancara dengan Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H tersebut,

diketahui bahwa hakim berpendapat pidana bersyarat lebih tepat untuk diterapkan

kepada TerPidana Anak, dibandingkan dengan pidana penjara, karena dengan

segala kekurangan dan kelemahan yang ada pada pidana penjara selama ini. Hal
123

ini dijelaskan oleh Aryana (20015:41) dalam Jurnal DIH, Ilmu Hukum yang

berjudul Efektifitas Penjara dalam Membina Narapidana. Bahwa Lembaga

pemasyarakatan tetap menjadi school of crime bagi warga binaan. Prisonisasi

terhadap warga binaan sulit untuk dihindari, terlebih jika pengawasan oleh

petugas tidak dilakukan secara optimal. Selain itu stigmatisasi negatif mantan

warga binaan oleh masyarakat. Mantan warga binaan seringkali dilabelisasi

sebagai penjahat yang harus diwaspadai. Akibatnya, mereka sulit untuk

mendapatkan pekerjaan kembali. Satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan melakukan kejahatan sepeti menjadi

preman jalanan, terjun ke dunia prostitusi, menjadi penjual narkotika dan

sebagainya. Kondisi tersebut tentu sangat memprihatinkan, oleh sebab itu

diperlukan upaya untuk memini- malisasi pidana penjara. Tentu saja hal demikian

sangat tidak sesuai dengan filosofi Sistem Peradilan Pidana Anak. Oleh karenanya

Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Memilih untuk menghindari pidana

perampasan kemerdekaan dan memilih pidana bersyarat yang dipandang lebih

aman untuk TerPidana Anak.

Berdasarkan analisis, pertimbangan sosiologis dan filosofis Hakim untuk

menjatuhkan pidana bersyarat tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan apa

yang diamanatkan oleh The Beijing Rules dan asas-asas yang terdapat didalam

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Adapun Pertimbangan mengenai pemberian Syarat khusus dalam

penjatuhan pidana bersyarat di ungkapkan oleh Hakim Anak Ibu Fitri Ramadhan

S.H.,M.H yang memutus perkara Nomor 4/Pid.sus/2015/PN.Unr dalam


124

wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10 Februari 2017 Pukul

09.17 WIB sebagai berikut,

syarat khusus itu saya pandang perlu. Karena untuk kepentingan


terbaik bagi Anak saja. Kalau saya di dalam kasus ini. Misalnya
saya mencantumkan syarat khusus tidak boleh bergaul dengan
teman-temanya. Kan untuk kepentingan dia. Takutnya apabila
nanti saya tidak mencantumkan syarat khusus itu dia kembali
bergaul dengan teman temanya lagi, nanti dia kembali melakukan
tindak pidana lagi atau ada pengaruh temanya. Jadi fungsinya
untuk menanggulangi hal seperti itu. Juga untuk efek pengekangan
bagi Anak juga. Yang jelas untuk kepentingan terbaik bagi Anak.

Menurut analisis Penulis, salah satu pertimbangan atas segi kemanfaaatan

pidana bersyarat yang digunakan oleh Hakim Anak dalam menjatuhkan pidana

bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran adalah pidana bersyarat dipandang dapat

mencegah terjadinya stigma yang diakibatkan oleh pidana perampasan

kemerdekaan yaitu Anak tidak perlu masuk kedalam lembaga Pemasyarakatan

khusus Anak hal ini sesuai dengan asas penghindaran dari perampasan

kemerdekaan dan asas pertimbangan terhadap tumbuh kembang serta asas

pembinaan dan pembimbingan Anak yaitu segala upaya untuk meningkatkan

kualitas, ketakwaan pada Tuhan yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku,

pelatihan dan keterampilan, professional, serta kesehatan jasmani dan rohani Anak

yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 karena Pidana

bersyarat akan memberikan kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki

dirinya di Masyarakat melalui syarat-syarat yang diberikan dalam masa

percobaan, Mengenai syarat-syarat yang diberikan dalam masa percobaan

tersebut, Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran mempunyai pendapat

perlunya untuk diberikan syarat khusus sebagaimana diatur didalam Pasal 73 ayat
125

(2) dan (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Adapun syarat khusus yang

diberikan didalam Putusan tersebut adalah

- Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi

Terdakwa I;

- Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk bagi

Terdakwa II;

- Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza;

- Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai

SIM.

Berdasarkan pendapat Hakim dalam wawancara diatas dengan melihat

syarat khusus yang ditentukan didalam putusanya, bahwa syarat-syarat tersebut

diarahkan untuk perbaikan diri dari terpidana dengan membatasi perilaku-perilaku

Anak, membatasi pergaulan terhadap orang tertentu yang membawa pengaruh

buruk terhadap terpidana. Syarat-syarat sedemikian rupa tersebut dapat membantu

terpidana agar menjadi orang yang taat pada hukum. Syarat-syarat tersebut

tidaklah membatasi kebebasan Anak dan tidak bertentangan dengan kebebasan

beragama Anak. Sebagaimana dijelaskan oleh Muladi (2008:200) Pemberian

syarat-syarat tersebut harus diarahkan untuk membantu terpidana bersyarat

mentaati hukum, dalam kerangka rehabilitasi dan tidak terlalu membatasi

kemerdekaanya atau bertentangan dengan kebebasanya beragama dan berpolitik.

Persyaratan tersebut tidak boleh terlalu samar-samar sehingga tidak jelas. Syarat-

syarat tersebut sebaiknya harus berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:


126

a. kerjasama didalam program-program pengawasan;

b. pemenuhan tanggung jawab keluarga;

c. mempertahankan pekerjaan yang tetap;

d. keikutsertaan didalam pendidikan atau latihan keterampilan yang

telah ditentukan;

e. menjalani pembinaan kesehatan baik phisik atau latihan

keterampilan yang telah ditentukan;

f. mempertahankan suatu tempat tinggal disuatu daerah yang telah

ditentukan atau disuatu fasilitas tempat tinggal khusus yang

disediakan;

g. menghentikan pergaulan dengan orang-orang tertentu atau

kunjungan ke tempat-tempat tertentu;

h. memberikan ganti rugi kepada korban kejahatan atau melakukan

perbaikan terhadap kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh

tindak pidana yang dilakukan.

Menurut analisis penulis bahwa pertimbangan sosiologis yang digunakan

oleh Hakim dalam memberikan syarat khusus kepada Anak adalah menyangkut

perilaku Anak yang harus dibatasi pergaulanya dengan teman-teman agar tidak

terjerumus kedalam perbuatan yang tercela membatasi kebiasaan-kebiasaan

buruk Anak memberikan pelajaran bagi Anak agar dapat menjadi seorang yang

taat hukum adalah pertimbangan yang memandang pada kebutuhan pelaku pada

masa depan dan tidak berdasarkan perbuatan apa yang telah dilakukan. Maka

pertimbangan dalam hal ini telah sesuai dengan filosofi tujuan sistem Peradilan
127

Pidana Anak yaitu kepentingan terbaik bagi Anak. Apabila dikaitkan dengan

aliran pemidanaan maka pertimbangan-pertimbangan sosiologis tersebut

mencerminkan paradigma pemidanaan yang digunakan oleh Hakim adalah teori

pemidanaan utilitarian yang memiliki ciri diantaranya adalah Pidana harus

ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan, Pidana

melihat ke muka atau bersifat prospektif, Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi

hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan

Masyarakat.

Dari 3 (tiga) putusan yang menjatuhkan pidana bersyarat kepada Anak di

Pengadilan negeri Ungaran, terdapat 1 (satu) Putusan yang tidak mencantumkan

syarat khusus yaitu Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr. Terkait pertimbangan

Hakim dalam putusan yang tidak mencantumkan syarat khusus pada Penjatuhan

Pidana Bersyarat dapat diketahui pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam

menjatuhkan pidana bersyarat terlebih dahulu. Pertimbangan non yuridis yang

digunakan Hakim yaitu meliputi sosiologis, kriminologis, dan filosofis. Salah satu

pertimbangan non yuridis Hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat didalam

putusan tersebut meliputi keadaan yang memberatkan dan keadaan yang

meringankan sebagai berikut

Hal hal yang memberatkan

- Perbuatan Terdakwa meresahkan Masyarakat;

Hal hal yang meringankan

- Terdakwa masih dibawah umur;

- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;


128

- Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan

mengulanginya;

Menurut Analisis penulis, pertimbangan mengenai hal-hal yang

memberatkan dan yang meringankan tersebut adalah tepat dan sesuai dengan asas

kepentingan terbaik bagi Anak dan perhatian terhadap tumbuh kembang Anak,

tercermin didalam pertimbangan hal-hal yang meringankan yiatu Anak masih

dibawah umur yang sesuai dengan asas proporsional yaitu segala perlakuan

terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak.

Oleh karena itu penghindaran terhadap pidana perampasan kemerdekaan adalah

suatu hal yang patut dilaksAnakan oleh Hakim sesuai amanat Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berkaitan dengan pertimbangan Hakim terkait hal-hal yang meringankan

dan memberatkan tersebut, Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Ibu Esni

Meriyenti S.H.,M.H melalui wawancara dengan Penulis di Pengadilan Negeri

Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB memberikan pendapat

sebagai berikut,

Kita dapat melihat lagi dipersidangan. Misalnya sikap Terdakwa


dipersidangan. Terkadang ada yang petetang petenteng ya kita
jadikan pertimbangan. Misalnya seperti ini, bapas mintanya
dikembalikan kepada Orang Tua, namun dalam persidangan
keadaan Anak seperti ini, ya apakah kita mau manut bapas, ya kita
ada pertimbangan tersendiri.
Pertimbangan itu di dipersidangan. Salah satu pertimbangan adalah
keluarga korban sudah memaafkan. Ada ganti ruginya atau tidak.
Jadi kita melihat kondisi kedua belah pihak dalam persidangan.
Dalam kasus Nomor tersebut, keluarga sudah memaafkan namun
tetap mau dilanjutkan.
129

Didalam penjatuhan pidana bersyarat tersebut Hakim tidak memberikan

syarat khusus karena Hakim memiliki pertimbangan lain yang dijelaskan oleh

Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H melalui

wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul

09.45 WIB sebagai berikut,

Tergantung dari fakta persidangan dan berdasarkan kasus. Pasal


juga beda, khususnya juga beda. Kalau dalam putusan ini kan saya
tidak mencantumkan. Ya pokoknya tergantung pertimbangan.
Dilihat dari korban juga pihak korban juga sudah tidak
mempermasalahkan ya bagaimana saya mau bagaimana lagi saya
mau memberikan syarat khusus. Tergantung. Sebenarnya tidak
boleh keluar dari ketentuan Undang-Undang . tapi kalau
umpamanya kedua belah pihak tidak bermasalah atau tidak
banding mungkin ya tidak masalah.

Kalau dalam kasus yang saya tangani, biasanya kalau memakai


motor kalau korban sampai meninggal ya syarat khususnya
sanksinya tidak bias lagi memakai sim. Ini karena Anak-Anak kan
tidak mempunyai sim.

Menurut analisis penulis, pertimbangan Hakim tidak memberikan syarat

khusus diantaranya adalah didasarkan pada keadaan korban, misalnya korban

tidak mempermasalahkan, kemudian selanjutnya adalah keadaan pribadi korban

yang belum memiliki surat ijin mengemudi. Pertimbangan-pertimbangan tidak

memberikan syarat khusus ini adalah pertimbangan yang menilai bahwa

pemberian syarat khusus hanya didasarkan kepada berat ringanya tindak pidana

beserta keadaan para korban. Berbeda dengan pendapat muladi tentang

pemberian syarat khusus yang pada intinya adalah sebagai unsur edukasi,

perbaikan pelaku, sebagai sarana pendidikan pelaku untuk masa depan agar

menjadi manusia yang taat pada hukum. Tidak tepat apabila syarat khusus hanya
130

dipandang sebagai imbalan atas berat ringanya perbuatan karena didalam syarat

khusus pada undang-undang Terlebih memang syarat khusus tersebut telah

ditetapkan didalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan menjadi

ciri khas yang membedakan pidana bersyarat untuk Anak dan pidana bersyarat

untuk orang dewasa yang diatur didalam KUHP. Apabila pertimbangan untuk

diadakanya syarat khusus itu didasarkan pada berat ringanya perbuatan maka

yang terjadi pada Terdakwa hanyalah penghindaran dari upaya perampasan

kemerdekaan dan penghindaran pembalasan karena hanya tidak menjalani pidana

penjara dan tidak boleh melakukan tindak pidana sebelum masa percobaan habis

dan tidak diarahkan pada upaya untuk mengubah perilaku Anak. Didalam

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 terkait dengan pentingnya syarat khusus

tersebut tercermin didalam ketentuan pengawasan syarat-syarat yang telah

diberikan yaitu Selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum

melakukan pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan

pembimbingan agar Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan. Serta

ketentuan jangka waktu syarat khusus itu lebih panjang dari pada syarat umum

berarti bahwa perlunya perbaikan diri Anak melalui syarat khusus dalam jangka

waktu yang lebih lama.

Menurut Analisis dari Penulis, terdapat pertimbangan dan pandangan

yang berbeda terhadap ketentuan syarat khusus didalam penjatuhan pidana

bersyarat kepada Anak dipengadilan Negeri Ungaran walaupun telah secara jelas

ketentuan mengenai syarat khusus tersebut merupakan syarat yang harus

dicantumkan Hakim didalam putusanya. Adapun pertimbangan yang dipakai oleh


131

Hakim didalam putusan Nomor 4/Pid.sus/2015.PN.Unr tersebut terkait dengan

penerapan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak adalah

upaya perbaikan perilaku Anak dan memandang syarat khusus untuk mengubah

perilaku Anak dimasa depan dan menjadi seseorang yang taat pada hukum dalam

hal ini syarat khusus adalah didasarkan pada pertimbangan terhadap perbaikan

perilaku Anak dalam waktu kedepan sedangkan pada putusan yang tidak

memberikan syarat khusus yaitu putusan Nomor 3/Pid.Sus/2015.PN.Unr,

pertimbangan didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan berat dan ringanya

perbuatan yang dilakukan serta pihak korban yang tidak mempermasalahkan. Jadi

dalam hal ini pandangan Hakim terkait dengan syarat khusus tersebut adalah

bukan sebagai alat untuk mengubah dan memperbaiki perilaku Anak di masa

depan Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan bentuk dari kewenangan Hakim

dan kebijaksanaanya dalam mempertimbangkan segala sesuatu didalam memutus

perkara pidana. Dalam hal ini terdapat asas ius curia novit dan res judicata pro

veritate harbeur.

Menurut analisis penulis terkait dengan perbedaan tersebut, Perbedaan

pertimbangan Hakim secara subjektif dalam menjatuhkan pidana bersyarat kepada

Anak adalah suatu hal yang wajar karena didalam peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar bagi Hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat belum

terdapat pedoman dan aturan yang jelas. Hal ini juga dijelaskan oleh muladi

didalam hasil penelitianya terhadap penerapan ketentuan Undang-Undang tentang

pidana bersyarat di Indonesia. Sebagai berikut,


132

a. belum adanya pedoman yang jelas tentang penerapan pidana

bersyarat, yang mencangkup hakekat, tujuan yang hendak dicapai

serta ukuran-ukuran didalam penjatuhan pidana bersyarat.

b. tidak adanya pedoman penerapan pidana bersyarat tersebut

menyebabkan timbulnya pertimbangan-pertimbangan yang

berdasar atas subjektifitas Hakim didalam mengadili suatu perkara.

Subjektivitas tersebut kadang-kadang terlalu bersifat psikologis

yang sama sekali tidak relevan untuk dijadikan dasar penjatuhan

pidana bersyarat.

Berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan Hakim dalam memberikan

syarat khusus pada penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak yang berbeda

tersebut, Hakim di Pengadilan Negeri Ungaran Bapak Makmur S.H.,M.H melalui

wawancara yang bertempat di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 10

Februari 2017 Pukul 10.40 WIB menjelaskan sebagai berikut.

Kewenangan menjatuhkan putusan adalah kewenangan Hakim. Jadi


Hakim mempunyai kewenangan untuk menggunakan dasar hukum yang
umum maupun yang khusus. Dan putusan harus dianggap benar
sepanjang tidak ada upaya hukum atau keberatan dan sanggahan dari
pihak pihak yang berkepentingan.

Menurut analisis penulis dalam hal belum adanya peraturan yang menjadi

pedoman Hakim dalam memberikan syarat khusus tersebut, berdasarkan asas lex

specialis derogate lege generalis Hakim harus menggunakan ketentuan tentang

pidana bersyarat yang bersifat khusus dan menyampingkan ketentuan pidana

bersyarat didalam KUHP selayaknya Hakim melalui kewenanganya dapat

mempertimbangkan segala sesuatu yang bermanfaat kepada Anak kedepanya


133

dengan berpegang kepada asas-asas Peradilan Anak yang diatur didalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

karena asas merupakan dasar dari adanya suatu peraturan yang konkrit.

Dari hasil penelitian dan analisis diatas dapat diketahui bahwa pemberian

syarat khusus dipengaruhi oleh pertimbangan soiologis hakim dalam menjatuhkan

pidana bersyarat, dalam hal ini terdapat pertimbangan yang berbeda dari hakim

untuk memberikan syarat khusus dalam penjatuhan pidana bersyarat diantaranya

adalah pada putusan yang menetapkan syarat khusus hakim mempunyai

pertimbangan untuk perlu menerapkan syarat khusus kepada Anak dengan

maksud untuk memberikan suatu efek pembelajaran bagi Anak untuk mengubah

perilaku buruknya menjadi perilaku baik di masa depan dalam hal ini syarat

khusus tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan kepentingan terbaik bagi

Anak. Sedangkan pada putusan yang tidak menetapkan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat adalah hakim mempunyai pertimbangan bahwa

pemberian syarat khusus didasarkan pada keadaan yang meringankan dan

memberatkan seperti adanya ganti kerugian bagi korban, keadaan pihak korban

dalam hal ini syarat khusus seperti halnya berat ringanya pidana maka apabila

pihak korban telah mengikhlaskan akibat dari tindak pidana, terdakwa dapat tidak

diberikan syarat khusus.

Menurut penulis dalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak

disamping pemberian syarat umum harus pula diberikan syarat khusus karena

telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, hal ini merupakan upaya untuk memberikan kepentingan
134

terbaik bagi Anak di masa depan. Pertimbangan dalam memberikan syarat khusus

seharusnya didasarkan pada upaya perbaikan perilaku Anak untuk menjadi orang

yang berguna dan menjadi Anak yang bertanggungjawab, hal ini untuk

menjadikan pidana bersyarat lebih berdaya guna dari pada hanya sebagai

penghindaran pembalasan dan selayaknya pertimbangan tidak didasarkan pada

keadaan yang meringankan atau memberatkan seperti adanya ganti kerugian.

4.2 Kedudukan Syarat Khusus dalam Upaya mewujudkan tujuan


pemidanaan terhadap Anak di Pengadilan Negeri Ungaran

Terkait dengan tujuan pemidanaan didalam sebuah Putusan yang

menjatuhkan hukuman atau sanksi pidana, maka dapat dicari dengan menganalisis

tujuan tersebut melalui pertimbangan-pertimbangan Hakim sebelum Hakim

menjatuhkan pidana yang terdapat didalam Putusan tersebut. Karena Penetapan

tujuan-tujuan pemidananan ini oleh Karl O. Christiansen dikatakan sebagai syarat

yang fundamental Sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief sebagaimana

dikutip oleh Sholehudin (2003:118) yang menyatakan bahwa sehubungan dengan

masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan tersebut, maka sudah

barang tentu harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang

diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan umum tersebut barulah kemudian

dengan bertolak atau berorientasi pada tujuan itu dapat diterapkan cara, sarana,

atau tindakan apa yang akan digunakan.

Apabila didalam suatu Putusan kita akan mengetahui paradigma

pemidanaan oleh Hakim maka dapat di analisis melalui pertimbangan-

pertimbangannya. Didalam Putusan penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak


135

yang dibahas didalam skripsi ini maka penulis akan menganalisis pertimbangan

Hakim dikaitkan dengan tujuan pemidanaan sebagai berikut,

Adapun pertimbangan Hakim tentang tujuan suatu pemidanaan terdapat

didalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015.PN.Unr adalah dengan adanya

pertimbangan Hakim mengenai hasil penelitian dari Bapas tentang segala sesuatu

yang bermanfaat bagi Anak dan dinyatakan tepat oleh Hakim dengan

pertimbangan bahwa pidana bersyarat akan menghilangkan stigma/label napi bagi

Anak; Pidana penjara adalah alternative terakhir bagi ABH dengan memberikan

syarat khusus, terkait dengan pertimbangan tersebut Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H

selaku Hakim Anak yang memutus perkara tersebut di dalam wawancara di

Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul 09.20 WIB

memberikan penjelasan sebagai berikut,

Dalam penjatuhan pidana kepada Anak pasti kita


mempertimbangkan tujuan pemidanaan, Kita yang pasti tidak ada
pembalasan, dan yang ada yaitu pembinaan serta konsep restoratif
justice juga kepentingan terbaik bagi Anak

Sedangkan didalam Putusan Nomor 3/Pid.sus/2015.PN.Unr terkait

dengan tujuan pemidanaan Hakim memberikan pertimbanganya sebagaimana

yang direkomendasikan oleh tim pengamat Pemasyarakatan dan Pembimbing

Kemasyarakatan sebagai berikut

Menimbang, bahwa setelah mempelajari hasil penelitian Balai


Pemasyarakatan yang pada pokoknya dalam rekomendasinya untuk
kepentingan masa depan Anak serta melindungi Anak dari hak-haknya
agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai harkat dan martabat manusia maka jalan terbaik adalah
menjauhkan Anak dari sistem Peradilan pidana dan memperhatikan
permohonan Orang Tua dan Penasihat Hukum Terdakwa yang pada
pokoknya memohon untuk dikembalikan kepada Orang Tuanya atau
136

mohon hukuman yang seringan-ringannya, dalam hal ini dengan


memperhatikan kepentingan Anak dan dalam usaha memberi keadilan
bagi korban, maka sebagaimana Tuntutan Penuntut Umum, maka akan
lebih baik jika kepada Terdakwa dipidana dengan pidana bersyarat

Menurut Analisis Penulis bahwa dalam pertimbangan kedua Putusan

tersebut tersebut dapat diketahui Hakim mempertimbangkan hal-hal yang

bermanfaat bagi Anak kedepan. Apabila pertimbangan-pertimbangan terkait

dengan tujuan dari pemidanaan yang dijatuhkan oleh Hakim tersebut dianalisis

dengan teori teori pemidanaan, maka pertimbangan tersebut sesuai dengan teori

utilitarian atau tujuan yang memiliki karakteristik diantaranya adalah, pertama

Tujuan Pidana adalah pencegahan mengenai hal ini didalam pertimbangan Hakim

yang menetapkan bahwa pemidanaan adalah sarana memperbaiki perilaku Anak

dan pembinaan kepada Anak maka hal ini adalah sarana pencegahan pribadi untuk

Anak agar tidak menjadi seseorang yang berbuat jahat kembali. Karakteristik

selanjutnya ialah Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan Masyarakat bahwa

didalam Putusan tersebut serta penjelasan dari Hakim Anak yang memutus

perkara bahwa hal terpenting ialah tidak adanya pembalasan melainkan hanya ada

pembinaan yang memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak serta

mempertimbangkan tumbuh kembang Anak maka diharapkan Anak akan tumbuh

menjadi seseorang yang berperilaku baik dan pada akhirnya akan kembali ke

dalam Masyarakat dengan menjadi seseorang yang bermanfaat. Karakteristik

selanjutnya ialah Pidana harus ditetapkan berdasar tujuanya sebagai alat untuk

pencegahan kejahatan. Pencegahan kejahatan ini jika diartikan secara luas maka

memiliki arti pencegahan kejahatan terhadap Masyarakat dan pencegahan


137

kejahatan pada diri pribadi terpidana. Apabila pencegahan terhadap pribadi maka

pertimbangan didalam Putusan Nomor 4/Pid.Sus/2015.PN.Unr tersebut telah

memenuhi karakteristik ini karena penetapan pidana bersyarat ditujukan agar

Anak diawasi oleh Jaksa dan di bimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan.

Sedangkan untuk pencegahan kejahatan didalam Masyarakat dengan adanya

pidana tersebut maka fungsinya adalah untuk menggarisbawahi bahwa perbuatan-

perbuatan yang dilakukan oleh Anak tersebut merupakan perbuatan yang bersifat

asusila dan tidak patut didalam Masyarakat. Apabila aspek pencegahan agar

Masyarakat tidak melakukan pidana atau dikenal dengan teori

psychologischezwang maka hal ini tidak tepat dikarenakan pertimbangan didalam

Putusan tersebut adalah berdasar pada asas-asas yang terdapat didalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak salah

satunya adalah asas penghindaran dari perampasan kemerdekaan, dan asas

perhatian terhadap tumbuh kembang Anak. Maka pembatasan ini sesuai dengan

karakteristik teori tujuan selanjutnya yaitu Pidana melihat ke muka atau bersifat

prospektif pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan

maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu

pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan Masyarakat. Maka

paradigma Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran terhadap Tujuan

Pemidanaan kepada Anak adalah teori tujuan atau utilitarian dengan

memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dimasa depan.

Selanjutnya terkait dengan posisi atau kedudukan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat didalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan


138

kepada Anak tersebut dapat diketahui dari pertimbangan-pertimbangan Hakim

dalam memberikan syarat khusus dengan melihat syarat-syarat yang diberikan

oleh Hakim kepada Anak. Adanya syarat khusus ini merupakan suatu kekhususan

penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak yang diamanatkan oleh Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang

berbeda dengan ketentuan pidana bersyarat didalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana.

didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak yang mengatur mengenai keududukan syarat khusus yang

diterangkan didalam Pasal 71 ayat (1) huruf b. Pengaturan pidana bersyarat yang

diatur di dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 adalah yang

menyatakan bahwa dalam Putusan pengadilan mengenai pidana dengan syarat

sebagaimana dimaksud ayat (1) ditentukan syarat umum dan syarat khusus.

Mengenai penjelasan dari syarat khusus tersebut Undang-Undang sendiri tidak

memberikan penjelasanya tentang syarat-syarat khusus yang bagaimana yang

dapat ditetapkan oleh Hakim, kecuali hanya mengatakan bahwa syarat-syarat

seperti itu tidak boleh membatasi kebebasan terpidana untuk beragama dan tidak

boleh membatasi kebebasan terpidana untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang

sah menurut ketatanegaraan (Lamintang 2012:138)

Sebagai bahan perbandingan tentang kedudukan syarat khusus dalam

penjatuhan pidana bersyarat yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2012, berikut terdapat Putusan dari Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
139

217/Pid.sus/2014.PT.Bdg yang didalam pertimbanganya mengenai kedudukan

syarat khusus sebagai berikut,

Menimbang, bahwa pidana bersyarat yang dijatuhkan Hakim


tingkat pertama kepada Terdakwa, dipandang tidak tepat dan tidak
lengkap. Sebab hanya memuat lamanya pidana penjara selama 6 (enam)
bulan dan masa percobaannya selama 1 (satu) tahun. Padahal sesuai
ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak, dalam Putusan mengenai pidana bersyarat
ditentukan pula syarat umum dan syarat khusus;
Menimbang, bahwa oleh karena Hakim tingkat pertama tidak
mencantumkan syarat umum dan syarat khusus maka Pengadilan Tinggi
akan memperbaiki pidana bersyarat tersebut dengan menambah dan
melengkapi syarat umum dan syarat khusus, seperti disebutkan dalam
Pasal 73 ayat (3) dan (4) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Syarat umum itu adalah
Terdakwa tidak boleh melakukan tindak pidana selama menjalani pidana
bersyarat. Syarat umum ini secara normatif, telah tercakup dalam
lamanya masa percobaan yang dikenakan kepada Terdakwa. Sedangkan
syarat khusus, Terdakwa tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor
selama 2 (dua) tahun. Apabila dikemudian hari, ternyata Terdakwa
melanggar syarat umum dan syarat khusus maka Terdakwa harus
menjalani pidana penjara seperti yang ditentukan dalam pidana bersyarat
diatas;
Menimbang, bahwa penambahan syarat umum dan khusus
tersebut dimaksudkan untuk memberi efek pembelajaran dan pendidikan
kepada kepada Terdakwa, agar menyadari kelalaiannya dan selalu
mematuhi norma hukum di jalan
Menurut analisis Penulis dari Putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang

memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut mencerminkan bahwa

keberadaan syarat khusus didalam penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak

memang wajib dicantumkan. Selain untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang,

syarat khusus tersebut tentunya adalah sebagai kepentingan terbaik bagi Anak

karena pada pokonya segala hal yang diatur didalam Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak adalah berdasarkan hakikat dari sistem Peradilan Pidana

Anak yaitu kepentingan terbaik bagi Anak.


140

Berdasarkan data yang diperoleh, di Pengadilan Negeri Ungaran

Kedudukan mengenai syarat khusus yang telah diatur didalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak diatas nampaknya

belum terealisiasi didalam praktik penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak. Hal

tersebut dapat diketahui berdasarkan data berikut,

Tabel 1.1 Penjatuhan Pidana bersyarat di Pengadilan Negeri Ungaran


tahun 2014-2016
Jumlah
Tahun Nomor Putusan Vonis Pidana Bersyarat
Putusan

2014 1 1/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Unr Tidak menyertakan syarat khusus

3/Pid.Sus.Anak/2015/PN.Unr Tidak menyertakan syarat khusus


2
2015 4/Pid.Sus-Anak/2015/PN Unr menyertakan syarat khusus

Sumber : Direktori Putusan Mahkamah Agung RI

Menurut analisis Penulis adanya Perbedaan dari Putusan penjatuhan pidana

bersyarat tersebut dikarenakan terdapat pandangan yang berbeda mengenai syarat

khusus yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012. Pandangan

Hakim yang berbeda tersebut dapat diketahui dari hasil wawancara dengan Hakim

Anak yang memutus perkara yang pertama adalah Ibu Fitri Ramadhan di dalam

wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 8 Februari 2017 Pukul

09.17 WIB yang memberikan penjelasanya sebagai berikut,

Kalau saya di dalam kasus ini. Misalnya saya mencantumkan


syarat khusus tidak boleh bergaul dengan teman-temanya. Kan
untuk kepentingan dia. Takutnya apabila nanti saya tidak
mencantumkan syarat khusus itu dia kembali bergaul dengan teman
temanya lagi, nanti dia kembali melakukan tindak pidana lagi atau
ada pengaruh temanya. Jadi fungsinya untuk menanggulangi hal
141

seperti itu. Juga untuk efek pengekangan bagi Anak juga. Yang jelas
untuk kepentingan terbaik bagi Anak.

Adapun syarat khusus yang diberikan didalam Putusan Nomor 5/Pid.Sus-

Anak/2015.PN.Unr adalah sebagai berikut

TERDAKWA I harus melakukan hal-hal sebagai berikut,


d. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk
bagi Terdakwa I;
e. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta
napza;
f. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum
mempunyai SIM;

TERDAKWA II harus melakukan hal-hal sebagai berikut di bawah

d. Tidak bergaul dengan teman yang membawa pengaruh buruk


bagi Terdakwa II;
e. Tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta
napza;
f. Tidak berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum
mempunyai SIM.

Menurut Analisis Penulis berdasarkan pendapat Hakim tentang perlunya

syarat khusus jika dikaitkan paradigma tujuan pemidanaan yang dianut oleh

Hakim yaitu teori tujuan atau utilitarian adalah sebagai berikut, didalam teori

tujuan terdapat fungsi perlindungan individu atau individual prevention dan

perlindungan Masyarakat atau general prevention. Menurut Barda Nawawi Arief

(2005:18), Fungsi perlindungan individu dimaksudkan pengaruh pidana terhadap

terpidana. Jadi, pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan

mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana

lagi. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang

lebih baik dan berguna bagi Masyarakat. Pertimbangan Hakim yang menyatakan

bahwa perlunya syarat khusus salah satunya memerintahkan Anak agar tidak
142

bergaul dengan teman-teman yang membawa pengaruh buruk adalah bentuk dari

usaha untuk memengaruhi tingkah laku terpidana untuk tidak melakukan tindak

pidana lagi. Sedangkan untuk mempengaruhi tingkah laku terpidana agar berubah

menjadi orang yang lebih baik tercermin dari pemberian syarat seperti larangan

untuk tidak merokok dan mengkonsumsi minuman keras serta napza; Tidak

berkendara sepeda motor dan roda empat sebelum mempunyai SIM. Selain itu

dalam fungsinya sebagai pecegahan individu syarat khusus menurut Hakim adalah

sebagai pencegahan untuk tidak melakukan pidana kembali yang diatur dalam

syarat umum. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Fitri Ramadhan, SH.,M.H di dalam

wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul

09.17 WIB

Seperti contoh didalam kasus Nomor 4/Pid.sus-Anak/2015.PN.Unr ini


saya memberikan syarat khusus tidak mengendarai sepeda motor
sebelum mengendarai sim. Takutnya kalau saya tidak mencantumkan
seperti ini nati takutnya dia naik motor terus ditangkap polisi kan bisa
masuk mengulangi tindak pidana lagi atau melanggar syarat umum itu

Menurut analisis penulis, Berdarsarkan pendapat Hakim dalam

memberikan syarat khusus tersebut apabila dikaitkan dengan fungsi pemidanaan

sebagai perlindungan Masyarakat maka tampak bahwa dengan syarat khusus

tersebut diharapkan Anak tidak lagi mengulangi tindak pidana didalam

Masyarakat. Karena dengan adanya larangan terhadap perbuatan yang berkaitan

dengan tindak pidana yang telah dilakukan, Anak tidak akan mengulangi lagi

tindak pidana serupa didalam Masyarakat dengan demikian Masyarakat akan

terlindungi dari perbuatan Anak seperti yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam

wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul


143

09.17 WIB Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H. memberikan penjelasan sebagai

berikut,

syarat umum dan syarat khusus saling sinergi dan saling menguatkan,
kan syarat umum diperkuat dengan syarat khusus kan saling sinergi.

Demikian bahwa Hakim Anak Ibu Fitri Ramadhan S.H.,M.H mempunyai

pendapat dan pandangan bahwa kedudukan syarat khusus merupakan hal yang

penting dalam penjatuhan pidana bersyarat. Pandangan tersebut adalah sebagai

upaya untuk mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak syarat khusus

berperan sebagai fungsi individual prevention sekaligus sebagai general

prevention sebagaimana pendapat Muladi bahwa apabila kedudukan syarat

khusus tersebut dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, maka tujuan yang paling

positif yakni perbaikan terpidana merupakan tujuan yang paling penting sehingga

diadakanya syarat-syarat khusus dan pengawasan khusus merupakan hal yang

mutlak perlu dipertahankan. Hal ini penting untuk menjadikan lembaga pidana

bersyarat berdaya guna, dan tidak menimbulkan kesan merupakan pemberian

kemurahan hati.

Pemberian syarat khusus tersebut tentunya telah ditetapkan dan di

cantumkan pada Putusan Nomor 4/Pid.Sus-Anak/2015.PN.Unr karena memang

memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum serta agar Anak dan Orang Tua

mengerti dengan jelas apa saja yang disyaratkan oleh Hakim. Hal ini berkaitan

dengan pengawasan oleh Jaksa dan pembimbingan oleh Pembimbing

Kemasyarakatan dalam rangka pemenuhan syarat khusus oleh Anak.

Sebagaimana pendapat Muladi (2008:205) dalam penjatuhan pidana bersyarat,

maka baik hakekat maupun ruang lingkup pidana bersyarat yang akan
144

mengendalikan kegiatan terpidana bersyarat harus benar-benar difahami oleh yang

bersangkutan. Sehubungan dengan hal ini, maka terpidana bersyarat harus diberi

turunan keputusan Hakim dan diberi penjelasan baik secara lisan atau tertulis

segala pengertian yang bersangkutan dengan pidana bersyarat tersebut, khususnya

mengenai syarat-syarat yang melekat pada pidana bersyarat beserta

konsekuensinya bilamana terjadi pelanggaran terhadap syarat-syarat tersebut

Akan tetapi tidak semua Hakim Anak di Pengadilan Negeri Ungaran

memiliki pandangan yang sama terhadap kedudukan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak tersebut. hal ini dapat diketahui dari

pendapat dan pertimbangan dari Hakim Anak Ibu Esni Meriyenti S.H.,M.H. yang

memutus perkara Nomor 3/Pid.sus-Anak/2015.PN.Unr dalam wawancara di

Pengadilan Negeri Ungaran pada tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB

dengan penulis sebagai berikut,

dilihat dari fakta dipersidangan misalkan dalam kasus ini kan


percobaan pencurian memberatkan memang dia disertai
kekerasan. Tapi kemudian barang itu kan belum diambil. Nah itu
dapat kita jadikan pertimbangan jadi bersifat kasuistis.jadi banyak
hal yang dijadikan pertimbangan. Jadi kita tidak bisa kaku untuk
menerapkan syarat ini dan itu.

Menurut analisis penulis, Hakim berpendapat bahwa kedudukan syarat

khusus didalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan tidak dijadikan sebagai

upaya perbaikan pribadi Anak dan tidak digunakan sebagai upaya untuk

mengarahkan tingkah laku atau perbaikan dari Anak akan tetapi syarat khusus

dipandang sebagai beban berat atau ringanya pidana sedangkan syarat umum dan

syarat khusus didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem


145

Peradilan Pidana Anak tersebut merupakan cara pengenaan pidana atau

straftmoodus dan tidak merupakan straftmaat atau berat ringanya pidana. Apabila

syarat khusus tersebut ditetapkan sebagai berat ringanya pidana yang akan

dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringanya perbuatan maka akan

terdapat beberapa putusan nantinya tidak menyertakan syarat khusus yang telah

diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Apabila penjatuhan pidana bersyarat tidak dicantumkan

syarat khusus maka terkait dengan teori tujuan pemidanaan, tujuan yang akan

dicapai dari pidana bersyarat hanyalah penghindaran pembalasan dan mencegah

Anak tidak melakukan tindak pidana lagi akan tetapi tidak mengarahkan perilaku

Anak, membimbing Anak, dan mengubah kebiasaan-kebiasaan Anak seperti

kembali lagi bergaul dengan temanya maka yang terpenuhi adalah hanya fungsi

negatif dari pidana bersyarat sebagaimana dijelaskan oleh Muladi (2008:237)

Pengaruh pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan berupa perlindungan

Masyarakat terlihat pada tujuan negative pidana bersyarat terhadap tujuan

pemidanaan berupa perlindungan Masyarakat terlihat pada tujuan negatif pidana

bersyarat, yakni untuk menyelamatkan terpidana dari penderitaan pidana

pencabutan kemerdekaan, khususnya yang berjangka pendek. Dengan

menghindarkan terpidana dari pengaruh buruk pidana pencabutan kemerdekaan

maka Masyarakat akan terlindung dari kemungkinan timbulnya penjahat yang

lebih berat. Sedangkan pada hakikatnya fungsi syarat khusus tersebut merupakan

upaya untuk memperbaiki tingkah laku dan fungsi lain yang dijelaskan oleh

Muladi (2008:237) Syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih
146

pendek dari masa percobaanya harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian

yang ditimbulkan oleh perbuatan pidananya dan syarat khusus lainya mengenai

tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau sebagian

dari masa percobaan, merupakan pencerminan dari usaha untuk mengembalikan

keseimbangan sosial dalam bentuk solidaritas sosial terpidana. Solidaritas sosial

terpidana ini tampak pada kemungkinan, bahwa lembaga-lembaga yang berbentuk

badan hukum atau pemimpin suatu rumah penampungan atau pejabat tertentu

dapat diwajibkan untuk memberikan bantuan kepada terpidana dalam memenuhi

syarat-syarat khusus.

Dengan demikian apabila penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak tidak

ditetapkan syarat khusus maka yang berfungsi dalam upaya mewujudkan tujuan

pemidanaan hanyalah fungsi negatif dari penjatuhan pidana bersyarat yaitu

penghindaran pembalasan dan pencegahan individu untuk tidak melakukan tindak

pidana sedangkan fungsi positif dari pidana bersyarat dengan adanya syarat

khusus adalah sesuai dengan asas-asas Peradilan Pidana Anak yang diatur didalam

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 salah satunya adalah asas

pembinaan dan pembimbingan Anak pembinaan adalah kegiatan untuk

meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual,

sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta kesehatan jasmani

dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses Peradilan pidana kurang

terpenuhi.
147

Terkait dengan pencantuman keberadaan syarat khusus dalam putusan,

Ibu Esni Meriyenti di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada

tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB Memberikan jawaban sebagai berikut

Kedudukan larangan-larangan dalam syarat khusus. Bisa untuk


memperbaiki. Dan menyesuaikan kepada kasusnya. Umpamanya
dikembalikan kepada Orang Tua dan dia tidak boleh lagi memakai
kendaraan. Kalau dalam kasus ini saya mengasih tau kepada
orangtuanya saja larangan larangan tidak dicantumkan disini.

Menurut Analisis Penulis, jika dikaitkan dengan aspek-aspek yang

tercantum didalam putusan maka kedudukan syarat khusus seperti tersebut seperti

tersebut tidak menjamin kepastian hukum terlebih dengan adanya syarat khusus

yang jelas tersebut merupakan acuan bagi Pembimbing Kemasyarakatan dan jaksa

untuk melakukan pembimbingan dan pengawasan terhadap syarat-syarat apa yang

harus dipenuhi oleh Anak didalam masa percobaanya sebagaimana diatur

didalam Pasal 65 Huruf d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu melakukan pendampingan, pembimbingan,

dan pengawasan terhadap Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi

pidana atau dikenai tindakan dan ketentuan Pasal 73 Ayat (3) yang menentukan

selama menjalani masa pidana dengan syarat, Penuntut Umum melakukan

pengawasan dan Pembimbing Kemasyarakatan melakukan pembimbingan agar

Anak menempati persyaratan yang telah ditetapkan, hal ini juga diungkapkan oleh

Informan dalam skripsi ini yaitu Bapak Makmur S.H.,M.H Hakim di Pengadilan

Negeri Ungaran sebagai berikut, Hal ini juga dijelaskan oleh Informan dalam

penulisan skripsi ini yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Ungaran Bapak
148

Makmur S.H.,M.H di dalam wawancara di Pengadilan Negeri Ungaran pada

tanggal 2 Februari 2017 Pukul 09.17 WIB sebagai berikut,

kedudukan syarat khusus dalam putusan itu sebagai peringatan yang


mengikat diri Anak tersebut. Jadi tidak akan lupa Anak yang di berikan
syarat khusus itu. Apalagi melalui putusan. Dan mempunyai tujuan
akhir supaya dia tidak kembali lagi.

Menurut analisis Penulis Hal ini mencerminkan bahwa diperlukan suatu

kepastian hukum untuk menjadi acuan dan dasar bagi Pembimbing

Kemasyarakatan dan Jaksa. Sehubungan dengan pentingnya diberikan turunan

keputusan Hakim dan penjelasan secara jelas tersebut adalah salah satu cara

untuk memberikan kepastian dan kejelasan serta pertolongan kepada terpidana

memperbaiki dirinya melalui pemenuhan syarat-syarat khusus tersebut. dijelaskan

oleh Muladi (2008:88) sebagai berikut, didalam Pasal 14 d ayat (2) KUHP

ditentukan, bahwa untuk memberikan pertolongan atau membantu terpidana

dalam memenuhi syarat-syarat khusus, Hakim dapat mewajibkanya kepada

lembaga-lembaga yang berbentuk badan hukum, atau pemimpin suatu rumah

penampung atau pejabat tertentu. Berkat reklasering swasta dengan organisasinya

maka pengawas khusus yang pelaksanaanya diamati oleh pengawas khusus ini

menjadi mungkin.

Jika penjatuhan pidana bersyarat dengan pemberian syarat umum dan

syarat khusus di Pengadilan Negeri Ungaran tersebut dikaitkan dengan konsep

restorative justice maka pemberian syarat-syarat tersebut belum memenuhi

konsep tersebut. Pada hakikatnya salah satu sifat dari keadilan restoratif adalah

dengan memberikan fungsi solidaritas kepada Terpidana untuk mengganti


149

kerugian atau memperbaiki segala akibat dari perbuatanya, namun apabila

melihat syarat yang diberikan kepada Terpidana tersebut hanyalah untuk

perbaikan pelaku sendiri dan tidak mengarah pada pemberian syarat yang

berbentuk solidaritas Terpidana kepada segala akibat yang ditimbulkan dari

tindak pidana yang telah dilakukan.

Dari hasil penelitian tentang kedudukan syarat khusus tersebut jika

dikaitkan dengan konsep eksistensi dalam pemberlakuan hukum yang merujuk

pada pengertian eksistensi dalam bidang hukum yang dijelaskan oleh Sukamto

Satoto diatas yaitu kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga

hukum tertentu, maka kedudukan dan fungsi dari syarat khusus pada penjatuhan

pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak di

Pengadilan Negeri Ungaran belum dapat dikatakan memiliki kedudukan dan

fungsi yang sama didalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan terhadap Anak,

karena terdapat perbedaan-perbedaan terhadap pendapat Hakim, pertama, terdapat

perbedaan pandangan Hakim dalam memberikan syarat khusus. Kedua, terdapat

perbedaan pandangan terkait dengan kedudukan dan fungsi syarat khusus dalam

upaya mewujudkan tujuan pemidanaan kepada Anak. Ketiga, terdapat perbedaan

pandangan dalam mencantumkan syarat khusus didalam sebuah putusan yang

menjatuhkan pidana bersyarat. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan

kedudukan syarat khusus didalam Putusan pidana bersyarat kepada Anak belum

sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dengan demikian, secara teoritis dan

normatif keberadaan syarat khusus telah ada dan wajib dicantumkan didalam
150

Putusan Hakim, akan tetapi pada praktiknya ada atau tidaknya syarat khusus

tersebut tergantung dari pandangan dan pertimbangan Hakim terhadap fungsi dari

syarat khusus itu sendiri.

Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kedudukan syarat khusus

pada penjatuhan pidana bersyarat dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan

terhadap anak hakim memberikan syarat khusus sebagai fungsi pencegahan

khusus sesuai dengan teori tujuan bahwa pemidanaan mempunyai fungsi salah

satunya adalah untuk upaya perbaikan terpidana, hal ini sesuai dengan filosofi

sistem peradilan pidana Anak dimana kepentingan terbaik bagi anak selalu

diutamakan. Terkait dengan adanya syarat khusus di dalam putusan hakim yang

mencantumkan syarat khusus tersebut telah sesuai dengan apa yang diamanatkan

oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak. Akan tetapi belum semua hakim di Pengadilan Negeri Ungaran

menempatkan kedudukan syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan

pemidanaan sebagai fungsi perbaikan perilaku anak dengan menjadikan syarat

khusus sebagai imbalan atas berat atau ringanya pidana. Begitu pula dengan

pencantuman syarat khusus di dalam putusan, hakim tidak mencantumkan syarat

khusus tersebut dengan alasan bahwa syarat khusus telah diberikan dengan cara

memberitahukanya kepada orang tua.

Menurut Penulis, kedudukan syarat khusus dalam mewujudkan tujuan

pemidanaan dan kepentingan terbaik bagi anak harus difungsikan untuk upaya

perbaikan pelaku agar pidana bersyarat dapat lebih bermanfaat dan berdaya guna

serta fungsi positif dari pidana bersyarat dapat terpenuhi bukan hanya fungsi
151

negatif untuk penghindaran pembalasan. Terkait adanya syarat khusus di dalam

putusan hakim harus dicantumkan karena hal tersebut adalah upaya untuk

memberikan kepastian hukum bagi terpidana serta sebagai fungsi kontrol bagi

pengawasan pelaksanaan syarat-syarat khusus oleh Jaksa dan pendampingan

pemenuhan syarat khusus oleh pembimbing kemasyarakatan. Dengan demikian

akan memberikan jaminan bagi terlaksananya syarat khusus yang diberikan oleh

hakim.
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas, maka dapat diperoleh

simpulan sebagai berikut,

1. Dasar pertimbangan Hakim dalam memberikan syarat khusus pada

penjatuhan pidana bersyarat kepada Anak didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan yuridis yang meliputi fakta-fakta yang diperoleh di dalam

persidangan terhadap dakwaan jaksa penuntut umum serta rekomendasi

hasil penelitian dari Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana ditentukan

didalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, adapun pertimbangan

non yuridis meliputi pertimbangan terhadap keadaan yang meringankan

dan yang memberatkan terdakwa serta pertimbangan terhadap manfaat dan

keuntungan dari pidana bersyarat sedangkan dalam memberikan syarat

khusus kepada Anak, terdapat perbedaan pertimbangan oleh Hakim di

Pengadilan Negeri Ungaran, adapun perbedaan tersebut meliputi,

pemberian syarat khusus tersebut sebagai perbaikan perilaku Anak agar

menjadi orang yang taat pada hukum di masa depan perbedaanya dengan

yang kedua adalah pertimbanganya didasarkan atas berat ringanya

perbuatan dan keadaan pihak korban,

2. Kedudukan syarat khusus dalam upaya mewujudkan tujuan pemidanaan

terhadap Anak oleh Hakim di Pengadilan Negeri Ungaran yaitu, syarat

152
153

khusus dipergunakan sebagai fungsi special prevention yaitu perbaikan

perilaku Anak dan dapat berfungsi juga sebagai general prevention pada

masa mendatang, akan tetapi kedudukan tersebut belum terlaksana pada

beberapa putusan disebabkan karena Hakim Anak di Pengadilan Negeri

Ungaran menggunakan syarat khusus sebagai berat ringanya pidana

(straftmaat) yang akan diberikan kepada Anak. Selain itu terdapat

perbedaan cara memberikan syarat khusus kepada Anak yang pertama

adalah dengan mencantumkan syarat khusus tersebut didalam Putusan

Hakim yang kedua adalah dengan cara memberitahukan kepada orang

tuanya agar Anak tidak boleh melakukan suatu perbuatan tertentu, hal ini

tentunya tidak sesuai dengan asas kepastian hukum yang berkaitan dengan

pengawasan syarat khusus tersebut oleh jaksa dan pembimbingan untuk

memenuhi syarat khusus oleh pembimbing kemasyarakatan. Maka dalam

hal ini keberadaan syarat khusus di dalam putusan hakim tidak hanya

dipengaruhi dari aspek substansi hukum telah mengatur adanya syarat

khusus namun juga dipengaruhi oleh pengetahuan dari struktur hukum

tentang fungsi dan manfaat dari syarat khusus

5.2 Saran

Berdasar pada hasil penelitian di atas, Penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Selayaknya Hakim membuat putusan yang sesuai dengan tata cara yang

diatur didalam Undang-Undang tersebut karena Undang-Undang Sistem

Peradilan Pidana Anak telah mengatur jenis pidana dan tata cara

pengenaan pidana yang khusus kepada Anak ketentuan pemidanaan diatur


154

berbeda tujuanya yaitu adalah untuk kepentingan terbaik bagi Anak.

Dalam hal memberikan syarat-syarat dalam pidana bersyarat maka

selayaknya mengikuti aturan yang diberikan oleh Undang-Undang.

Pemberian syarat khusus harus dicantumkan didalam Putusan Hakim

karena memang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan demikian akan

memberikan unsur kepastian karena berkaitan dengan pengawasan oleh

Jaksa dan Pembinaan oleh Pembimbing Kemasyarakatan terhadap syarat-

syarat yang akan dijalani oleh Anak.

2. Pertimbangan pemberian syarat khusus tersebut selayaknya tidak

didasarkan atas berat ringanya perbuatan namun didasarkan pada upaya

untuk memenuhi kepentingan terbaik bagi Anak dengan memberikan

larangan terhadap perbuatan yang dapat merusak kepribadian Anak dan

pemberian bentuk solidaritas Anak kepada masyarakat agar pidana

bersyarat dapat memberikan fungsi positif dan berdaya guna.


155

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku :

Ashshofa, Burhan. 2007. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka Cipta

Bakhri, syaiful. 2010. Kebijakan Kriminal dalam perspektif pembaharuan sistem


peradilan pidana Indonesia. Yogyakarta : totalmedia

Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran hukum pidana bagian 1. Jakarta: Rajawali


Press

Chazawi, Adami. 2012. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: Raja


Grafindo Persada

Garvey, James. 2010. 20 karya filsafat terbesar. Yogyakarta: Kanisius

Ichtijanto. 1991. Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia.


Bandung: Remaja Rosdakarya

Lamintang. 2012. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Marlina. 2009. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama

Mukti, Fajar dan Yulianto Achmad. 2013. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan. Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Muladi. 2008. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni

Muladi dan Barda Nawawi Arief.2005. Teori-Teori dan Kebijakan Hukum


Pidana. Bandung : Alumni

Mulyadi. 2005. Bunga Rampai hukum Pidana. Bandung : Alumni

Mulyadi. 2014. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak. Bandung: Alumni

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja rosda


karya.

_______.2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar
Maju
156

Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan Pidana
Anak. Yogyakarta : Pustaka Yustisia

Priyatno, Dwidja.2013. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia.


Bandung: Refika Aditama

Sambas, Nandang. 2010. Pembaruan Sistem Peradilan Anak di Indonesia.


Yogyakarta: graha ilmu.

Satoto, Sukamto.2004. Pengaturan eksistensi & Fungsi Badan Kepegawaian


Daerah. Yogyakarta: Hangar Kreator

Setiady,Tholib. 2010. Pokok-pokok hukum penitensier. Bandung : alfabeta

Sholehudin.2004. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta : Rajawali Press

Soemitro, Hanitijo Rony. 1990. metode penelitian hukum dan jurimetri. Jakarta :
Ghalia Indonesia

Supeno, Hadi .2010. Kriminalisasi Anak. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Suratman dan Dillah Phillips. 2014. Metode Penelitian Hukum. bandung :

Alfabeta

Sutatiek, Sri. 2012. Rekonstruksi Sistem Sanksi Dalam hukum Pidana Anak di
Indonesia. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Widodo. 2009. Sistem pemidanaan dalam cyber crime. Malang: Aswaja


Preesindo

Zulfa, Eva achjani. 2012. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Press

Jurnal :

Aryana, I Wayan Putu Sucana. 2015, Efektifitas Pidana dalam Membina


Narapidana. Jurnal Doktor Ilmu Hukum, Universitas Udayana Vol. 11.

Reskia, Citra. 2013. penerapan instrumen hak asasi manusia terhadap anak
dalam situasi konflik bersenjata. Jurnal Hukum bagian Hukum
Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Sumadi. 2015. Tinjauan Yuridis Penjatuhan Pidana Bersyarat Terhadap Anak


dalam Delik Kelalaian Yang Menyebabkan Matinya Orang Lain.Jurnal
Ilmu Hukum Legal Opinion Edisi 6, Volume 3.
157

Widyawati, Anis. 2013. educative punishment model for children as juvenile


delinquency. South East Asia Journal of Contemporary Business,
Economics and Law, Vol. 2, Issue 3 (June).

Yayasan Pemantau Hak Anak (Children Human Rights Foundation) dengan judul
Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak
Asasi Manusia Internasional

Perundang-undangan :

Konvensi Hak Anak Tahun 1989 (Convention on the Rights of the Child)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Internet :

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/pn-
kabsemarang/direktori/pidana-khusus/anak
(diakses : Rabu, 30 November 2016, Pukul : 16.35 WIB.)
158

LAMPIRAN
159
160
161
162

You might also like