You are on page 1of 4

BAB II

Pembahasan

A. Civil Society
1. Pengertian Civil Society
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris civil society yang mengambil dari bahasa Latin
civilas societas. Konsep Civil Society ini lahir pada abad ke-17 sezaman dengan lahirnya Liberalisme
politik dan agama di Eropa. Oleh karena itu, civil society ini tidak bisa terlepas dari pergolakan ideologi
Barat pada era renaissance (zaman pencerahan Eropa) yang menggagas kebebasan berideologi.
Civil Society berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Akar perkembanganya dapat dirunut mulai
Cicero, dan bahkan menurut Manfred Riedel, lebih belakang sampai pada aristoteles. Namun demikian,
yang jelas cicero-lah yang pertama kali menggunakan istilah societes civilies dalam filsafat politiknya.
Gellner menelusuri akar gagasan ini ke masa lampau melalui sejarah peradaban barat (Eropa dan
Amerika), dan antara lain yang menjadi perhatian adalah ketika konsep ini pertama kali dipopulerkan
secara gamblang oleh pemikir terkenal Skotlandia, Adam Ferguson (1723-1816), dalam karya klasiknya
An Essay on History of civil society (1767) hingga perkembangan konsep Civil society lebih lanjut oleh
kalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau, Hegel, Marx dan Tocqueville, hingga upaya
menghidupkan kembali di Eropa timur dan Barat di zaman kontemporer .
Karl Marx (1818-1883), dan pendahulunya Hegel, sebagai pencetus ide sosialisme, juga mempunyai
konsep pemberdayaan rakyat ini. Marx dan Hegel berpendapat bahwa negara adalah bagian dari
suprastruktur, yang mencerminkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas dan dominasi struktur
politik oleh kelas dominan. Negara tidak mewujudkan kehendak universal tapi kepentingan kelas borjuis.
Secara lebih lengkap Marx telah memberikan teori tradisional tentang dua kelompok masyarakat di
dalam negara, yang dikenal dengan base-superstructure. Teori kelas sebagai salah satu pendekatan
dalam Marxisme tradisional menempatkan perjuangan kelas sebagai hal sentral, faktor esensial, dan
menentukan dalam perubahan sosial. Pendekatan ini cenderung melihat masyarakat kapitalis dari
perspektif ekonomi. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu proletar dan borjuis. Dari
perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial yaitu dasar (base) dan superstructur. Adanya
dua kelas ini mau tidak mau akan membawa kepada konflik yang tidak dapat dihindarkan ketika
keduanya berusaha mendominasi yang lainnya. Selain Marx, Antonio Gramsci salah satu tokoh Neo-
Marxisme telah mengembangkan teori ini menjadi lebih luas. Base-superstructure dalam teori Marx
dikembangkan tidak hanya dalam bidang ekonomi. Tetapi bisa juga dalam bidang pendidikan, politik, dan
sebagainya Dalam bidang politik, negara menjadi superstructure yang sering memaksakan kehendak
kepada rakyat (base). Adanya pembagian kelas ini, menurut Gramsci menuntut untuk terciptanya
kemandirian masyarakat (civil society), agar negara lebih terbatasi dalam melebarkan kekuasaannya .
Kembali kepada Gellner, menurutnya, civil society dalam arti luas di samping merupakan sekelompok
institusi/lembaga dan asosiasi yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun
komunal/komunitas, juga cirinya yang menonjol adalah adanya kebebasan individu di dalamnya, di mana
sebagai sebuah asosiasi dan institusi, ia dapat dimasuki serta ditinggalkan oleh individu dengan bebas.
Lebih lanjut Gellner menyatakan bahwa civil society tidak hanya menolak dominasi negara atas dirinya,
tetapi juga karena sebagai institusi yang bersifat non-state. Maka dalam penampilan kelembagaannya ia
tidak mendominasi individu-individu dalam dirinya. Di sinilah posisi individu sebagai aktor sosial yang
bebas yang diistilahkan Gellner sebagai manusia moduler (tidak dipengaruhi kultur), yang menurutnya
tidak merupakan prasyarat bagi perwujudan civil society. Jadi civil society tidak hanya menerapkan sifat
otonominya terhadap negara, namun dalam konteks internalnya dari sejak hubungan antar anggotanya,
ia juga merupakan institusi yang menghargai keniscayaan perlunya menghargai otonomi individual.

2. Konsep-Konsep Civil Society dalam Dunia Barat


a. Teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesai dan peredam konflik
dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan Negara
b. teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung
jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan
kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider
dan kasih sayang antar sesama.
c. teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi
sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil)
d. teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruh harapan berarti terhadap entitas civil society.
Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya,
tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya.
e. teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force)
kekuatan negara, meng-counter hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara .
Demikianlah para pakar kapitalis dan sosialis dalam menghegemoni dunia, dengan menata kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, dengan mengajarkan dogma civil society. Akan tetapi sedikit orang islam
yang terperangkap dengan propaganda yang dibuatnya, dengan berdalih mensejahterakan rakyat.

B. Kritik Islam Terhadap Konsep Civil Society


Berdasarkan deskripsi mengenai konsep civil society di atas, diajukan beberapa kritik atas pengislaman
konsep Civil Society menjadi Masyarakat Madani. Sebagian intelektual seperti Nurcholis Madjid telah
melakukan tafsiran ulang terhadap konsep civil society
Nurcholis Madjid mengemukakan konsep civil society dengan mengajukan istilah masyarakat madani.
Masyarakat ini merujuk kepada masyarakat di Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad SAW.
Menurutnya, masyarakat ini dibangun atas asas yang tertuang di dalam Piagam Madinah, yang
memiliki memiliki 6 (enam) ciri utama yaitu egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan
prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya), keterbukaan (partisipasi seluruh anggota
masyarakat aktif), penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme serta musyawarah .
Sistem berpikir yang demikian ini, terlihat kelemahannya telah terjadi anakronisme. Jelas sekali bahwa
civil society memiliki latar belakang sosio-historis yang sangat berbeda dengan masyarakat Madinah
dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Civil society sebagai pemikiran muncul sebagai antitesis
terhadap dominasi agama dalam kehidupan, yang mengasumsikan sekularisme sebagai solusinya dengan
cara mereduksi peran agama hanya dalam wilayah privat. Sementara dalam masyarakat (Islam) di
Madinah saat itu, yang terjadi justru sebaliknya di mana seluruh aspek kehidupan diatur oleh agama
(Islam).
Masyarakat islam merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama,
sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara.
Dalam Islam negaralah yang bertanggungjawab terhadap urusan masyarakat. Negara dalam perspektif
Islam bukanlah sekedar alat untuk menjamin dan menjaga kemaslahatan individu saja sebagaimana
halnya liberalisme-kapitalisme akan tetapi merupakan suatu institusi yang mengurusi kebutuhan
individu, organisasi (jamaah), dan masyarakat sebagai satu kesatuan, baik urusan dalam maupun luar
negerinya serta bertugas mendakwahkan Islam itu sendiri kepada bangsa atau negara lain dengan cara-
cara yang baik.
Konsep civil society yang melatarbelakangi adalah sebagai antitesis terhadap domonasi agama dengan
menganut faham sekulerisme, liberalisme serta kapitalisme.
Jadi, Civil society tidaklah sesuai dengan pandangan islam, secara historis pun antara konsep civil society
dengan masyarakat madani yang ada dalam konsep islam, yakni tidak memiliki hubungan sama sekali.
Civil society lahir dari kondisi dan tujuannya untuk sekularisasi (pemisahan antara Negara-Gereja).
Sdangkan Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi
jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau (sang Nabi) memperjuangkan kedaulatan, agar
seluruh kelompok di kota Madinah terbebaskan (terjamin hak-haknya) serta ummatnya (Muslim) leluasa
menjalankan syariat agama di bawah suatu perlindungan hukum yang disepakati bersama (piagam
Madinah) yang sama sekali de-sekularisasi justru Islamisasi.
BAB III
Kesimpulan

Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat
yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi
agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai
dilepaskan dari tangan agamawan.
Civil society sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat Pencerahan (Enlightenment) yang meretas
jalan bagi munculnya sekularisme sebagai weltanschauung yang menggantikan agama, dan sistem politik
demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi
Konsep-Konsep Civil Society dalam Dunia Barat
1. Teori Hobbes dan Locke, yang menempatkan civil society sebagai penyelesai dan peredam konflik
dalam masyarakat. Jadi, civil society disamakan dengan Negara
2. teori Adam Ferguson, yang melihat civil society sebagai gagasan alternatif untuk memelihara tanggung
jawab dan kohesi sosial serta menghindari ancaman negatif individualisme, berupa benturan ambisi dan
kepentingan pribadi. Civil society dipahami sebagai entitas yang sarat dengan visi etis berupa rasa solider
dan kasih sayang antar sesama.
3. teori Thomas Paine, yang menempatkan civil society sebagai antitesis negara. Negara harus dibatasi
sampai sekecil-kecilnya, karena keberadaannya hanyalah keniscayaan buruk belaka (necessary evil)
4. teori Hegel dan Marx, yang tidak menaruh harapan berarti terhadap entitas civil society.
Konseptualisasi mereka tentang civil society bukan untuk memberdayakannya atau menobatkannya,
tetapi lebih untuk mengabaikan dan bahkan melenyapkannya.
5. teori Tocquiville, yang menempatkan civil society sebagai entitas untuk mengimbangi (balancing force)
kekuatan negara, meng-counter hegemoni negara dan menahan intervensi berlebihan negara .
Civil society memiliki latar belakang sosio-historis yang sangat berbeda dengan masyarakat Islam
dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW. Civil society sebagai pemikiran muncul sebagai antitesis
terhadap dominasi agama dalam kehidupan, yang mengasumsikan sekularisme sebagai solusinya dengan
cara mereduksi peran agama hanya dalam wilayah privat. Sementara dalam masyarakat (Islam) di
Madinah saat itu, yang terjadi justru sebaliknya di mana seluruh aspek kehidupan diatur oleh agama
(Islam).
Jadi, Civil society tidaklah sesuai dengan pandangan islam, secara historis pun antara konsep civil society
dengan masyarakat madani yang ada dalam konsep islam, yakni tidak memiliki hubungan sama sekali.
Civil society lahir dari kondisi dan tujuannya untuk sekularisasi (pemisahan antara Negara-Gereja).

Daftar Pustaka
Baso, Ahmad. Civil Society versus Masyarakat Madani; Arkeologi pemikiran Civil Society dalam Islam
(Bandung: Pustaka Hidayah,1999)
Hakim, Lukamn , Perlawanan Islam Kultural: Relasi asosiatif pertumbuhan civil society doktrin Aswaja NU
(Surabaya: Pusaka Eureka, 2004)
Culla, Adi Suryadi. Masyarakat Madani pemikiran, teori, dan relevansi dengan cita-cita reformasi (Jakarta:
Rajawali Press, 1999)
(http://www.angelfire.com/md/alihsas/madania.html)

You might also like