Professional Documents
Culture Documents
OLEH
KELOMPOK 5
T.A 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Agar mahasiswa memahami asuhan keperawatan pasien dengan tiroidistis
1.2.2 Tujuan khusus
1. Agar mahasiswa memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan pasien dengan
tiroiditis
2. Agar mahasiswa memahami konsep dasar keperawatan asuhan keperawatan pasien
dengan tiroiditis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1.3 Klasifikasi
1. Tiroiditis Akut
Merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur,
mikrobakteri atau parasit pada kelenjar tiroid.Stapilokokus aureus atau jenis stafilokokus lain
merupakan penyebab yang paling sering dijumpai.Secara khas, penyakit ini menyebabkan
nu\yeri serta pembebgkakan leher pada bagian anterior, panas, disfagia, dan
dispocia.Faringitis atau gejala sakit leher sering dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan
rasa hangat, eritema (kemerahan) dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut
mencakup pemberian preperat antibiotik dan penggantian cairan.Tindakan insisi dan drainase
diperlukan jika terdapat abses.
2. Tiroiditis Subakut
Tiroiditis sub akut dapat berupa tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de
quervam) atau tiroiditis tanpa nyeri (silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub
akut).Tiroiditis granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada kelenjar tiroid
yang terutama mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50 tahun (sakiyuma 1993)
kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri pada leher bagian anterior, dan
berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala
sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra
simetris dan kadang-kadang terasa nyeri. Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa
hangat.Pasien merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas,
kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan manipestasi
dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan banyak pasien juga merasakan gejala demam serta
menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis limposifik sub akut) sering terjadi pada periode
pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau
hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi ditunjukkan untuk menangani gejala, dan
pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk enentukan
aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian.
2.1.4 Etiologi
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi
1. Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada
beberapa kasus dijumpai antibody autoimun.
2. Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan
pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan
sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten,
kelainan yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat
menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
3. Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi
autoimun,membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang
memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan
sindroma Kleinefelter.
4. Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke
dalam kelenjar tiroid.
2.1.5 Patofisiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor
penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu
lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.Walaupun etiologi
pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui
bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula
pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun
humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit
T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan
membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi
terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking
dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor
genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi
tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi
pada proses penyakit ini.
1. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun
seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang
mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),
transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4),
CD4, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan
mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas
II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang
diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD4), dan berinteraksi dengan reseptor
(CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi
antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,
penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi
antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic
autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik
dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits
Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus
dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan
dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab
penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan
iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu
reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar
tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri .
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-, amiodarone dan
Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan
beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan
fenotipenya.
Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak Antibodi TPO
sempurna
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect HT
Wolff-Chaikoff; Jod-Basedow
GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses reproduktif Efek estradiol HT
yang panjang
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid HT dan GD
menimbulkan efek antitiroid
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE GD
tinggi
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia Mimikri molekuler GD
enterocolitica
5. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat
bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1,
terutama memproduksi interferon- (IFN) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan
respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan
terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3
menghasilkan terutama TGF yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari
penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid
dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II,
serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk
menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan
meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi
pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap
disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-
associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita
dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan
memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC
kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan
retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu
pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan
akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada
glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast
retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat
kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati
yang sampai saat ini sukar diobati.
2.1.6 Tanda Dan Gejala
Tergantung pada ciri-cirinya, gejala tiroiditis dapat meniru tiroid kurang aktif atau terlalu
aktif.Gejala-gejala ini bisa meliputi:
1. Penurunan atau kenaikan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Nyeri otot atau rasa lesu dan lemah.
3. Depresi, gelisah atau cemas.
4. Kelelahan atau sulit tidur.
5. Detak jantung cepat.
6. Sering buang air besar
7. Keringat bertambah
8. Periode menstruasi tidak teratur(pada wanita)
9. Iritabilitas
10. Kram otot
11. Berat badan menurun
2.1.7 Penatalaksanaan
tujuan terpi adalah mengembalikan inflamasi.Secara umum, preparat anti-inflamasi
konsteroid (NSAID) digunakan untuk menguirangi rasa sakit pada leher, panggunaan asam asetil
salisilat (aspirin) perlu dihindari bila gejala hipertiroidisme timbul, karena aspirin akan mengusir
hormon tiroid dari tempat penyikatannya hingga meningkatkan jumlah hormon tersebut dalam
darah. Preparat penyekat beta dapat digunakan untuk mengendalikan gejala
hipertiroidisme.Preparat antitiroidyg akan menyekat sintetis T3 dan T4 efektif untuk mengobati
tiroiditis karena tirotoksikosis, yang menyertai keadaan ini, terjadi akibat pelepasan hormon
tiroid yang tersimpan dan bukan akibat peningklatan siufesisunya, pada kasus-kasus yang lebih
berat, preparat kortikostroid oral kadang-kadang dapat diresepkan untuk meredakan rasa nyeri
dan mengurangi pembengkakan. Meskipun demikian, preparat tersebut biasnya tidak
mempengaruhi penyebab yang mendasari infeksi ini. Pada sebagian kasus, keadaan
hipertiroidisme dapat terjadi untuk sementara wktu dan memerlukan terapi penggantian dengan
hormon tiroid. Pemantauan lebih lanjut diperlikan untuk lebih lanjut diperluklan untuk
mengetahuio pulihnya pasien pada keadaan eutiroid.
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa mengurangi
nyeri dan peradangan.
Pada kasus yang sangat berat, bisa diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8
minggu.
Jika pemberian kortikosteroid dihentikan, gejalanya sering kembali muncul.
2.1.9 Komplikasi
1. Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2. Kerusakan pita suara (bisu)
3. DM tipe 1
4. Penyakit Addison
5. Leukemia
6. Sklerosis multiple
7. Kanker gastrik