You are on page 1of 21

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN

ENDOKRIN DENGAN TIROIDITIS


D

OLEH

KELOMPOK 5

PROGRAM STUDI NERS TAHAP AKADEMIK

STIKES ST.ELISABETH MEDAN

T.A 2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme
sementara yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak terjadi
perubahan dalam fungsi tiroid. Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks,
dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor
pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Agar mahasiswa memahami asuhan keperawatan pasien dengan tiroidistis
1.2.2 Tujuan khusus
1. Agar mahasiswa memahami konsep dasar medik asuhan keperawatan pasien dengan
tiroiditis
2. Agar mahasiswa memahami konsep dasar keperawatan asuhan keperawatan pasien
dengan tiroiditis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Medik


2.1.1 Defenisi
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub
akut, atau kronis.Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau infiltrasi
limfositik pada kelenjar tiroid. (Smeltzer, Suzanne C. 2011)
Tiroiditis adalah suatu peradangan pada kelenjar tiroid,menyebabkan hipertiroidisme
sementara yang seringkali diikuti oleh hipotiroidisme sementara atau sama sekali tidak
terjadi perubahan dalam fungsi tiroid.
Tiroiditis merupakan inflamasi kelenjar tiroid.Keadaan ini bisa bersifat akut, sub akut
atau kronis. Masing-masing tipe tiroiditis ditandai oleh inflamasi, fibrosis atau implemantasi
limfotik pada kelenjar tiroid.

2.1.2 Anatomi Fisiologi


Kelenjar tiroid merupakan organ yang berbentuk seperti kupu-kupu dan terletak pada
leher bagian bawah di sebelah anterior trachea.Kelenjar ini terdiri atas dua lobus lateral yang
dihubungkan oleh sebuah istmus.Kelenjar tiroid mempunyai panjang kurang lebih 5 cm serta
3 cm dan berat kurang lebih 30 gr.Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yang
berbeda tiroksin (T4), Trilodotironin (T3) dan Kalsitonin. Ambilan dan metabolisme
Iodium.Iodium merupakan unsur esensial bagi tiroid untuk sintesis hormon tiroid.Gangguan
utama akibat defisiensi Iodium adalah perubahan fungsi tiroid. Iodium dikonsumsi dari
makanan dan diserap dalam darah di dalam traktus gastrointestinal. Kelenjar tiroid bekerja
sangat efisien dalam mengambil Iodium dari darah dan kemudian memekatkannya dalam sel-
sel kelenjar tersebut. Ion-ion iodida akan diubah menjadi molekul Iodium yang akan bereaksi
dengan tirosin (suatu asam amino) untuk membentuk hormon tiroid.
Pengaturan fungsi tiroid. Sekresi tirotropin, atau TSH (Thyriod Stimulating Hormone), oleh
kelenjar hipofisis akan mengendalikan kecepatan pelepasan hormon tiroid. Selanjutnya,
pelepasan TSH ditentukan oleh kadar hormon tiroid dalam darah. Jika konsentrasi hormon
tiroid dalam darah menurun, pelepasan TSH meningkat sehingga terjadi peningkatan
keluaran T4 dan T3.Keadaan ini merupakan suatu contoh pengendalian umpan balik
(feedback control).Hormon pelepasan tirotropin (TRH) yang disekresi oleh hipotalamus
memberikan pengaruh yang mengatur pelepasan TSH dari hipofisis.Fungsi hormon
tiroid.Fungsi utama hormon tiroid T3 dan T4 adalah mengendalikan aktivitas metabolik
seluler.Kedua hormon ini bekerja sebagai alat pacu umum dengan mempercepat proses
metabolisme.Hormon tiroid mempengaruhi replikasi sel dan sangat penting bagi
perkembangan otak.Adanya hormon tiroid dalam jumlah yang adekuat juga diperlukan untuk
pertumbuhan normal. Melalui efeknya yang luas terhadap metabolisme seluler, hormon tiroid
mempengaruhi sistem organ yang penting.
Kalsitonin atau tirokalsitonin merupakan hormon penting lainnya yang disekresi oleh
kelenjar tiroid.Hormon ini disekresi oleh kelenjar tiroid sebagai respon terhadap kadar
kalsium plasma dengan meningkatkan jumlah penumpukan kalsium dalam tulang.
Efek hormon tiroid pada pertumbuhan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak
selama kehidupan janin.Bila janin tidak dapat mensekresi hormon tiroid dalam waktu yang
cukup maka pertumbuhan dan pematangan otak sebelum dan sesudah bayi dilahirkan akan
sangat terbelakang dan otak tetap berukuran kecil dari normal.Hormon tiroid meningkatkan
laju metabolisme sebagian besar sel tubuh.Bila produksi hormon tiroid sangat meningkat
maka hampir selalu menurunkan berat adan. Dan bila produksinya menurun hampir selalu
meningkatkan nafsu makan.Keadaan ini dapat melebihi keseimbangan perubahan kecepatan
metabolisme
Efek pada sistem kardiovaskuler hormon tiroid akan meningkatkan aliran darah dan
curah jantung, frekuensi denyut jantung, kekuatan denyut jantung, volume darah, dan
tekanan arteri.Efek pada respiratori. Meningkatnya kecepatan metablisme akan
meningkatkan pemakaian oksigen dan pembentukan karbon dioksida.Ini akan mengaktifkan
semua mekanisme yang meningkatkan kecepatan dan kedalaman pernapasan.Efek pada
saluran cerna, meningkatkan nafsu makan dan asupan makanan, karena hormon tiroid
meningkatkan kecepatan sekresi getah pencernaan dan gerakan saluran cerna. Sering terjadi
diare, kekurangan hormon tiroid dapat menimbulkan konstipasi.
Efek pada sistem syaraf pusat.Hormon tiroid meningkatkan kecepatan berfikir, tapi juga
sering menimbulkan disosiasi pikiran, dan sebaliknya berkurang hormon tiroid akan
menurunkan fungsi ini.
Efek terhadap fungsi otot.Peningkatan hormon tiroid dapat menyebabkan otot
bereaksi dengan kuat, namun bila jumlah hormon ini berlebihan, maka otot-otot malahan
menjadi lemah oleh karena berlebihnya katabolisme protein. Kekurangan hormon tiroid
menyebabkan otot sangat lambat, tremor pada otot.
Efek pada tidur.Karena efek yang melelahkan dari hormon tiroid pada otot dan sistem
syaraf pusat, maka penderita hipertiroid seringkali merasa capai terus menerus tetapi karena
efek ekstasi dari hormon tiroid pada sinaps, timbul kesulitan tidur.Sebaliknya, somuolen
yang berat merupakan gejala khas dari hipertiroidisme, disertai dengan waktu tidur yang
berlangsung selama 12 jam sampai 14 jam sehari.
Efek hormon tiroid pada fungsi seksual. Pada pria, berkurangnya hormon tiroid
menyebabkan hilangnya libido dan sebaliknya sangat berlebihannya hormon ini seringkali
menyebabkan impotensi. Pada wanita, kekurangan hormon tiroid seringkali menyebabkan
timbulnya menoragia dan polimenore..

2.1.3 Klasifikasi
1. Tiroiditis Akut
Merupakan kelainan langka yang disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur,
mikrobakteri atau parasit pada kelenjar tiroid.Stapilokokus aureus atau jenis stafilokokus lain
merupakan penyebab yang paling sering dijumpai.Secara khas, penyakit ini menyebabkan
nu\yeri serta pembebgkakan leher pada bagian anterior, panas, disfagia, dan
dispocia.Faringitis atau gejala sakit leher sering dirtemukan.Pemeriksaan dapat menunjukkan
rasa hangat, eritema (kemerahan) dan nyeri tekan pada kelenjar tiroid.Tetapi teoriditis akut
mencakup pemberian preperat antibiotik dan penggantian cairan.Tindakan insisi dan drainase
diperlukan jika terdapat abses.
2. Tiroiditis Subakut
Tiroiditis sub akut dapat berupa tiroiditis garanula matosa sub akut (tiroiditis de
quervam) atau tiroiditis tanpa nyeri (silent thiroiditis atau tiroiditis limpfositik sub
akut).Tiroiditis granulomatosa sub akut merupakan kelainan inflamasi pada kelenjar tiroid
yang terutama mennterang wanita nberusia antara 40 hingga 50 tahun (sakiyuma 1993)
kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri pada leher bagian anterior, dan
berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala
sisa.Tiroiditis ini sering terjadi setelah infeksi respiratorius.Kelenjar tiroid membesar secra
simetris dan kadang-kadang terasa nyeri. Kulit diatasnya sering tampak kemerah dan terasa
hangat.Pasien merasa sulit menelan dan mengalami gangguan rasa nyaman, iritabilitas,
kegelisahan insoumnia dan penurunan berat badan yang kesemuanya merupakan manipestasi
dari hipertiroidisme sering dijumpai, dan banyak pasien juga merasakan gejala demam serta
menggigil.Tiroiditis tanpa nyeri (tiroiditis limposifik sub akut) sering terjadi pada periode
pasca partus dan diperkirakan disebabka oleh autoimun. Gejala hipertiroidisme atau
hipertiroidisme mungkin saja timbul, tetapi ditunjukkan untuk menangani gejala, dan
pemeriksaan tindak lanjut yang dilakukan setahun sekali perlu dianjurkan untuk enentukan
aapakah pasien memerlukan terapi guna mengatasi hipertiroidisma yang kemudian.

3. Tiroiditis kronis (tiroiditis hashimoto)


Tiroiditis kronis yang paling sering dijumpai pada wanita berusia 30 hingga 50 tahun
diberi nama penyakit hashimoto atau tiroiditis limfosik kronis.penegakan diagnostiknya
dilakukan berdasarkan gambaran histopatologis kelenjar tiroid yang mengalami
inflamasi.Berbeda denag tiroiditis akut, bentuk yang kronis ini biasanya tidak disertai nyeri,
gejala penekanan ataupun rasa panas, aktifitas kelenjar tiroid biasaya normal atau rendah dan
bukan meningkat.

2.1.4 Etiologi
Etiologi dari tiroiditis dibagi berdasarkan klasifikasi

1. Tiroiditis subakut
Yang jelas sampai sekarang tidak diketahui, pada umumnya diduga oleh virus. Pada
beberapa kasus dijumpai antibody autoimun.
2. Tiroiditis akut supuratif
Kuman penyebab biasanya stafhylococcus aureus, stafhylocaccus hemolyticus dan
pneumococcus. Infeksi dapat terjadi melalui aliran darah, penyebaran langsung dari jaringan
sekitarnya, saluran getah bening, trauma langsung dan duktuk tiroglosus yang persisten,
kelainan yang terjadi dapat disertai terbentuknya abses atau tanpa abses. Abses ini dapat
menjurus ke mediastinum, bahkan dapat pecah ke trakea dan esophagus.
3. Tiroiditis hashimoto
Untuk alasan yang tidak diketahui, tubuh melawan dirinya sendiri dalam suatu reaksi
autoimun,membentuk antibodi yang menyerang kelenjar tiroid.
Penyakit ini 8 kali lebih sering terjadi pada wanita dan bisa terjadi pada orang-orang yang
memiliki kelainan kromosom tertentu, seperti sindroma Turner, sindroma Down dan
sindroma Kleinefelter.
4. Tiroiditis limfosotik laten
Penyebabnya tidak diketahui. Terjadi penyusupan limfosit (sejenis sel darah putih) ke
dalam kelenjar tiroid.

2.1.5 Patofisiologi
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor
penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu
lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.Walaupun etiologi
pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui
bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula
pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun
humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit
T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan
membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi
terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking
dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen.
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor
genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi
tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi
pada proses penyakit ini.
1. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun
seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen yang
mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase),
transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4),
CD4, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan
mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas
II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang
diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD4), dan berinteraksi dengan reseptor
(CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi
antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat
meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4 berasosiasi
dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan
pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,
penyakit Addison, dan myasthenia gravis.
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini
menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.
Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi
antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic
autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik
dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara tiroidits
Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-Kaukasus
dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan
dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.
2. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab
penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan kekurangan
iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu
reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar
tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri .
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-, amiodarone dan
Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan
beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan
fenotipenya.

Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak Antibodi TPO
sempurna
Ekses iodium Tidak terjadi escape effect HT
Wolff-Chaikoff; Jod-Basedow
GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses reproduktif Efek estradiol HT
yang panjang
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid HT dan GD
menimbulkan efek antitiroid
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE GD
tinggi
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia Mimikri molekuler GD
enterocolitica

Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis


GD : Graves disease
GO : Graves ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu
seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat
menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan
limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin tertentu
yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan pertama
yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari .
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang iodium, dan
prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih
sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium berlebihan
dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang mempunyai latar belakang
penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau
goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul
autonom fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan
menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut
diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang
pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya
merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI.
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine, yang
juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun. Defisiensi
selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus
Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi pembentukan
radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim
yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi
hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan kematian
akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di dalam darah akan
meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda adanya infiltrasi limfosit.
Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain
memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan
menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas hidup, tanpa
mempengaruhi status hormon tiroid.Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan
neuroendokrin. Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,
menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda
terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan
menekan imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B),
sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa penyakit
autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya adalah penyakit
Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait dengan faktor stress.
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam patogenesis PTAI.
Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi bertindak sebagai faktor pencetus PTAI
seperti :
a. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
b. Induksi molekul MHC kelas II
c. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga
mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T,
meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok
akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia
setelah pengobatan dengan iodium radioaktif .
3. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan
fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat
limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran
sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja
autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga
autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin,
dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai thyroid microsomal
antigen, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis tiroid.
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan
penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas enzimatik
TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas
sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid.
Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik
terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang menyertai
hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.
Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan menjadi:
a. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;
b. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang sintesis
hormon tiroid;
c. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel folikel;
d. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang pertumbuhan
seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi
antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid
besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua
(second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi
terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata
(disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi,
keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi
hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit
Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita
Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.
4. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI
tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory cells
akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan
menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis
pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan apoptosis pada GD
akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme
apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang
akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves.

5. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat
bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1,
terutama memproduksi interferon- (IFN) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan
respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan
terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun humoral. Sel Th3
menghasilkan terutama TGF yang mempunyai peranan protektif dan pemulihan dari
penyakit autoimun.
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid
dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC kelas I dan II,
serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk
menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan
meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi
pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan berimplikasi terhadap
disfungsi tiroid.
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-
associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada penderita
dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan
memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC
kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di jaringan
retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan membantu
pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan
akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada
glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh fibroblast
retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin atau menghambat
kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati
yang sampai saat ini sukar diobati.
2.1.6 Tanda Dan Gejala
Tergantung pada ciri-cirinya, gejala tiroiditis dapat meniru tiroid kurang aktif atau terlalu
aktif.Gejala-gejala ini bisa meliputi:
1. Penurunan atau kenaikan berat badan yang tidak diketahui penyebabnya.
2. Nyeri otot atau rasa lesu dan lemah.
3. Depresi, gelisah atau cemas.
4. Kelelahan atau sulit tidur.
5. Detak jantung cepat.
6. Sering buang air besar
7. Keringat bertambah
8. Periode menstruasi tidak teratur(pada wanita)
9. Iritabilitas
10. Kram otot
11. Berat badan menurun

2.1.7 Penatalaksanaan
tujuan terpi adalah mengembalikan inflamasi.Secara umum, preparat anti-inflamasi
konsteroid (NSAID) digunakan untuk menguirangi rasa sakit pada leher, panggunaan asam asetil
salisilat (aspirin) perlu dihindari bila gejala hipertiroidisme timbul, karena aspirin akan mengusir
hormon tiroid dari tempat penyikatannya hingga meningkatkan jumlah hormon tersebut dalam
darah. Preparat penyekat beta dapat digunakan untuk mengendalikan gejala
hipertiroidisme.Preparat antitiroidyg akan menyekat sintetis T3 dan T4 efektif untuk mengobati
tiroiditis karena tirotoksikosis, yang menyertai keadaan ini, terjadi akibat pelepasan hormon
tiroid yang tersimpan dan bukan akibat peningklatan siufesisunya, pada kasus-kasus yang lebih
berat, preparat kortikostroid oral kadang-kadang dapat diresepkan untuk meredakan rasa nyeri
dan mengurangi pembengkakan. Meskipun demikian, preparat tersebut biasnya tidak
mempengaruhi penyebab yang mendasari infeksi ini. Pada sebagian kasus, keadaan
hipertiroidisme dapat terjadi untuk sementara wktu dan memerlukan terapi penggantian dengan
hormon tiroid. Pemantauan lebih lanjut diperlikan untuk lebih lanjut diperluklan untuk
mengetahuio pulihnya pasien pada keadaan eutiroid.
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa mengurangi
nyeri dan peradangan.
Pada kasus yang sangat berat, bisa diberikan kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8
minggu.
Jika pemberian kortikosteroid dihentikan, gejalanya sering kembali muncul.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


1. T4 dan T3 serum
2. Tiroksin bebas
3. Kadar TSH serum
4. Ambilan isodium radioskopi
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid, serum atau
jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan kadar T3 dan T4
serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk menilai perubahan
konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4 merupakan hormon yang
lebih poten. Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan prealbumin dapat merubah
konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.
Peningkatan kadar T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan
pemeriksaan T3 lebih sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan
tes stimulasi dapat membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul
tiroid mungkin memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.

2.1.9 Komplikasi
1. Hipotiroidisme & Hipertiroidisme
2. Kerusakan pita suara (bisu)
3. DM tipe 1
4. Penyakit Addison
5. Leukemia
6. Sklerosis multiple
7. Kanker gastrik

2.2 Konsep Dasar Keperawatan


2.2.1 pengkajian
Riwayat dan pemeriksaan kesehatan berfokus pada kekambuhan gejala yang berkaitan
dengan percepatan metabolisme.Hal ini mencakup keluhan keluarga dan pasien tentang
kepekaan dan peningkatan reaksi emosional.Penting juga untuk menentukan dampak dari
perubahan ini yang telah dialami dalam interaksi pasien dengan kelaurga, teman, dan rekan
kerja.Riwayatnya meliputi stresor lain dan kemampuan pasien untuk menghadapi stres.
Status nutrisi dan adanya gejala dikaji.Kekambuhan gejala berkaitan dengan output
sistem saraf berlebihan dan perubahan penglihatan dan penampilan mata.Oleh karena
kemungkinan adanya perubahan emosi yang berkaitan dengan hipertiroid, status emosi dan
psikologi pasien dievaluasi. Keluarga pasien mungkin memberikan informasi tentang
perubahan terakhir dalam status emosi pasien.
1. Data Subjektif
Hipersekresi kelenjar tiroid menimbulkan efek yang hebat pada kemampuan pasien
untuk berfungsi, begitu pula pada proses-proses fisiologis.Perawat mengumpulkan data dari
pasien atau anggota keluarganya mengenai keadaan yang lalu dan keadaan sekarang :
Tingkat energi, kemampuan suasana hati dan mental,Kemampuan melaksanakan kegiatan
sehari-hari, Kemampuan mengatasi stress, Intoleransi terhadap panas atau dingin, Asupan
makanan, Pola eliminasi.Wawancara harus dapat membantu perawat mengetahui pemahaman
pasien atau keluarganya mengenai penyakit dan pengobatannya, dan mengenai perawatan
yang diperlukan oleh pasien.
2. Data Objektif
Pemeriksaan fisik awal harus mencakup keterangan pokok mengenai pasien : status
mental (kemampuan mengikuti pengarahan),status gizi, status kardiovaskular, karakteristik
tubuh, penampilan dan tektur kulit, penampilan mata dan gerakan ekstraokuler, adanya edema
serta lokasinya, penampilan leher dan gerakannya, lingkaran perut, ekstremitas.
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan fungsi tiroid dapat dilakukan pada tingkat hipotalamus, hipofise, tiroid,
serum atau jaringan perifer.Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
kadar T3 dan T4 serum dan T3 resin uptake. Pemeriksaan T3 resin uptake dilakukan untuk
menilai perubahan konsentrasi protein serum yang dapat merubah ikatan T3 dan T4, T4
merupakan hormon yang lebih poten Perubahan tiroxine-binding globulin (TBG) dan
prealbumin dapat merubah konsentrasi T4 bebas, dan sedikit merubah T3.Peningkatan kadar
T4 biasanya sesuai dengan keadaan klinis hipertiroid berat, sedangkan pemeriksaan T3 lebih
sensitif dalam menentukan hipertiroid ringan. Radioimmunoassay TSH dan tes stimulasi dapat
membantu membedakan hipertiroid primer dan sekunder. Pemeriksaan nodul tiroid mungkin
memerlukan biopsi jarum dan eksplorasi bedah.
4. Dasar Data Pengkajian
a. Aktifitas / istirahat
Gejala : insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot.
Tanda : atrofi otot.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi, nyeri dada (angina).
Tanda :disritma (vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah dengan
tekanan nada yang berat.Takikardi saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosisi).
c. Eliminasi
Gejala : urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d. Integritas ego
Gejala : mengalami stres yang berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil 9euforia sedang sampai delirium), depresi
e. Makanan & cairan
Gejala : kehilangan berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak,
makannya sering kehausan, mual, muntah.
Tanda : pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f. Neurosensori
Tanda : bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung, disorientasi,
gelisah, peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan beberapa bagian tersentak-
sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri orbital, fotofobia.
h. Pernapasan
Tanda : frekuensi pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis
tirotoksikosis).
i. Keamanan
Gejala : tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap
iodium(mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu meningkat di atas 37,4C, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan
Eksotalus: retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi
pada pretibial) yag menjadi sagat parah.
j. Seksualitas
Tanda : penurunan libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


1. nyeri b/d proses inflamasi
2. Hipertermi b/d proses inflamasi
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

2.2.2 Intervensi Keperawatan


NO NOC NIC
1 Nyeri akut : Pain control Pain Management:
Setelah dilakukan tindakan Pengkajian
keperawatan selama 24 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
jam,nyeri dapat teratasi komprehensif termasuk lokasi,
dengan kriteria hasil: karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
Mampu mengontrol dan faktor presipitasi
nyeri (tahu penyebab 2. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
nyeri,mampu menentukan intervensi
menggunakan tehnik Mandiri
nonfarmakologi untuk 1. Observasi reaksi nonverbal dari
mengurangi ketidaknyamanan
nyeri,mencari bantuan) 2. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
Melaporkan bahwa nyeri untuk mengetahui pengalaman nyeri
berkurang dengan pasien
menggunakan Penkes
manajemen nyeri 1. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Mampu mengenali 2. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
nyeri (skala, intensitas, 3. Tingkatkan istirahat
frekuensi dan tanda kolaborasi
nyeri) 1. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
Menyatakan rasa keluhan dan tindakan nyeri tidak
nyaman setelah nyeri berhasil
berkurang 2. Berikan analgetik untuk mengurangi
Tanda vital dalam nyeri
rentang normal 3. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
inter personal)

2 Hipertermi: Temperature regulation:


Thermoregulation Pengkajian
Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu minimal tiap 2 jam
keperawatan selama 24 2. Monitor TD, nadi, dan RR
jam suhu tubuh kembali 3. Monitor warna dan suhu kulit
normal dengan kriteria hasil: 4. Monitor tanda-tanda hipertermi dan
Suhu tubuh dalam rentang hipotermi
normal Mandiri
Nadi dan RR dalam 1. Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
rentang normal 2. Selimuti pasien untuk mencegah
Tidak ada perubahan hilangnya kehangatan tubuh
warna kulit dan tidak ada Penkes
pusing 1. Ajarkan pada pasien cara mencegah
keletihan akibat panas
2. Diskusikan tentang pentingnya
pengaturan suhu dan kemungkinan efek
negatif dari kedinginan
3. Beritahukan tentang indikasi terjadinya
keletihan dan penanganan emergency
yang diperlukan
4. Ajarkan indikasi dari hipotermi dan
penanganan yang diperlukan
Kolaborasi
1. Berikan anti piretik jika perlu

3 Ketidakseimbangan Nutrition Management


nutrisi kurang dari kebutuhan Pengkajian
tubuh: Nutritional Status : 1. Kaji adanya alergi makanan
food and Fluid Intake 2. Kaji kemampuan pasien untuk
Setelah dilakukan tindakan mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
keperawatan selama 24 3. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
jam, kebutuhan nutrisi kalori
kembali terpenuhi dengan Mandiri
kriteria hasil: 1. Berikan informasi tentang kebutuhan
Adanya peningkatan nutrisi
berat badan sesuai 2. Berikan substansi gula
dengan tujuan Penkes
Beratbadan ideal sesuai 1. Yakinkan diet yang dimakan
dengan tinggi badan mengandung tinggi serat untuk
Mampumengidentifikasi mencegah konstipasi
kebutuhan nutrisi 2. Ajarkan pasien bagaimana membuat
Tidk ada tanda tanda catatan makanan harian
malnutrisi Kolaborasi
Menunjukkan 1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
peningkatan fungsi menentukan jumlah kalori dan nutrisi
pengecapan dari menelan yang dibutuhkan pasien
Tidak terjadi penurunan 2. Berikan makanan yang terpilih ( sudah
berat badan yang berarti dikonsultasikan dengan ahli gizi)

You might also like