You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem pernapasan merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari serangkaian proses
yang meliputi proses oksigen lingkungan yang masuk ke paru-paru (ventilasi), oksigen yang
berdifusi dari udara ke dalam darah (pertukaran gas paru), serta darah yang memberikan
oksigen ke jaringan (transport gas). Sel-sel tubuh memanfaatkan oksigen untuk produksi
energy. Respirasi sel menghasilkan karbon dioksida yang dieliminasi dari tubuh melalui
ekspirasi. Pernapasan normal memerlukan jalan napas yang paten, kemampuan untuk
memperluas rongga dada melalui kontraksi otot interkostal dan diafragma. Kelainan yang
melibatkan salah satu proses di atas dapat mengakibatkan asfiksia.
Asfiksia merupakan salah satu kasus penyebab kematian terbanyak yang ditemukan
dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan adanya suatu obstruksi pada
saluran nafas disebut asfiksia mekanik dan asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai
dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Korban kematian
akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter, umumnya urutan ke-3 sesudah
kecelakaan lalu lintas dan trauma mekanik. Secara mekanik asfiksia dapat disebabkan oleh
proses penggantungan, pencekikan dan penjeratan. Dalam rutinitas medikolegal perbedaan
mekanisme ini sangat penting karena kasus penggantungan dianggap bunuh diri sehingga
dibuktikan sebaliknya manakala kasus penjeratan dan pencekikan dianggap pembunuhan.
Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat
menyebabkan asfiksia, khususnya mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan
proses penyidikan.
Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan penggantungan
dilaporkan tiap tahunnya. Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilaporkan sebanyak 279
kematian diakibatkan oleh penggantungan yang tidak disengajakan, dan 131 kematian karena
penjeratan. di india dari total 2668 otopsi yang dilakukan dari tahun1997-2004 didapatkan
kasus gantung sebesar 3,4 % atau 91 kasus dan untuk kasus asfiksia akibat penjeratan sekitar
0.15% atau sebanyak 4 kasus. Kasus bunuh diri di Indonesia dewasa ini dinilai cukup
memprihatinkan.Salah satu bentuk bunuh diri yang sering dilakukan adalah gantung diri.
Berdasarkan penelitian di Instalasi Forensik RSUP dr.Sardjito pada tahun 2007-2012 diperoleh

3
75 kasus kematian akibat asfiksia mekanik dari total 904 kasus, dan 25 diantaranya disebabkan
oleh bunuh diri.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan dalam kasus tindak pidana, seorang
penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.Berdasarkan pasal 179 KUHAP, seorang dokter wajib
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan dibidang
keahliannya demi peradilan.oleh karena itu seorang dokter perlu mengetahui mengenai ilmu
forensik yang salah satunya tentang asfiksia.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ASFIKSIA
2.1.1 Defenisi Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia
atau hipoksia (Amir, 2008).

2.1.2 Etiologi Asfiksia


Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran
Forensik, 1997):
1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti
laringitis, difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral;
sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya
barbiturat dan narkotika.
Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia
mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun
keracunan (Knight, 1996).

2.1.3 Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:

5
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di
tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam
selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni
atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Dimana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan
sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi,
tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet
tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi didalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.

6
- Metabolik
Asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian
O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang
efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4 Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-
bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian
tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik
terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan
yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak
jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.
Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung,
maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini
didapati pada:
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.

7
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.1. 5 Stadium Pada Asfiksia


Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat
dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:
1. Stadium Dispnea
Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2
akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan
ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot
pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol,
denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka
masuk ke stadium kejang.
2. Stadium Kejang
Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot
tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi
sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan
darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2 ini terus
berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnea.
3. Stadium Apnea
Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi
lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan
dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan
lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut
nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih
berdenyut beberapa saat lagi danterjadi relaksasi sfingter yang dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak.
4. Fase akhir
Ditandai oleh paralisis pusat pernapasan lengkap. Pernapasan berhenti setelah
kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Denyut jantung beberapa
8
saat masih ada, lalu napas terhentin kemudian lalu mati. Masa dari saat asfiksia
timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar
antara 3-5 menit.

2.6 Tanda Kardinal Asfiksia


Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat
asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:
a. Tardieus spot (Petechial hemorrages)
Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang
menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan
longgar, seperti kelopak mata, di bawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga,
circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat di
permukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura,
perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium
dan intestinum.

Gambar 2.1 terdeu spot


b. Kongesti dan Oedema
Terjadi pembendungan pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
akumulasi darah dalam organ yang dikarenakan adanya gangguan sirkulasi pada
pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam
vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke

9
dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan
ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada
minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis
menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat
asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada
jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak
pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim
fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia.

2.1.7 Pemeriksaan Jenazah


a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik,
1997):
1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku.
2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan
merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia.
3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat.
Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan
aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah
mengalir.
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat
peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput

10
lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam
saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang- kadang bercampur
darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler
pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan
subserosa lain.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang
rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.2. ASFIKSIA MEKANIK


Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:

11
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering)
dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik).

2.2.1 Pembekapan (SMOTHERING)


Pembekapan (smothering) adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan
napas yaitu hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau partikel-
partikel kecil.
Normalnya pembekapan membutuhkan paling tidak sebagian obstruksi baik dari
rongga hidung maupun mulut untuk menjadi asfiksia. Pembekapan merupakan salah
satu bentuk mati lemas, dimana pada pembekapan baik mulut maupun lubang hidung
terttutupmshingga proses pernafasan tidak dapat berlangsung.
Korban pembekapan umumnya wanita gemuk, orangtua yang lemah, orang
dewasa yang berada di bawah pengaruh obat atau anak-anak. Kelainan yang terjadi
karena pembekapan adalah berbentuk luka lecet dan atau luka memar terdapat di
mulut, hidung, dan daerah sekitarnya. Sering juga didapatkan memar dan robekan pada
bibir, khususnya bibir bagian dalam yang berhadapan dengan gigi.

Etiologi
Ada 3 penyebab kematian pada pembekapan (smothering), yaitu :
1. Asfiksia
2. Edema paru
3. Hiperaerasi
Edema paru dan hiperaerasi terjadi pada kematian yang lambat dari pembekapan.

Cara Kematian pada kasus pembekapan, yaitu:


a) Kecelakaan (paling sering), misalnya tertimbun tanah longsor atau salju,
alkoholisme, bayi tertutup selimut atau payudara ibu.
b) Pembunuhan, misalnya hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah, serbet
atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.

12
c) Bunuh diri

Gambaran Postmortem Pembekapan


Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus pembekapan, yaitu :
1) Mencari penyebab kematian.
2) Menemukan tanda-tanda asfiksia.
3) Menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian yang lambat.

Pemeriksaan Luar
- Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan
dan kekuatan menekan.
- Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,
yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
- Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat
bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat
mengalami memar atau cedera.
- Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada
pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Memar
atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam.

Pemeriksaan Dalam
Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena
cepatnya proses kematian.
Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan merupakan
ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan banyak darah.
Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematina
yang berhubungan dengan hipoksia.
13
Perdarahan berbintik (Petechial Haemorrhages)
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleuravisceralis paru terutama di lobus bawah
pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah
otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
Bisa juga diapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.

Gambaran Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi
intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini
penting untuk membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau
sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan
emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan
dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar
karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat
meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena
asfiksia.
Dalam penerapan ilmu forensik, untuk mengetahui penyabab kematian karena
asfiksia dapat menimbulkan berbagai pertanyaan apabila tidak disertai tanda-tanda luka
di luar maupun di dalam tubuh atau sumbatan pada saluran pernafasan, dan kondisi saat
kematian tidak diketahui secara pasti. Ditambah pemeriksaan secara makroskopis dan
histopatologis kerusakan umum pada hipoksia seperti edema, perdarahan, emfisema,
kongesti pasif dan degenerasi sel yang biasanya bervariasi dan tidak mengarah pada
penemuan tunggal.

2.2.2 Penyumbatan (GAGGING AND CHOKING)


Sumbatan saluran nafas bagian atas oleh benda asing. Pada gagging sumbatan
terjadi pada orofaring contohnya mulut disumpal dengan kain sedangkan pada choking
sumbatan terjadi pada laringofaring. Tersedak (chocking) adalah terdapat benda asing
(biasanya padat seperti permen, kelereng, biji buah salak) yang masuk dan menyumbat
lumen jalan udara. Beberapa tenaga medis akan menganggap penyebab kematian akibat
sumbatan jalan nafas bisa juga disebabkan oleh laringospasme.
14
Cara Kematian Pada Kasus Tersedak
Ada 2 cara kematian pada kasus tersedak, yaitu :
a) Kecelakaan (paling sering), seperti gangguan refleks batuk pada alkoholisme, pada
bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke dalam mulutnya,
tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi eter.
b) Pembunuhan (kasus infanticide)

Gambaran Postmortem
Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus tersedak (chocking), yaitu :
Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-kadang ada tanda
kekerasan di mulut korban.
Menemukan tanda asfiksia.
Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada kematian lambat.
Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan abses.

2.2.3 Penekanan Dinding Saluran Pernafasan


a. Mati gantung (HANGING)
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan
gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).

Etiologi Kematian pada Penggantungan


Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu:
a. Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di
atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga
saluran pernafasan menjadi tersumbat.
b. Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada
vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.
c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
15
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperti pada kebanyakan kasus
dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjeratan yang berada di
sekitar leher.
d. Iskemik Otak (anoxia)
Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam
menyuplai darah ke otak, umumnya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
e. Syok Vagal
Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks
vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf
vagus atau sinus karotid.
f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada
ketinggian 1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan
dislokasi dari vertebra servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek
spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.

Posisi Penggantungan
a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.
2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi
telungkup dan posisi lain.
b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1.Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran
nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri
karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.

16
Gambar 2.2 tipe penggantungan berdasarkan letak simpul

Jenis Penggantungan
Suicidal Hanging (gantung diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian,
pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain
terutamanya pembunuhan.
Accidental Hanging
Penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu,
yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan nafsu
seksual yang menyimpang (Auto-erotic Hanging). Kejadian penggantungan akibat
kecelakaan lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-
12 tahun. Tidak ditemukan alsan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada
tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawan dari
orangtua.
Homicidial Hanging
Pembunuhan dengan metode mengantung korbannya relatif jarang dijumpai, cara
ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh
obat bius, alcohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara
penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku.

17
Tanda Post Mortem
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau
tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan
maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir
konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka
sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva
bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka.
Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda
kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan
gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus
karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem
yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan
didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).

Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak
bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti
kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir
jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih
gelap karena adanya lebam mayat.

Gambar 2.3 ligature mark

18
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak dibagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga
jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras
(seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut
dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak begitu jelas. Jejas
jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan
korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti
beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini
didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada
bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera
diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik
perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit,
tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada
tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki
dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di
bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan.
Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.

Gambar 2.4 Lebam pada gantung diri


terkonsentrasi pada daerah ekstremitas
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):

19
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested,
demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di
permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer.
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang
lain jarang.
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line)
pada tunika intima dari arteri karotis interna.

Aspek Medikolegal
Tabel 1. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
1 Usia. Gantung diri lebih sering terjadi Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
pada remaja dan orang dewasa. Anak- pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan
anak di bawah usia 10 tahun atau orang dari korban dan tidak bergantung pada usia
dewasa di atas usia 50 tahun jarang
melakukan gantung diri
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak
berupa lingkaran terputus (non terputus, mendatar, dan letaknya di bagian
continuous) dan terletak pada bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan
atas leher untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu simpul Simpul tali biasanya lebih dari satu pada
yang letaknya pada bagian samping bagian depan leher dan simpul tali tersebut
leher terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat
mempunyai riwayat untuk mencoba untuk bunuh diri
bunuh diri dengan cara lain
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh korban Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
yang bisa menyebabkan kematian biasanya mengarah kepada pembunuhan
mendadak tidak ditemukan pada kasus
bunuh diri
6 Racun. Ditemukannya racun dalam Terdapatnya racun berupa asam opium

20
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
lambung korban, misalnya arsen, hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai
sublimat korosif dan lain-lain tidak pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini
bertentangan dengan kasus gantung diri. perlu waktu dan kemauan dari korban itu
Rasa nyeri yang disebabkan racun sendiri. Dengan demikian maka kasus
tersebut mungkin mendorong korban penggantungan tersebut adalah karena bunuh
untuk melakukan gantung diri diri
7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, Tangan yang dalam keadaan terikat
karena sulit untuk gantung diri dalam mengarahkan dugaan pada kasus pembunuhan
keadaan tangan terikat
8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan
mayat biasanya ditemukan tergantung tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh
pada tempat yang mudah dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk
korban atau di sekitarnya ditemukan alat mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
yang digunakan untuk mencapai tempat
tersebut
9 Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan
berlangsung di dalam kamar, dimana ditemukan terkunci dari luar, maka
pintu, jendela ditemukan dalam keadaan penggantungan adalah kasus pembunuhan
tertutup dan terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh diri
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada
ditemukan pada kasus gantung diri kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar
atau masih anak-anak.

Tabel 2. Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem

No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem


1 Tanda tanda penggantungan Tanda tanda postmortem menunjukkan
antemortem bervariasi. Tergantung dari kematian yang bukan disebabkan
cara kematian korban penggantungan
2 Tanda jejas jeratan miring, berupa Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk

21
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
lingkaran terputus (non-continuous) dan lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler dan
letaknya pada leher bagian atas letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan
pada sisi leher dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan
leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan
sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat
tampak di atas jejas jerat dan pada terdapat pada bagian tubuh yang menggantung
tungkai bawah sesuai dengan posisi mayat setelah meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti perabaan kertas begitu jelas
perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan
lain-lain sangat jelas terlihat terutama lain-lain tergantung dari penyebab kematian
jika kematian karena asfiksia
7 Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak
mengalami kongesti dan agak menonjol, terdapat, kecuali jika penyebab kematian
disertai dengan gambaran pembuluh adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi
dara vena yang jelas pada bagian kening
dan dahi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak
keluarnya cairan sperma sering terjadi ada. Pengeluaran feses juga tidak ada
pada korban pria. Demikian juga sering
ditemukan keluarnya feses
10 Air liur. Ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan yang menetes pad
mulut, dengan arah yang vertikal kasus selain kasus penggantungan.
menuju dada. Hal ini merupakan
pertanda pasti penggantungan ante-

22
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
mortem

b. Penjeratan (STRANGULATION)
Penjeratan atau strangulation adalah terhalangnya uadra masuk ke saluran
pernafasan akibat adanya tenaga dari luar. Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu
strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat
karena kekuatan lain bukan karena berat badan korban tetapi karean tali, ikat pinggang,
rantai, kawat, kabel, koas kaki dan sebagainya.
Terdapat beberapa tipe:
1. Penjeratan dengan tali
2. Dicekik (manual strangulation)
3. Ditekan leher dengan bahan selain tali (misalnya potongan kayu, lengan)
4. Mugging, leher ditekan dengan lutut atau siku

Etiologi Kematian pada Penjeratan


Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu:
1. Asfiksia
2. Iskemia
3. Vagal refleks

Klasifikasi Strangulasi
Strangulasi dapat dibagi menjadi:
1. Ligature Strangulation
Disebut demikian ketika bahan seperti tali/ bersifat mengikat digunakan untuk
menekan/mengonstruksikan leher dimana gaya tersebut lebih besar/lebih berat dari
berat badan korban.
2. Strangulasi Manual
Strangulasi dilakukan dengan tangan kosong untuk menekan leher, disebut juga
throtting (pencekikan).
Oklusi jalan nafas hanya bersifat minor dalam penyebab kematian. Penekanan sinus
carotis mengakibatkan inhibisi vagal yang berujung pada kondisi cardiac arrest
sering menjadi penyebab utama kematian.
23
3. Mugging/ Arm-Locks
Strangulasi yang disebabkan oleh mekanisme dimana leher korban dijepit/ditekan
pada siku ataupun lutut dari pelaku. Biasanya pelaku melakukannya dari belakang
dan terkadang dapt tidak meninggalkan bekas. Kematian terjadi akibat inhibisi vagal.
4. Bansdola
Strangulasi dilakukan dengan menggunakan bamboo/tongkat yang ditempatkan
didepan dan dibelakang leher yang kedua ujungnya diikat dengan tali dan ditarik
sampai korban tewas. Lebam dapat terlihat jelas ditengah di trakea.
5. Garroting
Tindakan ini dahulu dilakukan di India, Spanyol, Turki, Portugal dan dilakukan
dengan alasan yang berbeda-beda.
6. Strangulasi Palmar
Strangulasi palmar adlah gabungan dari pembekapan dan strangulasi boasa yang
dilakukan bersamaan. Strangulasi palmar dilakukan dengan kedua tangan kanan
pelaku ditekan horizontal pada mulut korban dibantu tangan kiri yang menekan
vertical sehingga telapak tangan kiri menekan leher korban dibagian depannya.

Cara Kematian pada Penjeratan:


Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu :
1. Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian infanticide
dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat, dan hukuman mati
(zaman dahulu).
2. Kecelakaan.
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang terjerat oleh
tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal reflex menjadi penyebab
kematian pada orang yang bersenda gurau.
3. Bunuh diri.
Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali secara
berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara jeratan dan
leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.
Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain :
24
1. Arah jerat mendatar / horisontal.
2. Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
3. Jenis simpul penjerat.
4. Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
5. Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan
untuk menjerat.

Gambaran Postmortem
Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus
penggantungan (hanging) kecuali pada :
Distribusi lebam mayat yang berbeda.
Alur jeratan mendatar / horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah.

Pemeriksaan luar
1. Sianosis pada bibir, ujung jari dan kuku
2. Lebam mayat merah keburuan lebih gelap dan terbentuk lebih cepat dan lebih luas
3. Busa berdarah dan lendir keluar pada hidung dan mulut
4. Pelebaran pembuluh darah darah konjungtiva bulbi dan mulut
5. Lidah bengkak, berwarna gelap, bisa terjulur keluar dari mulut, dan tergigi oleh gigi.
6. Bintik-bintik perdarahan (Tardieus spot) pada konjungtiva bulbi dan palpebra lebih
jelas dibandingkan hanging.
7. Tanda-tanda kekerasan dan tanda-tanda perlawanan. Pada kasus jerat dan gantung
dapat ditemui luka lecet sekitar jejas jerat, berupa kulit mencekung warna coklat kaku
dengan gambran sesuai dengan pola permukaan tali. Pada kasus pembekapan dapt
ditemukan luka lecet (goresan kuku, jenis tekan/geser) atau memar pada ujung
hidung, bibir, pipi, dagu. Pada kasus penyumbatan akan ditemukan benda asing atau
tanda kekerasan akibat benda asing.
8. Untuk kasus jerat biasanya mendatar, melingkari leher, setinggi/dibawah tulang
rawan tiroid. Pada kasus gantung yang tipikal akan timbul hambatan total arteri
sehingga muka pucat dan sianosis pada mata. Tidak terdapat petekie pada kulit
konjungtiva sedangkan pada atypical akanter jadi hambatan jalan nafas dan aliran

25
vena sehingga terjadi bendungan di sebelah atas katan pada kulit konjungtiva masih
terdapat petekie.
9. Pada tepi jerat akan terdapat sedikit perdarahan. Adnaya bula dan vesikel disekitar
juga merupakan petunjuk bahwa kekerasan terjadi intravital. Jejas gantung biasanya
lebih tinggi di banding jejas pada kasus jerat. Lebam mayat pada gantung terdapat
pada lengan bawah dan tungkai bawah.

(Gambar 2.5 Strangulantion by ligature )

Pemeriksaan dalam
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer. Pada laring, trakea, dan cabang bronkus
dapat dijumpai buih dan darah. Mukosa berwarna merah disebabkan karena kongesti.
2. Kemerahan pada jaringan subkutan dan otot dari leher, terutama dibawah bekas
jeratan. Bisa terdapat kemerahan dan bekas luka pada arteri karotis.
3. Fraktur pada kartilago thyroid saru atau lebih pada superior horn.
4. Fraktur kartilago cricoids jarang terjadi.
5. Terdapat fraktur pada trakea.

26
6. Terdapat kemerahan pada pangkal lidah dan dasar mulut.
7. Membrane mucus dari faring, sunus pyriform, epiglottis dan laring biasanya
menunjukkan infiltrasi perdarahan.
8. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh, sehingga organ dalam
tubuh menjadi lebih gelap dan lebih berat.
9. Petekie (Tardieus spot) pada mukosa organ dalam yaitu perikordium, pleura viseralis
paru terutama pada aorta lobus dan busur, kelenjar tiroid, kelenjar timus, pielum
ginajl. Paru-paru akan membesar (ballon like appearance) sehingga terlihat jelas
bekas-bekas iga-iga pada paru-paru, jika ditekan akan membekas dan bila dipotong
akan keluar darh dan buih. Kadang-kadang paru tidak memebesar karena adhesi dari
pleura.
10. Edema paru dengan beberapa subpleural petekie.

c. Pencekikan (MANUAL STRANGULATION)


Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada
leher korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan bawah.
Pencekikan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1.Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
2.Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
3.Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku
maka ini disebut mugging.

Etiologi Kematian pada Pencekikan


Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan, yaitu (1):
a. Asfiksia
b. Iskemia
c. Vagal reflex

Cara Kematian pada Pencekikan


Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu :
Pembunuhan (hampir selalu).
Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.
27
Gambaran Postmortem Pencekikan
Pemeriksaan Luar:
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan luar kasus pencekikan, antara lain :
1. Tanda asfiksia.
Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita temukan
antara lain adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala, leher atau otak.
Lebam mayat akan terlihat gelap.
2. Tanda kekerasan pada leher.
Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas kuku dan
bantalan jari. Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark, yaitu luka
lecet berbentuk semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat menemukan sidik jari
pelaku.
Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku, apakah tangan kanan (right
handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah pencekikan dan jumlah bekas
kuku juga tak luput dari perhatian kita.
3. Tanda kekerasan pada tempat lain.
Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir, lidah, hidung, dan
lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan
perlawanan.

Pemeriksaan Dalam:
Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu:
1. Perdarahan atau resapan darah.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar
ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring.
2. Fraktur.
Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
3. Memar atau robekan membran hipotiroidea.
4. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.

28
(Gamabr 2.6 Luksasi artikulasio krikotiroidea)

2.2.4 Keracunan gas (INHALATION OF SUFFOCATING GASSES)


Inhalation of suffocating gasses adalah suatu keadaan dimana korban menghisap
gas tertentu dalam jumlah berlebihan sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi. Ada 3 cara
kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses, yaitu menghisap gas:
1. CO, Gas CO banyak pada kebakaran hebat.
2. CO2, Gas CO2 banyak pada sumur tua dan gudang bawah tanah.
3. H2S, Gas H2S pada tempat penyamakan kulit.

2.2.5 Tenggelam (DROWNING)


Kematian akibat asfiksia karena terhalangnya udara masuk kedalam saluran
pernapasan disebabkan tersumbat oleh cairan. Pengertian drowning tidak hanya
mengarah kepada keadaan korban berada di dalam air namun, tertutupnya saluran napas
oleh cairan cukup membuat keadaan tersebut dinamakan drowning.

Proses tenggelam
Pada kasus korban berada di dalam air, proses tenggelam dimulai pada waktu
korban masuk ke air karena panik atau kelelahan, maka sebagian air masuk ke mulut dan
saluran pernapasan. Hal ini menimbulkan reflek batuk yang mengakibatkan korban perlu
menghirup udara lagi dengan berusaha menggapai ke permukaan namun, akibatnya lebih
banyak lagi air yang masuk menggantikan udara dan hal ini terjadi berulang kali hingga
korban tenggelam.

29
Setelah terjadi pembusukan, beberapa hari kemudian korban terapung kembali
karena gas pembusukan yang berkumpul ke dalam rongga perut dan dada, maka korban
akan muncul ke permukaan, kecuali korban tersangkut ke dalam air atau dimakan
binatang. Bila gas pembusukan ini akhirnya keluar dari tubuh, maka korban kembali
tenggelam. Hal ini perlu diperhatikan dalam pencarian korban tenggelam.
Beberapa tipe tenggelam :
a. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban
tenggelam. Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat
mematikan, jika dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40
ml untuk bayi.
b. Dry drowning
Mati tenggelam tanpa ada air di saluran pernafasan. Hal ini dapt dikarenakan
spasme laring atau inhibisi vagal yang mengakibatkan jantung berhenti berdenyut
sebelum korban tenggelam. Keadaan ini dikenal dengan Drowning type I.
c. Secondary drowning
Korban meninggal sesudah dirawat akibat komplikasi dari tenggelam. Terjadi
gejala beberatapa hari setelah korban tenggelam dan di angkat dari dalam air seperti
infeksi atau oedem.
d. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks
vagal yang menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh
karena terjadinya fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk
ke air dingin atau tersiram air yang dingin, dapat mengalami ventricular ectopic beat.
Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.

Patofisiologi Akibat Tenggelam


Dalam air tawar
Pada keadaan ini terjadi absorbsi/aspirasi cairan masif hingga terjadi hemodilusi
oleh karena konsentrasi elektrolit air tawar lebih rendah daripada konsentrasi dalam
darah. Air akan masuk ke dalam aliran darah sekitar alveoli dan mengakibatkan
pecahnya sel darah merah (hemolisis).

30
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan
dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung hingga kadar ion kalium dan
plasma meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot
jantung dapat mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah,
yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian dapat
terjadi dalam waktu 5 menit.

Dalam air laut


Konsentrasi elektrolit air laut lebih tinggi daripada dalam darah. Air laut yang
masuk ke dalam paru lebih hipertonik sehingga dapat menarik air dari sirkulasi pulmonal
ke dalam jaringan interstitial paru yang akan menimbulkan edema pulmoner,
hemokonsentrasi, hipovolemi dan kenaikan kadar magnesium dalam darah.
Hemokonsentrasi akan mengakibatkan sirkulasi menjadi lambat dan menyebabkan
terjadinya payah jantung. Kematian terjadi kira-kira dalam waktu 8-9 menit setelah
tenggelam diakibatkan oleh edema pulmonal.

Mekanisme kematian pada korban tenggelam :


a). Asfiksia akibat spasme laring
b). Asfiksia karena gagging dan choking
c). Inhibisi vagal, karena reflex
d). Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
e). Edema pulmoner (dalam air asin)

Pemeriksaan Luar Korban Tenggelam:


1) Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-benda asing lain
yang terdapat dalam air.
2) Cutis anserina, dimana pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada
ekstremitas akibat kontraksi otot errector pilli yang dapat terjadi karena rangsang
dinginnya air (sebagai gambaran seperti saat seseorang berdiri bulu kuduknya /
merinding).

31
3) Washer woman hand/skin, Kulit telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya membutuhkan
waktu lama (sebagai gambaran sepert tangan / kulitnya orang setelah mencuci).
4) Cadaveric spasm, yakni akibat usaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja
benda-benda disekitarnya, seperti rumput atau benda lain dalam air. (sebagai
gambaran : tangan korban menggenggam erat hingga sulit dibuka dan biasanya
terdapat benda air, misalnya rumput/lumut dalam genggamannya).

(Gambar 6.2 cadaveric spasm pada korban tenggelam)


5) Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-like mass) yang
terbentuk akibat edema pulmo akut, berwarna putih dan persisten (tetap diproduksi
terus, meskipun korban sudah meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan.
6) Luka memar/lecet/robek bisa ditemukan pada beberapa bagian tubuh, akibat benturan
dengan benda-benda keras dalam air (misalnya batu sungai atau karang laut) pada saat
tenggelam.

Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam:


1. Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih.
2. Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat seperti paru-paru
penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti
marmer, bila permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih
berair.
3. Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak paltauf yaitu bercak perdarahan yang
besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar dan sering
terlihat di bawah pleura.
32
4. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik jantung
kiri dan kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam
darah jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan, sedangkan pada tenggelam di air
asin terjadi sebaliknya
5. Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain.
6. Benda air (diatome) di jaringan paru, darah dan ginjal. Pemeriksaan laboratorium
untuk mendapatkan diatome dapat dengan test destruksi. Begitu juga bilas paru untuk
mendapatkan adanya pasir atau telur cacing bila air terkontaminasi dengan feses, ini
dilakukan bila pembuktian secara makroskopis meragukan.

Aspek medikolegal
Secara medikolegal kematian karena tenggelam umumnya karena kecelakaan
apalagi di musim hujan dan banjir. Bunuh diri dengan tenggelam merupakan hal yang
sering terjadi dan biasanya korban memilih tempat yang tinggi untuk meloncat dan pada
tempat yang sering dilewati. Penting sekali menentukan apakah korban mati karena
tenggelam atau sesudah mati baru ditenggelamkan. Pemeriksaan menjadi sulit bila
korban telah mengalami pembusukan. Perlu diperhatikan bahwa korban yang diangkat
dari air akan mengalami pembusukan yang lebih cepat dari biasa oleh karena itu,
penundaan pemeriksaan akan mempersulit untuk mendapatkan hasil.

33
BAB III
KESIMPULAN

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, megakibatkan oksigen dalam darah berkurang disertai dengan peningkatan
karbondioksida sehingga, organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadinya
kematian sebagai hasil dari anoxia jaringan.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi apabila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri dan tenggelam (drowning).
Pada orang yang mengalami asfiksia, akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase yaitu
fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase dispneu dan
fase kovulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan
oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan
lebih jelas.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak
pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi
dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi
pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie
dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian
dalam, serta mukosa epiglotis, edema paru terutama yang berhubungan dengan hipoksia,
adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring terutama yang
berhubungan dengan kekerasan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Amri, A., 2016. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Medan: Rineka Cipta ,hal: 126

Robi, M., Siwu,F,J., Kristanto, E., 2016. Gambaran kasus asfiksia mekanik di Bagian Forensik
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou periode tahun 2010 -2015. (Jurnal Ilmu Forensik) diakses 2
Juni 2017: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/14348/13919

Leonardo, S. Asfiksia Forensik. Available from :


http://www.kabarinindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080509041548
accessed 27 februari 2017.

Budiyanto.2003. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian kedokteran forensik FKUI: Jakarta.

Farrugia, A., Ludes, B. 2010. Diagnostic Of Drowning In Forensic Medicine. Textbook.


Institute of legal medicine. Strasbourg cedex. France.

Belviso, M. 2003. Positional asphyxia reflection on 2 cases. Journal. The American journal of
forensic medicine and pathology. Department of internal medicine and public medicine
section of legal medicine and forensic pathology and criminalistic technique university of
Bari. Italy.

35
36
37
38
39
40

You might also like