Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
3
75 kasus kematian akibat asfiksia mekanik dari total 904 kasus, dan 25 diantaranya disebabkan
oleh bunuh diri.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan dalam kasus tindak pidana, seorang
penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya.Berdasarkan pasal 179 KUHAP, seorang dokter wajib
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan dibidang
keahliannya demi peradilan.oleh karena itu seorang dokter perlu mengetahui mengenai ilmu
forensik yang salah satunya tentang asfiksia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ASFIKSIA
2.1.1 Defenisi Asfiksia
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan
pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia)
disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ
tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu
Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia
atau hipoksia (Amir, 2008).
2.1.3 Fisiologi
Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu:
1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia)
Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:
5
- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di
tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam
selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni
atau sufokasi.
- Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan,
gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam
tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia)
Dimana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati
pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan
sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia)
Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal
jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi,
tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet
tersendat jalannya.
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia)
Gangguan terjadi didalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh
tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:
- Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida
terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
- Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.
6
- Metabolik
Asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian
O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.
- Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukup i untuk metabolisme yang
efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.
2.1.4 Patologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2
golongan (Amir, 2008), yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe
dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-
bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian
tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik
terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia.
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial,
sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan
yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak
jelas.
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah
dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi.
Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung,
maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini
didapati pada:
- Penutupan mulut dan hidung (pembekapan).
- Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan
korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan
menghalangi udara masuk ke paru-paru.
7
- Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan
(Traumatic asphyxia).
- Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan,
misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.
9
dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan
ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).
c. Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak
berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada
minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis
menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.
Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir
selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan
hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan
menjadi lebih biru karena akumulasi darah.
d. Tetap cairnya darah
Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang
tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat
asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada
jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak
pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim
fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia.
10
lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam
saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang- kadang bercampur
darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler
pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan
subserosa lain.
5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah
konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan
hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan
kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding
kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik
perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot.
b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang
meningkat paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian
belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru
terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala
sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-
glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang
rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
11
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering)
dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik).
Etiologi
Ada 3 penyebab kematian pada pembekapan (smothering), yaitu :
1. Asfiksia
2. Edema paru
3. Hiperaerasi
Edema paru dan hiperaerasi terjadi pada kematian yang lambat dari pembekapan.
12
c) Bunuh diri
Pemeriksaan Luar
- Tanda kekerasan yang dapat ditemukan tergantung dari jenis benda yang digunakan
dan kekuatan menekan.
- Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan atau geser,
jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang, hidung, lidah dan gusi,
yang mungkin terjadi akibat korban melawan.
- Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam bibir akibat
bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung lidah juga dapat
mengalami memar atau cedera.
- Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal, maka pada
pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Memar
atau luka masih dapat ditemukan pada bibir bagian dalam.
Pemeriksaan Dalam
Tetap cairnya darah
Darah yang tetap cair ini sering dihubungkan dengan aktivitas fibrinolisin.
Pendapat lain dihubungkan dengan faktor-faktor pembekuan yang ada di
ekstravaskuler, dan tidak sempat masuk ke dalam pembuluh darah oleh karena
cepatnya proses kematian.
Kongesti (pembendungan yang sistemik)
Kongesti pada paru-paru yang disertai dengan dilatasi jantung kanan merupakan
ciri klasik pada kematian karena asfiksia. Pada pengirisan mengeluarkan banyak darah.
Edema pulmonum
Edema pulmonum atau pembengkakan paru-paru sering terjadi pada kematina
yang berhubungan dengan hipoksia.
13
Perdarahan berbintik (Petechial Haemorrhages)
Dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung daerah aurikuloventrikular, subpleuravisceralis paru terutama di lobus bawah
pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah
otot temporal, mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
Bisa juga diapatkan busa halus dalam saluran pernafasan.
Gambaran Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis sangat penting dilakukan untuk melihat reaksi
intravitalitas yang merupakan reaksi tubuh manusia yang hidup terhadap luka. Reaksi ini
penting untuk membedakan apakah luka terjadi pada saat seseorang masih hidup atau
sudah mati. Reaksi vital yang umum berupa perdarahan yaitu ekimosis, petekie dan
emboli.
Gangguan jalan napas pada pembekapan akan menimbulkan suatu keadaan
dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar
karbondioksida. Pemeriksaan secara histopatologi pada parenkim paru dapat
meminimalisir diagnosis banding dari beberapa kasus kematian yang disebabkan karena
asfiksia.
Dalam penerapan ilmu forensik, untuk mengetahui penyabab kematian karena
asfiksia dapat menimbulkan berbagai pertanyaan apabila tidak disertai tanda-tanda luka
di luar maupun di dalam tubuh atau sumbatan pada saluran pernafasan, dan kondisi saat
kematian tidak diketahui secara pasti. Ditambah pemeriksaan secara makroskopis dan
histopatologis kerusakan umum pada hipoksia seperti edema, perdarahan, emfisema,
kongesti pasif dan degenerasi sel yang biasanya bervariasi dan tidak mengarah pada
penemuan tunggal.
Gambaran Postmortem
Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus tersedak (chocking), yaitu :
Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-kadang ada tanda
kekerasan di mulut korban.
Menemukan tanda asfiksia.
Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada kematian lambat.
Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan abses.
Posisi Penggantungan
a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.
2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung,
misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi
telungkup dan posisi lain.
b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1.Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran
nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.
2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri
karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
16
Gambar 2.2 tipe penggantungan berdasarkan letak simpul
Jenis Penggantungan
Suicidal Hanging (gantung diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian,
pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain
terutamanya pembunuhan.
Accidental Hanging
Penggantungan yang tidak disengaja ini dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu,
yang terjadi sewaktu bermain atau bekerja dan sewaktu melampiaskan nafsu
seksual yang menyimpang (Auto-erotic Hanging). Kejadian penggantungan akibat
kecelakaan lebih banyak ditemukan pada anak-anak utamanya pada umur antara 6-
12 tahun. Tidak ditemukan alsan untuk bunuh diri karena pada usia itu belum ada
tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya pengawan dari
orangtua.
Homicidial Hanging
Pembunuhan dengan metode mengantung korbannya relatif jarang dijumpai, cara
ini baru dapat dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang
kondisinya lemah, baik lemah oleh karena menderita penyakit, di bawah pengaruh
obat bius, alcohol atau korban yang sedang tidur. Pembunuhan dengan cara
penggantungan sulit untuk dilakukan oleh seorang pelaku.
17
Tanda Post Mortem
Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau
tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan
maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir
konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka
sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva
bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka.
Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda
kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan
gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus
karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem
yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan
didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).
Pemeriksaan Jenazah
a. Pemeriksaan Luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008), yaitu:
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak
bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti
kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir
jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih
gelap karena adanya lebam mayat.
18
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan.
Simpul terletak dibagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga
jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras
(seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut
dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak begitu jelas. Jejas
jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan
korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti
beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini
didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada
bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera
diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik
perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit,
tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada
tetesan urin, feses dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki
dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di
bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan.
Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.
19
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested,
demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di
permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer.
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang
lain jarang.
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line)
pada tunika intima dari arteri karotis interna.
Aspek Medikolegal
Tabel 1. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
1 Usia. Gantung diri lebih sering terjadi Tidak mengenal batas usia, karena tindakan
pada remaja dan orang dewasa. Anak- pembunuhan dilakukan oleh musuh atau lawan
anak di bawah usia 10 tahun atau orang dari korban dan tidak bergantung pada usia
dewasa di atas usia 50 tahun jarang
melakukan gantung diri
2 Tanda jejas jeratan, bentuknya miring, Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran tidak
berupa lingkaran terputus (non terputus, mendatar, dan letaknya di bagian
continuous) dan terletak pada bagian tengah leher, karena usaha pelaku pembunuhan
atas leher untuk membuat simpul tali
3 Simpul tali, biasanya hanya satu simpul Simpul tali biasanya lebih dari satu pada
yang letaknya pada bagian samping bagian depan leher dan simpul tali tersebut
leher terikat kuat
4 Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai riwayat
mempunyai riwayat untuk mencoba untuk bunuh diri
bunuh diri dengan cara lain
5 Cedera. Luka-luka pada tubuh korban Cedera berupa luka-luka pada tubuh korban
yang bisa menyebabkan kematian biasanya mengarah kepada pembunuhan
mendadak tidak ditemukan pada kasus
bunuh diri
6 Racun. Ditemukannya racun dalam Terdapatnya racun berupa asam opium
20
No Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan
lambung korban, misalnya arsen, hidrosianat atau kalium sianida tidak sesuai
sublimat korosif dan lain-lain tidak pada kasus pembunuhan, karena untuk hal ini
bertentangan dengan kasus gantung diri. perlu waktu dan kemauan dari korban itu
Rasa nyeri yang disebabkan racun sendiri. Dengan demikian maka kasus
tersebut mungkin mendorong korban penggantungan tersebut adalah karena bunuh
untuk melakukan gantung diri diri
7 Tangan tidak dalam keadaan terikat, Tangan yang dalam keadaan terikat
karena sulit untuk gantung diri dalam mengarahkan dugaan pada kasus pembunuhan
keadaan tangan terikat
8 Kemudahan. Pada kasus bunuhdiri, Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan
mayat biasanya ditemukan tergantung tergantung pada tempat yang sulit dicapai oleh
pada tempat yang mudah dicapai oleh korban dan alat yang digunakan untuk
korban atau di sekitarnya ditemukan alat mencapai tempat tersebut tidak ditemukan
yang digunakan untuk mencapai tempat
tersebut
9 Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada ruangan
berlangsung di dalam kamar, dimana ditemukan terkunci dari luar, maka
pintu, jendela ditemukan dalam keadaan penggantungan adalah kasus pembunuhan
tertutup dan terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh diri
10 Tanda-tanda perlawanan, tidak Tanda-tanda perlawanan hampir selalu ada
ditemukan pada kasus gantung diri kecuali jika korban sedang tidur, tidak sadar
atau masih anak-anak.
21
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
lingkaran terputus (non-continuous) dan lingkaran utuh (continuous), agak sirkuler dan
letaknya pada leher bagian atas letaknya pada bagian leher tidak begitu tinggi
3 Simpul tali biasanya tunggal, terdapat Simpul tali biasanya lebih dari satu, diikatkan
pada sisi leher dengan kuat dan diletakkan pada bagian depan
leher
4 Ekimosis tampak jelas pada salah satu Ekimosis pada salah satu sisi jejas penjeratan
sisi dari jejas penjeratan. Lebam mayat tidak ada atau tidak jelas. Lebam mayat
tampak di atas jejas jerat dan pada terdapat pada bagian tubuh yang menggantung
tungkai bawah sesuai dengan posisi mayat setelah meninggal
5 Pada kulit di tempat jejas penjeratan Tanda parchmentisasi tidak ada atau tidak
teraba seperti perabaan kertas begitu jelas
perkamen, yaitu tanda parchmentisasi
6 Sianosis pada wajah, bibir, telinga, dan Sianosis pada bagian wajah, bibir, telinga dan
lain-lain sangat jelas terlihat terutama lain-lain tergantung dari penyebab kematian
jika kematian karena asfiksia
7 Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata tidak
mengalami kongesti dan agak menonjol, terdapat, kecuali jika penyebab kematian
disertai dengan gambaran pembuluh adalah pencekikan (strangulasi) atau sufokasi
dara vena yang jelas pada bagian kening
dan dahi
8 Lidah bisa terjulur atau tidak sama Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus
sekali kematian akibat pencekikan
9 Penis. Ereksi penis disertai dengan Penis. Ereksi penis dan cairan sperma tidak
keluarnya cairan sperma sering terjadi ada. Pengeluaran feses juga tidak ada
pada korban pria. Demikian juga sering
ditemukan keluarnya feses
10 Air liur. Ditemukan menetes dari sudut Air liur tidak ditemukan yang menetes pad
mulut, dengan arah yang vertikal kasus selain kasus penggantungan.
menuju dada. Hal ini merupakan
pertanda pasti penggantungan ante-
22
No Penggantungan antemortem Penggantungan postmortem
mortem
b. Penjeratan (STRANGULATION)
Penjeratan atau strangulation adalah terhalangnya uadra masuk ke saluran
pernafasan akibat adanya tenaga dari luar. Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu
strangulasi berupa tekanan pada leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat
karena kekuatan lain bukan karena berat badan korban tetapi karean tali, ikat pinggang,
rantai, kawat, kabel, koas kaki dan sebagainya.
Terdapat beberapa tipe:
1. Penjeratan dengan tali
2. Dicekik (manual strangulation)
3. Ditekan leher dengan bahan selain tali (misalnya potongan kayu, lengan)
4. Mugging, leher ditekan dengan lutut atau siku
Klasifikasi Strangulasi
Strangulasi dapat dibagi menjadi:
1. Ligature Strangulation
Disebut demikian ketika bahan seperti tali/ bersifat mengikat digunakan untuk
menekan/mengonstruksikan leher dimana gaya tersebut lebih besar/lebih berat dari
berat badan korban.
2. Strangulasi Manual
Strangulasi dilakukan dengan tangan kosong untuk menekan leher, disebut juga
throtting (pencekikan).
Oklusi jalan nafas hanya bersifat minor dalam penyebab kematian. Penekanan sinus
carotis mengakibatkan inhibisi vagal yang berujung pada kondisi cardiac arrest
sering menjadi penyebab utama kematian.
23
3. Mugging/ Arm-Locks
Strangulasi yang disebabkan oleh mekanisme dimana leher korban dijepit/ditekan
pada siku ataupun lutut dari pelaku. Biasanya pelaku melakukannya dari belakang
dan terkadang dapt tidak meninggalkan bekas. Kematian terjadi akibat inhibisi vagal.
4. Bansdola
Strangulasi dilakukan dengan menggunakan bamboo/tongkat yang ditempatkan
didepan dan dibelakang leher yang kedua ujungnya diikat dengan tali dan ditarik
sampai korban tewas. Lebam dapat terlihat jelas ditengah di trakea.
5. Garroting
Tindakan ini dahulu dilakukan di India, Spanyol, Turki, Portugal dan dilakukan
dengan alasan yang berbeda-beda.
6. Strangulasi Palmar
Strangulasi palmar adlah gabungan dari pembekapan dan strangulasi boasa yang
dilakukan bersamaan. Strangulasi palmar dilakukan dengan kedua tangan kanan
pelaku ditekan horizontal pada mulut korban dibantu tangan kiri yang menekan
vertical sehingga telapak tangan kiri menekan leher korban dibagian depannya.
Gambaran Postmortem
Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus
penggantungan (hanging) kecuali pada :
Distribusi lebam mayat yang berbeda.
Alur jeratan mendatar / horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah.
Pemeriksaan luar
1. Sianosis pada bibir, ujung jari dan kuku
2. Lebam mayat merah keburuan lebih gelap dan terbentuk lebih cepat dan lebih luas
3. Busa berdarah dan lendir keluar pada hidung dan mulut
4. Pelebaran pembuluh darah darah konjungtiva bulbi dan mulut
5. Lidah bengkak, berwarna gelap, bisa terjulur keluar dari mulut, dan tergigi oleh gigi.
6. Bintik-bintik perdarahan (Tardieus spot) pada konjungtiva bulbi dan palpebra lebih
jelas dibandingkan hanging.
7. Tanda-tanda kekerasan dan tanda-tanda perlawanan. Pada kasus jerat dan gantung
dapat ditemui luka lecet sekitar jejas jerat, berupa kulit mencekung warna coklat kaku
dengan gambran sesuai dengan pola permukaan tali. Pada kasus pembekapan dapt
ditemukan luka lecet (goresan kuku, jenis tekan/geser) atau memar pada ujung
hidung, bibir, pipi, dagu. Pada kasus penyumbatan akan ditemukan benda asing atau
tanda kekerasan akibat benda asing.
8. Untuk kasus jerat biasanya mendatar, melingkari leher, setinggi/dibawah tulang
rawan tiroid. Pada kasus gantung yang tipikal akan timbul hambatan total arteri
sehingga muka pucat dan sianosis pada mata. Tidak terdapat petekie pada kulit
konjungtiva sedangkan pada atypical akanter jadi hambatan jalan nafas dan aliran
25
vena sehingga terjadi bendungan di sebelah atas katan pada kulit konjungtiva masih
terdapat petekie.
9. Pada tepi jerat akan terdapat sedikit perdarahan. Adnaya bula dan vesikel disekitar
juga merupakan petunjuk bahwa kekerasan terjadi intravital. Jejas gantung biasanya
lebih tinggi di banding jejas pada kasus jerat. Lebam mayat pada gantung terdapat
pada lengan bawah dan tungkai bawah.
Pemeriksaan dalam
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer. Pada laring, trakea, dan cabang bronkus
dapat dijumpai buih dan darah. Mukosa berwarna merah disebabkan karena kongesti.
2. Kemerahan pada jaringan subkutan dan otot dari leher, terutama dibawah bekas
jeratan. Bisa terdapat kemerahan dan bekas luka pada arteri karotis.
3. Fraktur pada kartilago thyroid saru atau lebih pada superior horn.
4. Fraktur kartilago cricoids jarang terjadi.
5. Terdapat fraktur pada trakea.
26
6. Terdapat kemerahan pada pangkal lidah dan dasar mulut.
7. Membrane mucus dari faring, sunus pyriform, epiglottis dan laring biasanya
menunjukkan infiltrasi perdarahan.
8. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh, sehingga organ dalam
tubuh menjadi lebih gelap dan lebih berat.
9. Petekie (Tardieus spot) pada mukosa organ dalam yaitu perikordium, pleura viseralis
paru terutama pada aorta lobus dan busur, kelenjar tiroid, kelenjar timus, pielum
ginajl. Paru-paru akan membesar (ballon like appearance) sehingga terlihat jelas
bekas-bekas iga-iga pada paru-paru, jika ditekan akan membekas dan bila dipotong
akan keluar darh dan buih. Kadang-kadang paru tidak memebesar karena adhesi dari
pleura.
10. Edema paru dengan beberapa subpleural petekie.
Pemeriksaan Dalam:
Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu:
1. Perdarahan atau resapan darah.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid, kelenjar
ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring.
2. Fraktur.
Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada kartilago
tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
3. Memar atau robekan membran hipotiroidea.
4. Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.
28
(Gamabr 2.6 Luksasi artikulasio krikotiroidea)
Proses tenggelam
Pada kasus korban berada di dalam air, proses tenggelam dimulai pada waktu
korban masuk ke air karena panik atau kelelahan, maka sebagian air masuk ke mulut dan
saluran pernapasan. Hal ini menimbulkan reflek batuk yang mengakibatkan korban perlu
menghirup udara lagi dengan berusaha menggapai ke permukaan namun, akibatnya lebih
banyak lagi air yang masuk menggantikan udara dan hal ini terjadi berulang kali hingga
korban tenggelam.
29
Setelah terjadi pembusukan, beberapa hari kemudian korban terapung kembali
karena gas pembusukan yang berkumpul ke dalam rongga perut dan dada, maka korban
akan muncul ke permukaan, kecuali korban tersangkut ke dalam air atau dimakan
binatang. Bila gas pembusukan ini akhirnya keluar dari tubuh, maka korban kembali
tenggelam. Hal ini perlu diperhatikan dalam pencarian korban tenggelam.
Beberapa tipe tenggelam :
a. Wet drowning
Pada keadaan ini cairan masuk ke dalam saluran pernafasan setelah korban
tenggelam. Kematian terjadi setelah korban menghirup air. Jumlah air yang dapat
mematikan, jika dihirup paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa dan 30-40
ml untuk bayi.
b. Dry drowning
Mati tenggelam tanpa ada air di saluran pernafasan. Hal ini dapt dikarenakan
spasme laring atau inhibisi vagal yang mengakibatkan jantung berhenti berdenyut
sebelum korban tenggelam. Keadaan ini dikenal dengan Drowning type I.
c. Secondary drowning
Korban meninggal sesudah dirawat akibat komplikasi dari tenggelam. Terjadi
gejala beberatapa hari setelah korban tenggelam dan di angkat dari dalam air seperti
infeksi atau oedem.
d. Immersion syndrome
Korban tiba-tiba meninggal setelah tenggelam dalam air dingin akibat refleks
vagal yang menyebabkan cardiac arrest. Keadaan tersebut hanya dapat dijelaskan oleh
karena terjadinya fibrilasi ventrikel dan dapat dibuktikan bahwa pada orang yang masuk
ke air dingin atau tersiram air yang dingin, dapat mengalami ventricular ectopic beat.
Alkohol dan makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
30
Akibat pengenceran darah yang terjadi, tubuh mencoba mengatasi keadaan
dengan melepaskan ion kalium dari serabut otot jantung hingga kadar ion kalium dan
plasma meningkat, terjadi perubahan keseimbangan ion K+ dan Ca++ dalam serabut otot
jantung dapat mendorong terjadinya fibrilasi ventrikel dan penurunan tekanan darah,
yang kemudian menyebabkan timbulnya kematian akibat anoksia otak. Kematian dapat
terjadi dalam waktu 5 menit.
31
3) Washer woman hand/skin, Kulit telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan
berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya membutuhkan
waktu lama (sebagai gambaran sepert tangan / kulitnya orang setelah mencuci).
4) Cadaveric spasm, yakni akibat usaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja
benda-benda disekitarnya, seperti rumput atau benda lain dalam air. (sebagai
gambaran : tangan korban menggenggam erat hingga sulit dibuka dan biasanya
terdapat benda air, misalnya rumput/lumut dalam genggamannya).
Aspek medikolegal
Secara medikolegal kematian karena tenggelam umumnya karena kecelakaan
apalagi di musim hujan dan banjir. Bunuh diri dengan tenggelam merupakan hal yang
sering terjadi dan biasanya korban memilih tempat yang tinggi untuk meloncat dan pada
tempat yang sering dilewati. Penting sekali menentukan apakah korban mati karena
tenggelam atau sesudah mati baru ditenggelamkan. Pemeriksaan menjadi sulit bila
korban telah mengalami pembusukan. Perlu diperhatikan bahwa korban yang diangkat
dari air akan mengalami pembusukan yang lebih cepat dari biasa oleh karena itu,
penundaan pemeriksaan akan mempersulit untuk mendapatkan hasil.
33
BAB III
KESIMPULAN
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran
udara pernapasan, megakibatkan oksigen dalam darah berkurang disertai dengan peningkatan
karbondioksida sehingga, organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadinya
kematian sebagai hasil dari anoxia jaringan.
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi apabila udara pernapasan terhalang
memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya
pembekapan, penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri dan tenggelam (drowning).
Pada orang yang mengalami asfiksia, akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase yaitu
fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul sampai
terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase dispneu dan
fase kovulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalangan
oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan
lebih jelas.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari
dan kuku. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan
tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak
pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi
dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah
berwarna lebih gelap dan encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi
pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie
dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian
dalam, serta mukosa epiglotis, edema paru terutama yang berhubungan dengan hipoksia,
adanya fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring terutama yang
berhubungan dengan kekerasan.
34
DAFTAR PUSTAKA
Amri, A., 2016. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik, Medan: Rineka Cipta ,hal: 126
Robi, M., Siwu,F,J., Kristanto, E., 2016. Gambaran kasus asfiksia mekanik di Bagian Forensik
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou periode tahun 2010 -2015. (Jurnal Ilmu Forensik) diakses 2
Juni 2017: https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/14348/13919
Belviso, M. 2003. Positional asphyxia reflection on 2 cases. Journal. The American journal of
forensic medicine and pathology. Department of internal medicine and public medicine
section of legal medicine and forensic pathology and criminalistic technique university of
Bari. Italy.
35
36
37
38
39
40