You are on page 1of 20

HIPERTENSI

I. Pendahuluan

Pengertian

Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu gangguan pada pembuluh

darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut

sebagai pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan

tanpa disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya.

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah meningkat melebihi batas

normal. Batas tekanan darah normal bervariasi sesuai dengan usia. Dimana tekanan

diastolik lebih dari 90 mmHg dan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg.

Berbagai faktor dapat memicu terjadinya hipertensi, walaupun sebagian besar (90%)

penyebab hipertensi tidak diketahui (hipertensi essential). Penyebab tekanan darah

meningkat adalah peningkatan kecepatan denyut jantung, peningkatan resistensi

(tahanan) dari pembuluh darah dari tepi dan peningkatan volume aliran darah.

Penyakit hipertensi merupakan penyakit kelainan jantung yang ditandai oleh

meningkatnya tekanan darah dalam tubuh. Seseorang yang terjangkit penyakit ini

biasanya berpotensi mengalami penyakit-penyakit lain seperti stroke, dan penyakit

jantung.

Dari definisi-definisi diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa hipertensi

adalah suatu keadaan di mana tekanan darah menjadi naik karena gangguan pada

pembuluh darah yang mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh

darah terhambat sampai ke jaringan tubuh yang membutuhkannya.


Epidemiologi

Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala

yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti stroke untuk otak, penyakit jantung

koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah

menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di indonesia maupun di

beberapa negara yang ada di dunia. Semakin meningkatnya populasi usia lanjut maka

jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah.

Diperkirakan sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang,

tahun 2025 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15

milyar kasus di tahun 2025. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi

saat ini dan pertambahan penduduk saat ini. Angka angka prevalensi hipertensi di

Indonesia telah banyak dikumpulkan dan menunjukkan di daerah pedesaan masih

banyak penderita yang belum terjangkau oleh pelayanan kesehatan. Baik dari segi

case finding maupun penatalaksanaan pengobatannya. Jangkauan masih sangat

terbatas dan sebagian besar penderita hipertensi tidak mempunyai keluhan. Prevalensi

terbanyak berkisar antara 6 smpai dengan 15%, tetapi angka prevalensi yang rendah

terdapat Ungaran, Jawa Tengah sebesar 1,8% dan Lembah Balim Pegunungan Jaya

Wijaya, Irian Jaya sebesar 0,6% sedangkan angka prevalensi tertinggi di Talang

Sumatera Barat 17,8%.

Klasifikasi

Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pengukuran rata rata dua kalai

atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Beberapa klasifikasi

hipertensi :
a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7

Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program

merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm sukarelawan, dan

agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) pada

tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat (Sani, 2008).

Tabel 1
Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on Prevention, Detection,
Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)

Kategori Kategori Tekanan dan/ Tekanan


Tekanan Darah Tekanan Darah Darah Sistol atau Darah Diastol
menurut JNC 7 menurut JNC 6 (mmHg) (mmHg)
Normal Optimal < 120 dan < 80
Pra-Hipertensi 120-139 atau 80-89
- Nornal < 130 dan < 85
- Normal-Tinggi 130-139 atau 85-89
Hipertensi: Hipertensi:
Tahap 1 Tahap 1 140-159 atau 90-99
Tahap 2 - 160 atau 100
- Tahap 2 160-179 atau 100-109
Tahap 3 180 atau 110

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang sebelumnya

dipertimbangkan normal ternyata menyebabkan peningkatan resiko komplikasi

kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan klasifikasi baru yang disebut pra

hipertensi.

b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)

WHO dan International Society of Hypertension Working Group (ISHWG)

telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal, normal-

tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat.


Tabel 2
Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistol (mmHg) Diatol (mmHg)
Optimal
Normal < 120 < 80
Normal-Tinggi < 130 < 85
130-139 85-89
Tingkat 1 (Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) 180 110
Hipertensi sistol terisolasi 140 < 90
(Isolated systolic
hypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149 <90

c. Klasifikasi Hipertensi Menurut Bentuknya :

Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat

sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik berkaitan

dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung berkontraksi (denyut

jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam arteri pada suatu saat dan

tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang

nilainya lebih besar.

Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil

menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap

aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya.

Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam arteri bila jantung

berada dalam keadaan relaksasi diantara dua denyutan.

d. Klasifikasi Hipertensi Menurut Sebabnya Dibagi Menjadi Dua, yaitu sekunder dan

primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab spesifiknya dapat

diketahui.
e. Klasifikasi Hipertensi Menurut Gejala Dibedakan Menjadi :

Hipertensi Benigna adalah keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan

gejala-gejala, biasanya ditemukan pada saat penderita dicek up.

Hipertensi Maligna adalah keadaan hipertensi yang membahayakan

biasanya disertai dengan keadaan kegawatan yang merupakan akibat

komplikasi organ-organ seperti otak, jantung dan ginjal.

Faktor Resiko

Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah

mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik.

Faktor Resiko Mayor

Hipertensi

Merokok

Obesitas

Immobilitas

Dislipidemia

Diabetes mellitus

Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR<60 ml/min

Umur (>55 tahun untuk laki-laki, >65 tahun untuk perempuan)

Riwayat keluarga untuk penyakit kardiovaskular prematur (laki-laki < 55

tahun atau perempuan < 65 tahun)

Kerusakan Organ Target

Jantung : Left ventricular hypertrophy

Angina atau sudah pernah infark miokard

Sudah pernah revaskularisasi koroner

Gagal jantung
Otak : Stroke atau TIA

Penyakit ginjal kronis

Penyakit arteri perifer

Retinopathy

II. Patofisiologi
Renin

Angiotensin I
Angiotensin I Converting Enzyme
(ACE)
Angiotensin II

Stimulasi sekresi aldosteron


dari korteks adrenal

Sekresi hormone ADH rasa


haus Ekskresi NaCl (garam) dengan
mereabsorpsinya di tubulus ginjal
III.

Urin sedikit pekat & osmolaritas

Konsentrasi NaCl
Mengentalkan di pembuluh darah

Menarik cairan intraseluler ekstraseluler


Diencerkan dengan volume
ekstraseluler

Volume darah

Volume darah

Tekanan darah

Tekanan darah

Gambar 1. Patofisiologi Hipertensi


Etiologi

Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti.

Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini

disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder

disebabkan oleh faktor primer yang diketahui seperti kerusakan ginjal, gangguan obat

tertentu, stress akut, kerusakan vaskuler dan lain lain. Adapun penyebab paling

umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko

relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor resiko yang dapat

dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi.

Gejala Klinis

Sakit kepala

Kelelahan

Mual

Muntah

Sesak nafas

Gelisah

Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,

mata, jantung dan ginjal.

Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat.

Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerulus.

Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler


Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri

dan mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya

organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar.

Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke,

transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal

ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor

resiko kardiovaskular lain (tabel 3), maka akan meningkatkan mortalitas dan

morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi

Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang

bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung.

Diagnosis

Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit

dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur

diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar,

pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg)

dibagi dengan tinggi badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan

bruit arteri femoralis; palpasi pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan

paru-paru; pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra

abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal; palpasi ektremitas bawah untuk melihat

adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis. Pasien dengan hipertensi

esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah

meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih dalam waktu

dua kali kontrol ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini

digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatnya.


III. Sasaran Terapi
Untuk menurunkan tekanan darah yang melebihi batas normal serta

meminimalkan terjadinya komplikasi yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi ini

pada penderita.

IV. Tujuan Terapi


Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah :

Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.

Mortalitas dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target

(misal: kejadian kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan

penyakit ginjal). Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi,

dan pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang

menunjukkan pengurangan resiko.

Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII

Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg

Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg

Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg

V. Strategi Terapi
Strategi terapi dapat dilakukan dengan : Terapi Farmakologi dan Terapi Non

Farmakologi.

Terapi Farmakologi

Ada 9 kelas obat antihipertensi : Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim

konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis


kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau

dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi

karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas

obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana

perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan

klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik,

dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu

disamping obat utama.

1. Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah dengan menyebabkan diuresis.

Pengurangan volume plasma dan Stroke Volume (SV) berhubungan dengan

dieresis dalam penurunan curah jantung (Cardiac Output, CO) dan tekanan darah

pada akhirnya. Penurunan curah jantung yang utama menyebabkan resitensi

perifer. Pada terapi diuretik pada hipertensi kronik volume cairan ekstraseluler

dan volume plasma hampir kembali kondisi pretreatment.

a. Thiazide

Thiazide adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi, golongan

lainnya efektif juga untuk menurunkan tekanan darah. Penderita dengan fungsi

ginjal yang kurang baik Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) diatas 30 mL/menit,

thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan

tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan

terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk mengatasi efek

dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal ini akan mempengaruhi

tekanan darah arteri. Thiazide menurunkan tekanan darah dengan cara


memobilisasi natrium dan air dari dinding arteriolar yang berperan dalam

penurunan resistensi vascular perifer.

b. Diuretik Hemat Kalium

Diuretik Hemat Kalium adalah anti hipertensi yang lemah jika digunakan

tunggal. Efek hipotensi akan terjadi apabila diuretik dikombinasikan dengan

diuretik hemat kalium thiazide atau jerat Henle. Diuretik hemat kalium dapat

mengatasi kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan oleh diuretik

lainnya.

c. Antagonis Aldosteron

Antagonis Aldosteron merupakan diuretik hemat kalium juga tetapi lebih

berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset aksi yang lama (hingga 6

minggu dengan spironolakton).

2. Beta Blocker

Mekanisme hipotensi beta bloker tidak diketahui tetapi dapat melibatkan

menurunnya curah jantung melalui kronotropik negatif dan efek inotropik jantung

dan inhibisi pelepasan renin dan ginjal.

a. Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada

dosis rendah dan mengikat baik reseptor 1 daripada reseptor 2. Hasilnya

agen tersebut kurang merangsang bronkhospasmus dan vasokontruksi serta

lebih aman dari non selektif bloker pada penderita asma, penyakit obstruksi

pulmonari kronis (COPD), diabetes dan penyakit arterial perifer.

Kardioselektivitas merupakan fenomena dosis ketergantungan dan efek akan

hilang jika dosis tinggi.

b. Acebutolol, carteolol, penbutolol, dan pindolol memiliki aktivitas intrinsik

simpatomimetik (ISA) atau sebagian aktivitas agonis reseptor .


3. Inhibitor Enzim Pengubah Angiotensin (ACE-inhibitor)

ACE membantu produksi angiotensin II (berperan penting dalam regulasi

tekanan darah arteri). ACE didistribusikan pada beberapa jaringan dan ada pada

beberapa tipe sel yang berbeda tetapi pada prinsipnya merupakan sel endothelial.

Kemudian, tempat utama produksi angiotensin II adalah pembuluh darah bukan

ginjal. Pada kenyataannya, inhibitor ACE menurunkan tekanan darah pada

penderita dengan aktivitas renin plasma normal, bradikinin, dan produksi jaringan

ACE yang penting dalam hipertensi.

4. Penghambat Reseptor Angiotensin II (ARB)

Angiotensin II digenerasikan oleh jalur renin-angiotensin (termasuk ACE) dan

jalur alternatif yang digunakan untuk enzim lain seperti chymases. Inhibitor ACE

hanya menutup jalur renin-angiotensin, ARB menahan langsung reseptor

angiotensin tipe I, reseptor yang memperentarai efek angiotensin II. Tidak seperti

inhibitor ACE, ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin.

5. Antagonis Kalsium

CCB menyebabkan relaksasi jantung dan otot polos dengan menghambat

saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan sehingga mengurangi masuknya

kalsium ekstra selluler ke dalam sel. Relaksasai otot polos vasjular menyebabkan

vasodilatasi dan berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal

kalsium dihidropiridini dapat menyebbakan aktibasi refleks simpatetik dan semua

golongan ini (kecuali amilodipin) memberikan efek inotropik negative.

Verapamil menurunkan denyut jantung, memperlambat konduksi nodus AV,

dan menghasilkan efek inotropik negative yang dapat memicu gagal jantung pada

penderita lemah jantung yang parah. Diltiazem menurunkan konduksi AV dan

denyut jantung dalam level yang lebih rendah daripada verapamil.


6. Alpha blocker

Prasozin, Terasozin dan Doxazosin merupakan penghambat reseptor 1 yang

menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan

efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor 2 sehingga

tidak menimbulkan efek takikardia.

7. VASO-dilator langsung

Hedralazine dan Minokxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos

arteriol. Aktivitasi refleks baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari

pusat fasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan

renin. Oleh karena itu efek hipotensi dari vasodilator langsung berkurang pada

penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik.

8. Inhibitor Simpatetik Postganglion

Guanethidin dan guanadrel mengosongkan norepinefrin dari terminal

simpatetik postganglionik dan inhibisi pelepasan norepinefrin terhadap respon

stimulasi saraf simpatetik. Hal ini mengurangi curah jantung dan resistensi

vaskular perifer .

9. Agen-agen obat yang beraksi secara sentral

Terapi Non Farmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk

mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam

penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus

melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan

tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII.

Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi,


modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke

hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi.

Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah

adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi

pola makan DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium

dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit

saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan

terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat

membebaskan pasien dari menggunakan obat.

Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan

berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai

pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke

pasien, dan dorongan moril.

Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti

rasionalitas intervensi diet

a. Hipertensi 2 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan berat

badan ideal

b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)

c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan tekanan

darah secara bermakna pada orang gemuk

d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari

hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2,

dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular.

e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan

tekanan darah pada individu dengan hipertensi.


f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan

pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium.

VI. Penyelesaian Kasus


Kasus

H.E. adalah seorang wanita 53 tahun dirawat di rumah sakit setelah sakit kepala

terburuk yang pernah dialami. Riwayat medisnya meliputi asma saat aktivitas, tidak

terkontrol hipertensi (HTN), dan hiperlipidemia. Dia nonadherent untuk obat, dan dia

tidak mengambil obat BP-nya, termasuk clonidine, selama 4 hari. Tanda-tanda vital

termasuk BP 220/100 mm Hg dan HR 65 kali / menit. Dia menerima diagnosis

kecelakaan serebrovaskular dan darurat hipertensi. Apa pilihan manajemen terbaik

untuk darurat hipertensi pasien ini ?

Metode SOAP

Subjektif

H.E. adalah seorang wanita 53 tahun dirawat di rumah sakit setelah sakit

kepala terburuk yang pernah dialami. Riwayat penyakit meliputi asma,

hipertensi (HTN) tidak terkontrol, dan hiperlipidemia.

Objektif

Dia tidak patuh obat , dan dia tidak mengambil obat BP-nya, termasuk

clonidine, selama 4 hari. Tanda-tanda vital termasuk BP 220/100 mmHg dan

HR 65 kali / menit.

Assasment

Pasien menderita penyakit hipertensi berat, disertai kerusakan serebrovaskular.


Plan

Terapi Farmakologi

Diuretik, Mekanisme kerja: menghambat absorbsi garam dan air

sehingga volume darah dapat menurun akibatnya tekanan darah ikut

turun. gol.thiazid (HCT dan indapamid), gol.diuretik (furosemid,

torasemid, asam etakrinat dan bumetamid), gol.diuretik (triamteren,

amilorid, dan spironolakton

Alfa blockers, Mekanisme kerja: memblok reseptor alfa adrenergik

yang ada pada oto polos pembuluh. Gol.Alfa blockers nonselektif

(fentolamin) , gol.Alfa 1 blockers selektif (prazosin, terazosin )

Beta blockers, Mekanisme kerja: menempati reseptor beta

adrenergik. Blokade reseptor ini menyebabkan penurunan aktifitas

adrenalin dan noradrenalin (atenolol, metoprolol, labetolol)

Agonis alfa 2 Mekanisme kerja: menstimulasi reseptor alfa 2 yang

berdaya vasodilatasi (klonidin)

Antagonis kalsiumMekanisme kerja : menghambat pemasukan ion

Ca ke dalam sel sehingga penyaluran impuls dan kontraksi dinding

pembuluh. (nifedipin, nikardipin, verapamil)

Penghambat RAS (Renin Angiotensin Sysem) Mekanisme kerja :

mencegah pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II yang

berdaya vasokonstriksi kuat. Selain itu menghambat pembentukan

aldosteron yang bersifat retensi garam dan air. (kaptopril, losartan,

benazepril)
Vasodilator

Mekanisme kerja : berkhasiat vasodilatasi langsung terhadap

pembuluh darah sehingga tekanan darah turun. (hidralazin dan

monoksidil)

Terapi Non Farmakologi

Memodifikasi gaya hidup seperti penurunan BB jika kelebihan BB

Diet makanan, mengkonsumsi makanan yang kaya dengan buah -

buahan, sayuran, produk makanan yang rendah lemak, dengan kadar

lemak total dan saturasi yang rendah.

Melakukan aktivitas fisik seperti aerobik

Tidak mengkonsumsi alkohol dan merokok

Asupan garam yang secukupnya

Evaluasi Obat Terpilih

Gol.CCB (Calcium channel blockers)

Nifedipin

In : Pengobatan dan pencegahan angina pektoris, pengobatan tambahan pada

hipertensi

ES: Sakit kepala, udem perifer, takikardia, mual.

DS: 5mg-10mg 3xsehari

Aspirin untuk menangani kerusakan serebro-vaskular yang dialami pasien.


Komunikasi Informasi dan Edukasi

Perbaikan gaya hidup, seperti diet rendah garam dan lemak, konsumsi sayur

dan buah, olahraga

Mengingatkan kepada pasien agar minum obat sesuai anjuran apoteker

Menginformasikan kepada pasien untuk nifedipine merupakan obat long

acting dan hanya diminum 1-2 kali saja per hari dengan atau setelah makan.

Melakukan monitoring kepatuhan pasien terhadap terapi obat yang diberikan

agar obat yang diberikan harus diminum sampai habis

Menginformasikan kemungkinan efek samping yang timbul seperti sakit

kepala,mual.

Mengingatkan kepada pasien untuk selalu rutin memeriksa tekanan darahnya

Jika terjadi terjadi efek samping dan jika dirasa sangat mengganggu dan parah

maka hentikan pemakaian obat dan segera ke rumah sakit atau dokter terdekat.

Hindari kondisi fisik yang kelelahan dan stress


DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit

Hipertensi 2006. Jakarta : DIREKTORAT BINA FARMASI KOMUNITAS DAN KLINIK

DITJEN BINA KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN. Depkes RI.


MAKALAH
PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI KARDIOVASKULER
HIPERTENSI

Oleh

NUR KHOLIDAH ZIA (17113312A)


KARMILA (17113313A)
AGUNG HIDAYATULLAH (17113314A)
GRESCIA OKTRIVIANA (17113315A)
BENEDIKTA EMA DULI (17113317A)
WILHELMINA DHIU (17113318A)

KELOMPOK F
FKK 3

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2014

You might also like