You are on page 1of 14

BAB 1

PENDAHULUAN
Uterus merupakan organ yang bertanggung jawab untuk banyak tahap penting
dalam proses reproduksi. Migrasi sperma, implantasi embrio, pemberian nutrisi fetal,
pertumbuhan dan perkembangan, dan akhirnya dalam proses persalinan dan
kelahiran; semua proses tersebut bergantung pada uterus yang normal secara
struktural dan kompeten secara fungsional. (Hassan et al, 2010)
Duktus Mullerian adalah bentuk primordial dari saluran reproduktif wanita.
Duktus ini berdiferensiasi membentuk tuba fallopi, uterus, serviks uteri, dan bagian
superior dari vagina. Berbagai malformasi dapat terjadi ketika perkembangan dari
struktur ini terganggu. (Mane et al, 2010)
Anomali uterin kongenital merupakan hasil dari abnormalitas dari formasi, fusi,
atau reabsorpsi dari duktus Mullerian selama masa fetal. Defek kongenital ini biasanya
terjadi antara 6 minggu dan 22 minggu in utero. Anomali ini terjadi pada 1 hingga 10%
dari populasi acak, 2 hingga 8% dari populasi wanita infertil, dan 5 hingga 30% dari
wanita dengan riwayat keguguran. (Caserta et al, 2014; Rezai et al, 2015)
Klasifikasi Buttram dan Gibbons (1979) digunakan oleh American Fertility
Society untuk membantu dalam diagnosis kelainan ini. Dalam klasifikasi ini, anomali
terbagi menjadi tujuh kelas: agenesis/hipoplasia, unicornuate, didelphys, bicornuate,
septate, arcuate, dan kelainan terkait DES. Keberadaan dari anomali uterin pada
maternal ini berhubungan dengan peningkatan resiko persalinan preterm, PPROM,
presentasi sungsang, sectio caesar, plasenta previa, abruptio plasenta dan retardasi
pertumbuhan intrauterin (IUGR). (Caserta et al, 2014)
BAB 2
Anatomi dan Embriologi Uterus

2.1 Anatomi
Uterus adalah organ yang berbentuk seperti buah pir dan terdiri dari dua bagian
utama yang tidak setara. Terdapat bagian segitiga (badan/corpus) dan bagian silindris
yang lebih inferior (serviks), yang terproyeksi ke vagina. Ismus adalah tempat
penyatuan dari serviks dan vagina. Pada batas superolateral kanan dan kiri corpus
terdapat kornu uteri, dimana terdapat saluran tuba fallopi. Di antara dua titik insersi
tuba fallopi terdapat segmen atas uteri berbentuk konveks yang dinamakan fundus.
(Cunningham et al, 2014; Kumar dan Malhotra, 2008)

Gambar 2.1 Anatomi uterus pada wanita dewasa


Sebagian besar dari badan uteri tersusun dari otot. Lapisan dalam dari dinding
anterior dan posterior hampir saling bersentuhan, dan rongga antara kedua dinding
hanya berbentuk garis. Uterus nulligravida berukuran panjang 6 hingga 8 cm,
sedangkan pada wanita multipara berukuran 9 hingga 10 cm. Uterus memiliki berat
rata-rata 60g dan biasanya memiliki bobot lebih pada wanita yang sudah melahirkan.
(Cunningham et al, 2014)
Gambar 2.2 Potongan uterus menunjukkan rongga yang hanya berbentuk garis

Uterus mengalami perubahan seiring dengan usia dan paritas. Pada masa
anak-anak serviks lebih panjang dari korpus uteri, dengan proporsi 2:1. Dimulai dari
masa pubertas, korpus uteri mengalami pertumbuhan lebih cepat dari serviks dan
serviks hanya sepertiga dari total panjang uterus matur. Kehamilan menstimulasi
pertumbuhan uterin yang cukup besar akibat dari hipertrofi serabut otot. Hipertrofi
uterus selama kehamilan akan mengalami involusi setelahnya, namun tidak
sepenuhnya kembali ke keadaan semula. Fundus uteri yang sebelumnya berbentuk
konveks pipih menjadi berbentuk kubah pada kehamilan. (Kumar dan Malhotra, 2008)
Gambar 2.3 Perubahan proporsi serviks dan korpus uteri berubah seiring
bertambahnya usia

2.2 Embriologi
Pada awalnya, baik pria maupun wanita memiliki dua pasang saluran genital,
yaitu duktus mesonefrik (Wolffian) dan duktus paramesonefrik (Mullerian). Duktus
paramesonefrik berasal dari invaginasi longitudinal dari epitel pada permukaan
anterolateral dari urogenital ridge. Bagian kranial dari duktus paramesonefrik ini
terbuka ke arah rongga abdomen dengan bentuk menyerupai corong. Pada bagian
kaudal, duktus ini berada lateral dari duktus mesonefrik, dan bersilangan pada bagian
medial. Pada bagian ujung kaudal, kedua duktus bersatu membentuk tuberkulum
sinus. (Cunningham et al, 2014; Sadler, 2015)
Gambar 2.4 Proses embriologi reproduksi wanita berasal dari duktus Mullerian

Dengan adanya estrogen dan tidak adanya testosteron dan hormon anti-
Mullerian, duktus paramesonefrik berkembang menjadi duktus genital utama wanita.
Dengan turunnya ovarium, bagian kraniovertikal dan bagian horizontal bergabung
membentuk tuba uterina, sedangkan bagian kaudal mengalami fusi membentuk kanalis
uteri. Fusi dari duktus paramesonefrik membentuk korpus dan serviks uterus dan juga
bagian atas dari vagina. (Saddler, 2015)

Gambar 2.5 Fusi dari duktus paramesonefrik membentuk korpus, serviks, dan vagina
bagian superior

Fusi duktus paramesonefrik dimulai pada 7-8 minggu (crown-rump length 22


cm) dan selesai membentuk uterus pada usia 12 minggu gestasi. Serviks dan kopus
uteri berdiferensiasi pada usia 10 minggu gestasi. Septum uteri menghilang selama
bulan ke 5 intrauterin. Epitelium pelapis dan kelenjar uterus dan serviks terbentuk dari
epitel kolomik. Myometrium dan stroma endometrial terbentuk dari mesoderm dari
duktus paramesonefrik. (Dutta, 2013)
BAB 3
Anomali Uterus Kongenital

3.1 Anomali Uterus Kongenital


Anomali uterus kongenital berasal dari kelainan formasi, fusi atau reabsorpsi
dari duktus Mullerian selama masa fetal. Anomali ini terjadi pada 1 hingga 10% dari
populasi acak, 2 hingga 8% dari populasi wanita infertil, dan 5 hingga 30% dari wanita
dengan riwayat keguguran. Keberadaan dari anomali uterin pada maternal ini
berhubungan dengan peningkatan resiko persalinan preterm, PPROM, presentasi
sungsang, sectio caesar, plasenta previa, abruptio plasenta dan retardasi pertumbuhan
intrauterin (IUGR). (Dutta, 2013; Caserta et al, 2014)
Terdapat empat deformitas pokok yang berasal dari gangguan perkembangan
embriologis duktus Mullerian: (1) agenesis kedua duktus, baik secara fokal atau
sepanjang duktus tersebut; (2) maturasi unilateral dari salah satu duktus Mullerian
dengan perkembangan inkomplit atau tidak ada perkembangan pada duktus di sisi
lainnya; (3) tidak adanya fusi midline dari duktus; atau (4) gangguan kanalisasi.
Klasifikasi yang digunakan oleh American Fertility Society untuk anomali ini berasal
dari Buttram dan Gibbons (1979). (Cunningham et al, 2014; Kumar dan Malhotra,
2008, Dutta, 2013)
Klasifikasi tersebut terbagi ke dalam tujuh kelas:
Kelas I: Agenesis/hipoplasia Mullerian - segmental
Kelas II: Unicornuate uterus
Kelas III: Didelphys uterus
Kelas IV: Bicornuate uterus
Kelas V: Septate uterus
Kelas VI: Arcuate uterus
Kelas VII: Abnormalitas terkait dietilstilbestrol (DES)
Gambar 3.1 Klasifikasi anomali duktus Mullerian Buttram dan Gibbons (1979)

Beberapa tipe anomali fusi duktus Mullerian:


Tipe arkuata (18% kasus): bagian kornual dari uterus tetap terpisah. Fundus uterin
tampak konkaf dengan kavitas berbentuk hati
Tipe Didelphys (8% kasus): Tidak terdapat fusi duktus Mullerian dengan uterus
ganda, serviks ganda, dan vagina ganda
Tipe Bicornis (26% kasus): Terdapat berbagai tingkat fusi dinding otot dari kedua
duktus
- Uterus bicornis bicollis: terdapat dua kavitas uterin dengan serviks ganda
dengan atau tanpa septum vaginal
- Uterus bicornis unicollis: terdapat dua kavitas uterin dengan satu serviks. Kornu
dapat sama besarnya atau salah satu kornu rudimenter dan tidak ada
komunikasi dengan kornu yang berkembang
Tipe Septate (35% kasus): Kedua duktus Mullerian terfusi namun terdapat persistensi
septum diantara keduanya baik secara parsial atau total
Tipe unicornuate (10%): Kegagalan perkembangan salah satu duktus Mullerian
Abnormalitas terkait paparan dietilstilbestrol (DES) selama masa intrauterin.
Malformasi pada uterin meliputi hipoplasia, kavitas berbentuk T, sinekia uterin. (Dutta,
2013)
Pada mayoritas kasus, keberadaan deformitas ini luput dari perhatian. Pada
beberapa kasus, keadaan ini secara tidak sengaja terdeteksi selama pemeriksaan
infertilitas atau keguguran berulang. Pada kasus lainnya, diagnosis dibuat selama
operasi D+E (dilatasi dan evakuasi), pelepasan plasenta secara manual atau selama
sectio caesar. Beberapa manifestasi klinis yang secara umum dapat terjadi pada
anomali ini dapat dibagi menjadi manifestasi ginekologis dan manifestasi obstetrik.
(Dutta, 2013)
Manifestasi ginekologis berupa:
Infertilitas dan dispareunia yang sering berhubungan dengan septum vaginal
Dismenorea yang dapat disebabkan oleh kriptomenorea (penumpukan darah
menstruasi pada kornu rudimenter)
Kelainan menstruasi lainnya (menorrhagia, kriptomenorea)
Manifestasi obstetrik berupa:
Aborsi midtrisemester yang mungkin rekuren
Kehamilan pada kornu rudimenter dapat terjadi akibat migrasi transperitoneal
dari sperma atau ovum ke sisi yang berlawanan. Kehamilan kornual (ektopik)
pada akhirnya akan menyebabkan ruptur pada sekitar minggu ke 16
Inkompetensi servikal
Peningkatan insiden malpresentasi
Persalinan preterm, IUGR, IUD (intra uterine death)
Prolonged labor karena aksi uterus yang tidak terkoordinasi
Obstruksi persalinan akibat kornu nongravida
Retensio plasenta dan perdarahan postpartum ketika plasenta terimplantasi
pada septum uterin
(Dutta, 2013)

3.1.1 Unicornuate uterus


Unicornuate uterus merupakan hasil dari abnormalitas atau kegagalan
perkembangan salah satu dari duktus Mullerian. Anomali ini terbagi lagi menjadi 4
varian berdasarkan American Fertility Society, yaitu unicornuate uterus dengan kornu
rudimenter komunikata, unicornuate uterus dengan kornu rudimenter non komunikata,
unicornuate uterus dengan kornu rudimenter non kavitas, unicornuate uterus terisolasi.
(Cunningham et al, 2014; Dutta, 2013; Khati et al, 2012)
Unicornuate uterus terisolasi adalah tipe yang paling umum dengan frekuensi
35% dari semua kasus. Pada subtipe dengan kornu rudimenter, tipe non kavitas
memiliki frekuensi 33% dari semua kasus, non komunikata sebanyak 22%, dan
komunikata 10%. Anomali traktus urinarius secara umum berhubungan dan lebih
sering terjadi pada unicornuate uterus dari anomali duktus Mullerian lainnya. (Khati et
al, 2012)

Gambar 3.2 Subklasifikasi unicornuate: A1a komunikata, A1b non komunikata, A2 non
kavitas, B terisolasi
3.1.2 Didelphys uterus
Anomali duktus Mullerian ini berasal dari tidak adanya fusi sehingga
menyebabkan dua hemiuteri dan serviks yang terpisah serta dua vagina. Didelphys
berasal dari bahasa Yunani di yang berarti dua dan delphus yang berarti uterus. Istilah
ini dulunya merujuk pada semua marsupial, karena kondisi ini umum pada mamalia di
bawah primata. (Cunningham et al, 2014; Dutta, 2013)
Didelphys uterus tetap merupakan anomali duktus Mullerian yang sangat
langka dibandingkan anomali lain dalam klasifikasi Buttram dan Gibbons. Kebanyakan
data mengenai signifikansi klinis dan hasil akhir dari anomali uterin ini berdasarkan
pada studi retrospektif, observasional, atau laporan kasus. (Rezai et al, 2015; Ozyuncu
et al, 2013)
Pada presentasinya, kebanyakan wanita dengan uterus didelphys adalah
asimtomatik, namun beberapa dapat menunjukkan gejala dispareunia atau dismenorea
dengan adanya septum vaginal yang tebal dan terkadang mengobstruksi. Septum
vaginal yang mengobstruksi ini dapat menyebabkan hematokolpos/hematometrokolpos
sehingga juga dapat menyebabkan gejala nyeri abdomen kronik. (Rezai et al, 2015)
Fertilitas dari wanita dengan uterus didelphys yang tidak ditangani terbukti lebih
baik dari abnormalitas duktus Mullerian lainnya namun masih lebih rendah daripada
wanita dengan anatomi uterin normal. Terdapat pula peningkatan resiko aborsi
spontan, retardasi pertumbuhan fetal, dan prematuritas dengan kemungkinan 45%
atau kurang untuk mencapai persalinan aterm dibandingkan uterus normal. (Rezai et
al, 2015; Dutta, 2013)

3.2 Diagnosis Anomali Duktus Mullerian


Pada mayoritas kasus, keberadaan deformitas ini luput dari perhatian.
Faktanya pada sejumlah kasus, diagnosis dibuat selama kuretase uterin, pelepasan
plasenta secara manual atau sectio caesar. Untuk diagnosis pasti dari malformasi,
arsitek internal dan eksternal dari uterus harus divisualisasikan. (Dutta, 2013)
Visualisasi arsitek internal dan eksternal dapat dicapai dengan melakukan
kombinasi pemeriksaan yang berbeda, seperti histerografi, histeroskopi, laparoskopi,
ultrasonografi, dan MRI. Ultrasonografi dan MRI merupakan prosedur non invasif.
Traktus urinarius juga dievaluasi secara bersamaan. Abnormalitas saluran ginjal terkait
abnormalitas Mullerian adalah sekitar 40%, anomali dari sistem skeletal dalam
kaitannya dengan anomali ini adalah sekitar 12%. (Dutta, 2013)

a b

c d
Gambar 3.3 Pemeriksaan yang digunakan dalam menentukan anomali uterin
kongenital. a histeroskopi uterus dengan septa, b ultrasonografi uterus dengan septa, c
histerografi unicornuate uterus, d histerografi bicornuate uterus

3.3 Penanganan Anomali Duktus Mullerian


Untuk penanganan anomali ini secara umum, hanya keberadaan malformasi
uterin saja bukan merupakan indikasi intervensi pembedahan. Pada kehamilan, kornu
rudimenter harus dieksisi untuk mereduksi resiko kehamilan ektopik (8%). Operasi
penyatuan diindikasikan pada kasus malformasi uterin. Abdominal metroplasti dapat
dilakukan baik dengan mengeksisi septum atau dengan menginsisi septum. Tingkat
keberhasilan abdominal metroplasti untu kehamilan hidup cukup tinggi (5-75%).
Histeroskopik metroplasti lebih umum dilakukan. Reseksi septum dapat dilakukan baik
dengan resektoskop atau dengan laser. Histeroskopik metroplasti memiliki beberapa
keuntungan, yaitu: 1) tingkat keberhasilan tinggi (80-89%); 2) masa rawat inap yang
pendek; 3) reduksi morbiditas postoperatif; dan 4) kemungkinan persalinan pervaginam
setelahnya lebih tinggi dibandingkan abdominal metroplasti, yang mengharuskan
persalinan dengan sectio caesar. (Dutta, 2013; Mane et al, 2010)
Hasil obstetrik yang lebih baik pada septate uterus (86%) dan bicornuate uterus
(50%) telah dijelaskan. Unicornuate uterus memiliki hasil kehamilan yang sangat buruk
(40%). Tidak ada penanganan yang umumnya efektif. Didelphys uterus memiliki
kemungkinan terbaik untuk keberhasilan kehamilan (64%). Operasi unifikasi pada
kasus ini umumnya tidak diperlukan. Penyebab lain dari infertilitas atau keguguran
berulang harus dieksklusi terlebih dahulu. (Dutta, 2013)
Daftar Pustaka

Caserta, D; Mallozzi, M; Meldolesi, C; Bianchi, P; Moscarini, M. 2014. Pregnancy in a


Unicornuate Uterus: a Case Report. Journal of Medical Case Reports. 8:130
Cunningham, F.G; Leveno, K.J; Bloom, S.L; Spong, C.Y; Dashe, J.S; Hoffman, B.L;
Casey, B.M; Sheffield, J.S. 2014. Williams Obstetrics 24th ed. New
York:McGraw-Hill Education.
Dutta, D.C. 2013. DC Duttas Textbook of Gynecology including Contraception 6 th ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers
Hassan, M.A.M; Lavery, S.A.; Trew, G.H. 2010. Congenital Uterine Anomalies and
Their Impact on Fertility. Womens Health. 6(3):443-461
Khati, N.J; Frazier, A.A; Brindle, K.A. 2012. Unicornuate Uterus and Its Variants. J
Ultrasound Med. 31:319-331
Kumar, P; Malhotra, N. 2008. Jeffcoates Principles of Gynaecology 7 th ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers
Mane, S.B.; Shastri, P; Dhende, N.P; Obaidah, A; Acharya, H; Reddy, S; Arlikar, J;
Goel, N. 2010. Our 10-year Experience of Variable Mullerian Anomalies and Its
Management. Pediatr Surg Int. 26:795-800
Ozyuncu, O; Turgal, M; Yazicioglu, A; Ozek, A. 2013. Spontaneous Twin Gestation in
Each Horn of Uterus Didelphys Complicated with Unilateral Preterm Labor.
Case Rep. Perinat. Med. 3(1):53-56
Rezai, S; Bisram, P; Alcantara, I.L; Upadhyay, R; Lara, C; Elmadjian, M. 2015.
Didelphys Uterus: a Case Report and Review of the Literature. Case Reports in
Obstetrics and Gynecology. Article ID 865821
Sadler, T.W. 2015. Langmans Medical Embryology 13th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer

You might also like