Professional Documents
Culture Documents
Dalam perlawanan tersebut, gerakan solidaritas menggunakan jargon Civil Society sebagai
dasar dan arah perjuangan melawan otoriterianisme negara. Maka pola perjuangan ini
melebar kebeberapa negara Eropa Timur (Chekoslovakia). Keberhasilan dari gerakan tersebut
menjadi pemicu ramainya perbincangan Civil Society diberbagai negara, termasuk
Indonesia.[1]
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa Civil Society berasal dari Eropa Barat, tumbuh dan
berkembang sejalan dengan kondisi sosio kulturalnya. Civil Society jika dipahami sepintas
merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi dan
menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini dapat berlaku ketika negara dan
pemerintah tidak bisa demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda
pemerintahannya. Sehingga masyarakat madani mampu mengadakan kontrol terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah, dan pada akhirnya cita-cita konsep hidup yang demokratis
dan menghargai hak-hak asasi manusia dapat tercapai.[2]
Pernyataan ini dikemukakan oleh Han Sung-Joo dari Korea Selatan, maka terdapat empat ciri
dan prasyarat terbentuknya Civil Society :
1. Diakui dan dilindunginya hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta mandiri
dari negara.
2. Adanya ruang publik yang memberikan kebebasan bagi siapapun dalam
mengaktualisasikan isu-isu politik.
3. Adanya gerakan-gerakan kemasyarakatan yang berdasarkan pada nilai-nilai budaya
tertentu.
4. Terdapat kelompok inti diantara kelompok pertengahan yang mengakar dalam
masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial
ekonomi.[5] Muhammad AS Hikam memberikan pengertian Civil Society adalah
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain :
kesukarelaan (Voluntary), keswasembadaan (Self Generating) dan keswadayaan (Self
Supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan tinggi
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya.[6]
1. Free Public Sphere, adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana
mengemukakan pendapat.
2. Demokratis, adalah satu entitas yang menjadi penegak wacana Civil Society, dimana
dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk
menjalankan aktivitas kesehariannya.
3. Toleran, adalah pengembangan dari Civil Society untuk menunjukkan aktivitas yang
dilakukan oleh orang lain.
4. Pluralisme, adalah pentalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban,
bahkan pluralisme merupakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and
balance).
5. Keadilan sosial, adalah untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang
proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara dalam segala aspek
kehidupan.[9]
Civil Society pada satu pihak berarti juga masyarakat madani, yang terinspirasi oleh
kehidupan Rasul Muhammad di kota Madinah.Untuk mendukung pernyataan ini, Azyumardi
Azra dengan mengikut sertakan pemikir cendekiawan dan pengamat politik muslim, tentang
kesesuian ajaran-ajaran Islam dengan masyarakat madani (Civil Society).
Pada intinya disepakati bahwa Islam mendorong penciptaan masyarakat madani. Nabi
Muhammad sendiri telah mencontohkan secara aktual perwujudan masyarakat madani itu,
ketika mendirikan dan memimpin negara Madinah. Fakta ini tidak hanya dalam piagam
(konstitusi) Madinah, namun juga pergantian nama dari Yastrib menjadi Madinah, yang tentu
saja merupakan salah satu Cognote istilah Madani.[10]
Demikian juga kesamaan arti antara Civil Society dengan masyarakat madani, yang di klaim
oleh kelompok Islam modernis di Indonesia.[11] Lebih lanjut dikatakan masyarakat madani
telah muncul sejak jaman Nabi Saw. dan diyakini mampu melenyapkan sekat-sekat
primordial yang pada waktu itu sangat tidak mungkin untuk dihilangkan. Masyarakat yang
dibentuk oleh Nabi merupakan manivestasi dari keinginan untuk menghargai perbedaan
kemanusiaan. Bahkan kelompok Al-Washliyah menganggap konsep masyarakat Madani
jauh lebih unggul dibanding dengan Civil Society yang sekuler karena konsep Barat.
Sementara masyarakat madani mengandung makna dan sifat spiritual.[12]
Pada konsep masyarakat madani yang merujuk negara kota Madinah tentu akan menkritisi,
bagaimana dasar-dasar konstitusi dan aplikasi dari tatanan negara kota Madinah tersebut.
Sebagai dasar alasan adalah Dustur al-Madinah (Madinah Charter). Juwairiyah Dahlan[13]
dalam meneliti isi Piagam Madinah telah menemukan kata ummah untuk menyebutkan
semua komponen masyarakat yang ada di kota Madinah dan sekitarnya. Oleh karena itu kata
ummah ini memiliki arti, suatu ikatan dalam komunitas keagamaan, namun terminologi
ummah dalam piagam ini mempunyai pengertian yang lebih luas lagi, mencakup seluruh
wilayah Madinah, mengintegrasikan warga Anshor, Muhajirin dan kaum Yahudi serta
kelompok-kelompok lain dalam satu ikatan persatuan dan perdamaian serta keselarasan
hidup. Dari sinilah tampak kesamaan hak dan kewajiban bagi semua komunitas masyarakat
Madinah dalam membangun dan mempertahankan ancaman dari luar. Pada pihak yang lain
negara memberikan kebebasan ruang publik sementara masyarakat mentaati tata aturan (Low
and Order) sehingga tercipta check and balance.
Pada kesempatan lain ada dua sandaran normatif, al-Quran[14] dan hadits Nabi (pidato Haji
Wada), yang secara jelas menunjukkan kesamaan derajat bagi semua manusia, kecuali
taqwa pada tatanan sebuah masyarakat negara seluruh komponen bangsa baik warga
negaranya maupun pejabatnya mempunyai kesamaan di muka hukum, mempunyai tugas dan
peran masing-masing sesuai dengan profesinya, tidak ada tekan-menekan antara satu dengan
yang lain saling mengisi antara kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak saling
mencurigai, mempunyai kesamaan tujuan yaitu adil dan makmur.
Paradigma dengan wacana masyarakat Madani ini dilatarbelakangi oleh konsep kota ilahi,
kota peradaban, atau masyarakat kota. Disisi lain pemaknaan masyarakat Madani yang
diperkenalkan oleh Prof. Naquib al-Attas, ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia,
secara difinitif berarti 2 komponen makna, yaitu masyarakat kota dan masyarakat yang
beradab. Dengan membandingkan karakteristik-karakteristik Civil Society pada tatanan
masyarakat modern dengan masyarakat yang dibangun dan dikomandani oleh Rasul di
Madinah, nota bene berdasarkan Islam, adalah mempunyai kesamaan roh atau jiwa
egalitarian serta mempunyai kesamaan tujuan yaitu kesejahteraan sosial. Untuk kasus
Indonesia, Civil Society cenderung dipegangi oleh muslim tradisional, sementara kelompok
modernis menggunakan istilah masyarakat madani.
Perkenalan istilah Civil Society di Indonesia di import oleh Arief Budiman dari Australia,
kemudian berkembang menjadi wacana di seminar-seminar nasional di tahun-tahun 80-an
dan 90-an. Kepolitikan Orde Baru oleh Abd Aziz Thaba diklasifikasikan dalam tiga kategori,
ketika dihadapkan dengan kebijakan Islam.
Pertama : hubungan yang bersifat antagonistik (1966-1981), kedua; hubungan yang bersifat
resiprokal-kritis (1982-1985) dan ketiga; hubungan yang bersifat akomodatif.[17]
Penilaian pemerintahan Orba oleh banyak intelektual dikatakan otoriter[18], untuk itu
diperlukan pemikiran-pemikiran kritis terhadap kecenderungan politik Orde Baru
Khususnya LSM-LSM. Kalangan intelektual ini, yang kerap disebut Muslim Transformis
melihat politik Orde Baru dari sudut pandang pemikiran kritis dan teori ketergantungan, dan
pada waktu yang sama mengagendakan pemberdayaan masyarakat untuk bisa terlibat dalam
proses-proses politik dan kenegaraan. Perkembangan gagasan Civil Society di kalangan
muslim berlangsung ketika orientasi baru gerakan Islam yang berpihak pada pemberdayaan
masyarakat tengah memperoleh tempat yang kuat. Karena itu mereka menerima gagasan
Civil Society sebagai bagian dari agenda perjuangan, untuk mengatasi masalah-masalah
sosial-politik yang dihadapi oleh muslim Indonesia.[19]
Sementara itu Azra menggambarkan, sejak paruh kedua dekade 1980-an terjadi perubahan-
perubahan politik periode ini oleh Thaba dikategorikan hubungan antara Islam dan negara
yang bersifat akomodatif yang signifikan, yakni sebagai pendorong proses demokratisasi
dan perkembangan masyarakat madani. Kalangan muslim yang sebelumnya berada pada
margin politik, mulai masuk ke tengah kekuasaan. Pada saat yang sama, proses
demokratisasi kelihatannya menemukan momentum baru, beberapa katup bagi ekspresi dan
eksperimen demokrasi yang selama ini tertutup, mulai terbuka.[20] Pada perjalanan
berikutnya, Pasca Mei 1998, bukti perubahan dari politik represi dan regimentasi yang
menandai era Suharto berakhir, digantikan dengan politik yang lebih bebas dan lebih
demokratis. Era politik asas tunggal Pancasila telah tamat, partai-partaipun bermunculan
dengan menggunakan asas lain termasuk asas agama.[21]
1. Gencarnya penggunaan istilah Civil Society oleh berbagai kalangan, baik intelektual,
aktivis LSM, maupun kalangan pemerintah
2. Banyak publikasi, baik buku, jurnal, majalah atau surat kabar.
3. Semakin terbukanya kebebasan menyampaikan pendapat, terutama sesudah runtuhnya
Orba.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh kelompok Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM) UIN Jakarta, potensi Civil Society di kalangan muslim perkotaan, ada tiga varian
kelompok yang memberikan respon terhadap Civil Society. Pertama, kelompok Tradisionalis
(NU), memberikan respon positif seperti yang dikatakan oleh KH. Hasyim Muzadi (Ketua
PBNU) jika Indonesia ingin menjadi modern, maka Ormas-ormas Islam harus menuju satu
titik, yaitu Civil Society.[23]
Kedua, respon dari Muhammadiyah, oke-oke saja karena Civil Society merupakan bagian dari
modernitas, sejalan dengan cita-cita Muhammadiyah. Ketiga, respon kalangan modernis
garis keras atau yang biasa disebut modernis formalis, mereka dengan tegas menolak
konsep Civil Society hanya karena bersumber dari Barat. Fuad Amsari (ICMI Surabaya)
berkomentar Konsep-konsep yang datang dari Barat harus diwaspadai. Pada umumnya
konsep-konsep ini bukan hanya tidak sejalan dengan Islam, tetapi juga cenderung merusak
sendi-sendi Islam. Konsep Gender, misalnya, . Dalam Islam, sebuah negara yang dipimpin
oleh perempuan, maka negara itu akan menuai kehancuran.
Keempat, respon dari M. Abdurrahman (Persatuan Islam) bahwa Civil Society yang dipahami
masyarakat, dengan tegas ia menyatakan bahwa persis secara organisatoris, sudah
merealisasikan konsep Civil Society (musyawarah) dalam pemilihan ketua umum dan
pengurusnya. [24]
Oleh peneliti disimpulkan bahwa pemahaman Civil-Society oleh kalangan muslim Indonesia
belumlah komprehensif dan menyeluruh sehingga perlu adanya intensitas-sosialisasi. Lebih
jauh dikatakan, secara umum mereka memahami Civil Society melalui bacaan mass media
dan seminar-seminar. Untuk itu informasi Civil Society yang mereka serap tidak lengkap,
bahkan tergolong terburu-buru dan terkesan sepotong-sepotong.[25]
Memperhatikan respons tokoh-tokoh masyarakat terhadap konsep Civil Society, tidak terlalu
berlebihan jika dikatakan bahwa organisasi-organisasi sosial keagamaan memiliki potensi
besar dalam pengembangan Civil Society di Indonesia. Hal ini karena tokoh-tokoh
masyarakat tersebut umumnya cukup akomodatif terhadap ide-ide yang terkandung dalam
konsep Civil Society.
Lain halnya, Azra memberikan komentar miring pasca lengsernya Suharto, mulai terbukanya
Kran Demokrasi, sehingga melahirkan banyak partai, tidak harus dan identik dengan
demokratisasi-lebih didorong oleh Euforia politik setelah tertindas selama lebih 30 tahun.
Hampir seluruh partai tidak menawarkan hakekat demokrasi dan pemulihan ekonomi, tapi
mereka terlibat dalam polemik dan kontra versi karena egoisme dan provinsialisme politik
para elite. Sikap merasa benar sendiri, kurang toleran, kurang menghormati visi dan, persepsi
politik pihak lain. Kenyataan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Civility (keadaban) yang
merupakan karakter utama masyarakat madani lebih lanjut Azra mengungkapkan sampai
dengan tahun 1999 peristiwa-peristiwa kerusuhan yang terjadi di Ambon, Sambas, Irian Jaya
dan Aceh merupakan bukti Viability dan ketidakpuasan politik penguasa sebelumnya. [26]
Dari kajian-kajian tersebut di atas tentang Civil Society masih sebatas wacana, secara
aplikatip masih harus menunggu waktu (entah kapan) dapat berpijak di bumi nusantara ini.
Memang satu pihak dalam internal ormas keagamaan sebagian karakter Civil Society ini
sudah teraplikasikan, misalnya musyawarah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Namun
ketika berhadapan dengan negara maka Civil Society masih menjadi renungan kita bersama.
Kesimpulan
Dari uraian makalah tersebut maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa Civil Society berasal dari Eropa Barat dan menyebar ke penjuru negara-negara
lain dengan respon sosial politik yang berbeda, namun mempunyai kesamaan tujuan
yaitu pemberdayaan masyarakat.
2. Pengertian Civil Society adalah sebuah ruang publik yang memberikan kebebasan
kepada individu, kelompok untuk berekspresi, menghormati pluralisme, terjalinnya
keseimbangan antara masyarakat dan negara, sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.
3. Hubungan Civil Society dengan Islam, bahwa tujuan keduanya adalah mencapai
keseimbangan dan kedamaian hidup bernegara (bermasyarakat). Hal ini diperlukan
saling pengertian antara negara dan masyarakat mengerti hak-hak dan kewajiban-
kewajiban masing-masing.
4. Prospek Civil Society di Indonesia, kemungkinan kecil terlaksana, jika usaha-usaha
perbaikan dalam segala lini kehidupan tidak ditata secara benar, sebab secara
mendasar Civil Society akan jalan, jika negara dalam keadaan baik.
Daftar Kepustakaan
Ahmad Baso, Islam, Civil Society dan Ideologi, Masyarakat Madani : Arkeologi Pemikiran
Civil Society dalam Wacana Islam Indonesia, Bandung, Pustaka Hidayah dan Lakpesdam
NU, 1999.
Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society Pandangan Muslim Indonesia.
TIM ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : ICCE
UIN, 2003.
Abdul Rozak, dkk, Pendidikan Kewargaan, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Jakarta : Prenada Media, 2004.
Dawam Raharjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial,
Jakarta : LSAF, 1999.
Oleh :
* http://blog.sunan-ampel.ac.id/nurrokhim/2011/01/08/artikel/
[1] Hendro Prasetyo, Ali Munhanif, dkk, Islam dan Civil Society, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2002), 1-2.
[2] Tim ICCE UIN, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta : ICCe
UIN, 2003), 256.
[4] Tim ICCE UIN, Pendidikan Kewargaan : Demokrasi HAM dan Masyarakat Modern
(Jakarta : IAIN Jakarta Press, cet. I, 2000), 138.
[6] Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1996), 3.
[10] Azyumardi Azra, Meunuju Masyarakat Madani, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000),
3.
[11] Hendro Prasetyo, Ali Munhanif dkk, Islam dan Civil Society, 23.
[14] Q.S. Al Hujarat (49) : 13 untuk mendalami ayat ini dapat dilihat; Louise Marlow,
Masyarakat Egaliter Visi Islam, ter. Nina Nurmila (Bandung : Mizan, 1999)
[15] Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani
Press, 1966), 185
[16] Untuk membicarakan Kebijakan Ekonomi & Politik Orde Baru, baca Ibid, hal 185 dan
seterusnya.
[17] Tentang uraian ketiga pembagian ini dapat dibaca pada ibid dari hal. 240 dst
[18] Penilaian Tentang Politik Otoritarianisme Orba ini diantaranya bisa dibaca dalam
Mochtar Masoed, Ekonomi dan Struktur Orde Baru (Jakarta : LP3ES, 1989)
[21] Ibid, vi