You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting bagi kehidupan
manusia dan penglihatan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan
kualitas hidup manusia. Tanpa mata, manusia mungkin tidak dapat melihat sama
sekali apa yang ada disekitarnya. Dalam penglihatan, mata mempunyai berbagai
macam kelainan refraksi. Kelainan refraksi atau yang sering disebut dengan
ametropia tersebut, terdiri dari miopia, hipermetropia, dan astigmatisme. Kelainan
refraksi merupakan gangguan yang banyak terjadi di dunia tanpa memandang jenis
kelamin, usia, maupun kelompok etnis.
Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang paling umum. Hal ini
terjadi apabila mata tidak mampu memfokuskan bayangan dengan jelas, sehingga
penglihatan menjadi kabur, dimana kadang-kadang keadaan ini sangat berat
sehingga menyebabkan kerusakan pada penglihatan.
Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai yaitu miopia,
hipermetropia, dan astigmatisme. Namun, yang akan dibahas dalam makalah ini
yaitu hanya Miopi dan Hipermetropi.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana cara mengetahui apa itu miopi (rabun jauh) dan hipermetropi?
2. Bagaimana tanda dan gejala orang yang mengalami gangguan mata miopi dan
hipermetropi?
3. Bagaimana mengetahui penyebab terjadinya miopi dan hipermetropi?
4. Apa yang harus dilakukan jika sudah terkena gangguan miopi dan
hipermetropi?
5. Bagaimana cara mengatasi dan mencegah agar tidak terkena miopi dan
hipermetropi?
6. Bagaimana Asuhan keperawatan miopi dan hipermetropi?

1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu miopi (rabun jauh) dan hipermetropi.
2. Mengetahui tanda dan gejala mata miopi dan hipermetropi.
3. Mengetahui penyebab mata miopi dan hipermetropi.
4. Mengetahui apa-apa yang harus dilakukan jika terjadi pada miopi dan
hipermetropi.
5. Mengetahui cara untuk mengatasi dan mencegahnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MIOPI
2.1.1 Pengertian

Miopi ( bahasa yunani: myopia) yang berarti penglihatan-dekat


atau rabun jauh adalah sebuah kerusakan refraktif mata di mana citra yang
dihasilkan berada di depan retina ketika akomodasi dalam keadaan santai. Miopi
dapat terjadi karena bola mata yang terlalu panjang atau karena kelengkungan
kornea yang terlalu besar sehingga cahaya yang masuk tidak difokuskan secara
baik dan objek jauh tampak buram. Penderita penyakit ini tidak dapat melihat
jarak jauh dan dapat ditolong dengan menggunakan kacamata negatif (cekung).
Bentuk Miopia.

2.1.2 Klasifikasi
1.Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
2.Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

3
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:
1. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.
2. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
3. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
4. Miopia sangat berat, diatas 10 dioptri.
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk :
1. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.
2. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
3. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasio retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa atau miopia
degeneratif.
Pembagian mipia berdasarkan kelainan jaringan mata:
a. Miopia Simpleks
Dimulai pada usia 7-9 tahun dan akan bertambah sampai anak berhenti
tumbuh + 20 tahun.
Berat kelainan refraktif biasanya kurang dari -5 D atau -6 D.
b. Miopia progresif
Miopia bertambah secara cepat (-4 Dioptri / tahun).
Sering disertai perubahan vitreo-retina.
Biasanya terjadi bila miopia lebih dari -6 D.
Menurut tipe (bentuknya) miopia dikenal beberapa bentuk :
1. Miopia Axial, miopia akibat diameter sumbu bola mata (diameter antero-
posterior) > panjang. Dalam hal ini, terjadinya myopia akibat panjang sumbu
bola mata (diameter Antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan
lensa normal, refraktif power normal dan tipe mata ini lebih besar dari
normal.
2. Miopia Kurvartura, diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan kornea &
kelengkungan lensa. Dalam hal ini terjadinya myopia diakibatkan oleh
perubahan dari kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada
lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih
cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata norma

4
3. Miopia Indeks Refraksi, bertambahnya indeks bias media penglihatan.
Perubahan indeks refraksi atau myopia refraktif, bertambahnya indeks bias
media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita Diabetes Melitus
sehingga pembiasan lebih kuat.
4. Perubahan posisi lensa, pergerakan lensa yang lebih ke anterior. setelah
operasi glaucoma berhubungan dengan terjadinya miopia. Pada miopia
degeneratif atau miopia maligna bila lebih dari 6 dioptri disertai kelainan
pada fundus okuli dan panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma
postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera
dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan
rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat
terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi
lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf
optik.

2.1.3 Etiologi

1.Genetika (Herediter)
Penelitian genetika menunjukkan bahwa miopia ringan dan sedang
biasanya bersifat poligenik, sedangkan miopia berat bersifat monogenik.
Penelitian pada pasangan kembar monozigot menunjukkan bahwa jika salah satu
dari pasangan kembar ini menderita miopia, terdapat risiko sebesar 74% pada
pasangannya untuk menderita miopia juga dengan perbedaan kekuatan lensa di
bawah 0,5 D.
2.Nutrisi
Nutrisi diduga terlibat pada perkembangan kelainan-kelainan refraksi.
Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan malnutrisi yang
berat terdapat prevalensi kelainan refraksi (ametropia, astigmatisma,
anisometropia) yang tinggi.
3.Tekanan Intraokuler
Peningkatan tekanan intraokuler atau peningkatan tekanan vena diduga
dapat menyebabkan jaringan sklera teregang. Hal ini ditunjang oleh penelitian

5
pada monyet, yang mana ekornya digantung sehingga kepalanya terletak di
bawah. Pada monyet-monyet tersebut ternyata timbul miopia.
Menurut tipe (bentuknya) miopia dikenal beberapa bentuk :

2.1.4 Patofisiologi
Tipe mata miopia yang ekstrim dapat meluas dalam semua bagian
posterior, tetapi memiliki panjang aksial yang sangat panjang. Pada bagian
anterior, kornea kemungkinan agak menipis dan terlihat datar dari normal, dengan
ruangan anterior yang dalam dan terlihat sudut sempit yang menunjukkan proses
mendekatnya iris ke arah trabekulum. Lensa memiliki kecenderungan untuk
mengalami awal sklerosis inti. Biasanya terdapat defek pada membran zonula dan
kemungkinan terdapat sebuah hambatan selama pembedahan katarak.
Penipisan skleral pada umumnya berhubungan dengan elastisitas skleral
atau penurunan kekakuan okular. Terutama ketika bergabung dengan zonular
dehiscence, ini dapat mengakibatkan cairan vitreus cepat regress dan rapuh ketika
mata membuka terhadap tekanan atmosfer. Kadang-kadang terjadi hipotoni bisa
diakibatkan oleh serosa atau pendarahan koroid selama pembedahan intra okular.
Secara anatomi, sklera tidak hanya tipis tetapi juga bisa menjadikan kondisi
abnormal. Mikroskop elektron yang ditemukan oleh Garzino menunjukkan serat
kolagen yang rata-rata berdiameter kecil dan menunjukkan banyak serat pemisah
antar serat.

6
Pathway

2.1.5 Tanda dan Gejala


Tanda-tanda mata miopi:
Objek dekat bisa terlihat, sedangkan objek jauh terlihat kabur
Mengecilkan mata ketika melihat objek jauh
Tidak dapat melihat papan hitam dengan jelas
Terlalu dekat dengan buku ketika membaca
Gejala Mata Minus Atau Miopi
Gejalanya adalah kepala nyeri berdenyut terutama bagian depan, bola mata
perih dan berat, terasa seperti mau keluar dan air mata meleleh berlebihan.
Keadaan ini biasanya membaik bila mata diistirahatkan atau dengan minum obat
antinyeri. Tapi sering kali kambuh beberapa waktu kemudian.
Miopia memang bisa menyebabkan sakit kepala. Untuk seorang penderita
miopia, pada saat melihat miopia, pada saat melihat jauh, bayangan jatuh di
depan retina sehingga mengurangi kecembungan lensa. Perubahan kecembungan
ini dinamakan kemampuan akomodasi mata. Mata yang berakomodasi terus-
menerus dalam waktu yang lama akan menimbulkan kelelahan. Kelelahan mata
inilah yang mencetuskan nyeri kepala dan nyeri pada mata.

7
2.1.6 Komplikasi
Ablatio retina terutama pada myopia tinggiStrabismus
esotropia bila myopia cukup tinggi bilateral
bexotropia pada myopia dengan anisometropia
Ambliopia terutama pada myopia dan anisometropia

2.1.7 Penatalaksanaan Medis


1. Kacamata
Meskipun masih sedikit bukti ilmiah untuk menyatakan bahwa pemakaian
kacamata koreksi secara terus menerus progresivitas miopia atau
mempertahankan visus namun dapat mengurangi kelelahan pada mata dan
melatih mata terutama pada anak-anak. Miopi dikoreksi dengan lensa konkaf atau
lensa negatif. Pada kasus dengan miopi tinggi koreksi yang penuh jarang
diberikan. Pengurangan koreksi dilakukan sampai tercapai penglihatan binokuler
yang masih nyaman. Jika sudah terdapat perubahan patologis pada fundus maka
sedikit sekali keuntungan yang didapat pada pemakaian kacamata.
2. Penggunaan Lensa kontak
Lensa kontak telah menjadi pilihan yang baik untuk miopia tinggi selama
bertahun-tahun karena disamping dapat mengurangi berat dan ketebalan lensa
pada kacamata, juga mengeliminasi kesulitan akibat pemakaian lensa yang tebal
tersebut. Pasien miopia biasanya akan memiliki mengatasi masalah yang timbul
pada pemakaian kacamata. Lensa kontak yang sering digunakan yaitu lensa
kontak yang soft dan lensa kontak gas-permeabel. Lensa kontak yang soft dapat
menimbulkan kenyamanan namun harus dimonitor pemakaiannya karena dapat
menyebabkan terjadinya hipoksia. Lensa gas-permeabel memberikan optik yang
penuh dan fisiologi yang baik. Lensa gas-permeabel memberikan optik yang
penuh dan fisiologi yang baik.
3. Bedah Refraktif / LASIK (Laser Assisted In-Situ Keratomileusis)
LASIK (Laser Assisted In-situ Keratomileusis) adalah suatu prosedur
untuk mengubah bentuk lapisan kornea mata dengan menggunakan sinar excimer
laser. Prosedur LASIK dapat dilakukan untuk mengoreksi miopia (rabun jauh),

8
hipermetropia (rabun dekat) maupun astigmatisme (silinder). Tindakan ini
bertujuan untuk membantu melepaskan diri dari ketergantungan pada kacamata
dan lensa kontak.
LASIK konvensional menggunakan alat mikrokeratom untuk membuka
lapisan permukaan kornea mata. Kemudian dilakukan excimer laser untuk
menghilangkan sebagian lapisan kornea.
Lapisan permukaan kornea yang dibuka (flap), dikembalikan ke posisi
semula. Karena prosedur LASIK hanya dikerjakan pada lapisan dalam kornea saja
(permukaan kornea sama sekali tidak disentuh), maka tidak ada rasa sakit pasca
tindakan. Flap akan secara alami melekat kembali setelah beberapa menit tanpa
perlu dijahit sama sekali.
Alternatif lain untuk pasien miopia adalah penanaman lensa intraokular
yaitu suatu lensa yang ditanam bilik mata depan melalui insisi kecil sedangkan
lensa yang asli masih tetap ada terutama dilakukan untuk mengoreksi miopi yang
berat. Akan tetapi keamanan penggunaan pada beberapa kasus dapat dilakukan
ekstraksi lensa tapi lensa intraokular tidak dipasang. Dengan mengangkat lensa
maka sekitar 15 D dari miopi secara otomatis akan terkoreksi. Namun harus
diingat bahwa teknik ini dapat menimbulkan komplikasi berupa ablasio retina
sehingga jarang digunakan.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


1) Foto fundus / retina
2) Pemeriksaan lapang pandang / campimetri / perimetri
3) Pemeriksaan kwalitas retina (E.R.G = electro retino gram)
4) Pemeriksaan kelainan otak / brain berkaitan dengan kelainan mata (E.E.G =
electro encefalogram).
5) EVP (evoked potential examination)
6) USG (ultrasonografi) bola mata dan keliling organ mata misal pada tumor,
panjang bola mata, kekentalan benda kaca (vitreous).
7) Retinometri (maksimal kemungkinan tajam penglihatan mata yang tersisa).
8) CT scan dengan kontras / MRI. VI. Penatalaksanaan

9
2.1.9 Pencegahan
1. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk
a.Anak dibiasakan duduk dengan posisi tegak sejak kecil.
b.Memegang alat tulis dengan benar.
c.Mengistirahatkan mata selama 5 hingga 10 menit setiap melakukan
pekerjaan dekat selama 30-45 menit
d. Batasi jam membaca.
e. Aturlah jarak baca yang tepat yaitu 30 sentimeter, dan gunakanlah
penerangan yang cukup.
f. Bila memungkinkan untuk anak-anak diberikan kursi yang bisa diatur
tingginya sehingga jarak bacanya selalu 30 cm.
2. Jangan biasakan anak untuk membaca dengan posisi tiduran di lantai
maupun tempat tidur.
3. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau
melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah miopia,
4. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan
menunggu sampai ada gangguan pada mata. Jika tidak diperbaiki sejak
awal, maka kelainan yang ada bisa menjadi permanen, misalnya bayi
prematur harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang
inkubator untuk melihat apakah ada tanda-tanda retinopati.
5. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan
konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling.
Patuhi setiap perintah dokter dalam program rehabilitasi tersebut.

2.2 HIPERMETROPI
2.2.1 Pengertian

Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun

dekat.Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata


dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang makula lutea (Ilyas, 2004).

10
Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata
terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa
akomodasi difokuskan di belakang retina (Istiqomah, 2005).

Hipermetropia adalah keadaan mata yang tidak berakomodasi


memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropia terjadi jika kekuatan
yang tidak sesuai antara bola mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa
lemah sehingga titik fokus sinar terletak di belakang retina (Patu, 2010).

Hipertropi atau rabun dekat adalah cacat mata yang mengakibatkan


seseorang tidak dapat melihat benda dari dekat. Rabun dekat atau dikenal dengan
hipermetropi merupakan keadaan gangguan kekuatan yang pembiasaan mata, yang
mana pada keadaan ini sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak dibelakang retina. Hipermetropi terjadi apabila berkas sinyal
sejajar difokuskan di belakang retina. Titik dekat penderita rabun akan bertambah,
tidak lagi sebesar 25 cm tapi mencapai jarak tertentu yang lebih jauh. Penderita
rabun dekat hanya dapat melihat benda pada jarak yang jauh.

Mata hipermetropi disebabkan oleh keadaan fisik lensa mata yang


terlalu pipih atau tidak dapat mencembung dengan optimal, oleh sebab itubayangan
yang dibentuk lensa mata jauh dibelakang retina. Rabun dekat dapat tolong
menggunakan kacamata lensa cembung, yang berfungsi untuk mengumpulkan
sinar yang sebelum masuk mata. sehingga berbentuk bayangan yang tepat jatuh
diretina.

Kelainan pada indera penglihatan merupakan salah satu hambatan


bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-hari Dan mewujudkan cut-
citanya, disamping ini juga menjadi masalah dalam mencapai kemajuan baik secara
individual ataupun sebagai kelompok/bangsa. Diantara kelainan-kelainan pada
mata, hipermetropi merupakan kelainan refraksi terbanyak urutan ke-2 setelah
kelainan refraksi miopi(rabun jauh) Yang datang berobat kepoliklinik mata
(pamekar, 1992).

11
2.2.2 Etiologi

Penyebab dari hipermetropi adalah sebagai berikut :


a. Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek
Biasanya terjadi karena Mikropthalmia, renitis sentralis, arau ablasio retina
(lapisan retina lepas lari ke depan sehingga titik fokus cahaya tidak tepat
dibiaskan).
b. Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah
Terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa dan
vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropi adalah
perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi
menurun dan perubahan pada komposisi aqueus humor dan viterus humor.
Misal pada penderita Diabetes Melitus terjadi hipermetopi jika kadar gula
darah di bawah normal
c. Kelengkungan kornea dan lensa tidak adekuat
Kelengkungan kornea ataupun lensa berkkurang sehingga bayangan
difokuskn di belakang retina.
d. Perubahan posisi lensa
Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior.

2.2.3 Manifestasi klinis

Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara obyektif
klien susah melihat jarak dekat atau penglihatan klien akan rabun dan tidak jelas.
Sakit kepala frontal. Semakin memburuk pada waktu mulai timbul gejala
hipermetropi dan sepanjang penggunaan mata dekat.
a. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia)
Terjadi ketika harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama.
b. Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari
ketegangan.
c. Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan jauh
kabur.
d. Penglihatan dekat lebih cepat buram, akan lebih terasa lagi pada keadaan
kelelahan, atau penerangan yang kurang.

12
e. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat
dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah
siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan.
f. Eyestrain
g. Sensitive terhadap cahaya
h. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan
buram intermiten

2.2.4 Patofisiologi

Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea
dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar
sejajar yang datang dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di belakang
retina.

13
Pathway

2.2.5 Klasifikasi

a. Hipermetropia manifest
Adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri
atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif.
Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan hipermetropia yang dapat
dilihat dengan koreksi kacamata yang maksimal.

b. Hipermetropia Absolut
Dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten
yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang
tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropia

14
absolut, sehingga jumlah hipermatropia fakultatif dengan hipermetropia absolut
adalah hipermetropia manifes.

c. Hipermetropia Fakultatif
Dimana kelainan hipermatropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun
dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif
akan melihat normal tanpa kaca mata yang bila diberikan kaca mata positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan
istrahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut
sebagai hipermetropia fakultatif.
d. Hipermetropia Laten
Dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegi ( atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia
laten hanya dapat diukur bila siklopegia. Makin muda makin besar komponen
hipermetropi laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan
akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari
diatasi pasien dengan akomodasi terus menerus, teritama bila pasien masih muda
dan daya akomodasinya masih kuat.

e. Hipermetropia Total
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia.

Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan


refraksinya, yaitu: (AOA, 2008)
Hipermetropia ringan ( +2,00 D)
Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D)
Hipermetropia berat (+5,00 D)

2.2.6 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma. Esotropia


atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi.
Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan
mempersempit sudut bilik mata.

15
2.2.7 Pemeriksaan diagnostik

Kelainan refraksi hipermetropi dapat di periksa dengan melakukan pemeriksaan


Okuler
a. Visual Acuity.
Mempergunakan beberapa alat untuk mengetahui kemampuan membaca
pasien hipermetropi dalam jarak dekat. Seperti Jaeger Notation, Snellen metric
distance dan Lebehnson.
b. Refraksi.
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk menilai
hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi static retinoscopy,
subjective refraction dan autorefraction.
c. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi.
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas dapat
menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang menurun.
d. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa hipermetropia dapat
berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji penglihatan warna,
pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan posterior bola mata dan adnexa.
e. Kesehatan segmen anterior
Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat atau pada
anak-anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan pemberian siklopegik atau
melumpuhkan otot akomodasi.
Diagnosa Banding
Diagnosis Banding hipermetropi adalah Presbiopi.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis
hipermetropi adalah ophtalmoscope.

2.2.8 Penatalaksanaan

1. Koreksi Optikal
Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata berlensa plus (konveks) atau
dengan lensakontak. Pada anak kecil dengan kelainan berderajat rendah yang tidak
menunjukan gejala sakit kepala dan keluhan lainnya, tidak perlu diberi kacamata.

16
Hanya orang-orang yang derajat hipermetropianya berat dengan atau tanpa disertai
mata juling dianjurkan menggunakan kacamata. Pada anak-anak dengan mata
juling ke dalam (crossed eye) yang disertai hipermetropia, diharuskan memakai
kacamata berlensa positif. Karena kacamata berlensa plus ini amat bermanfaat
untuk menurunkan rangsangan pada otot-otot yang menarik bolamata juling ke
dalam.
Biasanya sangat memuaskan apabila power yang lebih tipis (1 D) daripada
total fakultatif dan absolute hyperopia yang diberikan kepada pasien dengan tidak
ada ketidak seimbangan otot ekstraokular. Jika ada akomodatif esotrophia
(convergence), koreksi penuh harus diberikan. Pada exophoria, hyperopianya harus
dikoreksi dengan 1-2D. Jika keseluruhan refraksi manifest kecil, misalnya 1 D atau
kurang, koreksi diberikan apabila pasien memiliki gejala-gejala.
2. Terapi Penglihatan.
Terapi ini efektif pada pengobatan gangguan akomodasi dan disfungsi
binokuler akibat dari hipermetropia. Respon akomodasi habitual pasien dengan
hipermetropia tidak akan memberi respon terhadap koreksi dengan lensa, sehingga
membutuhkan terapi penglihatan untuk mengurangi gangguan akomodasi tersebut.
3. Terapi Medis.
Agen Antikolinesterase seperti diisophropylfluorophospate(DFP) dan
echothiopate iodide (Phospholine Iodide,PI) telah digunakan pada pasien dengan
akomodasi eksotropia dan hipermetropia untuk mengurangi rasio konvergensi
akomodasi dan akomodasi(AC/A).
4. Merubah Kebiasaan Pasien.
Modifikasi yang dapat dilakukan adalah pengunaan cahaya yang cukup
dalam aktivitas, menjaga kualitas kebersihan mata dan apabila pasien adalah
pengguna komputer sebaiknya menggunakan komputer dengan kondisi ergonomis.
5. Bedah Refraksi.
Terapi pembedahan refraksi saat ini sedang dalam perkembangan Terapi
pembedahan yang mungkin dilakukan adalah HOLIUM:YAG laser thermal
keratoplasty, Automated Lamellar Keratoplasty, Spiral Hexagonal Keratotomy,
Excimer Laser dan ekstraksi lensa diganti dengan Intra Oculer Lens. Akan tetapi
pembedahan masih jarang digunakan sebagai terapi terhadap hipermetropia.

17
BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Miopi


A. Pengkajian
1. Pengkajian Fisik Penglihatan
a. Pengkajian Ketajaman Penglihatan
Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu Snellen.
Pasien duduk dengan dengan jarak 6 meter dari kartu Snellen dengan satu
mata ditutup.
Pasien diminta membaca huruf yang tertulis pada kartu, mulai dari baris paling
atas kebawah dan tentukan baris terakhir yang masih dapat dibaca seluruhnya
dengan benar.
Penilaiannya: Tajam pengelihatan normal adalah 6/6. Berarti pasien dapat
membaca seluruh huruf dalam kartu Snellen dengan benar.
b. Pengkajian Gerakan Mata
Salah satu mata pasien di tutup dengan karton atau tangan pemeriksa, dan
pasien di minta memfokuskan mata yang tidak tertutup pada satu benda diam
sementara mata yang di tutup karton/tangan tetap terbuka. Kemudian karton atau
tangan tiba-tiba di singkirkan, dan akan nampak gerakan abnormal mata.
c. Pengkajian Lapang Pandang
Pemeriksa dan pasien duduk dengan jarak 1 sampai 2 kaki, saling berhadapan.
Pasien di minta menutup salah satu mata dengan karton, tanpa menekan, sementara
ia harus memandang hidung pemeriksa. Pasien di minta tetap melirik pada hidung
pemeriksa dan menghitung jumlah jari yang ada di medan superior dan inferior
lirikan temporal dan nasal. Jari pemeriksa di gerakkan dari posisi luar terjauh ke
tengah dalam bidang vertical, horizontal dan oblik. Medan nasal, temporal,
superior dan inferior di kaji dengan memasukkan benda dalam penglihatan dari
berbagai titik perifer. Pada setiap manuver, pasien memberi informasi kepada
pemeriksa saat ketika benda mulai dapat terlihat sementara mempertahankan arah
lirikannya ke depan.
2. Pemeriksaan Fisik Mata
1) Kelopak Mata, harus terletak merata pada permukaan mata

18
2) Bulu Mata, posisi dan distribusinya
3) Sistem lakrimal, struktur dan fungsi pembentukan dan drainase air mata.
4) Pemeriksaan Mata Anterior, sclera dan konjungtiva bulbaris diinspeksi secara
bersama.
5) Pemeriksaan Kornea, normalnya kornea tampak halus dengan pantulan cahaya
seperti cermin, terang, simetris dan tunggal.

B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi diri berhubungan dengan gangguan penerimaan
sensori/gangguan status organ indera.
Ansietas/ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan (nyeri
pada kepala, kelelahan pada mata).
Kurang pengetahuan/informasi tentang kondisi, prognosis dan pengobatan.

C. Intervensi
No Dx Intervensi Rasional
1. I 1.Kaji derajat dan durasi 1.Meningkatkan pemahaman perawat
gangguan visual tentang kondisi klien
2.Orientasikan klien pada 2.Memberikan peningkatan
lingkungan yang baru kenyamanan, kekeluargaan serta
kepercayaan klien-perawat.

3.Dorong klien mengekspresikan 3.meningkatkan kepercayaan klien-


perasaan tentang gangguan perawat dan penerimaan diri

penglihatan
4.Lakukan tindakan untuk 4.Menurunkan kemungkinan

membantu klien menangani bahaya yang akan tejadi

gangguan penglihatannya sehubungan


dengan gangguan penglihatan
2. II 1.Orientasikan klien pada 1.Membantu mengurangi ansietas dan
lingkungan yang baru meningkatkan keamanan.
2.Beritahu klien tentang 2.Memberikan informasi kepada klien

19
perjalanan penyakitnya tentang penyakitnya dan mengurangi
ansietas
3. 3.Beritahu klien tentang tindakan 3.Mengurangi ansietas klien
pengobatan yang akan dilakukan.

3. III 1.Kaji informasi tentang kondisi 1.Meningkatkan pemahaman perawat


individu, prognosis dan tentang kondisi klien.
pengobatan
2. Beritahu klien tentang 2.Memberikan informasi kepada
perjalanan penyakitnya serta klien tentang penyakitnya.
pengobatan yang akan
dilakukan 3.Membaca terlalu lama dan
3.anjurkan klien menghindari
membaca dengan posisi tidur,
membaca terlalu lama dan
menonton TV dengan jarak terlalu
membaca dengan posisi tidur, dekat dapat mengakibatkan
menonton TV dengan jarak kelelahan pada mata
terlalu dekat.

3.2 Asuhan Keperawatan Hipermetropi


A. Pengkajian
1. Pengumpulan data
a. Data Demografi
Biodata, meliputi :
Nama, Usia, Jenis kelamin, Alamat, Suku / bangsa, Status pernikahan, Agama /
keyakinan, Pekerjaan, Diagnosa medik, No. medical record, Tanggal masuk,
Tanggal pengkajian.
Penanggung jawab, meliputi :
Nama, Usia, Jenis kelamin, Pekerjaan, Hubungan dengan klien.
b. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan Utama
Klien mengeluh susah membaca pada jarak dekat.

20
Riwayat Keluhan Utama
Pada saat dilakukan pengkajian klien susah membaca pada jarak
dekat, keluhan ini dirasakan sudah lama, makin hari penglihatanya makin
menurun, klien juga tidak mengetahui penyebap matanya kabur. Dan
Upaya yang dilakukan klien untuk mengurangi keluhannya yaitu
menjauhkan bahan bacaan, dan yang memperberat yaitu ketika membaca
dalam waktu yang lama klien mengalami pusing dan sakit kepala, dengan
skala 3 (0-5).

2) Riwayat kesehatan lalu


Klien tidak ada riwayat alergi terjadap makanan dan obat - obatan.
Klien tidak pernah mengkonsumsi minuman beralkohol dan klien
tidak merokok.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Menurut klien tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit
yang sama dengan klien.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum klien
b. Sistem pernafasan
c. Sistem kardiovaskuler
d. Sistem perncernaan
e. Sistem indra
Mata
Kesulitan membaca tulisan dengan huruf yang kecil, menjauhkan
bacaan pada saat membaca, mampu membedakan warna, bisa
menggerakan bola mata kesegala arah, mata tampak bersih, tidak ada
nyeri tekan.
Hidung
Mampu membedakan berbagai macam aroma.
Tidak ada sekret.
Telinga

f. Sistem saraf

21
g. Sistem muskuloskeletal
h. Sistem integumen
i. Sistem endokrin
j. Sistem perkemihan
3. Aktivitas Sehari-Hari
a. Nutrisi
b. Cairan
c. Eliminasi ( BAB & BAK )
d. Istirahat Tidur
e. Olahraga
f. Rokok / alkohol dan obat-obatan
g. Personal hygiene
4. Data psikososial
Klien hidup rukun dengan sesama anggota masyarakat di lingkunganya
dan saling membutuhkan satu sama yang lain.

5. Data psikologis

Klien tampak cemas dan gelisah. Klien sering menanyakan tentang


penyakitnya.

B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri Akut b/d kelelahan otot otot penggerak lensa.


2. Gangguan persepsi sensori : penglihatan b/d penurunan retraksi lensa.
3. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.

22
C. Intervensi
No. DX Tujuan Intervensi Rasional
1. 1 Setelah dilakukan a. 1. Observasi keadaan, a. 1. Dapat membantu dalam
tindakan keperawatan intensitas nyeri dan tanda b. menentukan intervensi
selama satu minggu, -tanda vital c. selanjutnya
Kelelahan otot otot b. 2. Ajarkan Klien untuk 2. Metode pengalihan suasana
penggerak lensa mengalihkan suasana dengan dengan melakukan
berkurang. melakukan metode relaksasi relaksasi bisa mengurangi
dengan criteria : saat nyeri yang teramat nyeri yang diderita klien.
- Klien mengatakan sangat muncul, relaksasi
nyeri berkurang yang seperti menarik nafas
- Ekspresi wajah panjang.
tenang 3. Kolaborasi dengan dokter d. 3. Analgesik merupakan
- Nyeri skala 2 (0-5) dalam pemberian analgesik e. pereda nyeri yang efektif
f. pada pasien untuk
g. mengurangi sensasi nyeri
h. dari dalam.
4. Kolaborasi untuk 4. Penyebap nyeri adalah
pemeriksaan kemampuan kelelahan otot otot
otot - otot penggerak lensa. penggerak lensa, dengan
mengetahui kemampuanya
dapat menentukan tindakan
selanjutnya.

23
2 2 Setelah dilakukan a. 1. Kaji kemampuan a. 1. Dapat membantu untuk
tindakan keperawatan penglihatan dan jarak b. menentukan intervensi
selama satu minggu, pandang klien c. selanjutnya.
penggunaan retraksi 2. Anjurkan klien untuk tidak 2. Membaca terlalu lama
lensa dapat membaca terlalu lama dapat menyakiti mata
dimaksimalkan 3. berikan penerangan yang d. 3. Membantu memperjelas
dengan kriteria : cukup e. objek
- Klien bisa membaca 4. Kolaborasi untuk 4. Kacamata membantu
lagi penggunaan alat bantu memfokuskan bayangan
- Penglihatan Jelas penglihatan seperti kacamata obyek agar tepat jatuh di
retina

3 3 Setelah dilakukan 1. Observasi tingkat 1. Dapat membantu


tindakan keperawatan kecemasan klien dalam menentukan
selama dua hari, status intervensi
kesehatan klien selanjutnya
meningkat 2. Dengarkan dengan 2. Mendengar
dengan criteria: cermat apa yang di memungkinkan
Klien dapat mengerti katakan klien tentang deteksi dan koreksi
tentang penyakit penyakit dan mengenai
yang tindakanya. kesalahpahaman dan
dideritanya. kesalahan
Wajah klien tampak informasi.
tenang 3. Berikan penyuluhan 3. Menambah
Klien tidak gelisah tentang penyakit klien pengetahuan klien
tentang penyakit
yang dideritanya

24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Dengan merebaknya masalah kesehatan sekarang ini, alangkah baiknya kita


menjaga kesehatan kita agar tidak terserang penyakit, salah satunya adalah penyakit
miopi (rabun jauh) dan Hipermetropi (rabun dekat).
Miopi adalah sebuah kerusakan refraktif mata di mana citra yang dihasilkan
berada di depan retina ketika akomodasi dalam keadaan santai. Miopi dapat terjadi
karena bola mata yang terlalu panjang atau karena kelengkungan kornea yang terlalu
besar sehingga cahaya yang masuk tidak difokuskan secara baik dan objek jauh
tampak buram. Penderita penyakit ini tidak dapat melihat jarak jauh dan dapat
ditolong dengan menggunakan kacamata negatif (cekung).

Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata terlalu


lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa akomodasi
difokuskan di belakang retina. Gangguan ini terjadi pada diameter anteroposterior
bola mata yang pendek sehingga jarak antara lensa dan retina juga pendek dan sinar
difokuskan di belakang retina. Hal ini menyebabkan kesulitan melihat objek dekat dan
disebut farsightedness atau hyperopia (Indriani Istiqomah, 2004 : 205).
Sakit kepala frontal, memburuk pada waktu mulai timbul gejala hipermetropi
dan makin memburuk sepanjang penggunaan mata dekat. Penglihatan tidak nyaman
(asthenopia) ketika pasien harus focus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang
lama, misalnya menonton pertandingan bola. Akomodasi akan lebih cepat lelah ketika
terpaku pada suatu level tertentu dari ketegangan.

4.2 Saran
Dengan makalah ini diharapkan pembaca khususnya mahasiswa keperawatan
dapat mengerti dan memahami serta menambah wawasan tentang Asuhan
keperawatan pada klien dengan Miopi dan Hipermetropi.

25
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC
Chan,WM.2004. Ophthalmology and Visual Science. The Chinese university of
Hongkong.88(10):1315-1319. www.pubmedcentral.nih.gov/artclender
Curtin. B., J., 2002. The Myopia. Philadelphia Harper & Row. 348-381
Curtin Brian J, Whitemore, Wayne G. The Optics of Myopia, In Duanes Clinical
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Guell, JL., Morral, M.,Gris, O. 2007. Implantation for Myopia Ophthalmology (abstract only). - -
www.pubmedcentral.nih.gov/articlender
Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI
Istiqomah, Indriani N. 2004. ASKEP Klien Gangguan Mata. Jakarta : EGC.

26

You might also like