Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa itu miopi (rabun jauh) dan hipermetropi.
2. Mengetahui tanda dan gejala mata miopi dan hipermetropi.
3. Mengetahui penyebab mata miopi dan hipermetropi.
4. Mengetahui apa-apa yang harus dilakukan jika terjadi pada miopi dan
hipermetropi.
5. Mengetahui cara untuk mengatasi dan mencegahnya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MIOPI
2.1.1 Pengertian
2.1.2 Klasifikasi
1.Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat.
2.Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
3
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam:
1. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.
2. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
3. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
4. Miopia sangat berat, diatas 10 dioptri.
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk :
1. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.
2. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
3. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasio retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa atau miopia
degeneratif.
Pembagian mipia berdasarkan kelainan jaringan mata:
a. Miopia Simpleks
Dimulai pada usia 7-9 tahun dan akan bertambah sampai anak berhenti
tumbuh + 20 tahun.
Berat kelainan refraktif biasanya kurang dari -5 D atau -6 D.
b. Miopia progresif
Miopia bertambah secara cepat (-4 Dioptri / tahun).
Sering disertai perubahan vitreo-retina.
Biasanya terjadi bila miopia lebih dari -6 D.
Menurut tipe (bentuknya) miopia dikenal beberapa bentuk :
1. Miopia Axial, miopia akibat diameter sumbu bola mata (diameter antero-
posterior) > panjang. Dalam hal ini, terjadinya myopia akibat panjang sumbu
bola mata (diameter Antero-posterior), dengan kelengkungan kornea dan
lensa normal, refraktif power normal dan tipe mata ini lebih besar dari
normal.
2. Miopia Kurvartura, diakibatkan oleh perubahan dari kelengkungan kornea &
kelengkungan lensa. Dalam hal ini terjadinya myopia diakibatkan oleh
perubahan dari kelengkungan kornea atau perubahan kelengkungan dari pada
lensa seperti yang terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih
cembung sehingga pembiasan lebih kuat, dimana ukuran bola mata norma
4
3. Miopia Indeks Refraksi, bertambahnya indeks bias media penglihatan.
Perubahan indeks refraksi atau myopia refraktif, bertambahnya indeks bias
media penglihatan seperti yang terjadi pada penderita Diabetes Melitus
sehingga pembiasan lebih kuat.
4. Perubahan posisi lensa, pergerakan lensa yang lebih ke anterior. setelah
operasi glaucoma berhubungan dengan terjadinya miopia. Pada miopia
degeneratif atau miopia maligna bila lebih dari 6 dioptri disertai kelainan
pada fundus okuli dan panjangnya bola mata sampai terbentuk stafiloma
postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi
korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera
dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan
rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat
terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi
lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf
optik.
2.1.3 Etiologi
1.Genetika (Herediter)
Penelitian genetika menunjukkan bahwa miopia ringan dan sedang
biasanya bersifat poligenik, sedangkan miopia berat bersifat monogenik.
Penelitian pada pasangan kembar monozigot menunjukkan bahwa jika salah satu
dari pasangan kembar ini menderita miopia, terdapat risiko sebesar 74% pada
pasangannya untuk menderita miopia juga dengan perbedaan kekuatan lensa di
bawah 0,5 D.
2.Nutrisi
Nutrisi diduga terlibat pada perkembangan kelainan-kelainan refraksi.
Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan malnutrisi yang
berat terdapat prevalensi kelainan refraksi (ametropia, astigmatisma,
anisometropia) yang tinggi.
3.Tekanan Intraokuler
Peningkatan tekanan intraokuler atau peningkatan tekanan vena diduga
dapat menyebabkan jaringan sklera teregang. Hal ini ditunjang oleh penelitian
5
pada monyet, yang mana ekornya digantung sehingga kepalanya terletak di
bawah. Pada monyet-monyet tersebut ternyata timbul miopia.
Menurut tipe (bentuknya) miopia dikenal beberapa bentuk :
2.1.4 Patofisiologi
Tipe mata miopia yang ekstrim dapat meluas dalam semua bagian
posterior, tetapi memiliki panjang aksial yang sangat panjang. Pada bagian
anterior, kornea kemungkinan agak menipis dan terlihat datar dari normal, dengan
ruangan anterior yang dalam dan terlihat sudut sempit yang menunjukkan proses
mendekatnya iris ke arah trabekulum. Lensa memiliki kecenderungan untuk
mengalami awal sklerosis inti. Biasanya terdapat defek pada membran zonula dan
kemungkinan terdapat sebuah hambatan selama pembedahan katarak.
Penipisan skleral pada umumnya berhubungan dengan elastisitas skleral
atau penurunan kekakuan okular. Terutama ketika bergabung dengan zonular
dehiscence, ini dapat mengakibatkan cairan vitreus cepat regress dan rapuh ketika
mata membuka terhadap tekanan atmosfer. Kadang-kadang terjadi hipotoni bisa
diakibatkan oleh serosa atau pendarahan koroid selama pembedahan intra okular.
Secara anatomi, sklera tidak hanya tipis tetapi juga bisa menjadikan kondisi
abnormal. Mikroskop elektron yang ditemukan oleh Garzino menunjukkan serat
kolagen yang rata-rata berdiameter kecil dan menunjukkan banyak serat pemisah
antar serat.
6
Pathway
7
2.1.6 Komplikasi
Ablatio retina terutama pada myopia tinggiStrabismus
esotropia bila myopia cukup tinggi bilateral
bexotropia pada myopia dengan anisometropia
Ambliopia terutama pada myopia dan anisometropia
8
hipermetropia (rabun dekat) maupun astigmatisme (silinder). Tindakan ini
bertujuan untuk membantu melepaskan diri dari ketergantungan pada kacamata
dan lensa kontak.
LASIK konvensional menggunakan alat mikrokeratom untuk membuka
lapisan permukaan kornea mata. Kemudian dilakukan excimer laser untuk
menghilangkan sebagian lapisan kornea.
Lapisan permukaan kornea yang dibuka (flap), dikembalikan ke posisi
semula. Karena prosedur LASIK hanya dikerjakan pada lapisan dalam kornea saja
(permukaan kornea sama sekali tidak disentuh), maka tidak ada rasa sakit pasca
tindakan. Flap akan secara alami melekat kembali setelah beberapa menit tanpa
perlu dijahit sama sekali.
Alternatif lain untuk pasien miopia adalah penanaman lensa intraokular
yaitu suatu lensa yang ditanam bilik mata depan melalui insisi kecil sedangkan
lensa yang asli masih tetap ada terutama dilakukan untuk mengoreksi miopi yang
berat. Akan tetapi keamanan penggunaan pada beberapa kasus dapat dilakukan
ekstraksi lensa tapi lensa intraokular tidak dipasang. Dengan mengangkat lensa
maka sekitar 15 D dari miopi secara otomatis akan terkoreksi. Namun harus
diingat bahwa teknik ini dapat menimbulkan komplikasi berupa ablasio retina
sehingga jarang digunakan.
9
2.1.9 Pencegahan
1. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk
a.Anak dibiasakan duduk dengan posisi tegak sejak kecil.
b.Memegang alat tulis dengan benar.
c.Mengistirahatkan mata selama 5 hingga 10 menit setiap melakukan
pekerjaan dekat selama 30-45 menit
d. Batasi jam membaca.
e. Aturlah jarak baca yang tepat yaitu 30 sentimeter, dan gunakanlah
penerangan yang cukup.
f. Bila memungkinkan untuk anak-anak diberikan kursi yang bisa diatur
tingginya sehingga jarak bacanya selalu 30 cm.
2. Jangan biasakan anak untuk membaca dengan posisi tiduran di lantai
maupun tempat tidur.
3. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau
melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah miopia,
4. Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan
menunggu sampai ada gangguan pada mata. Jika tidak diperbaiki sejak
awal, maka kelainan yang ada bisa menjadi permanen, misalnya bayi
prematur harus terus dipantau selama 4-6 minggu pertama di ruang
inkubator untuk melihat apakah ada tanda-tanda retinopati.
5. Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan
konsultasi dengan dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling.
Patuhi setiap perintah dokter dalam program rehabilitasi tersebut.
2.2 HIPERMETROPI
2.2.1 Pengertian
10
Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata
terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa
akomodasi difokuskan di belakang retina (Istiqomah, 2005).
11
2.2.2 Etiologi
Tanda dan gejala orang yang terkena penyakit rabun dekat secara obyektif
klien susah melihat jarak dekat atau penglihatan klien akan rabun dan tidak jelas.
Sakit kepala frontal. Semakin memburuk pada waktu mulai timbul gejala
hipermetropi dan sepanjang penggunaan mata dekat.
a. Penglihatan tidak nyaman (asthenopia)
Terjadi ketika harus fokus pada suatu jarak tertentu untuk waktu yang lama.
b. Akomodasi akan lebih cepat lelah terpaku pada suatu level tertentu dari
ketegangan.
c. Bila 3 dioptri atau lebih, atau pada usia tua, pasien mengeluh penglihatan jauh
kabur.
d. Penglihatan dekat lebih cepat buram, akan lebih terasa lagi pada keadaan
kelelahan, atau penerangan yang kurang.
12
e. Sakit kepala biasanya pada daerah frontal dan dipacu oleh kegiatan melihat
dekat jangka panjang. Jarang terjadi pada pagi hari, cenderung terjadi setelah
siang hari dan bisa membaik spontan kegiatan melihat dekat dihentikan.
f. Eyestrain
g. Sensitive terhadap cahaya
h. Spasme akomodasi, yaitu terjadinya cramp m. ciliaris diikuti penglihatan
buram intermiten
2.2.4 Patofisiologi
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea
dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar
sejajar yang datang dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di belakang
retina.
13
Pathway
2.2.5 Klasifikasi
a. Hipermetropia manifest
Adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri
atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif.
Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan hipermetropia yang dapat
dilihat dengan koreksi kacamata yang maksimal.
b. Hipermetropia Absolut
Dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten
yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang
tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropia
14
absolut, sehingga jumlah hipermatropia fakultatif dengan hipermetropia absolut
adalah hipermetropia manifes.
c. Hipermetropia Fakultatif
Dimana kelainan hipermatropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun
dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif
akan melihat normal tanpa kaca mata yang bila diberikan kaca mata positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan mendapatkan
istrahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut
sebagai hipermetropia fakultatif.
d. Hipermetropia Laten
Dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegi ( atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia
laten hanya dapat diukur bila siklopegia. Makin muda makin besar komponen
hipermetropi laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan
akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan
kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari
diatasi pasien dengan akomodasi terus menerus, teritama bila pasien masih muda
dan daya akomodasinya masih kuat.
e. Hipermetropia Total
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia.
2.2.6 Komplikasi
15
2.2.7 Pemeriksaan diagnostik
2.2.8 Penatalaksanaan
1. Koreksi Optikal
Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata berlensa plus (konveks) atau
dengan lensakontak. Pada anak kecil dengan kelainan berderajat rendah yang tidak
menunjukan gejala sakit kepala dan keluhan lainnya, tidak perlu diberi kacamata.
16
Hanya orang-orang yang derajat hipermetropianya berat dengan atau tanpa disertai
mata juling dianjurkan menggunakan kacamata. Pada anak-anak dengan mata
juling ke dalam (crossed eye) yang disertai hipermetropia, diharuskan memakai
kacamata berlensa positif. Karena kacamata berlensa plus ini amat bermanfaat
untuk menurunkan rangsangan pada otot-otot yang menarik bolamata juling ke
dalam.
Biasanya sangat memuaskan apabila power yang lebih tipis (1 D) daripada
total fakultatif dan absolute hyperopia yang diberikan kepada pasien dengan tidak
ada ketidak seimbangan otot ekstraokular. Jika ada akomodatif esotrophia
(convergence), koreksi penuh harus diberikan. Pada exophoria, hyperopianya harus
dikoreksi dengan 1-2D. Jika keseluruhan refraksi manifest kecil, misalnya 1 D atau
kurang, koreksi diberikan apabila pasien memiliki gejala-gejala.
2. Terapi Penglihatan.
Terapi ini efektif pada pengobatan gangguan akomodasi dan disfungsi
binokuler akibat dari hipermetropia. Respon akomodasi habitual pasien dengan
hipermetropia tidak akan memberi respon terhadap koreksi dengan lensa, sehingga
membutuhkan terapi penglihatan untuk mengurangi gangguan akomodasi tersebut.
3. Terapi Medis.
Agen Antikolinesterase seperti diisophropylfluorophospate(DFP) dan
echothiopate iodide (Phospholine Iodide,PI) telah digunakan pada pasien dengan
akomodasi eksotropia dan hipermetropia untuk mengurangi rasio konvergensi
akomodasi dan akomodasi(AC/A).
4. Merubah Kebiasaan Pasien.
Modifikasi yang dapat dilakukan adalah pengunaan cahaya yang cukup
dalam aktivitas, menjaga kualitas kebersihan mata dan apabila pasien adalah
pengguna komputer sebaiknya menggunakan komputer dengan kondisi ergonomis.
5. Bedah Refraksi.
Terapi pembedahan refraksi saat ini sedang dalam perkembangan Terapi
pembedahan yang mungkin dilakukan adalah HOLIUM:YAG laser thermal
keratoplasty, Automated Lamellar Keratoplasty, Spiral Hexagonal Keratotomy,
Excimer Laser dan ekstraksi lensa diganti dengan Intra Oculer Lens. Akan tetapi
pembedahan masih jarang digunakan sebagai terapi terhadap hipermetropia.
17
BAB III
18
2) Bulu Mata, posisi dan distribusinya
3) Sistem lakrimal, struktur dan fungsi pembentukan dan drainase air mata.
4) Pemeriksaan Mata Anterior, sclera dan konjungtiva bulbaris diinspeksi secara
bersama.
5) Pemeriksaan Kornea, normalnya kornea tampak halus dengan pantulan cahaya
seperti cermin, terang, simetris dan tunggal.
B. Diagnosa Keperawatan
Gangguan persepsi diri berhubungan dengan gangguan penerimaan
sensori/gangguan status organ indera.
Ansietas/ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan (nyeri
pada kepala, kelelahan pada mata).
Kurang pengetahuan/informasi tentang kondisi, prognosis dan pengobatan.
C. Intervensi
No Dx Intervensi Rasional
1. I 1.Kaji derajat dan durasi 1.Meningkatkan pemahaman perawat
gangguan visual tentang kondisi klien
2.Orientasikan klien pada 2.Memberikan peningkatan
lingkungan yang baru kenyamanan, kekeluargaan serta
kepercayaan klien-perawat.
penglihatan
4.Lakukan tindakan untuk 4.Menurunkan kemungkinan
19
perjalanan penyakitnya tentang penyakitnya dan mengurangi
ansietas
3. 3.Beritahu klien tentang tindakan 3.Mengurangi ansietas klien
pengobatan yang akan dilakukan.
20
Riwayat Keluhan Utama
Pada saat dilakukan pengkajian klien susah membaca pada jarak
dekat, keluhan ini dirasakan sudah lama, makin hari penglihatanya makin
menurun, klien juga tidak mengetahui penyebap matanya kabur. Dan
Upaya yang dilakukan klien untuk mengurangi keluhannya yaitu
menjauhkan bahan bacaan, dan yang memperberat yaitu ketika membaca
dalam waktu yang lama klien mengalami pusing dan sakit kepala, dengan
skala 3 (0-5).
f. Sistem saraf
21
g. Sistem muskuloskeletal
h. Sistem integumen
i. Sistem endokrin
j. Sistem perkemihan
3. Aktivitas Sehari-Hari
a. Nutrisi
b. Cairan
c. Eliminasi ( BAB & BAK )
d. Istirahat Tidur
e. Olahraga
f. Rokok / alkohol dan obat-obatan
g. Personal hygiene
4. Data psikososial
Klien hidup rukun dengan sesama anggota masyarakat di lingkunganya
dan saling membutuhkan satu sama yang lain.
5. Data psikologis
B. Diagnosa Keperawatan
22
C. Intervensi
No. DX Tujuan Intervensi Rasional
1. 1 Setelah dilakukan a. 1. Observasi keadaan, a. 1. Dapat membantu dalam
tindakan keperawatan intensitas nyeri dan tanda b. menentukan intervensi
selama satu minggu, -tanda vital c. selanjutnya
Kelelahan otot otot b. 2. Ajarkan Klien untuk 2. Metode pengalihan suasana
penggerak lensa mengalihkan suasana dengan dengan melakukan
berkurang. melakukan metode relaksasi relaksasi bisa mengurangi
dengan criteria : saat nyeri yang teramat nyeri yang diderita klien.
- Klien mengatakan sangat muncul, relaksasi
nyeri berkurang yang seperti menarik nafas
- Ekspresi wajah panjang.
tenang 3. Kolaborasi dengan dokter d. 3. Analgesik merupakan
- Nyeri skala 2 (0-5) dalam pemberian analgesik e. pereda nyeri yang efektif
f. pada pasien untuk
g. mengurangi sensasi nyeri
h. dari dalam.
4. Kolaborasi untuk 4. Penyebap nyeri adalah
pemeriksaan kemampuan kelelahan otot otot
otot - otot penggerak lensa. penggerak lensa, dengan
mengetahui kemampuanya
dapat menentukan tindakan
selanjutnya.
23
2 2 Setelah dilakukan a. 1. Kaji kemampuan a. 1. Dapat membantu untuk
tindakan keperawatan penglihatan dan jarak b. menentukan intervensi
selama satu minggu, pandang klien c. selanjutnya.
penggunaan retraksi 2. Anjurkan klien untuk tidak 2. Membaca terlalu lama
lensa dapat membaca terlalu lama dapat menyakiti mata
dimaksimalkan 3. berikan penerangan yang d. 3. Membantu memperjelas
dengan kriteria : cukup e. objek
- Klien bisa membaca 4. Kolaborasi untuk 4. Kacamata membantu
lagi penggunaan alat bantu memfokuskan bayangan
- Penglihatan Jelas penglihatan seperti kacamata obyek agar tepat jatuh di
retina
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Dengan makalah ini diharapkan pembaca khususnya mahasiswa keperawatan
dapat mengerti dan memahami serta menambah wawasan tentang Asuhan
keperawatan pada klien dengan Miopi dan Hipermetropi.
25
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 Vol 3. Jakarta: EGC
Chan,WM.2004. Ophthalmology and Visual Science. The Chinese university of
Hongkong.88(10):1315-1319. www.pubmedcentral.nih.gov/artclender
Curtin. B., J., 2002. The Myopia. Philadelphia Harper & Row. 348-381
Curtin Brian J, Whitemore, Wayne G. The Optics of Myopia, In Duanes Clinical
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Guell, JL., Morral, M.,Gris, O. 2007. Implantation for Myopia Ophthalmology (abstract only). - -
www.pubmedcentral.nih.gov/articlender
Ilyas, Sidarta. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : FKUI
Istiqomah, Indriani N. 2004. ASKEP Klien Gangguan Mata. Jakarta : EGC.
26