You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mual muntah pasca operasi atau Post Operative Nausea Vomiting


(PONV) yang terjadi karena induksi anestesi dan pembedahan, dapat
memberikan ketidaknyamanan pada pasien dan bisa memperlambat proses
penyembuhan pascaoperasi. Kapur mendeskripsikan mual muntah
pascaoperasi ini sebagai the big little problem(Sweeney, 2002). Kondisi
mual muntah pasca operasi ini dianggap sebagai suatu hal yang kecil tetapi
lebih banyak di keluhkan oleh para pasien daripada nyeri pascaoperasi
(Tramer dkk, 1999; Brodnax dan Seagal, 2011). Mual muntah pascaoperasi
selain akan menyebabkan hasil operasi (outcome) yang kurang baik, juga
dapat meningkatkan risiko aspirasi (Morgan dkk,1996). Kondisi ini dapat
meningkatkan morbiditas, lama perawatan dan merupakan salah satu
penyebab seorang pasien bedah rawat jalan harus dirawat di rumah sakit,
sehingga akan meningkatkan biaya perawatan, menimbulkan stres pada
pasien dan mengurangi kenyamanan (Habib, 2006).

Kortilla menyatakan bahwa kejadian mual muntah pasca operasi ini


dikeluhkan oleh lebih dari 50% pasien sesudah anestesi umum dan dapat
mencapai 70% pada pasien dengan risiko tinggi (Mohamed, 2004). Dalam
studi yang dilakukan McCaul dkk, 22% pasien melaporkanmengalami PONV
24jam pascalaparoskopi ginekologi (CDK, 2012). Namun, angka kejadian
PONV di Indonesia belum diketahui.

Faktor risiko PONV bersifat multifaktorial. Stimulus yang bisa


mecetuskan mual dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan
psikogenik, dan ada pengaruh dari masing-masing reseptor di otak dan
berbagai stimulus yang terjadi. Meskipun demikian, sejak awal masa 1990-an
pemahaman tentang faktor risiko PONV meningkat, hal ini didapat dari suatu
studi klinis dengan analisis statistik multivariat dan stratifikasi yang lebih
canggih. Penelitian meta analisis dan penilaian sistematis menambah
pengetahuan faktor risiko PONV ini. Dengan adanya studi klinis maka
prediksi PONV dengan menggunakan sistem skor semakin berkembang
(Gan, 2006; Pierre dkk, 2004).

Prediksi terjadinya PONV pada pasien pascaoperasi ini penting untuk


dilakukan, sehingga bisa dilakukan tindakan preventifnya. Beberapa peneliti
seperti Apfel dan Koivuranta telah menyusun sistem skoring untuk
memprediksi PONV (Apfel dkk, 2002). Penelitian tentang prediksi terjadinya
PONV belum pernah dilakukan di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian tentang aplikasi sistem skoring yang sederhana namun efektif
digunakan untuk memprediksi PONV.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan merujuk pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah


pada penelitian ini adalah :

Apakah skor Apfel bisa memprediksi kejadianpost operative nausea vomiting


(PONV) pada pasien-pasien ps1-2 yang di operasi di RSUHaji Surabaya?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum: untuk mengetahui penggunaan skor Apfel untuk


memprediksi kejadian post operative nausea vomiting (PONV) pada
pasien pasien ps1-2 yang di operasi di RSUHaji Surabaya

1.3.2. Tujuan Khusus :


a. Untuk mengetahui kejadian PONV pada pasienps1-2yang di
operasi di RSUHaji Surabaya.
b. Untuk mengetahui keakuratan skor Apfel untuk memprediksi
kejadian PONV pada pasien ps 1-2 yang di operasi di RSU Haji
Surabaya.

1.4. Manfaat Penelitian


a. Sebagai evidence-based penerapan skor Apfel
b. Sebagai evidence-based kejadian PONV pada pasien
pascaoperasi
c. Sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk mencegah PONV
pada pasien yang mempunyai faktor resiko khusus.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mual dan Muntah


Mual (nausea) adalah suatu sensasi atau perasaan tidak
menyenangkan yang mendahului muntah (Dorland, 2002).US National
Library of Medicinemendefinisikan mual sebagai suatu dorongan untuk
muntah yang juga sering dikatakan sebagai being sick to your stomach.Hal
ini terjadi disertai dengan menurunnya tonus otot lambung, kontraksi, sekresi,
hipersalivasi, peningkatan aliran darah ke mukosa intestinal, keringat dingin,
detak jantung meningkat dan adanya perubahan irama pernafasan
(Sudarmo,2006).
Muntah (vomiting) diartikan sebagai keluarnya isi lambung dengan
hentakan seperti menyemprot melewati esofagus dan keluar melalui mulut
(NCBI,2013).Sebelum terjadi muntah biasanya didahului dengan mual, hal ini
terjadi sebagai suatu reflek perlindungan untuk mengeluarkan bahan toksik
ataupun sebagai hasil pengurangan tekanan dalam organ intestinal yang
mengalami obstruksi (Sudarmo,2006).

2.1.1. Patofisiologi Mual dan Muntah


Mual diartikan seabagai rasa yang tidak enak bersifat subyektif
behubungan dengan keinginan muntah.Muntah berarti suatu ekspulsi atau
pengeluaran dengan tenaga penuh dari isi gaster, tetapi rasa mual tidak
selalu disertai dengan muntah (Sherwood, 2001; Loadsman,2005).Sebelum
muntah bisa juga terajdi retching, suatu kedaan yang tampak sebagai awalan
akan muntah seperti usaha yang kuat untuk muntah dan terjadi secara
involunter dengan adanya mekanisme menutupnya glottis dan kontraksi
spasmodik dari otot diafragma serta abdomen yang dalam waktu bersamaan
terjadi relaksasi lower oesophageal sphingter, dan pada akhirnya tidak selalu
disertai ekspulsi dari isi lambung (Loadsman, 2005; Sudarmo,2006).
Saat muntah terjadi ekspulsi isi gaster, karena adanya kontraksi otot-
otot pernafasan yaitu diafragma (otot inspirasi utama) dan otot abdomen (otot
ekspirasi aktif). Tekanan intrabdominal akan mengalami peningkatan, terjadi
penutupan glottis dan palatum akan naik, sehingga muncul kontraksi dari
pylorus dan relaksasi dari fundus, sfingter cardia dan otot esofagus
(Loadsman,2005).
Proses terjadinya mual dan muntah bersifat kompleks dan berbagai
organ juga terlibat dalam tiga aktivitas yang terkait yaitu nausea, retching,
dan pengeluaran isi gaster. Hal ini bisa dikatakan sebagai komponen utama
yaitu deteksi reflek muntah, muncul mekanisme integrasi dan adanya
gerakan motorik (Saeeda,2004). Semua proses merupakan mekanisme
pertahanan yang penting untuk mencegah penimbunan zat toksik
(Rahman,2004).
Berbagai macam stimulus dapat mencetuskan terjadinya mual dan
muntah antara lain berasal dari fungsi olfaktori, fungsi visual, psikologis, dan
keseimbangan atau vestibular. Pengatur utama sistem mual muntah berada
di medulla oblongata yang banyak berisi kumpulan saraf-saraf.Selain itu,
medulla oblongata sebagai pusat muntah lokasinya berdampingan dengan
pusat viseral lain seperti pusat pernafasan dan vasomotor, sehingga
memberikan efek yang kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai organ
(Zainumi, 2011).
Medulla oblongata mengandung banyak jaras serabut saraf, termasuk
semua jaras ascenden dan descenden yang menghubungkan otak dengan
perifer.Hampir seluruh batang otak termasuk medulla oblongata dilingkupi
oleh jaringan difus neuron sebagai seuatu formasi retikularis yang
mengandung pusat regulasi otonomik yang penting untuk berbagai fungsi
vital dari tubuh manusia. Saraf saraf yang terletak di medulla oblongata
menerima beberapa impuls saraf yang terdiri dari (Neal, 2005;Siregar, 2011) :
a. CTZ (chemoreceptor trigger zone), area postrema terletak
di dasar ventrikel IV diluar dari sawar otak.
b. Korteks limbik, berhubungan dengan rangsang bau serta
penglihatan.
c. Nukleus traktus solitarius, dekat dengan vomiting center,
reflek yang secara langsung dapat ditimbulkan dengan
memasukkan jari ke mulut.
d. Sistem spinoretikular
e. Sistem vestibular, berhubungan dengan gangguan pada
telinga tengah yang menyebabkan mual, termasuk motion
sickness.
f. Nervus vagus, menyalurkan sinyal - sinyal dari organ
gastrointestinal

Gambar 2.1. Area Postrema


Sumber: expertsmind.com

Secara neuroanatomi ada dua regio anatomi di bagian medulla yang


mengontrol muntah, chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan central
vomiting centre (CVC). CTZ terletak di area postrema pada dasar ujung
caudal ventrikel IV diluar blood brain barrier (sawar otak) (Gambar 2.1).
Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan
serebrospinal dan dan faktor - faktor lainnya yang bisa menimbulkan PONV.
Reseptor pada daerah tersebut akan diaktivasi oleh bahan-bahan proemetik
dalam sirkulasi darah dan di cairan serebrospinal. Serabut eferen yang
berasal dari CTZ akan dikirim ke CVC yang terletak di nukleus traktus
solitarius dan disekitar formasi retikularis medulla tepat di bagian inferior dari
CTZ, setelah itu akan terjadi rangsangan dari vagal eferen sphlanchnic
(Tramer, 2004; Apfel,2005; Sudarmo, 2006;). CTZ banyak mengandung
reseptor untuk senyawa neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah seperti
dopaminergic, histamine, 5-hydroxytryptamine, neurokinin, dan muscarinic
cholinergic reseptor, khususnya D2 dan 5HT3 (Sudarmo, 2006; Altkenhead
dkk, 2007; Zainumi,2011).Lokasi CTZ diluar blood brain barrier ini
menyebabkan mudah sekali terangsang stimulus misalnya zat toksin atau
obat-obatan (Zainumi,2011).
Masing masing reseptor dapat dipengaruhi berbagai stimulus,
serabut aferen dari saluran gastrointestinal (terutama serotoninergic), faring,
mediastinum, pusat visual, bagian nervus vestibular (terutama
histamninergic) dan dari trigger zone kemoreseptor (dopaminergic)
(Harijanto, 2010).

Nervus cranialis menyalurkan suatu impuls motorik dari vomiting


center ke saluran pencernaan bagian atas setelah itu sampai pada otot
diafragma dan otot abdomen melalui saraf spinal (Harijanto, 2010).
Gambar 2.2. Vomiting Center
Sumber: Pallialine (2009)

2.2. PONV
PONV masih menjadi suatu hal yang umum terjadi setelah tindakan
anestesi dan operasi. Secara keseluruhan PONV dapat muncul pada sekitar
25% - 30% pasien yang melakukan tindakan operasi laparotomi, bahkan
pada 70% - 80% pasien yang mempunyai risiko tinggi (Doubravska et al,
2009). PONV dapat menyebabkan efek yang merugikan secara fisik,
metabolik, dan psikologis pada pasien bedah (Beverly, 1997).

2.2.1. Faktor Risiko


Faktor risiko terjadinya PONV pada umumnya dapat di golongkan
menjadi beberapa kelompok yaitu, faktor non-anestetik (individual), faktor
anestetik, dan faktor yang berhubungan dengan tindakan operatif (Tramer,
2004;Harijanto, 2010). Faktor risiko pada pasien PONV adalah:
1. Faktor individual (pasien) (Koivuranta et al, 1997; Sinclair et al,
1999; Apfel dkk, 2002; Carol, 2003; Gan, 2006; Chandrakantan, 2011; Janicki
et al, 2011; Rother, 2012)
a. Jenis kelamin : wanita pada umumnya memiliki risikotiga
kali lebih besar daripada laki-laki, diduga karena
keterlibatan hormon (gonadotropin dan estrogen). Resiko
ini semakin meningkat saat mengalami masa pubertas.
b. Usia : anak-anak dan usia remaja lebih sering
mengalami PONV, dan sekitar 14-40% terjadi pada
dewasa.
c. Obesitas : pasien yang mengalami obesitas lebih rentan
mengalami PONV, dilaporkan bahwa terjadi karena
simpanan lemak yang berlebihan sehingga akan terjadi
peningkatan jumlah simpanan obat-obatan anestesi atau
produksi dari estrogen. Suatu hal yang kontradiksi, di sisi
lain dilaporkan bahwa pada peningkatan body mass
index (BMI) bukan merupakan suatu faktor risiko PONV.
d. Riwayat : pasien yang mempunyai riwayat atau sering
mengalami motion sickness ataupun PONV, memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami PONV.
e. Perokok : dalam hal ini perokok menurunkan risiko
terjadinya PONV.
f. Kecemasan :pasien dengan tingkat kecemasan yang
tinggi memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PONV,
berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin.
g. Perpanjangan waktu pengosongan lambung : pasien
dengan waktu pengosongan lambung yang lama akan
cenderung mengalami PONV.
h. Oral intake : hal ini sangat berhubungan dengan faktor
risiko sebelumnya. Motilitas gaster akan menurun setelah
banyak mengkonsumsi makanan mengandung lemak
selama preoperatif.
2. Faktor preoperative (Koivuranta et al, 1997; Apfel et al, 1999;
Sinclair et al, 1999; Carol, 2003; Habib et al, 2004)
a. Penyebab operasi : operasi yang melibatkan berbagai
organ yang dapat menyebabkan PONV seperti operasi
pada kepala dengan peningkatan tekanan intra kranial,
obstruksi atau gangguan saluran pencernaan, kehamilan
atau tindakan obstetri ginekologi yang membutuhkan
laparotomi, atau pasien dengan tindakan kemoterapi.
b. Pre-medikasi : CTZ terstimulasi dengan adanya efek
atropine yang memperpanjang pengosongan lambung
dan menurunkan tonus esofagus. Sementara itu, opioid
akan meningkatkan sekresi gaster dan menurunkan
motilitasnya, serta hal-hal tersebut juga dapat
meningkatkan produksi 5HT3 dari sel chromaffin dan
mengeluarkan ADH.

3. Faktor intraoperative (Sukhani et al, 1996;Polati et al, 1997;


Tramer dkk, 1999; Carol, 2003; Apfel et al, 2004; Moiniche dkk, 2003; Gan et
al, 2004; Robert dkk, 2005; Gan, 2006)
a. Faktor anestesi : tindakan intubasi akan menstimulasi
mekanoreseptor pada faring sehingga dapat
menyebabkan muntah. Pemakaian ventilasi masker
dapat menyebabkan inflasi dari gaster sehinggan akan
muntah. Terangsangnya vestibular pada saat mengalami
perubahan posisi kepala setelah bangun akan
menyebabkan muntah.
b. Obat-obatan anestesi :Kejadian PONV meningkat
denganpenggunaan obat anestesi golongan opioid,
terutama obat yang bersifat emetogenik seperti
morphine, etomidate, neostigmine, fentanyl, ketamine,
thiopental, nitrit oxide, dan meperidine. Pemakaian nitrit
oxide ini yang sangat sering mengalami PONV, nitrit
oxide langsung merangsang pusat mual muntah dan
berinteraksi dengan reseptor opioid, serta masuk ke
rongga-rongga saat operasi kasus saluran pencernaan
dan telinga yang secara otomatis merangsang vestibular
untuk menstimulasi pusat muntah. Agen anestesi inhalasi
seperti; eter dapat meningkatkan kejadian PONV, pada
halothane dapat dijumpai kejadian PONV yang lebih
rendah. Obat anestesi intravena berkebalikan dengan
agen inhalasi, misalnya propofol dapat menurunkan
kejadian PONV, yang di duga memiliki mekanisme
antagonis D2.
c. Teknik anestesi : general anestesi diprediksi
menyebabkan PONV lebih tinggi daripada spinal
anestesi, dan anestesi regional paling sedikit
emetogenik.
d. Faktor pembedahan : durasi dari tindakan pembedahan
yang membutuhkan waktu yang lama akan
meningkatkan risiko PONV. Berikut ini dalah urutan risiko
terjadinya PONV berdasarkan area anatomis
dilakukannya pembedahan : kraniotomi, intraabdominal,
ginekologi, laparotomi, laparoskopi, ortopedi, payudara,
bedah plastik, pada mata strabismus, dan gangguan
telinga hidung tenggorokan.

4. Faktor post-operatif (Carol, 2003; Saeeda dan Jain, 2004)


a. Nyeri : nausea dan vomiting akan sedikit berkurang
dengan meredakan nyeri. Mekanisme nyeri dapat
memperpanjang waktu pengosongan lambung, yang bisa
meningkatkan risiko PONV, sehingga nyeri harus
diredakan.
b. Opioid :opioid langsung menstimulasi chemoreceptor
trigger zone. Thomson menjelaskan bahwa penggunaan
opioid secara langsung menstimulasi CTZ tanpa adanya
pengaruh dari jalur ataupun waktu pemberian.
c. Ambulasi : PONV dapat terinduksi karena pengaruh dari
komponen vestibular.
d. Hipotensi ortostatik atau dehidrasi
e. Hipoglikemia : kemungkinan terjadi karena waktu puasa
yang terlalu panjang sehingga dapat terjadi PONV.
f. Hipoksemia
g. Oral intake : pemberian makanan atau cairan dalam
bentuk minuman terlalu dini dapat berkontribusi dalam
terjadinya PONV.

Gambar 2.3. Faktor yang mempengaruhi PONV

Sumber : Scielo (2002)


2.2.2. Sistem Skoring

Perkembangan utama dalam sistem skor terfokus pada


penyederhanaan sistem skor untuk kemudahan dalam penilaian. Untuk
pasien dewasa,Apfel dan Koivuranta telah membuat sistem skor sederhana
dengan 4 dan 5 faktor risiko(Koivurantadkk, 1997; Apfel dkk, 1999).Setelah
itu, Apfel dan kolega mengidentifikasi 4 faktor risiko yang membentuk dasar
Apfel scoring system yaitu jenis kelamin perempuan, ada riwayat
PONVmotion sickness, non-smokers, dan pemakaian opioid pascaoperasi
(Apfel et al, 1999).

Gambar 2.4. Apfel Score


Sumber: Apfel et al (1999)

Setiap peningkatan faktor risiko akanmeningkatkan kemungkinan


PONV sekitar 18-22 persen (Apfel et al, 1999). Meskipun faktor risiko telah
ditetapkan dengan baik untuk populasi dan merencanakan terapi antiemetik
untuk individu yang akan diberikan, tetapi tetap tidak terlalu tinggi tingkat
untuk prediksinya (Van den Bosch et al, 2005). Oleh karena itu identifikasi
faktor risiko dengan menggunakan Apfel criteria sangat penting, karena
meningkatnya suatu faktor risiko akan meningkatkan persiapan terapi (Apfel
et al, 2004).
Pada pasien dewasa, skor Apfel dan Koivuranta dkk secara statistik
menunjukkan nilai prediksi yang lebih tinggi dibandingkan sistem skor
Palazzo dan Evans. Pada penelitian ini juga didapati nilai kekuatan skor Apfel
pada kurva ROC lebih tinggi dibandingkan Koivuranta (0,68 dan 0,66) (Apfel
et al, 2002). Pada penelitian lainnya secara numerik pada kurva ROC skor
Kovuiranta lebih besar dibandingkan dengan skor Apfel yaitu (0,66 dan 0,63)
(Rusch et al, 2005). Namun pada penelitian yang dilakukan Pierredan kawan-
kawan menunjukkan secara signifikan skor Apfel lebih akurat dibandingkan
dengan skor Sinclair pada penelitian pasien dewasa (Pierre et al, 2002).
Pada pasien anak-anak, terdapat data yang lebih sedikit tentang faktor
risiko daripada penderita dewasa. Eberhart dkk., mengidentifikasi 4 faktor
risiko PONV pada anak-anak yaitu durasi operasi lebih dari 30 menit, usia
lebih dari 3 tahun, operasi strabismus, dan adanya riwayat PONV pada
orangtua, saudara kandung, dan pasien itu sendiri. Beberapa kelompok
peneliti mencari sistem skor tidak hanya untuk mengidentifikasi faktor risiko
independen PONV tapi juga mengembangkanformula dari pasien pasien
yang mungkin mengalami mual, muntah atau keduanya. Akurasi dari sistem
skor PONV diuji dengan kemampuannya untuk secara benar membedakan
antara pasien yang akan atau tidak akan mengalami muntah (Gan, 2006).
2.3. Antiemetik
Mual dan muntah mempunyai banyak penyebab, termasuk obat-
obatan (misalnya opioid, anestetik, sitotoksik), penyakit vestibular, kehamilan,
gerakan provokatif (misalnya mabuk kendaraan), dan masih banyak
lainnya.Akan lebih mudah untuk mencegah terjadinya mual dan muntah
daripada menghentikannya bila sudah terjadi.Oleh karena itu, bila
memungkinkan, antiemetik sebaiknya diberikan sesaat sebelum stimulus
emetik muncul.Antiemetik sebaiknya pula tidak diberikan sebelum diagnosis
diketahui karena identifikasi penyebab bisa tertunda (Neal, 2005).
Emesis dikoordinasi oleh pusat muntah dalam medula. Sumber
stimulasi yang penting dari pusat muntah adalah chemoreceptor trigger zone
atau biasa disebut CTZ pada daerah postrema. CTZ bisa distimulasi oleh
toksin atau obat dalam sirkulasi karena CTZ tidak dilindungi oleh sawar darah
otak (CTZ adalah bagian dari sistem sirkumventrikular) (Neal, 2005).
CTZ memiliki banyak reseptor terutama D2.Antagonis reseptor
dopamin merupakan suatu antiemetik (misalnya metoclorpamide,
domperidon, prokloperazine), biasa digunakan untuk mengurangi mual dan
muntah yang berhubungan dengan pemberian obat-obatan emetogenik
(misalnya opioid).Metoclopramide dan domperidon sering efektif digunakan
sebagai antagonis D2, tetapi juga mempunyai efek prokinetik pada usus dan
meningkatkan absorbsi banyak obat.Obat-obat ini juga mempunyai efek
meningkatkan kontraksi lambung dan memperkuat tonus sfingter esofagus
bawah, sehingga dapat mempercepat transit makanan dalam lambung.Aksi
prokinetik dari obat tersebut dihambat oleh atropin yang diperkirakan akibat
peningkatan pelepasan asetilkolin dari plexus mienterikus (Neal, 2005).

Gambar 2.5. Antiemetik


Sumber : Neal, 2005. Farmakologi At a Glance
CTZ juga memiliki reseptor 5HT3 dan sebagai lawannya ialah
antagonis 5HT3 (misalnya ondansetron, granisetron).Obat ini termasuk suatu
antiemetik yang efektif dimana untuk mencegah atau mengurangi mual
muntah akibat kemoterapi kanker dan anestesi umum karena obat ini
mempunyai lebih sedikit efek samping. Konsentrasi 5HT 3 yang tinggi pada
CTZ, tetapi efek perifer juga harus diperhatikan. Banyak obat (misalnya
sitotoksik dan radiasi sinar X) menyebabkan pelepasan 5HT dari sel
enterokromafin dalam usus, kemudian 5HT akan mengaktivasi 5HT 3 pada
serabut sensoris vagus. Stimulasi serabut sensoris ini dalam lambung oleh
suatu hal (misal iritan, toksin) menyebabkan reflek mual muntah (Neal, 2005).
BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. KERANGKA KONSEPTUAL

PS 1-2
Pasien
Usia 17-60

Operasi non THT

APFEL SCORE Jenis Anastesi dan


operasi
Wanita Antiemetik
Tidak merokok
Riwayat MS/PONV
Opioid

PONV
3.2. Alur Penelitian

Populasi ; pasien ps1-2 operasi di RSU Haji Surabaya

anamnesa

Data rekam medis

Total populasi

apfel skor apfel skor


tinggi tinggi
PONV PONV
positif negatif

apfel skor apfel skor


sedang sedang
PONV PONV
positif negatif

apfel skor apfel skor


rendah rendah
PONV PONV
positif negatif
BAB 4

DATA PENELITIAN

Tabel I. Hubungan Antara Score APFEL Dengan Kejadian PONV Pada


Pasien Yang Diberi Anti Emetik

Dari data di atas dapat diketahui bahwa pasien dengan score APFEL
ringan, sedang, dan berat yang mengalami kejadian PONV berjumlah 6
orang, sedangkan pasien dengan score APFEL ringan, sedang, dan berat
yang tidak mengalami kejadian PONV sebanyak 17 orang.

Dari jumlah tersebut dapat diketahui bahwa pemberian anti emetik


dapat menurunkan resiko terjadinya PONV pada pasien dengan score
APFEL ringan sedang berat.

Tabel II. Hubungan Antara Cara Pemberian Anestesi Dengan Kejadian


PONV Pada Pasien Yang Diberi Anti Emetik

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah kejadian PONV pada
pasien dengan cara pemberian anestesi general sejumlah 1 orang dari 9
orang. Sedangkan kejadian PONV pada pasien dengan cara pemberian
anestesi regional Subarachnoid Blok sebanyak 5 orang dari 14 orang.
BAB 5

PEMBAHASAN

Faktor risiko terjadinya PONV pada umumnya dapat di golongkan


menjadi beberapa kelompok yaitu, faktor non-anestetik (individual), faktor
anestetik, dan faktor yang berhubungan dengan tindakan operatif (Tramer,
2004;Harijanto, 2010). Perkembangan utama dalam sistem skor terfokus
pada penyederhanaan sistem skor untuk kemudahan dalam penilaian.

Untuk pasien dewasa,Apfel dan Koivuranta telah membuat sistem skor


sederhana dengan 4 dan 5 faktor risiko(Koivurantadkk, 1997; Apfel dkk,
1999).Setelah itu, Apfel dan kolega mengidentifikasi 4 faktor risiko yang
membentuk dasar Apfel scoring system yaitu jenis kelamin perempuan, ada
riwayat PONVmotion sickness, non-smokers, dan pemakaian opioid
pascaoperasi (Apfel et al, 1999).Setiap peningkatan faktor risiko
akanmeningkatkan kemungkinan PONV sekitar 18-22 persen (Apfel et al,
1999).Mual dan muntah mempunyai banyak penyebab, termasuk obat-
obatan (misalnya opioid, anestetik, sitotoksik).Pemberian antiemetik dapat
mengurangi mual dan muntah.Dari data yang diperoleh pada tabel 1,
pemberian antiemetik efektif menanggulangi terjadinya PONV pada semua
pasien dengan skor Apfel ringan, sedang, ataupun berat. Hal ini ditunjukkan
dari penelitian bahwa PONV terjadi pada pasien dengan Apfel skor positif
yang di beri antiemetik sebanyak 6 orang dari 23 orang dengan perlakuan
yang sama.

Dari teori, kejadian PONV selain dipengaruhi skor Apfel juga dipengaruhi oleh
tehnik anestesi. Hasil pada tabel 2 menunjukkan bahwa kejadian PONV
dengan GA sebanyak 1 orang dari 9 orang, sedangkan kejadian PONV pada
pasien SAB sebanyak 5 orang dari 14 orang. Hal ini kurang sesuai dengan
teori, dikarenakan pada pasien SAB dengan PONV yang kami lakukan
penelitian memiliki skor Apfel ringan berjumlah 1 orang, apfel sedang 2
orang, dan apfel berat 2 orang. Selain itu pasien SAB dengan PONV serta
Apfel skor sedang dan ringan dilakukan operasi yang memanipulasi
abdomen. Sedangkan yang lain tidak dilakukan manipulasi abdomen tetapi
apfel skor berat. Pada pasien GA dengan PONV memiliki skor Apfel ringan
dan operasi tidak memanipulasi abdomen.
BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian penggunaan skor Apfel untuk memprediksi


kejadian post operative nausea vomiting(PONV) dapat disimpulkan sebagai
berikut :

1. Dari total 23pasien yang menjalani operasi diketahui 6 pasien


dengan skor Apfel berat, sedang, maupun ringan mengalami
PONV, meskipun telah diberi antiemetik.
2. Tidak ada hubungan antara penggunaan skor Apfel dengan
PONV. Jadi skor Apfel tidak dapat memprediksi PONV pada
pasien yang telah mendapatkan antiemetik.
3. Terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya PONV
selain skor Apfel, antara lain tehnik anestesi dan jenis operasi.

7.2. Saran

Penelitian ini memiliki kekurangan antara lain; metode penelitian yang


kurang sesuai karena masalah waktu, jumlah sample yang kurang
memenuhi, waktu penelitian yang pendek, dan sulitnya mengendalikan faktor
faktor lain selain skor Apfel, seperti jenis operasi. Maka dari itu saran kami
adalah;

1. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai faktor resiko PONV


dengan penggolongan kriteria yang lebih spesifik.
2. Perlu waktu penelitian yang lebih lama agar mendapatkan sample
sesuai kriteria yang di teliti.
3. Perlu adanya penelitian lanjutan dengan metode penelitian yang
lebih sesuai agar mendapatkan hasil yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Apfel CC, Laara E, Koivuranta M, Greim CA, Roewer N 1999, A simplified


risk score for predicting postoperative nausea and vomiting:
conclusions from cross validation between two centers,
Anesthesiology,91, pp. 693 700.

Apfel CC, Kranke P, Eberhart LHJ, Roos A, Roewer N 2002, Comparison of


predictive models for postoperative nausea and vomiting, Br J
Anaesth, 88, pp. 234 240.

Apfel CC, Korttila K, Abdalla M, et al 2004, A factorial trial of six interventions


for the prevention of postoperative nausea and vomiting, N Engl J
Med, 350, pp. 241251.

Beverly, K 1997, Etiologies of Post Operative Nausea and Vomiting ,


Etherweb Harvard Edu, pp. 19-24.

Brodnax P, Segal S 2011, Essential Clinical Anesthesia, Cambridge


University Press, Cambridge.

CDK, 2012, Pemberian Cairan Perioperatif IV Membantu Menurunkan


Kejadian PONV, CDK-197, vol.39 no.9, pp. 701.

David Arnot, dkk 2009, Pustaka Kesehtan Populer Saluran Pencernaan,


Volume 4, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Dorland, 2002, Nausea, Kamus Kedokteran Dorland, ed. 29, EGC, Jakarta.

Doubravska L, Dostalova K, Fritscherova S, Zapletalova J, Adamus M


2010,Incindence of postoperative nausea and vomiting in patients at
a university hospital, Biomed pap med fac univ palcky Olomouc
czezh republic, 154, pp. 69-76.
Eberhart LH, Geldner G, Kranke P, et al 2004,The development and
validation of a risk score to predict the probability of postoperative
vomiting in pediatric patients, Anesth Analg, 99, pp. 1630.

Etherweb, 2014, Post Operative Nausea Vomiting, Harvard etherweb (online),


(http://etherweb.bwh.harvard.edu/education/resources/ambulatory_a
nesthesia/Etiologies_of_PONV.pdfdiakses 11 November 2014)

Expertsmind, 2014, Area Postrema (Gambar),


(http://www.expertsmind.com/CMSImages/2397diakses 28 Oktober
2014)

Gan, TJ 2006,Risk factors for postoperative nausea and vomiting, Anesth


Analg, 102, pp. 1884.

Gan TJ, Joshi GP, Viscusi E, et al 2004,Preoperative parenteral parecoxib


and follow-up oral valdecoxib reduce length of stay and improve
quality of patient recovery after laparoscopic cholecystectomy
surgery, Anesth Analg, 98, pp. 1665.

Habib AS, Gan TJ 2001,Combination therapy for postoperative nausea and


vomiting a more effective prophylaxis?, Ambul Surg, 9, pp. 5971.

Habib AS, White WD, Eubanks S, Pappas TN, Gan TJ 2004,A randomized
comparison of a multimodal management strategy versus combination
antiemetics for the prevention of postoperative nausea and vomiting,
Anesth Analg, 99, pp. 7781.

Hadi, Sujono 2002, Gastroenterologi, P.T Alumni, Bandung.


Harijanto, E 2010, Penatalaksanaan Mual Muntah Pasca Bedah; Peran
Granisetron , Medicinus, 23, pp. 11-15.

Janicki PK, Vealey R, Liu J, Escajeda J, Postula M, Welker K 2011,Genome-


wide association study using pooled DNA to identify candidate
markers mediating susceptibility to postoperative nausea and
vomiting, Anesthesiology, 115, pp. 5464.

Koivuranta M, Laara E, Snare L, Alahuhta S 1997,A survey of post operative


nausea and vomiting, Anaesthesia, 52, pp. 443.

Loadsman, J 2005,Post Operative Nausea and Vomiting, The Virtual


Anaesthesia Textbook, pp. 1-2.

Medline, 2014, Nausea vomiting (online),


(http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/002928.htmdiakses
20 November 2014).

Moiniche S, Romsing J, Dahl JB, Tramer MR 2003,Nonsteroidal


antiinammatory drugs and the risk of operative site bleeding after
tonsillectomy: a quantitative systematic review, Anesth Analg, 96,pp.
6877.

Morgan GE, Mikhael MS 1996,Anesthesia for Ophthalmic Surgery,


In: Clinical Anesthesiology, vol.2, Prentice Hall International, New
Jersey.

NCBI, 2013, Nausea and Vomiting, Pubmed NCBI bookshelf (online),


(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK410 diakses 28 November
2014)

Neal, MJ 2005, Antiemetic and Analghesia Opioid, in: Medical Pharmacology


at a Glance, Fifth edition, Blackwell Publishing ltd.

Notoatmodjo, S., 2005,Metodologi Penelitian Kesehatan, PT Rineka Cipta,


Jakarta.
Palazzo M, Evans R 1993,Logistic regression analysis of xed patient factors
for postoperative sickness: a model for risk assessment, Br J
Anaesth, 70, pp. 135.
Pallialine, 2014, Vomiting centre (Gambar),
(http://www.pallialine.be/accounts/129/imgs/braken.jpg diakses 28
Oktober 2014)

Pierre S, Corno G, Benais H, Apfel CC 2004,A risk score-dependent


antiemetic approach effectively reduces postoperative nausea and
vomiting a continuous quality improvement initiative, Can J Anesth,
51, pp. 32 35.

Pierre S, Benais H, Pouymayou J 2002,Apfels simplified score may


favourably predict the risk of postoperative nausea and vomiting, Can
J Anesth, 49, pp. 237.

Polati E, Verlato G, Finco G, et al 1997,Ondansetron versus metoclopramide


in the treatment of postoperative nausea and vomiting, Anesth
Analg, 85, pp. 395.

Rahman MH, Beattie J 2004,Post operative nausea and vomiting , The


Pharmaceutical Journal, 273, pp. 786.

Roberts GW, Bekker TB, Carlsen HH, Moffatt CH, Slattery PJ, McClure AF
2005,Postoperative nausea and vomiting are strongly inuenced by
postoperative opioid use in a dose-related manner, Anesth Analg ,
101,pp. 1343.

Rsch D, Eberhart L, Biedler A, Dethling J, Apfel CC 2005,Prospective


application of a simplified risk score to prevent postoperative nausea
and vomiting , Can J Anesth, 52(5), pp. 478.

Schwartz, SI 1994, Principles of Surgery, Companion Handbook, McGraw-


Hill Inc.
Scielo, 2014, Faktor yang mempengaruhi PONV (Gambar),
(http://www.scielo.br/img/revistas/rba/v55n5/en_13fig1.gifdiakses 28
Oktober 2014)

Sherwood, Lauralee2001, Fisiologi Manusia. 2nd ed. Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC, pp. 554-56.

Sinclair DR, Chung F, Mezei G 1999,Can postoperative nausea and vomiting


be predicted? , Anesthesiology, 91, pp. 109.

Sukhani R, Vazquez J, Pappas AL, Frey K, Aasen M, Slogoff S


1996,Recovery after propofol with and without intraoperative fentanyl
in patients undergoing ambulatory gynecologic laparoscopy, Anesth
Analg, 83, pp. 975.

Suraatmaja, S., 2010.Muntah. In: Suraatmaja Sudaryat, Gastroenterologi


Anak. Jakarta: Sagung Seto, pp. 1-15.

Surapsari, J 2006, Antiemetik dan Analgesik Opioid, Farmakologi Medis at a


Glance, Edisi kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Surgery Encyclopedia, 2014, Laparotomi, Surgery Encyclopedia (online), (


http://www.surgeryencyclopedia.com/La-Pa/Laparotomy.html diakses
20 November 2014)

Tramer MR, Fuchs-Buder T 1999,Omitting antagonism of neuromuscular


block: effect on postoperative nausea and vomiting andrisk of residual
paralysis. A systematic review , Br J Anaesth, 82, pp. 379.

Unnebrink K, Windeler J. 2001,Intention-to-treat: Methods for


dealingwithmissing values in clinical trials of progressively
deterioratingdiseases, Statistics in Medicine, 20, pp. 39313946.

You might also like