You are on page 1of 21

RONDE KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.

A DENGAN KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) DI RUANG
JANANURAGA 1 RS. BHAYANGKARA PALEMBANG

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa
disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis
ditandai dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya
secara abnormal saluran udara (Mansjoer, 2000). Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK) merupakan suatu kondisi irreversible yang berkaitan dengan dipsnue saat
beraktifitas dan penurunan masuk serta keluarnya udara paru-paru (Smeltzer and
Bare, 2008). Price & Wilson (2006) juga menyebutkan PPOK merupakan suatu istilah
digunakan untuk sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama dan ditandai
dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan PPOK adalah
bronkitis kronis, emfisema paru dan asma bronkial.

B. Etiologi
Faktor faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Mansjoer (2000) adalah :
1. Kebiasaan merokok.
2. Polusi udara.
3. Paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Bersifat genetik yaitu defisiensi alfa satu antitripsin.
Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru
obstruksi kronis adalah :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok
menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi
paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan
penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok.
Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang
diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan
klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan
resiko morbiditas PPOK.

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah :
1. Batuk.
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen.
3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas.
Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru

Obstruksi Kronis adalah :


Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi
kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk
dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek
sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada
batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan
produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat
badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu
secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut
tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik
banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak
yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan
(isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya
oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih
membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam
melakukan pernafasan.

D. Patofisiologi / pathway
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001)
adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan
mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan
lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama
kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi
menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel
goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus
dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri,
pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.

Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur


pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat.
Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di
sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan
rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan
campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasiperfusi ini
menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan
normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi
terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama.
Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan
penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan
pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan
oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat
merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau
karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida
meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke
jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi
ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi
yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang
dapat menyebabkan anoreksia.

Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang
tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia,
hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan
vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary
mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular
ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
PATHWAY
E. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) antara lain :
1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma,
peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula
(emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama
periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah
fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator.
3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema.
5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma.
6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan
kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma.
7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis
misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis
kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis,
alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau
asma).
8. Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps
bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat
pada bronkus.
9. Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen,
pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma
berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF
(bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema).
13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau
evaluasi program latihan.

F. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2000) adalah
infeksi nafas yang berulang, pneumotoraks spontan, eritrositosis karena keadaan
hipoksia kronik, gagal nafas dan kor pulmonal.
Reeves (2001) menambahkan komplikasi pernafasan utama yang bisa terjadi pada
pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis yaitu gagal nafas akut (Acute
Respiratory Failure), pneumotoraks dan giant bullae serta ada satu komplikasi
kardiak yaitu penyakit cor-pulmonale.
1. Acute Respiratory Failure (ARF).
Acute Respiratory Failure (ARF) terjadi ketika ventilasi dan oksigenasi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh saat istirahat. Analisa gas darah bagi pasien
penyakit paru obstruksi menahun menunjukkan tekanan oksigen arterial PaO2 sebesar
55 mm Hg atau kurang dan tekanan karbondioksida arterial (PaCO2) sebesar 50 mm
Hg atau lebih besar. Jika pasien atau keluarganya membutuhkan alat-alat bantu
kehidupan maka pasien tersebut dilakukan intubasi dan diberi sebuah respirator untuk
ventilasi secara mekanik.

2. Cor Pulmonale.
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan merupakan pembesaran
ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading akibat dari penyakit pulmo.
Komplikasi jantung ini terjadi sebagai mekanisme kompensasi sekunder bagi paru-
paru yang rusak pada penderita penyakit paru obstruksi menahun.
Cor pulmonary merupakan contoh yang tepat dari sistem kerja tubuh secara
menyeluruh. Apabila terjadi malfungsi pada satu sistem organ maka hal ini akan
merembet ke sistem organ lainnya. Pada penderita dengan penyakit paru obstruksi
menahun, hipoksemia kronis menyebabkan vasokonstriksi kapiler paru-paru yang
kemudian akan meningkatkan resistensi vaskuler pulmonari. Efek domino dari
perubahan ini terjadi peningkatan tekanan dalam paru-paru mengakibatkan ventrikel
kanan lebih kuat dalam memompa sehingga lama-kelamaan otot ventrikel kanan
menjadi hipertrofi atau membesar.
Perawatan penyakit jantung paru meliputi pemberian oksigen dosis rendah
dibatasi hingga 2 liter per menit, diuretik untuk menurunkan edema perifer dan
istirahat. Edema perifer merupakan efek domino yang lain karena darah balik ke
jantung dari perifer atau sistemik dipengaruhi oleh hipertrofi ventrikel kanan.
Digitalis hanya digunakan pada penyakit jantung paru yang juga menderita gagal
jantung kiri.

3. Pneumothoraks.
Pneumotoraks merupakan komplikasi PPOM serius lainnya. Pnemo berarti udara
sehingga pneumotoraks diartikan sebagai akumulasi udara dalam rongga pleural.
Rongga pleural sesungguhnya merupakan rongga yang khusus yakni berupa lapisan
cairan tipis antara lapisan viseral dan parietal paru-paru Fungsi cairan pleural adalah
untuk membantu gerakan paru-paru menjadi lancar dan mulus selama pernafasan
berlangsung. Ketika udara terakumulasi dalam rongga pleural, maka kapasitas paru-
paru untuk pertukaran udara secara normal, menjadi melemah dan hal ini
menyebabkan menurunnya kapasitas vital dan hipoksemia.

4. Giant Bullae.
Pneumotoraks seringkali dikaitkan dengan komplikasi PPOM lainnya yaitu
pembentukan giant bullae. Jika pneumotoraks adalah udara yang terakumulasi di
rongga pleura. Tetapi bullae adalah timbul karena udara terperangkap di parenkim
paru-paru. Sehingga alveoli yang menjadi tempat menangkapnya udara untuk
pertukaran gas menjadi benar-benar tidak efektif. Bullae dapat menyebabkan
perubahan fungsi pernafasan dengan cara 2 hal yaitu dengan menekan jaringan paru-
paru, mengganggu berlangsungnya pertukaran udara. Jika udara yang terperangkap
dalam alveoli semakin meluas maka semakin banyak pula kerusakan yang terjadi di
dinding alveolar.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada
pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam
membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari
selama periode eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda
pneumonia, maka dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.

3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :


a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
H. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan Penyakit paru Obstruksi Kronis menurut Doenges
(2000) adalah :
. a. Aktivitas dan istirahat
1) Gejala :
a) Keletihan, kelemahan, malaise.
b) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernafas.
c) Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi.
d) Dispnea pada saat istirahat atau respons terhadap aktivitas atau latihan.
2) Tanda :
a) Keletihan.
b) Gelisah, insomnia
c) Kelemahan umum atau kehilangan masa otot.

b. Sirkulasi
1) Gejala
a) Pembengkakan pada ekstrimitas bawah.
2) Tanda :
a) Peningkatan tekanan darah.
b) Peningkatan frekuensi jantung atau takikardia berat atau disritmia.
c) Distensi vena leher atau penyakit berat.
d) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung.
e) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan diameter AP dada)
f) Warna kulit atau membrane mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku
tabuh dan sianosis perifer.
g) Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas ego
1) Gejala :
a) Peningkatan faktor resiko.
b) Perubahan pola hidup.
2) Tanda :
a) Ansietas, ketakutan, peka rangsang.
d. Makanan atau cairan
1) Gejala :
a) Mual atau muntah.
b) Nafsu makan buruk atau anoreksia (emfisema).
c) Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
d) Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan
menunjukkan edema (bronchitis).
2) Tanda :
a) Turgor kulit buruk.
b) Edema dependen.
c) Berkeringat.
d) Penurunan berat badan, penurunan masa otot atau lemak subkutan (emfisema).
e) Palpasi abdominal dapat menyatakan hepatomegali (bronchitis).
e. Hygiene
1) Gejala :
a) Penurunan kemampuan atau peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas
sehai-hari.
2) Tanda :
a) Kebersihan buruk, bau badan.

f. Pernafasan
1) Gejala :
a) Nafas pendek, umumnya tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol
pada emfisema , khususnya pada kerja, cuaca atau episode berulangnya sulit nafas
(asma), rasa dada tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas (asma).
b) Lapar udara kronis.
c) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama saat bangun selama
minimal 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi sputum
(hijau, putih atau kuning) dapat banyak sekali (bronkhitis kronis).
d) Episode batuk hilang-timbul, biasanya tidak produktif pada tahap dini meskipun
dapat menjadi produktif (emfisema).
e) Riwayat pneumonia berulang, terpajan oleh polusi kimia atau iritan pernafasan
dalam jangka panjang misalnya rokok sigaret atau debu atau asap misalnya asbes,
debu batubara, rami katun, serbuk gergaji.
f) Faktor keluarga dan keturunan misalnya defisiensi alfa antritipsin (emfisema).
g) Penggunaan oksigen pada malam hari atau terus menerus.

2) Tanda :
a) Pernafasan biasanya cepat, dapat lambat, fase ekspirasi memanjang dengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema).
b) Lebih memilih posisi 3 titik (tripot) untuk bernafas khususnya dengan eksasebrasi
akut (bronchitis kronis).
c) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu, retraksi fosa
supraklavikula, melebarkan hidung.
d) Dada dapat terlihat hiperinflasi dengan peninggian diameter AP (bentuk barrel
chest), gerakan diafragma minimal.
e) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema), menyebar,
lembut, atau krekels lembab kasar (bronkhitis), ronki, mengi, sepanjang area paru
pada ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau
tak adanya bunyi nafas (asma).
f) Perkusi ditemukan hiperesonan pada area paru misalnya jebakan udara dengan
emfisema, bunyi pekak pada area paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
g) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 sampai 5 kata sekaligus.
h) Warna pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku. Keabu-abuan keseluruhan,
warna merah (bronkhitis kronis, biru menggembung). Pasien dengan emfisema
sedang sering disebut pink puffer karena warna kulit normal meskipun pertukaran
gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
i) Tabuh pada jari-jari (emfisema).

g. Keamanan
1) Gejala :
a) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat atau faktor lingkungan.
b) Adanya atau berulangnya infeksi.
c) Kemerahan atau berkeringan (asma).

h. Seksualitas
1) Gejala :
a) Penurunan libido.
i. Interaksi sosial
1) Gejala :
a) Hubungan ketergantungan.
b) Kurang sistem pendukung.
c) Kegagalan dukungan dari atau terhadap pasangan atau orang terdekat.
d) Penyakit lama atau kemampuan membaik.
2) Tanda :
a) Ketidakmampuan untuk membuat atau mempertahankan suara karena distress
pernafasan.
b) Keterbatasan mobilitas fisik.
c) Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.
j. Penyuluhan atau pembelajaran
1) Gejala :
a) Penggunaan atau penyalahgunaan obat pernafasan.
b) Kesulitan menghentikan merokok.
c) Penggunaan alkohol secara teratur.
d) Kegagalan untuk membaik.
2) Rencana pemulangan :
a) Bantuan dalam berbelanja, transportasi, kebutuhan perawatan diri, perawatan
rumah atau mempertahankan tugas rumah.
b) Perubahan pengobatan atau program terapeutik.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen
(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.

3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
menurut Doenges (2000) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas
dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki
bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,
ronkhi.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,
distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
6) Observasi karakteristik batu, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.
Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti
makanan.
Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.
a) Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b) Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c) Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
d) Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.

b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen


(obstruksi jalan nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan
alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA
dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil
pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan
atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas
bibir, ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah
untuk bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan
atau toleransi individu.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukosa.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi
tambahan.
6) Palpasi fremitus.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke UPI
sesuai instruksi untuk pasien.

c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,


kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria
hasil pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk
meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan.
Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus.
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali
pakai dan tisu.
4) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan
makan porsi kecil tapi sering.
5) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
6) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
7) Timbang berat badan sesuai indikasi.
Kolaborasi :
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang
mudah dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau
selang, nutrisi parenteral.
2) Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau
mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
3) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.

d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan


utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas
(kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit
kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menyatakan pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria
hasil pasien akan mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan
resiko infeksi dan pasien akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan
masukan cairan adekuat.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila
memegang atau membuang tisu, wadah sputum.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
Kolaborasi :
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan
kuman gram, kultur atau sensitivitas.
2) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.

4. Implementasi Keperawatan

Pelaksanaan atau implementasi adalah pemberian tindakan keperawatan yang


dilaksanakan untuk mencapai tujuan rencanan tindakan yang telah disusun. Setiap
tindakan keperawatan yang dilakukan dicatat dalam pencatatan keperawatan agar
tindakan keperawatan terhadap klien terlanjut. Prisip dalam melaksanakan tindakan
keperawatan yaitu cara pendekatan pada klien efektif, teknik komunikasi teraupetik
serta penjelasan untuk setiap tindakan yang diberikan kepada klien. Dalam melakukan
tindakan keperawatan mengunakan tiga tahap petunjuk dan perintah dokter atau
tenaga kesehatan lainnya dependent adalah tindakan yang sehubungan dengan
pelaksanaan rencana.
5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses kerawatan yang


menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan rencana tindakan dan
pelaksanaanya sudah berhasil dicapai kemungkinan terjadi pada tahap evaluasi adalah
masalah dapat diatasi, masalah teratasi sebagai, masalah belum teratasi atau timbul
masalah yang baru. Evaluasi dilakukan yaitu evaluasi proses dan evaluasi hasil.
Evaluasi proses adalah yang dilaksanakan untuk membantu keefektifan terhadap
tindakan. Sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir
tindakan keperawatan secara keseluruhan sesui dengan waktu yang ada pada tujuan.
Adapun keberhasilan pada klien PPOK (paru obstruksi paru kronis) adalah

a. Sesak nafas dapat teratasi


b. Tidak terjadi batuk dan pilek
c. Mobilitas fisik dapat dilakukan secara mandiri
d. Pola tidurnya dapat kembali normal
e. Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa
disertai batuk
f. Sesak napas

Terutama pada saat melakukan aktivitas seringkali pasien sudah mengalami


adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak
dikeluhkan.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis


NANDA NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP.


IKIP.

Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika.

Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.

Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.


Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam Medis Pasien
Rawat Inap Di RSUD SRAGEN. Sragen : Jurnal Keperawatan.

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nazir. 2000. Metode Penelitian. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Nursalam. 2001. Proses dan Prinsip Keperawatan : Konsep dan Praktik. Jakarta :
Salemba Medika.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan


Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

You might also like