You are on page 1of 12

RONDE KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.

A DENGAN KASUS
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) DI RUANG
JANANURAGA 1 RS. BHAYANGKARA PALEMBANG

A. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik karena
adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel yaitu sesak napas yang semakin berat yang tidak bisa kembali
normal atau membaik atau reversibel parsial yaitu membaik sebagian, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Global
Obstructive Lung Disease, 2009).
Penyakit paru Obstruksi Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan di tandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal CPOD
adalah asma bronkhial, bronkhitis kronis dan emfisema paru. Penyakit ini sering
di sebut dengan chronic Air flow Limitation (CAL) dan chronic obstructive Lung
Disease ( Somantri, 2008:49).

B. Etiologi
Faktor - faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu,asap dan gas- gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paru - paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru - paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walau pun tidak merokok.
C. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko munculnya COPD (Mansjoer,
1999) adalah :
1. Kebiasaan merokok
2. Polusi udara
3. Paparan debu, asap, dan gas-gas kimiawi akibat kerja.
4. Riwayat infeksi saluran nafas.
5. Umur
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah
saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.

D. Klasifikasi
Berdasarkan GOLD(Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease)
2007, derajat PPOK diklasifikasikan menjadi 4 yaitu :
1. Derajat I / ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum). Keterbatasanaliran
udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini,
orang yang terkena sering tidak menyadari bahwa fungsi parunya tidak normal
2. Derajat II / sedang
Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% <
VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernapas. Pada
tingkatan ini biasanya pasien baru mencari pengobatan.
3. Derajat III / berat
Adanya keterbatasan bernapas / hambatan aliran udara yang semakin
memburuk (VEP1 / KVP <70%; 30%, VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak
napas yang semakin memberat, penurunan kapasitas latihan dan
eksaserbasiyang berulang berdampak pada kualitas hidup pasien. PPOK
eksaserbasi biasanya berada pada derajat ini.

4. Derajat IV / sangat berat


Hambatan aliran udara yang berat (VEP1 /
KVP < 70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal napas
kronik dan gagal jantung kanan.
E. Manifestasi Klinis
PPOKmemiliki tanda dan gejala yang khas yaitu batuk dan ekspektorasi,
dimana cenderung meningkat dan maksimal pada malam hari dan menandakan
adanya pengumpulan sekresi semalam sebelumnya. Batuk produktif pada awal
intermiten dan kemudian terjadi hampir setiap hari seiring waktu. Sputum
berwarna bening dan mukoid, namun dapat pula menjadi tebal, kuning, bahkan
terkadang ditemukan darah selama terjadinya infeksi bakteri respiratorik
(Mulyono, 2000).

F. Patofisiologi
Penyempitan saluran pernafasan terjadi pada bronkitis kronik maupun pada
emfisema paru. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan
adanya tanda-tanda obstruksi. Pada bronkitis kronik sesak nafas terutama
disebabkan karena perubahan pada saluran pernafaasan kecil, yang diameternya
kurang dari 2 mm, menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang terjadi
obliterasai.
Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernafasan
besar juga berubah. Timbul terutama karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar
mukus, sehingga saluran pernafasan lebih menyempit. Pada orang normal
sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran-saluran pernafasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada penderita emfisema paru dan bronchitis kronik, saluran-saluran pernafasan
tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak tertutup. Akibat cepatnya saluran
pernafasan menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung dari kerusakannya, dapat
terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/ tidak ada, akan tetapi perfusi baik.
sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah alveoli, tidak sama
dan merata. Timbul hipoksia dan sesak nafas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan polisitemia. terjadi HT
pulmonal, yang dalam jangka lama dapat timbulkan kor pulmonal.
PATHWAY
G. Komplikasi
1. Gagal jantung
Keadaan dimana jantung tidak mampu memompa darah untuk mencukupi
kebutuhan metabolisme tubuh. Terutama gagal jantung kanan akibat penyakit
paru, harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
2. Asidosis Respiratory
Adalah penyakit yang dapat timbul karena terjadi peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnia). Biasanya timbul dengan gejala nyeri kepala/ pusing, lesu, dan
leleh.
3. Hipoxemia
Merupakan penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi
oksigen <85%. Pada awalnya pasien akan mengalami perubahan mood,
penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul sianosis.
4. Cardiac Disritmia
Adalah penyakit yang timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain,
efek obat atau asidosis respiratory
5. Infeksi pernapasan
Infeksi ini terjadi karena peningkatan produksi mukus yang berlebih,
peningkatan rangsangan otot yang polos bronkial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan beban kerja otot pernapasan
sehingga timbul dyspnea.

H. Pengkajian Keperawatan
1. Riwayat atau faktor penunjang :
a. Merokok merupakan faktor penyebab utama.
b. Tinggal atau bekerja di area dengan polusi udara berat.
c. Riwayat alergi pada keluarga
d. Riwayat Asthma pada anak-anak
2. Riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi :
a. Alergen
b. Stress emosional.
c. Aktivitas fisik yang berlebihan.
d. Polusi udara.
e. Infeksi saluran nafas.
3. Pemeriksaan fisik :
a. Manifestasi klinik Penyakit Paru Obstruktif Kronik :
1) Peningkatan dispnea.
2) Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, nafas cuping hidung).
3) Penurunan bunyi nafas.
4) Takipnea.
b. Gejala yang menetap pada penyakit dasar
1) Asthma
2) Batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti
terikat.
3) Mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa
stetoskop.
4) Pernafasan cuping hidung
5) Ketakutan dan diaforesis.
6) Bronkhitis
7) Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-abuan, yang
biasanya terjadi pada pagi hari.
8) Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing.
9) Sesak nafas
10) Bronkhitis (tahap lanjut)
11) Penampilan sianosis
12) Pembengkakan umum atau blue bloaters (disebabkan oleh edema
asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal).
13) Emphysema
14) Penampilan fisik kurus dengan dada barrel chest (diameter thoraks
anterior posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru)
15) Fase ekspirasi memanjang.
16) Emphysema (tahap lanjut)
17) Hipoksemia dan hiperkapnia.
18) Penampilan sebagai pink puffers
19) Jari-jari tabuh.
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Test faal paru
a. Kapasitas inspirasi menurun
b. Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma
c. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru
Obstruktif Kronik
d. FVC awal normal menurun pada bronchitis dan astma.
e. TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada emphysema).
f. Transfer gas (kapasitas difusi).
2. Darah :
a. Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
b. Jumlah darah merah meningka
c. Eo dan total IgE serum meningka
d. Analisa Gas Darah gagal nafas kronis
e. Pulse oksimetri SaO2 oksigenasi menurun.
f. Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada cor pulmunale.
3. Analisa Gas Darah
a. PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH
normal asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
4. Sputum :
a. Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.
b. Kuman patogen >> :
c. Streptococcus pneumoniae
d. Hemophylus influenzae
e. Moraxella catarrhalis.
5. Radiologi :
a. Thorax foto (AP dan lateral).
b. Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area paru-
paru.
6. EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat Kor Pulmonal terdapat deviasi aksis ke kanan dan P- pulmonal pada
hantaran II, III dan aVF. Voltase QRS rendah. Di V1 rasio R/S lebih dari 1
dan di V6 V1 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
7. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Spirometri merupakan salah satu metode sederhana yang dapat digunakan
untuk mempelajari ventilasi paru, yaitu dengan mencatat volume udara yang
masuk dankeluar paru. Spirometri adalah suatu alat sederhana yang
digunakan untuk mengukur volume udara dalam paru. Alat ini juga dapat
digunakan untuk mengukur volume statik dan volume dinamik paru.
8. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
Eksaserbasi akut merupakan penyakit yang timbulnya cepat dan berlangsung
dalam jangka waktu pendek atautidak lama dalam kurun waktu jam hingga
minggu.Sehingga dilakukan terapi eksaserbasi akut yaitu :
a. Antibiotik
Antibiotik merupakan obat yang ditujukan untuk membunuh kuman
penyebab infeksi atau membunuh jamur.
Eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh Haemophilus Influenza dan Streptococcus Pneumonia,
maka digunakan ampisilin atau eritromisin. Augmentin (amoksilin dan
asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah HaemophilusInfluenza. Pemberian antibiotik seperti
cotrimoxasol, amoksisilinatau doksisiklin pada pasien yang mengalami
eksaserbasiakutterbukti mempercepatpenyembuhan. Bila terdapat infeksi
sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang
kuat.
1) Terapi oksigen diberikan jika terdapatkegagalan pernapasan karena
hiperkapnea dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
2) Fisioterapi dada membantu pasien untuk mengelurakan sputum
dengan baik.
9. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x
0,25-0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas
tiap pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan
obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa
sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar
dari depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi
kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
10. Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi dapat ditemukan kelainan paru berupa
hiperinflasi, diafragma mendatar, corakan bronkovaskuler meningkat,
jantung pendulum, dan ruang retrosternal melebar. Meskipun kadang -
kadang hasil pemeriksaan radiologis masih normal pada PPOK ringan tetapi
pemeriksaan radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan
pasien (Global Obstructive Lung Disease, 2009).

J. Diagnosa
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya
tenaga dan infeksi bronkopulmonal
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,
bronkokontriksi dan iritan jalan napas
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen.
5. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
6. Ganggua pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan posisi.
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder akibat
peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
8. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman
terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi
9. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang sosialisasi, ansietas,
depresi, tingkat aktivitas rendah dan ketidakmampuan untuk bekerja
10. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak
mengetahui sumber informasi.

K. Perencanaan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan produksi sputum.
Tujuan:
Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik
dan batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan
malam hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari seperti asap rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim, dan asap.
f. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan
g. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan
h. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap
influenzae dan streptococcus pneumoniae.
2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan
posisi.
Tujuan:
Kebutuhan tidur terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
b. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga
untuk melakukan tindakan tersebut.
c. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
e. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
Daftar Pustaka

Arif, 1999, Mansjoer, Arif, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Univ Indonesia
GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease). 2007. Executive
summary global strategy for the diagnosis, management, and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease update 2007.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for
The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources.
M Mansjoer, Arif, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media
Aesculapiansjoer,
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.
Ovedoff,D. 2006. Kapita selekta kedokteran 2/editor ed.Revisi 2. Jakarta, Binarupa
Aksara.
Somantri, Irman. 2008.Keperawatan Medikal Bedah: Asuhan Keperawatan
padaPasien dengan Ganggua Sistem pernapasan / Irman Somantri. Jakarta
:Salemba Medika
Swanburg, R.C. (2000). Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan.
Terjemahan. Jakarta: EGC
Swansburg, R.C & Laurell (2001). Pengembangan Staff Keperawatan:
SuatuKomponen Pengembangan SDM. Jakarta. EGC

You might also like