You are on page 1of 8

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Pemeriksaan Fisik

Telah dilakukan operasi cystotomy pada seekor anjing jantan lokal (Canis
domesticus), bernama Tom, berwarna coklat, berumur 4 bulan dengan berat
badan 4,2 kg. Sebelum dilakukan tindakan operasi, terlebih dahulu pasien
diperiksa keadaan fisik secara umum. Pemeriksaan fisik pada pasien meliputi
pemeriksaan suhu, frekuensi nafas dan pulsus. Hasil yang diperoleh yaitu suhu
38,7 0C, frekuensi nafas 28x/menit dan pulsus 105x/menit, dan selaput mukosa
terlihat normal, lalu dilakukan pemeriksaan kimia darah dan didapatkan nilai Hb
normal yaitu 12,3 g/dL.
Hemoglobin dapat diukur secara kimia dan jumlah Hb/100 ml darah dapat
digunakan sebagai indeks kapasitas pembawa oksigen pada darah. Hemoglobin di
dalam darah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh dan
membawa kembali karbondioksida dari seluruh sel ke paru-paru untuk
dikeluarkan dari tubuh. Kadar hemoglobin normal pada anjing berkisar 12-18 g/dl
(Smith dan Mangkoewidjojo, 1988)
Sebelum dilakukan tindakan operasi, terlebih dahulu hewan diberikan obat
premedikasi. Premedikasi dilakukan untuk mempersiapkan hewan sebelum
pemberian obat anestesi. Tujuan dari pemberian premedikasi adalah untuk
membuat hewan lebih tenang dan terkendali, mengurangi dosis anestesi,
mengurangi efek-efek otonomik yang tidak diinginkan, mengurangi nyeri pre-
operasi (Sardjana, 2011).
Pada operasi ini digunakan Atropin sulfat sebagai premedikasi dengan
dosis 0,02-0,04 mg/kg BB secara subkutan, hal ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya muntah, hipersalivasi dan sebagai sedatif. Selain itu salah satu tujuan
dari obat premedikasi adalah mempercepat induksi anestetika umum. Setelah
pasien diberikan premedikasi, lalu dilakukan pencukuran rambut pada bagian
ventral abdomen hingga bersih, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
kontaminasi.
Setelah 10 menit kemudian pasien diberikan anestesi. Tujuan dari
pemberian anestesi adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan
meminimalkan kerusakan beberapa organ tubuh terutama pada pasien dengan
kondisi khusus. Selain itu, tujuan anestesi juga untuk membuat hewan tidak
terlalu banyak bergerak bila dibutuhkan relaksasi muskulus (Sardjana dan
Kusumawati, 2004). Anestesi yang digunakan adalah kombinasi ketamin dengan
dosis 10-40 mg/kg BB IM dan xylazin dengan dosis 1,1-2,2 mg/kg BB IM.

Dosis yang digunakan pada anjing Tom dengan BB (berat badan) 4,2 kg yaitu:

Atropin Sulfat : 4,2 kg x 0,03 mg/kgBB


= 0,5
0,25mg

Ketamin : 4,2 kg x 20 mg/kg BB


= 0,84
10% x 10

Xylazin : 4,2 kg x 2mg/kg BB


= 0,42
2% x 10

Teknik Operasi

Cystotomy merupakan operasi membuka kantong kencing atau vesica


urinari (Sudisma, 2006). Sebelum dioperasi hewan dipuasakn selama 8 jam dan
puasa minum selama 2 jam. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya
muntah, urinasi, atau defekasi selama operasi sedang berlangsung. Sebelum di
lakukan tindakan operasi , anjing diberikan pra-anastesi dengan menyuntikan
atropin sulfat secara subcutan. Atropin termasuk antimuskarinik agen, yang
bekerja dengan cara menurunkan kontraksi otot polos, sehingga digunakan
sebagai preanastetik untuk mencegah atau mengurangi sekresi saluran pernafasan
dan mencegah muntah.
Jarak antara premedikasi dan anastesi 10 menit, baru kemudian diberikan
anastesi dengan menyuntikan ketamin dan xylazin secara intramusculus. Pasien
yang telah teranastesi diletakkan di meja oprasi dengan posisi dorsal recumbency.
Daerah yang akan di insisi di desinfeksi dengan alkohol 70 % dan iodium tincture
3 %. Kemudian dilakukan pemasangan drapping steril. Dilakukan insisi pada
bagian median posterior tepat di samping penis 4, insisi dilakukan pada kulit lalu
di preparir dengan menggunakan gunting blunt-blunt, lalu insisi dilanjutkan pada
fascia, muskulus dan peritoneum. Setelah semua lapisan terinsisi maka kedua tepi
yang telah disayat ditarik dengan Alis tissue forcep untuk memudahkan mencari
vesica urinari.

Gambar 1. Insisi pada bagian median posterior tepat di samping penis.

Setelah vesica urinari terlihat lalu di kelurkan secara perlahan-lahan. Vesica


urinari diangkat ke permukaan dan direfleksikan ke caudal. Sebelum dilakukan
insisi pada vesica urinari, urin di aspirasi terlebih dahulu, dengan cara menekan
vesica urinari dan dapat juga dilakukan dengan menggunakan spuit. Setalah itu
dilakukan jahitan penyangga atau jahitan bantu pada vesica urinari yang akan di
insisi untuk memudahkan dalam penyayatan. Vesica urinari disayat pada daerah
yang minim pembuluh darah, sayatan dilakukan sampai lapisa submukosa.
Gambar 2. Vesica urinari dikeluarkan dari abdomen.

Gambar 3. Jahitan bantu pada vesica urinari.

Gambar 4. Insisi pada vesica urinari hingga lapisan submukosa

Jika terdapat batu (uroliths) maka harus dikeluarkan dari vesica urinari,
dan dilakukan teknik swab pada bagian mucosa pada vesica urinari yang
bertujuan untuk mengeluarkan sisa-sisa kalkuli, kemudian dilakukan pembilasan
pada vesica urinari sampai bersih dengan menggunakan NaCl.
Gambar 5. Teknik jahitan pada vesica urinari.

Vesica urinari ditutup kembali dengan jahitan simple continous pada


lapisan submukosa dan mukosa dengan menggunakan benang vicryl 3.0, lapisan
serosa dijahit dengan pola simple interupted menggunakan benang vicryl 3.0.
Selama kegiatan operasi vesica urinari selalu diteteskan NaCl, kemudian di
lakukan tes kebocoran dengan memasukkan cairan NaCl kedalam vesica urinari
yang telah selesai dijahit.

Gambar 6. Uji kebocoran

Uji kebocoran dilakukan untuk memastikan bahwa vesica urinari telah


tertutup kembali dengan rapat, namun apabila terjadi kebocoran amati bagian
yang bocor dan lakukan penjahitan ulang pada bagian yang bocor.
Gambar 7. Teknik jahitan pada bagian peritoneum, musculus, fascia dan kulit

Setelah vesica urinari selesai maka dilanjutkan dengan penjahitan pada


peritoneum ditutup dengan pola simple interrupted menggunakan benang vicryl,
muskulus dan fascia diijahit dengan pola simple continous menggunakan benang
vicryl, kulit luar dijahit dengan benang non absorbable dengan pola simple
interupted. Selanjutnya bagian kulit yang telah terjahit dibersihkan iodine tinture
3% , di injeksikan amoxicillin dan kemudian dioleskan chloramfecort-H salep.
Selama waktu tersebut hewan diberikan makanan yang lunak sehingga
mudah dicerna dan diresepkan.

Banda Aceh, 21 Juni 2007

R/ Ciprofloxacine 420 mg
Meloxicam 8 mg
Vit. C 5 tab
m.f. pulv. d.t.d. da in caps. No. X
S b.d.d. 1 caps
Paraf

R/ Chloramfecort-H 1 Tube
s.u.e
Paraf
Gambar 8. Luka yang telah menyatu

Proses Peyembuhan Luka


Menurut Schwartz and Seymour (2000) bahwa ada empat fase penyembuhan luka
yakni:
1. Koagulasi
Terjadinya luka baik yang bersifat traumatik atau yang berbentuk pada
pembedahan menyebabkan pendarahan dari pembuluh yang rusak. Vasokonstriksi
segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya ketekolamin ke dalam lingkungan
cedera. Bradikinin, serotonin, dan histamin merupakan senyawa vasoaktif lain
yang dilepaskan oleh sel mast ke jaringan sekitar. Senyawa-senyawa ini
mengawali pristiwa diapedesis, yaitu keluarnya sel-sel intravaskular ke dalam
ruang ekstravaskular daerah yang luka. Suatu bekuan darah terbentuk dari
trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah. Faktor-faktor pembekuan
yang dilepaskan dari trombosit menghasilkan fibrin yang bersifat hemostatik dan
membentuk suatu jaringan yang akan menampung migrasi lebih lanjut sel-sel
inflamasi dan fibroblas. Fibrin merupakan produk akhir dari aliran proses
pembekuan. Tanpa kerja fibrin ini maka kekuatan akhir dari sesuatu luka akan
berkurang. Trombosit juga penting karena menghasilkan sitokin esensial yang
dapat mempengaruhi peristiwa penyembuhan luka (Schwartz and Seymour,
2000).

2. Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira kira hari
kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan
dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokonstriksi, pengerutan
ujung pembuluh yang putus (retraksi), dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi
karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama
dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah yang keluar dari pembuluh
darah. Sementara itu terjadi reaksi inflamasi. Sel mast dalam jaringan ikat
menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler
sehingga terjadi eksudasi cairan, penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi
setempat yang menyebabkan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi
radang menjadi jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor),
suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).

3. Fibroplasia
Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis
kolagen. Sintesis kolagen dimulai dalam 24 jam setelah cedera, namun tidak akan
mencapai puncaknya hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari, sintesis kolagen
akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodelling luka mengacu pada
keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat serabut-
serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut-serabut baru
dibentuk dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan
meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut (Schwartz and Seymour,
2000:134). Pada tahap ini juga terjadi pembersihan jaringan yang mati oleh
leukosit polimorfonuklear dan makrofag (Uliyah dan Hidayat, 2008).

4. Sitokin
Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh komunikasi untuk interaksi
antar sel. Mereka mungkin juga berperan penting dalam jalur farmakologis klinis
di berbagai tempat penatalaksanaan penyembuhan luka. Misalnya, sitokin
tampaknya ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka
kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan tulang
setelah perbaikan, dan barangkali juga mengendalikan proses keganasan
(Schwartz and Seymour, 2000).

You might also like