You are on page 1of 17

Proposal Lolos PKMP Dikti 2009. http://siskaela@blog.uns.ac.

id

Modifikasi Limbah Fly Ash sebagai Adsorben Zat Warna


Tekstil Congo Red yang Ramah Lingkungan dalam
Upaya Mengatasi Pencemaran Industri Batik
Di Surakarta

Siska Ela Kartika, Atik Pujirahayu, Heri Widodo.

Pembimbing
Nanik Dwi Nurhayati, S.Si, M.Si
Universitas Sebelas Maret, Surakarta

LATAR BELAKANG MASALAH


Saat ini konsumsi energi dunia, terutama dari bahan bakar fosil meningkat
secara besar-besaran. Teknologi pemanfaatan bahan bakar fosil yang sudah mapan
menyebabkan energi dapat dihasilkan dengan proses yang terjamin dengan harga
yang relatif murah. Salah satu bahan bakar fosil yang umum digunakan adalah
batubara. Batubara adalah sumber energi yang paling mudah diambil dari alam.
Dewasa ini banyak industri yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan
bakar dalam menghasilkan steam (uap), hal ini disebabkan karena pemakaian
batubara dianggap lebih efisien dibandingkan dengan pemakaian minyak disel
yang terus meningkat. Selain tersebar merata di seluruh dunia, batubara
merupakan bahan yang siap diekploitasi secara ekonomis karena terdapat dalam
jumlah yang banyak sehingga menjadi bahan bakar yang paling lama dapat
menyokong kebutuhan energi dunia.
Namun di sisi lain, batubara identik sebagai bahan bakar yang kotor dan
tidak ramah lingkungan karena komposisinya yang terdiri dari C, H, O, N, S, dan
abu. Pemakaian batubara dapat menghasilkan limbah padat dalam bentuk abu
terbang batubara (fly ash). Jumlah fly ash yang dihasilkan per hari dapat mencapai
500 - 1000 ton. Wang dalam Journal of Hazardous Materials (2007) menyatakan
bahwa produksi fly ash didunia pada tahun 2000 berjumlah 349 milyar ton.
Penyumbang produksi fly ash terbesar adalah sektor pembangkit listrik. Produksi

1
fly ash dari pembangkit listrik di Indonesia terus meningkat, pada tahun 2000
jumlahnya mencapai 1,66 milyar ton dan mencapai 2 milyar ton pada tahun 2006.
(www.tekmira.esdm.go.id.).
Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran batubara dapat berupa fly ash
dan bottom ash. Jika tidak diolah lebih lanjut, fly ash dapat menyebabkan dampak
negatif bagi lingkungan. Jika fly ash ini langsung dibuang ke lingkungan maka
lambat laun akan terbentuk gas metana (CH4) yang sewaktu-waktu dapat terbakar
dan meledak dengan sendirinya (self burning). Fly ash dapat mengkontaminasi air
tanah dengan kandungan pengotor seperti arsenik, barium, berillium, boron,
cadmium, thallium, selenium, molibdenum dan merkuri. Selama ini penanganan
fly ash masih terbatas pada penimbunan di lahan kosong. Fly ash tersebut hanya
dipindahkan ke lokasi penimbunan dan terakumulasi di lokasi tersebut dalam
jumlah yang sangat banyak. Hal ini berpotensi bahaya bagi lingkungan dan
masyarakat sekitar seperti, logam-logam dalam fly ash terekstrak dan terbawa ke
perairan, fly ash tertiup angin sehingga mengganggu pernafasan dan tentunya akan
menyebabkan polusi udara.
Sebenarnya limbah fly ash memiliki banyak kegunaan, namun selama ini
penggunaan fly ash masih terbatas sebagai bahan campuran pembuat beton. Fly
ash dapat dimanfaatkan sebagai adsorben. Konversi fly ash menjadi adsorben
merupakan contoh pemanfaatan efektif. Keuntungan adsorben berbahan baku fly
ash adalah biayanya murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk
pengolahan limbah gas maupun limbah cair terutama limbah zat warna tekstil.
Beberapa investigasi menyimpulkan bahwa fly ash memiliki kapasitas adsorpsi
yang baik untuk menyerap gas organik, ion logam berat dan gas polutan pada
pengolahan limbah.
Dewasa ini pencemaran air menjadi masalah serius di dunia. Salah satu
pencemar organik yang bersifat non biodegradable adalah zat warna tekstil. Kota
Surakarta (Solo) secara administratif terdapat 82 industri besar, 237 industri
sedang dan 500 industri kecil. Namun kemajuan dalam bidang industri ini tidak
diimbangi dengan kesadaran yang tinggi dalam pengelolaan lingkungan. Pada
umumnya lokasi industri di Surakarta terletak di kawasan permukiman dan tidak

2
mengolah limbah secara benar, sehingga berpotensi mencemari sungai di
sekitarnya.
Bengawan Solo merupakan salah satu sungai besar di Indonesia dan
merupakan yang terbesar di Jawa. Dari sekian banyak sungai di Jawa Tengah,
tingkat pencemaran air di Bengawan Solo paling tinggi. Saat ini lebih dari 100
industri, baik industri besar maupun kecil di DAS Bengawan Solo, membuang
limbahnya ke sungai. Sumber pencemaran didominasi limbah pabrik tekstil yang
banyak terdapat di Kabupaten Karanganyar. Pencemaran air Sungai Bengawan
Solo itu penting untuk diperhatikan, karena ada kecenderungan terus meningkat.
Ditambah lagi air Bengawan Solo digunakan sebagai bahan baku Perusahaan
Daerah Air Minum di Cepu (Jateng) dan Bojonegoro (Jatim). (Kompas, 2
November 2004)
Tim Ekspedisi Bengawan Solo (Kompas, 2007) menyatakan bahwa
limbah bahan pewarna tekstil mulai mencemari sungai Bengawan Solo. Limbah
itu berasal dari industri rumah tangga pengecatan batik di Laweyan, Surakarta.
Selain mencemari sungai, limbah juga mencemari udara karena menebarkan bau
tak sedap. Ahli lingkungan dari UNS Sulastoro menjelaskan, limbah industri batik
pada umumnya mengandung zat beracun, seperti Natrium (Na), Cadmium (Cd),
dan Chrom (Cr). Banyaknya populasi ikan sapu-sapu serta tidak adanya ikan jenis
lain menunjukkan penurunan kualitas air sungai. Ini menunjukkan kualitas air
Sungai Bengawan Solo sekitar Sukoharjo, Surakarta, dan Sragen sudah tercemar
berat (http://www.indowater.org). Dengan pemanfaatan fly ash sebagai adsorben
zat warna diharapkan pencemaran air dapat dikendalikan, yaitu dengan
mengadsorbsi limbah zat warna tekstil sebelum dibuang ke perairan.
Limbah zat warna yang dihasilkan dari industri tekstil umumnya
merupakan senyawa organik non-biodegradable, yang dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan terutama lingkungan perairan. Dalam penelitian ini akan
digunakan zat warna tekstil Congo Red sebagai model limbah. Congo Red
merupakan bahan kimia yang memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan tubuh
manusia, diantaranya bila tertelan dapat mengakibatkan rasa mual pada lambung,
muntah dan diare. Bahan ini bila terkena mata dan teradsorpsi pada kulit dapat

3
menyebabkan iritasi, mengakibatkan kerusakan sistem pernapasan, menyebabkan
kanker serta menyebabkan gangguan reproduksi dan janin.
Sudut pandang terhadap fly ash harus diubah, fly ash adalah bahan baku
potensial yang dapat digunakan sebagai adsorben murah yang ramah lingkungan.
Fly ash dapat menjadi alternatif pengganti karbon aktif dan zeolit. Berdasarkan
hal itu maka diperlukan penelitian dan pengembangan teknologi modifikasi sifat
fisik dan kimia untuk meningkatkan kapasitas adsorpsi fly ash. Salah satu
alternatif peningkatan kapasitas adsorpsi dapat membuat adsorben dari fly ash
kompetitif bila dibandingkan dengan karbon aktif dan zeolit. Disamping harganya
yang murah, fly ash juga memiliki beberapa keunggulan yaitu memiliki kualitas
setara karbon aktif sehingga berpotensi meningkatkan nilai ekonomis fly ash dan
dapat dijadikan alternatif yang menjanjikan dimasa depan. Penelitian di masa
depan diharapkan dapat membuat konversi fly ash menjadi zeolit komersil pada
skala industri, terutama industri tekstil.

TUJUAN PROGRAM
Secara khusus, tujuan yang akan dicapai dari program ini adalah:
1. Mengembangkan teknologi modifikasi limbah fly ash sebagai adsorben
yang ramah lingkungan.
2. Mempelajari kapasitas adsorbsi fly ash terhadap zat warna Congo Red.
3. Mempelajari karakteristik fisik adsorben fly ash.

LUARAN YANG DIHARAPKAN


Program penelitian ini berorientasi pada dua aspek hasil, yakni:

1. Adsorben dari limbah fly ash memiliki keunggulan yaitu harganya yang
murah namun memiliki kualitas yang setara dengan karbon aktif sehingga
berpotensi meningkatkan nilai ekonomis fly ash dan dapat mengendalikan
pencemaran lingkungan. Modifikasi fly ash menjadi adsorben memberikan
nilai tambah terhadap limbah hasil pembakaran batubara. Dengan
pendekatan ini terbuka peluang yang lebar bagi peningkatan nilai ekonomi
limbah serta penciptaan jenis produk unggulan baru yang diharapkan dapat

4
dimanfaatkan sebagai adsorben limbah industri, khususnya limbah zat
warna tekstil (Congo Red)..
2. Pemanfaatan limbah fly ash untuk menghasilkan adsorben merupakan
suatu hal baru. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan input
tambahan bagi pengembangan ilmu dan teknologi bahan, terutama dalam
karakterisasinya.

KEGUNAAN PROGRAM
Hasil penelitian ini dapat memberikan dampak simultan dalam
mendorong peningkatan nilai ekonomi limbah fly ash serta penciptaan jenis
produk unggulan baru yang berfungsi dalam pengendalian limbah zat warna
tekstil (Congo Red sebagai sampel). Pada akhir kegiatan diharapkan telah
diperoleh gambaran profil adsorben yang layak untuk digunakan sebagai
bahan adsorbsi limbah zat warna tekstil yang siap dipasarkan (time to market).

TINJAUAN PUSTAKA
1. Fly ash (abu terbang)
Fly ash (abu terbang) adalah bagian dari abu bakar yang berupa
bubuk halus dan ringan yang diambil dari campuran gas tungku
pembakaran yang menggunakan bahan batubara. Abu terbang diambil
secara mekanik dengan sistem pengendapan elektrostatik. (Hidayat,1986)
Secara kimia abu terbang merupakan material oksida anorganik
mengandung silika dan alumina aktif karena sudah melalui proses
pembakaran pada suhu tinggi. Bersifat aktif yaitu dapat bereaksi dengan
komponen lain dalam kompositnya untuk membentuk material baru
(mulite) yang tahan suhu tinggi. (www.tekmira.esdm.go.id.)

5
Gambar 1. Fly Ash
Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari
pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), dan besi oksida
(Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang. Rumus
empiris abu terbang ialah Si1.0Al0.45Ca0.51Na0.047Fe0.039Mg0.020K0.013Ti0.011
Tabel 1. Komposisi kimia abu terbang batubara
No Komponen Bituminous Sub- Lignite
bituminous
1 SiO2 20-60% 40-60% 15-45%
2 Al2O3 5-35% 20-30% 10-25%
3 Fe2O3 10-40% 4-10% 4-15%
4 CaO 1-12% 5-30% 15-40%
5 MgO 0-5% 1-6% 3-10%
6 SO3 0-4% 0-2% 0-10%
7 Na2O 0-4% 0-2% 0-6%
8 K2O 0-3% 0-4% 0-4%
9 LOI 0-15% 0-3% 0-5%

Menurut PJB Paiton secara umum komposisi kimia fly ash adalah :
SiO2 : 52,00%
Al2O3 : 31,86%
Fe2O3 : 4,89%
CaO : 2,68%
MgO : 4,66%
Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara
yang dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Abu terbang
batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola padat atau
berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara
bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang berkisar
antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya antara 170
2
sampai 1000 m /kg. (Yoga, 2007).

2. Potensi fly ash (abu terbang) sebagai adsorben


Komponen yang terkandung dalam abu terbang batubara bervariasi
bergantung pada sumber batubara yang dibakar, tetapi semua abu terbang

6
batubara mengandung SiO2 dan CaO. Jika tidak diolah lebih lanjut, abu
terbang dapat menyebabkan dampak negatif bagi lingkungan. Abu terbang
batubara dapat mengkontaminasi air tanah dengan kandungan pengotor
seperti arsenik, barium, berillium, boron, cadmium, komium, thallium,
selenium, molibdenum dan merkuri.
Abu terbang batubara umumnya dibuang di landfill atau ditumpuk
begitu saja di dalam area industri. Penumpukkan abu terbang batubara ini
menimbulkan masalah bagi lingkungan. Berbagai penelitian mengenai
pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan untuk meningkatkan
nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap
lingkungan. Saat ini umumnya abu terbang batubara digunakan dalam
pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu,
sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan sebagai aditif
dalam pengolahan limbah (waste stabilization) dan dikonversi menjadi
zeolit dan adsorben.
Konversi abu terbang batubara menjadi zeolit dan adsorben
merupakan contoh pemanfaatan efektif dari abu terbang batubara.
Keuntungan adsorben berbahan baku abu terbang batubara adalah biayanya
murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan
limbah gas maupun limbah cair. Abu terbang batubara dapat dipakai secara
langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan
fisik tertentu sebelum menjadi adsorben. (www.majarikanayakan.com).
Abu terbang batubara memiliki potensi dikonversi menjadi zeolit jika
memiliki kandungan alumina-silika yang cukup tinggi dan kandungan
karbon yang rendah. Jenis zeolit yang dihasilkan dari abu terbang
bergantung pada komposisi awal dan metode konversinya. Metode yang
umum digunakan adalah hydrothermal alkali treatment yaitu memanaskan
campuran abu terbang dengan larutan alkali (KOH, NaOH). (Querol, et al.,
2002: 413-423)
Abu terbang pada masa kini dipandang sebagai limbah pembakaran
batubara. Penanganan abu terbang masih terbatas pada penimbunan di lahan

7
kosong. Hal ini berpotensi bahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar
seperti, logam-logam dalam abu terbang terekstrak dan terbawa ke perairan,
abu terbang tertiup angin sehingga mengganggu pernafasan. Sudut pandang
terhadap abu terbang harus dirubah, abu terbang adalah bahan baku
potensial yang dapat digunakan sebagai adsorben murah. Beberapa
investigasi menyimpulkan bahwa abu terbang memiliki kapasitas adsorpsi
yang baik untuk menyerap gas organik, ion logam berat, gas polutan.
(www.majarikanayakan.com)
Abu terbang dari limbah PLTU dikategorikan oleh Bapedal sebagai
limbah berbahaya (B3). Sehubungan dengan meningkatnya jumlah
pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Indonesia, maka jumlah
limbah abu terbang juga akan meningkat, diperkirakan ada akumulasi
jumlah abu sebanyak 219.000 ton/tahun. Jika limbah abu ini tidak
dimanfaatkan akan menjadi masalah pencemaran lingkungan.
(www.tekmira.esdm.go.id.).
Berdasarkan paparan diatas sudah terbukti bahwa abu terbang
batubara memiliki potensi yang besar sebagai adsorben yang ramah
lingkungan. Abu terbang batubara dapat menjadi alternatif pengganti
karbon aktif dan zeolit. Sampai sekarang, pemanfaatan abu terbang masih
dilakukan dalam skala kecil karena umumnya kapasitas adsorpsinya masih
rendah. Modifikasi sifat fisik dan kimia dapat meningkatkan kapasitas
adsorpsi abu terbang. Peningkatan kapasitas adsorpsi dapat membuat
adsorben dari abu terbang batubara kompetitif bila dibandingkan dengan
karbon aktif dan zeolit. (Wang dkk, 2006).
Konversi abu terbang menjadi zeolit adalah salah satu alternatif yang
sangat potensial meningkatkan nilai ekonomis abu terbang. Karbon sisa
pembakaran dalam abu terbang memiliki kualitas setara karbon aktif. Zeolit
memiliki kapasitas adsorpsi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
abu terbang sehingga konversi abu terbang menjadi zeolit menjadi alternatif
yang menjanjikan dimasa depan (Queroll, 2006).

8
3. Limbah Zat Warna Tekstil
Limbah tekstil merupakan limbah yang dihasilkan dalam proses
pengkanjian, penghilangan kanji, penggelantangan, pemasakan, merserisasi,
pewarnaan, pencetakan dan proses penyempurnaan. Proses-proses ini
menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi
dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang
digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang
berwarna dengan COD tinggi dan bahan-bahan lain dari zat warna yang
dipakai, seperti fenol dan logam.
Secara penampakan fisik air limbah industri tekstil terlihat keruh,
berwarna, panas dan berbusa. Kualitas limbah cair sangat tergantung pada
jenis proses yang dilakukan. Pada umumnya limbah cair bersifat basa dan
mengandung bermacam-macam senyawa baik organik maupun anorganik.
Limbah cair tersebut terutama berasal dari cairan bekas proses pewarnaan
dan proses pencelupan serta proses lain yang berhubungan dengan proses
tekstil industri. Cairan bekas pencelupan tersebut mengandung zat warna
dan zat pengikat warna.
Pengolahan limbah zat warna menjadi sulit karena struktur aromatik
pada zat warna yang sulit dibiodegradasi, khususnya zat warna reaktif
karena terbentuknya ikatan kovalen yang kuat antara atom C dari zat warna
dengan atom O, N atau S dari gugus hidroksi, amina atau thiol dari polimer
(Christie, 2001 : 135). Zat warna reaktif adalah zat warna yang dapat
mencelup serat selulosa dalam kondisi tertentu dan membentuk reaksi
kovalen dengan serat. Munculnya limbah zat warna reaktif yang berasal
dari proses industri tekstil menyebabkan lingkungan sekitar semakin
tercemar sehingga perlu pengolahan lebih lanjut. Beberapa macam
perlakuan yang dilakukan untuk pengolahan air limbah yaitu proses filtrasi,
flokulasi, penghilangan warna dan adsorpsi. Proses adsorpsi dilakukan
untuk proses penyerapan senyawa yang mengganggu dalam analisis, pada
umumnya digunakan untuk proses pengolahan limbah. (www.tesis-
ilmiah.com).

9
Pada proses pencelupan, zat warna yang digunakan pada umumnya
tidak akan masuk seluruhnya ke dalam bahan tekstil, sehingga efluen yang
dihasilkan masih mengandung residu zat warna. Hal inilah yang
menyebabkan efluen tekstil menjadi berwarna-warni dan mudah dikenali
pencemarannya apabila dibuang langsung ke perairan umum. Selain itu
kandungan residu zat warna dan zat-zat pembantu pencelupan yang
digunakan akan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total
beban efluen industri tekstil. Masalah lingkungan yang utama dalam
industri tekstil adalah limbah dari proses pencelupan. Zat warna, logam
berat dan konsentrasi garam yang tinggi merupakan polutan air. Usaha
utama yang perlu dilakukan guna mengurangi bahan kimia tersebut adalah
penghilangan material toksik dari efluen (Balai Besar Tekstil, 2005).
Residu zat warna maupun garam dalam efluen akan menyebabkan
polusi dan residu zat warnanya adalah cukup tinggi, yaitu sekitar 20-50%
dari zat warna yang digunakan. Diketahui pula apabila digunakan pada
pencelupan dengan sistem perendaman, maka zat warna yang terdapat
dalam effluen adalah sekitar 60 70 mg/l. Pengolahan efluen yang
mengandung zat warna tersebut, baik dari segi penurunan beban cemaran
maupun warnanya adalah sangat sulit, karena sukar didegradasi baik secara
metoda kimia maupun biologi (Balai Besar Tekstil, 2005).

4. Zat warna azo sebagai zat warna reaktif


Zat warna tekstil umumnya dibuat dari senyawa azo dan turunannya
yang merupakan gugus benzena. Diketahui bahwa gugus benzena sangat
sulit didegradasi, kalaupun dimungkinkan dibutuhkan waktu yang lama.
Senyawa azo bila terlalu lama berada di lingkungan, akan menjadi sumber
penyakit karena sifatnya karsinogen dan mutagenik. Karena itu perlu dicari
alternatif efektif untuk menguraikan limbah tersebut.
Zat warna azo adalah senyawa yang paling banyak terdapat dalam
limbah tekstil, yaitu sekitar 60 % - 70 % (Waite, et al., 2006). Senyawa azo
memiliki struktur umum RNNR. Senyawa ini memiliki gugus

10
NN yang dinamakan struktur azo. Senyawa azo dapat berupa senyawa
aromatik atau alifatik. Senyawa azo aromatik bersifat stabil dan mempunyai
warna menyala. Senyawa azo alifatik seperti dimetildiazin lebih tidak stabil.
Senyawa azo digunakan sebagai bahan celup, yang dinamakan azo dyes
(Maria, 2007).
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tidak jenuh
dengan kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat
warna dengan serat. Gugus kromofor adalah gugus yang menyebabkan
molekul menjadi berwarna.

Zat warna azo merupakan jenis zat warna sistetis yang cukup penting.
Zat warna yang berkromofor azo ini yang paling banyak adalah zat warna
reaktif. Zat warna reaktif terikat pada serat dengan ikatan kovalen yang
sifatnya lebih kuat daripada ikatan lainnya sehingga sukar dilunturkan.
Lingkungan zat warna azo sangat luas, dari warna kuning, merah, jingga,
biru AL (Navy Blue), violet dan hitam. Jenis yang paling banyak digunakan
saat ini adalah zat warna reaktif dan zat warna dispersi. Hal ini disebabkan
produksi bahan tekstil dewasa ini adalah serat sintetik seperti serat
poliamida, poliester dan poliakrilat. Bahan tekstil sintetik ini, terutama serat
poliester, kebanyakan hanya dapat dicelup dengan zat warna dispersi.
(Renita, 2004)

5. Congo Red sebagai zat warna azo


Congo Red merupakan bahan kimia yang memiliki potensi bahaya
terhadap kesehatan tubuh manusia, diantaranya bila tertelan dapat
mengakibatkan rasa mual pada lambung, muntah dan diare. Bahan ini juga

11
bila terkena mata dan teradsorpsi pada kulit dapat menyebabkan iritasi,
dapat mengakibatkan kerusakan sistem pernapasan, menyebabkan kanker
serta menyebabkan gangguan reproduksi dan janin.
Congo Red (CR) yang memiliki rumus molekul C32H22N6O6S2Na2
juga dikenal dengan nama natrium difenil-bis-alfa-naftilamin sulfonat.
Sedangkan rumus struktur Congo Red dapat dilihat pada gambar berikut :

Congo Red berbentuk bubuk berwarna merah kecoklatan, di dalam air


akan berwarna merah kekuningan, sedangkan jika dilarutkan dalam etanol
berwarna orange. Kelarutannya dalam air adalah sebesar 25 g/L, dan pHnya
sekitar 6,7 pada temperatur 20oC. Pada konsentrasi rendah, spektrum
adsorpsi UV-Vis menunjukkan intensitas puncak sekitar 498 nm dalam
larutan aqueous (http://en.wikipedia.org/wiki/Congo_red). Selain dapat
larut dalam air Congo Red juga dapat larut dalam alkohol dan sedikit larut
dalam aseton namun tidak larut dalam eter. Congo Red selain sering
digunakan sebagai zat warna atau pencelup juga biasa digunakan sebagai
indikator, zat warna biologis dan bahkan untuk keperluan diagnostik.
Penelitian ini menggunakan Congo Red sebagai zat pewarna yang
diadsorbsi dikarenakan Congo Red mempunyai struktur di-azo dengan
rantai panjang dan penggunannya yang luas. Congo Red termasuk limbah
yang berbahaya bila terdapat dalam ekosistem. Adapun persamaan
reaksinya adalah sebagai berikut (Lachheb, 2002) :
87
C32H22N6O6S2 2- + 8OH- + O2 32CO2 + 6NO3- + 2SO42- + 8H+ + 11H2O
2

12
METODOLOGI PENELITIAN
1) Pembuatan larutan standar 1000 ppm
Untuk membuat larutan zat warna standar dapat dibuat dari 1 gram
Congo Red yang dilarutkan dengan 1000 ml aquades.
2) Penentuan panjang gelombang maksimum
a. Membuat larutan Congo Red dengan konsentrasi 100 ppm
b. Mengukur absorbansinya pada panjang gelombang berdasarkan
warna komplementernya.
c. Dari data absorbansi yang diperoleh maka dapat diketahui pada
panjang gelombang berapakah terjadi absorbansi tersebut
digunakan untuk pengukuran pada penelitian selanjutnya.
3) Pembuatan kurva kalibrasi zat warna
a. Membuat larutan zat warna dengan konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan
100 ppm.
b. Mengukur absorbansi dari masing-masing konsentrasi dengan
spektrometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum.
c. Membuat kurva kalibrasi dari pengukuran absorbansi tersebut
diatas.
4) Preparasi adsorben fly ash
a. 100 gram fly ash digerus sampai halus sehingga lolos pada
pengayak 100 smesh.
b. Mencucinya dengan aquades dengan tujuan menghilangkan sisa
pengotor yang masih menempel pada pori-pori fly ash.
c. Mengaduknya dengan magnetic stirrer selama 5 jam.
d. Campuran disaring dengan menggunakan kertas saring.
e. Menempatkan residu yang dihasilkan pada cawan porselin lalu
mengeringkannya pada oven dengan temperatur 400oC selama 2
jam.
f. Setelah kering fly ash digerus dan diayak menggunakan ayakan
100 smesh.

13
g. Hasil ayakan dianalisis dengan XRD untuk menentukan struktur
kristal dan FTIR.
5) Aktivasi Fly Ash
a. Fly Ash direaksikan dengan NaOH 3N secara refluks. Proses
pembuatannya disebut zeolitisasi.
b. Residu yang dihasilkan ditempatkan dalam cawan porselin lalu
dikeringkan pada oven dengan temperatur 400oC selama 2 jam.
c. Setelah kering digerus sampai halus dan diayak dengan
menggunakan ayakan 100 mesh, serta dikalsinasi selama 2 jam.
d. Padatan hasil ayakan dikarakterisasi dengan XRD untuk
menentukan struktur kristal dan FTIR.
6) Uji kemampuan adsorben fly ash pada limbah zat warna Congo Red.
a. 100 ppm larutan zat warna 50 ml ditambahkan 100 mg adsorben
Fly ash dimasukkan dalam gelas kimia sehingga terbentuk
suspensi.
b. Diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer.
c. Larutan disaring untuk memisahkan filtrat dari suspensi yang ada.
d. Filtrat yang diperoleh dianalisis dengan spektrometer UV Vis.

14
Skema Prosedur Kerja

Pembuatan larutan
standar 1000 ppm

Penentuan max

Pembuatan kurva kalibrasi


(Mengukur absorbansi Congo
Red 20, 40, 60, 80, 100 ppm
pada max)

Preparasi adsorben Fly Ash kalsinasi


400oC

Analisis dengan
XRD dan FTIR

Refluks
Aktivasi Fly Ash dengan
NaOH

Analisis dengan
XRD dan FTIR

Uji kemampuan absorben fly ash pada zat warna


Congo Red

15
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Congo Red. http://en.wikipedia.org/wiki/Congo_Red; diakses
tanggal 15 Maret 2008.
Balai Besar Tekstil. 2005. Penggunaan Larutan Sisa Pencelupan. Bandung:
Balai Besar Tekstil.
Hidayat, Y. S. 1986. Penelitian Pendahuluan Pemanfaatan Abu Terbang (Fly
Ash) untuk Campuran Beton di Indonesia. Jurnal Litbang Vol.II No.
45 April Mei 1986 : Bandung.
Kompas, 2 November 2004. Sungai Bengawan Solo Paling Tercemar. Jakarta
pusat : Kompas.
Kompas, 2007. Berbagai Jenis Limbah Cemari Bengawan Solo. Jakarta pusat
: Kompas.
Lachheb, H., Puzenat, E., Houas, A., Khisbi, M., Elaloui, E., Guillard, C., and
Hermann, J.M. 2002. Photocatalytic Degradation of Various Types of
Dyes (Congo Red, Crocein Orange G, Methyl Red, Methylene Blue) in
Water by UV-Irradiated Titania. Appl. Catal. B. Environ. 39, 15-90.
Maria Christinajfn, Munisatun S, dan Rany Saptaaji. 2007. Studi Pendahuluan
Mengenai Degradasi Zat Warna Azo (Metil Orange) dalam Pelarut
Air Menggunakan Mesin Berkas Elektron 350 keV/10 mA. JFN, Vol.1
No.1 Mei 2007. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-
BATAN.
Queroll, X., et al., Int. J. Coal Geol. 2002. 50, 413-423.
Renita Manurung, Rosdanelli Hasibuan, dan Irvan. 2004. Perombakan Zat
Warna Azo Reaktif Secara AnaerobAerob. Medan : Fakultas Teknik,
Jurusan Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara.
Wang, H. Wu , H. 2006. Journal of Hazardous Materials.
Yoga Pratama, Heri T. Putranto. Coal Fly Ash Conversion to Zeolite for
Removal of Chromium and Nickel from Wastewaters.
www.majarikanayakan.com. Penggunaan Abu Terbang Batubara sebagai
Campuran Beton untuk Bangunan California Academy of Science;
diakses tanggal 25 September 2009.

16
www.tekmira.esdm.go.id. Pemanfaatan Abu Batubara sebagai Bahan
Pembenah Tanah atau Soil Conditioner di Daerah Penimbunan
Tailing Pengolahan Emas; diakses tanggal 25 September 2009.
www.tekmira.esdm.go.id. Pemanfaatan Abu Terbang PLTU-Suralaya untuk
Castable Refractory; diakses tanggal 25 September 2009.
www.tesis-ilmiah.com. Adsorbsi Limbah Zat Warna Tekstil Jenis Procion Red
MX 8B oleh Kitosan dan Kitosan Sulfat Hasil Deasetilasi Kitin
Cangkang Bekicot (P-26); diakses tanggal 25 September 2009.

17

You might also like