Professional Documents
Culture Documents
KELAS : 7-A
Khulafaur Rasyidin
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama
Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah
yang memperoleh petunjuk tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi
dapat mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar sesuai
dengan petunjuk al-Quran dan sunnah. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak
1
ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani
Umayyah ke-8.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad SAW untuk menemaninya hijrah
ke Yatsrib. Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad SAW yang paling setia
dan terdepan dalam melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad SAWsakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya
untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Shalat. Hal ini menurut sebagian besar
ulama merupakan petunjuk dari Nabi Muhammad SAW agar Abu Bakar diangkat
menjadi penerus kepemimpinan Islam jika beliau SAW meninggal. Ketika Nabi
Muhammad SAW meninggal, terjadi perdebatan siapa yang akan meneruskan
kepemimpinan Islam selama 3 hari lamanya, yang akhirnya menghasilkan keputusan
bersama umat Islam saat itu, Abu Bakar diangkat sebagai pemimpin pertama umat
Islam sepeninggal Muhammad SAW. Abu Bakar memimpin selama dua tahun dari tahun
632 M sejak kematian Muhammad SAW hingga tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di bawah Islam
mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum.
Selama masa kepemimpinannya pula, Abu Bakar berhasil memperluas daerah
kekuasaan Islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian
daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun
634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya selama dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal
dunia. Masa sesingkat itu terjadi masalah dalam negeri terutama tantangan yang
disebabkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah
Madinah sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Mereka menganggap bahwa perjanjian
yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi SAW
wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan
penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar
menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan
2
kemurtadan). Khalid bin Al-Walid adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang
Riddah ini.
Kekuasaan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW,
bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.
Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Quran dan as-sunnah. Meskipun demikian, seperti juga Nabi
Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya
bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim
kekuatan ke luar Jazirah Arabia. Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai
wilayah al-Hirah pada tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat
panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid bin Abi Sufyan dan
Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah bin Zaid yang masih berusia 18
tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid diperintahkan meninggalkan Irak,
dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan
para pemuka sahabat, kemudian mewasiatkan agar tongkat kepemimpinan Islam
diserahkan kepada Umar bin Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk
mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera
secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah
(pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi
orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu
kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara
Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah
kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir
di bawah pimpinan 'Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash.
Iskandariah (Alexandria), ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian,
Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq,
jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain
yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Moshul dapat dikuasai. Dengan
demikian, pada masa kepemimpinan Umar Radhiallahu anhu, wilayah kekuasaan Islam
3
sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan
Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi
negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia.
Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah,
Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang
dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem
pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga
mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya
berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang Zoroastrianis, budak Fanatik dari
Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh
jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta
kepada mereka untuk memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang
tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin
'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman
sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang
tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam
pertama berhenti sampai di sini.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap
kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat anggota keluarganya
untuk menjabat posisi strategis. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan bin
Hakam Rahimahullah. Masyarakat pada masa itu melihat Marwan lah yang sebenarnya
menjalankan roda pemerintahan, sedangkan Utsman bin Affan hanya menyandang
gelar Khalifah saja. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-
jabatan penting, Utsman terlihat seperti boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak
dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya yang menjalankan roda
pemerintahan, sehingga Utsman bin Affan dianggap lepas kendali terhadap beberapa
kebijakan kerabatnya yang tidak disukai rakyat. Kondisi itulah yang dimanfaatkan
Abdullah bin Saba untuk menebar fitnah dan hasutan kepada masyarakat untuk
menjatuhkan Utsman, dan pada akhirnya Utsman bin Affan terbunuh oleh orang-orang
yang termakan hasutan Abdullah bin Saba'. Meskipun begitu Utsman tercatat berjasa
dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur
pembagian air ke kota-kota. Pada masa pemerintahannya tercatat Utsman banyak
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas masjid
Nabi di Madinah.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Pada masa pemerintahannya, ia
menghadapi berbagai pergolakan. Masa pemerintahannya dapat dikatakan yang paling
tidak stabil diantara para Khulafaur Rasyidin. Hal ini dikarenakan banyaknya masalah
pelik yang bergejolak di dalam negeri sehingga memaksa khalifah Ali untuk
menghabiskan waktu dan usahanya meredam pergolakan tersebut.
5
Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang diangkat
oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena
keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada
penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai
kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana
pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair
dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para pembunuh Utsman, dan
mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang telah ditumpahkan secara zhalim.
Ali enggan memberi hukuman dikarenakan ia enggan adanya peperangan sesama umat
Islam. Dia lalu mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut
ditolak, akibat tidak ada kata sepakat maka pertempuran yang dahsyat pun berkobar.
Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam
pertempuran itu menunggang unta. Peperangan ini dimenangkan pihak Ali, sedangkan
dari pihak Aisyah, dua sahabat Nabi, Zubair dan Thalhah harus meregang nyawa.
Aisyah kemudian ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, ada beberapa kebijakan khalifah Ali yang mengakibatkan
timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah, yang didukung oleh
sejumlah bekas pejabat tinggi karena merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan oleh
khalifah Ali. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah,
Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya
bertemu dengan pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal
dengan nama Perang Shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim
ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan munculnya golongan
ketiga, kaum Khawarij, yaitu orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di
ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan
politik besar yang mengguncang kekhalifahan Ali, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut
Abdullah bin Saba al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij
(orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali.
Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara
posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (661 M), Ali terbunuh
oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah bin Muljam.
Kedudukan khalifah kemudian dijabat oleh purta Ali yaitu Hasan selama beberapa
bulan. Namun, karena Hasan menginginkan perdamaian dan menghindari pertumpahan
darah, maka Hasan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abu
Sufyan. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini dapat mempersatukan umat Islam
kembali dalam satu kepemimpinan politik, di bawah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Di sisi
lain, penyerahan itu juga menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam
Islam. Tahun 661M, tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun jama'ah
6
('am jama'ah) Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut dengan masa Khulafa'ur
Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah politik Islam.
Pada masa kekhilafahan Bani Umayyah wilayah kekuasaan Islam berkembang sangat
luas. Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya terjadi
dalam waktu tidak lebih dari setengah abad. Hal ini merupakan kemenangan
menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai
pengalaman politik yang memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu
demikian cepat antara lain adalah:
1. Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan
Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban
menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Semangat
dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu
itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering
terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam
negeri masing-masing.
4. Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya
kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan
memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak
yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
5. Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan
toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.
6. Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang
bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium,
yang memerintah mereka.
7. Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu
penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Pada masa Abu Bakar sampai kepada Ali bin Abi Thalib, kekhilafahan dinamakan
sebagai periode Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun,
(khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para khalifah betul-
betul merujuk teladan Nabi SAW. Setelah periode Khilafah Rasyidah, pemerintahan
Islam berbentuk kerajaan / kesultanan. Layaknya sistem kerajaan pada umumnya, pada
masa ini kekuasaan diwariskan secara turun temurun.