Professional Documents
Culture Documents
DEFINISI
Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang kaya akan vaskularisasi
dan aliran limpa berfungsi untuk membungkus organ perut dan dinding perut
sebelah dalam (Price & Wilson, 2006). Peritonitis adalah inflamasi peritonium yang
bisa terjadi akibat infeksi bakterial atau reaksi kimiawi (Brooker, 2001).
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal
oleh bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan gangguan usus dasar
(cth : sirosis dengan asites, sistem urinarius) ; sekunder inflamasi dari saluran GI,
ovarium/uterus, cedera traumatik atau kontaminasi bedah (Doenges, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri: Organisme
berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ
reproduktif internal.(Brunner & suddarth, 2002)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum)lapisan membran serosa rongga abdomen dan
dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya
yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya,
apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen.
Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan
dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum
bereaksi terhadap stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi,
tergantung penyakit yang mendasarinya.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi.
2. KLASIFIKASI
a. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik : misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat
pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal,
dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan
mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob
yang didominasi organisme gram negatif. Tanda dan gejala pasien ini tidak
cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis
yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik
tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat
untuk pasien seperti ini.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul
abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih
sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang
imunokompromais. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya
tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier,
peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu
komplikasi penyakit TB. Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk
peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi
karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam
(mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen.
Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien
peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.
3. ETIOLOGI
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah:
a. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum
cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
b. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan
seksual
c. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
d. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites)
dan mengalami infeksi
e. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung
empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat
memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama
pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
f. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
g. Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan
peritonitis tanpa infeksi.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
4. PATOFISIOLOGI
Sumbatan pada Makanan mengandung Penyumbatan lumen Luka /Trauma
Usus/obstruksi kuman Apendiks penetrasi
Ganggren Edema
Kontipasi BB menurun Memacu kerja hipotalamus Pengumpulan cairan di rongga Kehilangan sejumlah cairan
peritoneum
Ketidakseimbangan nutrisi Meningkatkan suhu tubuh Dehidrasi Hipotensi
kurang dari kebutuhan tubuh Peningkatan Asites
Hipertemia tekanan intraabdominal Kekurangan Aliran darah ke
Kelebihan Volume Cairan ginjal menurun
Volume Cairan
Merangsang saraf perasa nyeri Menekan diafragma Mendesak lambung GFR menurun
8. PENATALAKSANAAN
a. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena yang
berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti elektrolit dan
kehilangan protein. Lakukan nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus
untuk mengurangi tekanan dalam usus.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
b. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:
Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5 mg/kg
berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum
luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama
operasi.
c. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis
yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak
terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat
diberikan antibiotka ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan
lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain
itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
e. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis.
Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan
drainase terhadap abses. (Saifuddin, Abdul Bari.2008.Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
f. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.
Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung
pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini.
Septikemia dan syok septic.
Syok hipovolemik.
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem.
Abses residual intraperitoneal.
Portal Pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut.
Adhesi.
Obstruksi intestinal rekuren
Oleh :
Anggi Yuwita
105070203111003