You are on page 1of 21

1.

DEFINISI
Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang kaya akan vaskularisasi
dan aliran limpa berfungsi untuk membungkus organ perut dan dinding perut
sebelah dalam (Price & Wilson, 2006). Peritonitis adalah inflamasi peritonium yang
bisa terjadi akibat infeksi bakterial atau reaksi kimiawi (Brooker, 2001).
Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneal dapat berupa primer atau
sekunder, akut atau kronis dan diakibatkan oleh kontaminasi kapasitas peritoneal
oleh bakteri atau kimia. Primer tidak berhubungan dengan gangguan usus dasar
(cth : sirosis dengan asites, sistem urinarius) ; sekunder inflamasi dari saluran GI,
ovarium/uterus, cedera traumatik atau kontaminasi bedah (Doenges, 2000).
Peritonitis adalah inflamasi peritonium-lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi viresela. Biasanya, akibat dari infeksi bakteri: Organisme
berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari organ
reproduktif internal.(Brunner & suddarth, 2002)
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada
selaput rongga perut (peritoneum)lapisan membran serosa rongga abdomen dan
dinding perut sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya
yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya,
apendisitis, salpingitis), rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen.
Dalam istilah peritonitis meliputi kumpulan tanda dan gejala, di antaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muskular, dan tanda-tanda umum
inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat mengalami gejala akut, penyakit ringan
dan terbatas, atau penyakit berat dan sistemik dengan syok sepsis. Peritoneum
bereaksi terhadap stimulus patologik dengan respon inflamasi bervariasi,
tergantung penyakit yang mendasarinya.
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum lapisan membran serosa rongga
abdomen dan meliputi visera merupakan penyakit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis/ kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri
tekan dan nyeri lepas pada palpasi, defans muscular, dan tanda-tanda umum
inflamasi.

2. KLASIFIKASI
a. Peritonitis Primer
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada
cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen.
Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Spesifik : misalnya Tuberculosis
2) Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis.
b. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, bentuk peritonitis yang paling sering terjadi,
disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam
dengan inokulasi bakteri rongga peritoneal. Spektrum patogen infeksius
tergantung penyebab asalnya. Berbeda dengan SBP, peritonitis sekunder lebih
banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna bagian
atas. Pada pasien dengan supresi asam lambung dalam waktu panjang, dapat
pula terjadi infeksi gram negatif. Kontaminasi kolon, terutama dari bagian distal,
dapat melepaskan ratusan bakteri dan jamur. Umumnya peritonitis akan
mengandung polimikroba, mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob
yang didominasi organisme gram negatif. Tanda dan gejala pasien ini tidak
cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan dua jenis peritonitis. Anamnesis
yang lengkap, penilaian cairan peritoneal, dan pemeriksaan diagnostik
tambahan diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tata laksana yang tepat
untuk pasien seperti ini.
c. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul
abses atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih
sering ada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang
imunokompromais. Kebanyakan pasien memiliki riwayat sirosis, dan biasanya
tidak diduga akan mengalami peritonitis tersier. Selain peritonitis tersier,
peritonitis TB juga merupakan bentuk yang sering terjadi, sebagai salah satu
komplikasi penyakit TB. Selain tiga bentuk di atas, terdapat pula bentuk
peritonitis lain, yakni peritonitis steril atau kimiawi. Peritonitis ini dapat terjadi
karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium, dan
substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam
(mis. Penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen.
Tanda dan gejala klinis serta metode diagnostik dan pendekatan ke pasien
peritonitis steril tidak berbeda dengan peritonitis infektif lainnya.
3. ETIOLOGI
a. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2) Appendisitis yang meradang dan perforasi
3) Tukak peptik (lambung / dudenum)
4) Tukak thypoid
5) Tukan disentri amuba / colitis
6) Tukak pada tumor
7) Salpingitis
8) Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar
1) Operasi yang tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis lokal.
3) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati
4) Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk
pula peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis.
Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.
Adapun penyebab spesifik dari peritonitis adalah:
a. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritoneum sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis, dan peritoneum
cenderung mengalami penyembuhan bila diobati.
b. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan
seksual
c. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa
jenis kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
d. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites)
dan mengalami infeksi
e. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung
empedu, ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat
memindahkan bakteri ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama
pembedahan untuk menyambungkan bagian usus.
f. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di
dalam perut.
g. Iritasi tanpa infeksi; Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
bubuk bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan
peritonitis tanpa infeksi.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi. Kelompok resiko tinggi
adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus
sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
4. PATOFISIOLOGI
Sumbatan pada Makanan mengandung Penyumbatan lumen Luka /Trauma
Usus/obstruksi kuman Apendiks penetrasi

Neus Masuk lambung Bendungan mukus Menekan abdomen

Per peristaltik usus Masuk ke usus Elastisitas dinding Rangsangan peritonial


Apendiks terbatas
Terjepitnya pembuluh Jaringan limfoid di
Darah ileum terminalis Peningkatan tekanan
intralumen
Iskemia Hipertopi, perdarahan
Menghambat obstruksi
Nekrosis Performasi intestinal pena

Ganggren Edema

Perforasi usus Infark dinding apendik

Penyebaran bakteri Perforasi Ansietas

Peritonitis Tindakan operasi


Aktivitas peristaltik Mengaktifkan neutrofil dan makrofag Keluarnya eksudat fibrosa Pelepasan berbagai mediator
Usus menurun kimiawi (histamin, bradikinin,
Pelepasan zat pirogen endogen Resiko Infeksi serotonin, interleukin)
Ileus
Merangsang sel-sel endotel hipotalamus Merangsang saraf perasa nyeri Peningkatan permeabilitas
Usus menjadi mergang kapiler dan membran
Mengeluarkan asam arakidonat Nyeri Akut mengalami kebocoran
Malabsorbsi Absorbsi makanan
Air pada colon terganggu Memicu pengeluaran prostaglandin

Kontipasi BB menurun Memacu kerja hipotalamus Pengumpulan cairan di rongga Kehilangan sejumlah cairan
peritoneum
Ketidakseimbangan nutrisi Meningkatkan suhu tubuh Dehidrasi Hipotensi
kurang dari kebutuhan tubuh Peningkatan Asites
Hipertemia tekanan intraabdominal Kekurangan Aliran darah ke
Kelebihan Volume Cairan ginjal menurun
Volume Cairan
Merangsang saraf perasa nyeri Menekan diafragma Mendesak lambung GFR menurun

Nyeri Penurunan ekspansi paru HCl meningkat Oliguria


Nyeri Akut Sesak napas Merangsang pusat Aliran darah ke jaringan Gangguan
mual dan muntah perifer menurun Eliminasi Urin
Ketidakefektifan pola nafas di hipotalamus
Gangguan O2 ke perifer
Mual dan muntah Perfusi Jaringan menurun
Perifer
BB menurun Metabolisme anaerob

Ketidakseimbangan nutrisi Energi menurun


kurang dari kebutuhan tubuh
Kelemahan

Tindakan operasi Explore abdomen

Pemberian sedasi Kerusakan integritas kulit

Tirah baring Mual muntah Refleks batuk menurun Kontaminasi mikroorganisme

Intoleransi aktivitas Nafsu makan menurun Penumpukan sekret Resiko Infeksi

Ketidakseimbangan nutrisi Ketidakefektifan bersihan Ketidakefektifan pola nafas


kurang dari kebutuhan tubuh jalan napas
6. MANIFESTASI KLIINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan
tanda-tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri
tekan dan defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di
bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan
sementara usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan
ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita
bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri
jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri
abdomen (akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas
lokasinya (peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum
parietal). Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum
ditempat tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya
yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic),
penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
Gejala Klinis menurut Ahmad H. Asdie, 1995: 1612
a. Nyeri abdomen akut dan nyeri tekan
b. Badan lemas
c. Peristaltik dan suara usus menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pada pemeriksaan fisik.
1) Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu
badan, dan sikap baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan
abdomen.
2) Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok, dan infeksi atau sepsis juga
perlu diperhatikan.
3) Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat
menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen
ini harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis dan terapi yang akan
dilakukan.
4) Inspeksi, pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan
gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan
pasase. Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit
dan tegang atau distended.
5) Minta pasien untuk menunjuk dengan satu jari area daerah yang paling
terasa sakit di abdomen.
6) Auskultasi, auskultasi dimulai dari arah yang berlawanan dari yang ditunjuk
pasien. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara
bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah
atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang
lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus
paralitik).
7) Palpasi, Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan viseral
yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah yang
paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari abdomen
yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding antara
bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri.
8) Nyeri tekan dan defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses
inflamasi yang mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang
murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan
ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan.
9) Pada saat pemeriksaan penderita peritonitis, ditemukan nyeri tekan
setempat. Otot dinding perut menunjukkan defans muskular secara refleks
untuk melindungi bagian yang meradang dan menghindari gerakan atau
tekanan setempat.
10) Perkusi, Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum, adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen
hipertimpani karena adanya udara bebas tadi.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Test laboratorium
a) Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak
protein (lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel
diidentifikasi dengan kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara
laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan
merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.
b) Hematokrit meningkat
c) Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien
peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
2) X. Ray
Dari tes X Ray didapat foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral), didapatkan:
a) Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b) Usus halus dan usus besar dilatasi.
c) Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
3) Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a) Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat
mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran
kaset dan film ukuran 3543 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika
penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada
foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain:
a) Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
b) Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air
fluid level pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-
panjang kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh
adalah adanya udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c) Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.

8. PENATALAKSANAAN
a. Bila peritonitis meluas dan pembedahan dikontraindikasikan karena syok dan
kegagalan sirkulasi, maka cairan oral dihindari dan diberikan cairan vena yang
berupa infuse NaCl atau Ringer Laktat untuk mengganti elektrolit dan
kehilangan protein. Lakukan nasogastric suction melalui hidung ke dalam usus
untuk mengurangi tekanan dalam usus.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen,
nutrisi, dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan
tekanan darah harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
b. Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam:
Ampisilin 2g IV, kemudian 1g setiap 6 jam, ditambah gantamisin 5 mg/kg
berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.
Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum
luas juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang
cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama
operasi.
c. Bila infeksi mulai reda dan kondisi pasien membaik, drainase bedah dan
perbaikan dapat diupayakan. Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis
yang difus, yaitu dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak
terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat
diberikan antibiotka ( misal sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine)
pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan
lavase peritoneum, karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria
menyebar ketempat lain.
d. Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain
itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
e. Pembedahan atau laparotomi mungkin dilakukan untuk mencegah peritonitis.
Bila perforasi tidak dicegah, intervensi pembedahan mayor adalah insisi dan
drainase terhadap abses. (Saifuddin, Abdul Bari.2008.Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo)
f. Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.
Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung
pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya,
kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan menutup,
mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

9. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
a. Komplikasi dini.
Septikemia dan syok septic.
Syok hipovolemik.
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem.
Abses residual intraperitoneal.
Portal Pyemia (misal abses hepar).
b. Komplikasi lanjut.
Adhesi.
Obstruksi intestinal rekuren

10. ASUHAN KEPERAWATAN


a. Pengkajian
1) Identitas : Nama pasien, umur, jenis kelamin, suku /bangsa, pendidikan,
pekerjaan, alamat
2) Keluhan utama
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia,
peritoneal diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Seseorang dengan peritonotis pernah ruptur saluran cerna, komplikasi post
operasi, operasi yang tidak steril dan akibat pembedahan, trauma pada
kecelakaan seperti ruptur limpa dan ruptur hati.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini
disebabkan oleh bakterial primer, seperti: Tubercolosis. Maka kemungkinan
diturunkan ada.
6) Pemeriksaan Fisik
a) Sistem pernafasan (B1)
Pola nafas irregular (RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu
pernafasan serta menggunakan otot bantu pernafasan.
b) Sistem kardiovaskuler (B2)
Klien mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovelemia
vaskular karena anoreksia dan vomit. Didapatkan irama jantung irregular
akibat pasien syok (neurogenik, hipovolemik atau septik), akral : dingin,
basah, dan pucat.
c) Sistem Persarafan (B3)
Klien dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun
hanya mengalami penurunan kesadaran.
d) Sistem Perkemihan (B4)
Terjadi penurunan produksi urin.
e) Sistem Pencernaan (B5)
Klien akan mengalami anoreksia dan nausea. Vomit dapat muncul akibat
proses ptologis organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder
akibat iritasi peritoneal. Selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus
menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit).
f) Sistem Muskuloskeletal dan Integumen (B6)
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan
aktivitas. Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot
mengalami kelelahan, dan turgor kulit menurun akibat kekurangan
volume cairan.
7) Pengkajian Psikososial
Interaksi sosial menurun terkait dengan keikutsertaan pada aktivitas sosial
yang sering dilakukan.
b. Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri akut Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat nyeri, catat intensitas, dan 1. Merupakan pengalaman subyektif
berhubungan dengan tindakan keperawatan karakteristik nyeri dan harus dijelaskan oleh pasien atau
peradangan pada selama 3x24 jam nyeri identifikasi karakteristik nyeri dan
peritoneum berkurang atau terkontrol. faktor yang berhubungan dengan
Kriteria Hasil : kondisi penyakitnya serta merupakan
TTV dalam batas suatu hal yang amat penting untuk
normal (TD 140- memilih intensitas yang cocok untuk
120/100-80 mmHg, mengevaluasi keefektifan dari terapi
HR 60-100 x/m, RR yang diberikan.
16-24 x/m, Suhu 36,5- 2. Monitor TTV: TD, N, RR, S 2. Untuk mengetahui adanya komplikasi
37,50C) lebih lanjut sehingga dapat ditentukan
Melaporkan nyeri tindakan selanjutnya
hilang atau terkontrol 3. Ajarkan teknis distraksi dan relaksasi 3. Merupakan ketegangan otot yang
Mendemonstrasikan napas dalam dapat merangsang timbulnya nyeri
penggunaan teknik 4. Ciptakan lingkungan yang tenang 4. Menurunkan stimulus yang berlebihan
relaksasi napas dalam yang dapat menurunkan nyeri.
5. Kolaborasi, pemberian analgesik; 5. Membantu menghilangkan nyeri,
morfin, metadon. meningkat kenyamanan.
2. Ansietas Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat ansietas klien 1. Faktor ini mempengaruhi persepsi
berhubungan dengan tindakan keperawatan pasien terhadap ancaman diri
perubahan status selama 1x24 jam ansietas 2. Berikan informasi yang akurat dan jujur 2. Menurunkan ansietas sehubungan
kesehatan, prosedur berkurang. dengan ketidaktahuan
tindakan invasif Kriteria Hasil : 3. Identifikasi sumber/orang yang 3. Memberikan kenyakinan bahwa
(bedah) yang akan Tampak rileks menolong pasien tidak sendiri
dilakukan Rasa takut berkurang dalam menghadapi masalah
4. Jadwalkan istirahat adekuat 4. Membatasi kelemahan dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
Post Operasi
3. Gangguan rasa Setelah diberikan 1. Kaji nyeri klien (intensitas, durasi, 1. Nyeri merupakan cerminan sensasi
nyaman nyeri tindakan keperawatan lokasi) setelah dekompresi saraf
berhubungan dengan selama 3x24 jam 2. Kaji tanda vital dengan sering 2. Memantau perubahan suhu tubuh
terputusnya diharapkan nyeri pasien
kontiniutas jaringan berkurang dengan 3. Beri klien posisi yang nyaman 3. Posisi disesuaikan dengan keluhan
kulit akibat insisi kriteria: fisiologis
4. Teliti keluhan klien mengenai
TTV normal (TD 140- 4. Sebagai tanda adanya komplikasi
munculnya kembali nyeri
120/100-80 mmHg,
5. Dorong klienmenggunakan teknik
HR 60-100 x/m, RR 5. Memusatkan perhatian, dapat
relaksasi, seperti latihan nafas dalam,
16-24 x/m, Suhu 36,5- meningkatkan koping
distraksi
37,50C) 6. Menurunkan ketidaknyamanan pada
6. Pertahankan puasa/penghisapan pada
Pasien tampak rileks peristaltik usus dini dan iritasi gaster
Mampu beraktivitas awal
Dapat melakukan 7. Observasi drainase pada luka. 7. Memberikan informasi tentang status
relaksasi infeksi.
8. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian obat analgetik (ketorolac) 2 8. Pemberian obat analgetik ditujukan
x 1 amp dapat mengurangi atau
menghilangkan nyeri.
4. Resiko tidak efektif Pola nafas efektif setelah 1. Pantau hasil analisa gas darah dan 1. Indikator hipoksemia; hipotensi,
pola nafas dilakukan tindakan indikator hipoksemia: hipotensi, takikardi, hiperventilasi, gelisah,
berhubungan dengan keperawatan selama 2 x takikardi, hiperventilasi, gelisah, depresi SSP, dan sianosis penting
efek anestesi 24 jam depresi SSP, dan sianosis. untuk mengetahui adanya syok akibat
Kriteria Hasil : inflamasi (peradangan).
Pasien menunjukkan 2. Observasi frekuensi /kedalaman 2. Nafas dangkal mengakibatkan
pernafasan dan bunyi pernafasan hipoventilasi/atelektasis
nafas normal 3. Auskultasi bunyi nafas 3. Area yang menurunkan /tak ada bunyi
Mendemontrasikan nafas diduga atelektasis
kemampuan untuk 4. Bantu pasien untuk nafas dalma 4. Meningkatkan ventilasi semua
melakukan latihan secara periodik segmen paru dan mobilisasi serta
pernafasan pengeluaran sekret
5. Tinggikan kepala tempat tidur 5. Memudahkan ekspansi paru
6. Berikan O2 sesuai program 6. Oksigen membantu untuk bernafas
secara optimal.
5. Risiko tinggi infeksi Setelah dilakukan 1. Catat faktor risiko individu contoh 1. Mempengaruhi pilihan intervensi
berhubungan dengan tindakan keperawatan trauma abdomen, apendisitis akut,
trauma jaringan. selama 3x24 jam tidak dialisa peritoneal.
ada tanda resiko infeksi 2. Kaji tanda vital dengan sering, catat 2. Tanda adanya syok septik,
yang terjadi. tidak membaiknya atau berlanjutnya endotoksin sirkulasi menyebabkan
Kriteria hasil: hipotensi, penurunan tekanan nadi, vasodilatasi, kehilangan cairan dari
Meningkatnya takikardia, demam, takipnea. sirkulasi, dan rendahnya status curah
penyembuhan pada jantung.
waktunya, 3. Catat perubahan status mental (contoh 3. Hipoksemia, hipotensi, dan asidosis
bebas drainase bingung, pingsan). dapat menyebabkan penyimpangan
purulen atau eritema, status mental.
tidak demam. 4. Catat warna kulit, suhu, kelembaban. 4. Hangat, kemerahan, kulit kering
Menyatakan adalah tanda dini septikemia.
pemahaman Selanjutnya manifestasi termasuk
penyebab dingin, kulit pucat lembab dan
penyakit/faktor resiko. sianosis sebagai tanda syok.
5. Awasi haluaran urine 5. Oliguria terjadi sebagai akibat
penurunan perfusi ginjal, toksin dalam
sirkulasi mempengaruhi antibiotik.

6. Pertahankan teknik aseptik ketat pada 6. Mencegah meluas dan membatasi


perawatan drein abdomen, luka penyebaran organisme

insisi/terbuka, dan sisi invasif. infektif/kontaminasi silang.


Bersihkan dengan Betadine atau
larutan lain yang tepat kemudian bilas
7. Observasi drainase pada luka. 7. Memberikan informasi tentang status
infeksi.
8. Pertahankan teknik steril bila pasien 8. Mencegah penyebaran, membatasi
dipasang kateter, dan berikan pertumbuhan bakteri pada traktus
perawatan kateter/ atau kebersihan urinarius.
perineal rutin.
9. Awasi/batasi pengunjung dan staf 9. Menurunkan resiko terpajan
sesuai kebutuhan. Berikan pada/menambah infeksi sekunder
perlindungan isolasi bila diindikasikan. pada pasien yang mengalami tekanan
imun.
10. Ambil contoh/awasi hasil pemeriksaan 10. Mengidentifikasikan mikroorganisme
seri darah, urine, kultur luka. dan membantu dalam mengkaji
keefektifan prigram antimikrobial.
11. Berikan antibiotik, contoh gentacimin 11. Terapi ditujukan pada bakteri anaerob
(Garamycyin), amikasin (amikin), dan basil aerob gram negatif.Lavase
Klindamisin (Cleocin). Lavase dapat digunakan untuk membuang
pritoneal/IV jaringan nekrotik dan mengobati
inflamasi yang terlokalisasi/menyebar
dengan buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunner & Suddart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah 5. Jakarta : EGC


2. Marilynn E Doenges,dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 8. Jakarta :
EGC.
3. Silvia A.Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.

4. Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.


LAPORAN PENDAHULUAN
PERITONITIS

Oleh :
Anggi Yuwita
105070203111003

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

You might also like