You are on page 1of 17

Autisme sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan

pada sejumlah anak ketika masa kanak kanak hingga masa masa sesudahnya.
Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak anak yang menyandangnya tidak mampu
menjalin hubungan sosial secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi
dua arah (Wijayakusuma, 2004)

Varian symptom yang dimiliki oleh setiap anak dengan sindrom autisme berbeda beda.
Ada varian symptom yang ringan dan ada juga yang berat. Akan tetapi, secara umum
dapat dispesifikasikan kedalam tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan
berbahasa serta usia si anak.

Sebagai sindrom, autisme dapat disandang oleh seluruh anak dari berbagai tingkat sosial
dan kultur. Hasil survai yang diambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2 4 anak
per 10.000 anak berpeluang menyandang austime dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk
anak laki laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki laki lebih rentan
menyandang sindrom autisma dibandingkan anak perempuan. Bahkan diprediksikan oleh
para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 % dari
keseluruhan populasi anak di seluruh dunia.

Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah
keatas. Ketika dikandung asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.

Sejak autisme mulai dapat dijabarkan dan dikenal mendunia, berbagai jenis penyembuhan
telah dilakuan. Beberapa implementasi penyembuhan tersebut bukan hanya bersifat
psikis, tetapi juga fisik, mental, emosional hingga fisiologis. Tetapi penyembuhan yang
diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian teknik, diantaranya teknik belajar dan
bermain yang dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal.

Dari beberapa jenis terapi yang telah diimplementasikan secara meluas, ada yang
melibatkan peran serta orang tua dan ada juga yang tidak. Ada yang dapat dilakukan
sendiri oleh orang tua dirumah dan ada juga terapi yang memerlukan bantuan sejumlah
ahli atau terapis. Inti dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir
berbagai symptom yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.
Yang terpenting, terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap
melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua merasa
memiliki andil atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam setiap fase terapi.
Dengan kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak autisme kepada
para ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan tingkat perbaikan yang perlu dicapai
oleh sianak. Dengan demikian, akan terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat
antara orang tua dengan anak autismenya dan hal ini diharapkan akan mendukung
perkembangan emosional dan mental si anak menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Yang melatar belakangi pembuatan askep yang berjudul autisme yaitu adanya penugasan
dari dosen mata kuliah keperawatan jiwa dan keingintahuan kami mengenai konsep dasar
dan askep autisme itu sendiri.

2. Runusan Masalah

1. Apakah definisi dari autisme ?


2. Ada berapa pengelompokan autisme ?
3. Bagaiman etiologi autisme ?
4. bagaimana karakteristik autisme ?
5. Bagaimana penatalaksanaan autisme ?
6. bagaimana askep autisme ?

3. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep autisme.

2. Tujuan khusus

Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :

Menjelaskan definisi dari autisme


Menjelaskan pengelompokan autisme
Menjelaskan penatalaksanaan autisme
Menjelaskan karakteristik autisme
Menjelaskan etiologi autisme
Menjelaskan askep autisme

BAB II

KONSEP TEORI

1. Definisi

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa
balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau
komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan
masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).

Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan
realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M,
1996 : 305)

Autisme adalah sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang
ditemukan pada sejumlah anak ketika masa kanak kanak hingga masa masa
sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak anak yang menyandangnya
tidak mampu menjalin hubungan social secara normal bahkan tidak mampu untuk
menjalin komunikasi dua arah (Wijayakusuma, 2004)

2. Pengelompokan Autisme

Dr. Faisal Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok, yaitu :


1. Autisme Persepsi

Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena
kelainan sudah timbul sebelum lahir.

2. Autisme Reaksi

Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak anak usia lebih besar (6 7
tahun) sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa
juga terjadi sejak usia minggu minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini
bisa membuat gerakan gerakan tertentu berulang ulang dan kadang
kadang disertai kejang kejang.

3. Autisme yang Timbul Kemudian

Faisal Yatim pun memberikan tip tip untuk mengelola penderita anak
autisme, berikut ini :

o Menentukan terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang


mana kira kira yang perlu ditingkatkan
o Menentukan berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut
o Menentukan apa faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersbut
o Menentukan perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau
mengurangi penyimpangan perilaku
o Meyakinkan dan mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli
dengan program tersebut
o Memeriksa dan mengusahakan agar semua program yang direncanakan bisa
berjalan dengan konsisten
o Mengadakan penilaian program secara teratur dan jangan terlalu
mengharapkan hasilnya dalam waktu singkat
o Mengadakan modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang anda
harapkan tercapai, ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk
diubah. Salah seorang ahli manganjurkan 3 bulan setelah program
dilaksanakan baru dilakukan penilaian apakah berhasil atau gagal
o Memberikan permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak
autisme, yang bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman
dalam dunianya
o Bergaul akrab dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya waktu
berekreasi juga dianjurkan oleh para professional. Pengobatan secara psikologi
dan bermain termasuk yang dianjurkan

3. Etiologi

Penyebab anak autis dipengaruhi oleh banyak faktor. Hingga saat ini banyak teori
kedokteran yang membahas penyebab anak autis, namun belum ada satupun yang
mampu menemukan faktor penentu yang menjadi penyebab anak autis. Hal ini tentu
saja sangat menghawatirkan para orangtua. Apalagi saat ini, jumlah anak autis dari
hari ke hari meningkat jumlahnya.

Berdasarkan beberapa penelitian didapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai
alasan dari penyebab autisme pada anak, diantaranya:

Faktor genetik, yaitu faktor keturunan. Jika ada salah satu dari anggota keluarga yang
menderita autis, maka peluang untuk melahirkan anak autisme menjadi lebih besar.

Perkembangan otak, dalam hal ini ketidakseimbangan neurotransmitter (dopamine


dan serotonin) juga dapat menyebabkan penyakit autisme pada anak.

Usia orang tua juga mempengaruhi terjadinya penyakit autisme, semakin tua usia
orang tua ketika memiliki anak, maka semakin tinggi risiko anak terkena autis.

Pengaruh obat-obatan juga dapat memberikan dampak autis terhadap anak-anak.


Terutama obat-obatan yang dikonsumsi ibu pada saat masih dalam kandungan,
misalnya obat yang digunakan untuk mencegah rasa mual dan muntah selama hamil,
obat untuk insomnia, maupun obat yang digunakan untuk mengobati rasa cemas.

Kandungan pestisida yang tinggi pada makanan juga dapat menyebabkan penyakit
autis. Dari hasil penelitian para ahli diperoleh bahwa zat pestisida dapat mengganggu
fungsi gen yang terdapat pada sistem syaraf pusat.

4. Karakteristik
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati
pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang
teringan hingga terberat sekalipun.

1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.

2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta
menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.

4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.

5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam


kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa
diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas
bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-
tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan
demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu
penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para
orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala
yang terlihat. The National Institute of Child Health and Human Development
(NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai
dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan

2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam)


hingga usia 12 bulan

3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan

4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan

5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima lampu merah di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang
autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka
seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi;
Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang
memahami persoalan autisme.

5. Cara Mengetahui Autisme pada Anak Sejak Dini

Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:

a. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.


b. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
c. Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka,
saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.

Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya.

a. Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila
diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan
sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata.
Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan
untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat
tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b. Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai
kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak
untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek
menghadapi kedua orang tuanya.
c. Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat
terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau
berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang
lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada
suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas
(walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga
berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :


a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal
yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan
lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi
mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan
kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak
adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang
memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat
memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin
terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar
yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang
sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada
objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa
dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi
terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f. Kontak mata minimal atau tidak ada.
g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan
menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas
terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan
kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan
menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional
i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat)
saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung
pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya
mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan
pada umur 2 tahun.
j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara
fungsional.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan
berjingkat-jingkat.

Ciri yang khas pada anak yang austik :

a. Defisit keteraturan verbal.


b. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang
lain).

Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:

a. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.


b. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak
imajinatif.

Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

7. Problem Tree
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian

1. Identitas pasien
2. data subyektif dan obyektif
3. Data Subjektif dan Objektif

a. Kegagalan untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak
responsif pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat responsif pada wajah,
pengabaian atau keengganan terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal masa
kanak-kanak, ada kegagalan untuk mengembangkan kerjasama dalam bermain dan
persahabatan.
b. kelainan pada komunikasi (verbal dan non verbal), dicirikan oleh tidak adanya bahasa
atau jika dikembangkan, sering adanya struktur gramatik yang tidak matang,
penggunaan kata-kata yang tidak benar, ekolalia atau ketidakmampuan untuk
menggunakan batasan-batasan abstrak. Ekspresi non verbal yang menyertai bisa
menjadi tidak sesuai atau tidak ada.
c. Respon-respon kacau terhadap lingkungan, dicirikan oleh perlawanan atau reaksi-
reaksi perilaku yang ekstrem terhadap peristiwa-peristiwa kecil, kasih sayang yang
mengganggu pikiran yang tidak normal terhadap benda-benda aneh, perilaku -
perilaku yang ritualisitik.
d. Rasa tertari yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin,
kereta api). Minat khusus terhadap musik, bermain-main dengan air, kancing atau
bagian dari tubuh.
e. Tuntutan yang tidak beralasan terhadap keharusan untuk mengikuti kebiasaan sehari-
hari dengan rincian yang tepat (Misalnya : menuntut keharusan untuk selalu
mengikuti rute yang sama apabila pergi berbelanja).
f. Kesusahan yang terlihat terhadap perubahan-perubahan pada aspek-aspek yang sepele
dari lingkungan (misalnya : Apabila vas bunga dipindahkan dari tempat biasanya).
g. Gerakan-gerakan tubuh stereotip (Misalnya : menjetik - jentikan tangan atau memilin
- milin tangan, berputar - putar, gerakan seluruh tubuh yang kompleks).
4. pemeriksaan penunjang :

Darah, urine dan faeces u/ mengetahui :


Gangguan pencernaan
Jamur/parasit / bakteri di dalam usus
Alergi makanan
Peptide / morphin dalam urine
Kelainan genetik
Kerusakan sel & pembuluh darah otak
auto imunitas
Mineral & logam berat (Pb, Cad, Hg, As, Ai)

3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Umum

1. Resiko tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan reaksi-reaksi yang


histeris terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan.

Tujuan

Pasien tidak akan melukai diri.

Sasaran Jangka Pendek

Pasien tampak tenang, mendemonstrasikan perilaku - perilaku alternatif (misalnya :


memulai interaksi antara diri dengan perawat)

Intervensi dengan Rasional Tertentu

1. Tindakan untuk melindungi anak apabila perilaku-perilaku mutilatif diri, seperti


mamukul-mukul/membentur-benturkan kepala atau perilaku-perilaku histeris lainnya
menjadi nyata. Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan pasien.
2. Helm dapat digunakan untuk melindungi terhadap tindakan memukul-mukul kepala,
sarung tangan untuk mencegah menarik-narik rambut, dan peberian bantalan yang
sesuai untuk melindungi ekstremitas terluka selama terjadinya gerakan-gerakan
histeris.
3. Coba untuk menentukan jika perilaku-perilaku mutilatif diri terjadi sebagai respons
terhadap meningkatnya ansietas, dan jika terjadi, terhadap apa ansietas tersebut dapat
dihubungkan. Perilaku-perilaku multilatif dapat dicegah jika penyebabnya dapat
ditentukan.
4. Bekerja pada dasar satu perawat untuk satu anak untuk membentuk kepercayaan.
5. tawarkan diri kepada anak selama waktu-waktu meningkatnya ansietas, dalam upaya
untuk menurunkan kebutuhan pada perilaku-perilaku mutilasi diri dan memberikan
rasa aman.

Hasil pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Rasa gelisah dipertahankan pada tingkat pasien merasa tidak memerlukan perilaku-
perilaku mutilatif diri.
2. pasien memulai interaksi antara diri dan perawat apabila merasa cemas.

2. Kerusakan Interaksi Sosial Berhubungan Dengan Gangguan konsep diri

Kriteria hasil :

adanya sifat responsif terhadap atau minat pada orang-orang,, kepercayaan pada
seorang pemberi perawatan, kontak mata dan sifat responsif pada wajah, adanya
kemampuan untuk mengembangkan kerjasama dalam bermain dan persahabatan
dengan teman sebaya.

Tujuan

Pasien akan memulai interaksi-interaksi sosial (fisik, verbal, nonverbal dengan


pemberian perawatan saat pulang.

Intervensi dengan Rasional Tertentu

1. Berfungsi dalam hubungan satu per satu dengan anak. Interaksi staf dengan pasien
yang konsisten meningkatkan pembentukan kepercayaan.
2. Berikan anak benda-benda yang dikenal (mis., mainan-mainan kesukaan, selimut).
Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu aman bila anak mersa
distres.
3. Sampaikan sikap yang hangat, dukungan, dan kebersediaan ketika pasien berusaha
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Karakteristik-karakteristik ini
meningkatkan pembentukan dan mempertahankan hubungan saling mempercayai.
4. Lakukan dengan perlahan. Jangan memaksakan melakukan interaksi-interaksi. Mulai
dengan penguatan yang positif pada kontak mata. Perkenalkan secara berangsur-
angsur dengan sentuhan, senyuman, pelukan. Pasien autistik dapat merasa terancam
oleh suatu rangsangan yang gencar pada pasien tidak terbiasa.
5. Dengan kehadiran Anda beri dukungan pada pasien yang berusaha keras untuk
membentuk hubungan dengan orang lain di lingkungannya. Kehadiran seseorang yang
telah terbentuk hubungan saling percaya, memberikan rasa aman.

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mulai berinteraksi dengan diri dan orang lain.


2. pasien menggunakan kontak mata, sifat responsif pada wajah, dan perilaku-perilaku
nonverbal lainnya dalam berinteraksi dengan orang lain.
3. pasien tidak menarik diri dari kontak fisik.

3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan Stimulasi sensorik yang


tidak sesuai

Kriteria hasil

Adanya mampuan untuk berbicara, mampu untuk menamai benda-benda, adanya


ekspresi nonverbal (mis., kontak mata, sifat responsif pada wajah, gerak isyarat)

Sasaran /Tujuan

Sasaran Jangka Pendek

Pasien akan membntuk kepercayaan dengan seorang pemberi perawatan (sebagaimana


ditandai dengan adanya sifat responsif pada wajah dan kontak mata) dalam waktu
yang ditentukan (tergantung pada tingkat berat dan kronisnya kelainan).
Sasaran Jangka Panjang

Pasien merasa mampu mengkomuiniksikan (secara verbal dan nonverbal).

Intervensi dengan Rasional Tertentu

1. Pertahankan konsistensi tugas staf. Hal ini memudahkan kepercayaan dan


kemampuan untuk memahami tindakan-tindakan dan komuinikasi pasien.
2. Antisipasi dan penuhi kebutuhan-kebutuhan pasien sampai kepuasaan pola komuniksi
terbentuk.
3. Gunakan teknik-teknik VALIDASI KONSENSUAL dan MENCARI KLARIFIKSI untuk
menguraikan kode pola-pola komunikasi (Contoh : Saya rasa yang Anda
maksudkan... atau Apakah Anda bermaksud untuk mengatakan bahwa....?)
Teknik-teknik ini digunakan untuk memastikan akurasi dari pesan yang diterima,
menjelaskan pengertian-pengertian yang tersembunyi di dalam pesan. Hati-hati untuk
tidak berbicara atas nama pasien tanpa seizinnya.
4. Gunakan pendekatan muak (berhadap-hadapan, bertatapan) untuk menyampaikan
ekspresi-ekspresi nonverbal yang benar dengan menggunakan contoh. Kontak mata
mengekspresikan minat yang murni terhadap, dan hormat kepada seseorang.

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu berkomuniksi dengan cara yagn dimengerti oleh orang lain.
2. Pesan-pesan nonverbal pasien sesuai dengan pengungkapan verbal.
3. pasien memulai interaksi verbal dan nonverbal dengan orang lain.

4. gangguan indentitas pribadi berhubungan dengan Stimulasi sensorik yang tidak


sesuai.

Tujuan

Pasien akan membentuk identitas ego (ditunjukkan oleh kemampuan untuk mengenali
fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain)
Sasaran Jangka Pendek

Pasien akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian tubuh
dari pemberi perawatan dalam waktu yang ditentukan (tergantung pada tingkat berat
dan kronisnya kelainan).

Intervensi dengan Rasional Tertentu

1. Fungsi pada hubungan satu-satu dengan anak. Konsistensi dari interaksi pasien staf
meningkatkan pembentukan data kepercayaan.
2. Membantu anak untuk mengetahui hal yang terpisah selama kegiatan-kegiatan
perawatan diri, seperti berpakaian dan makan. Kegiatan-kegiatan ini dapat
meningkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai sesuatu yang terpisah dari
orang lain.
3. Jelaskan, dan bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya. Kegiatan-
kegiatan ini dapat menigkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai sesuatu yang
terpisah dari orang lain.
4. tingkatkan kontak fisik secara tahap demi tahap, menggunakan setuhan untuk
menjelaskan perbedaan-perbedaan antara pasien dengan perawat. Berhati-hati dengan
sentuhan sampai kepercayaan anak telah terbentuk, bila gterak isyarat ini dapt
diinterpretasikan sebagai suatu ancaman oleh pasien.
5. Tingkatkan upaya anak untuk mempelajari bagian-bagian dan batas-batas tubuh denga
menggunakan cermin dan lukisan serta gambar-gambar dari anak.

Hasil Pasien yang Diharapkan/Kriteria Pulang

1. Pasien mampu untuk membedakan bagian-bagian dari tubuhnya dengan bagian-


bagian dari tubuh orang lain.
2. pasien menceritakan kemampuan untuk memisahkan diri dari lingkungannya dengan
menghentikan ekolalia (mengulangi kata-kata yang didengar) dan ekopraksia (meniru
gerakan-gerakan yang dilihat).

3. Penanganan Medis

o Semua hal yg ditemukan pada pemeriksaan laboratorium harus ditangani


secara intensif.
o Menyembuhkan penyebab fisik yg mempengaruhi fungsi Susunan Syaraf
Pusat (SSP) seringkali bisa mengurangi /menghilangkan gejala autisme (diet
bebas susu sapi & gluten)

You might also like