You are on page 1of 20

BAB 3

BATASAN

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal mengalami
penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama sekali dalam hal penyaringan
pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh seperti
sodium dan kalium didalam darah atau produksi urine. Gagal ginjal terjadi ketika ginjal
sebagian atau sepenuhnya kehilangan kemampuan mereka untuk menyaring air dan limbah
dari darah.

Definisi Penyakit Ginjal Kronis menurut NKF-K/DOQI adalah

1. Kerusakan ginjal selama 3 bulan.


Yang dimaksud terdapat kerusakan ginjal adalah bila dijumpai kelainan struktur
atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, dengan salah satu
manifestasi:

Kelainan patologi
Petanda kerusakan ginjal, termasuk kelainan komposisi darah atau urine,
atau kelainan radiologi.

2. GFR < 60 ml/men/1,73 m2 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.


GFR < 60 ml/men/1,73 m2 3 bulan diklasifikasikan sebagai PGK tanpa
memperhatikan ada atau tidak adanya kerusakn ginjal oleh karena pada tingkat
GFR tersebut atau lebih rendah, ginjal telah kehilangan fungsinya 50% dan
terdapat komplikasi. Disisi lain adanya kerusakan ginjal tanpa memperhatikan
tingkat GFR juga diklasifikasikan sebagai PGK. Pada sebagian besar kasus, biopsi
ginjal jarang dilakukan, sehingga kerusakan ginjal didasarkan pada adanya
beberapa petanda seperti proteinuria, kelainan sedimen (hematuria, pyiura dengan
cast), kelainan darah yang patognomik untuk kelainan ginjal seperti sindroma
tubuler (misalnya asidosis tubuler ginjal, diabetes insipidus nefrogenik), serta
adanya gambaran radiologis yang abnormal misalnya hidronefrosis. Ada
kemungkinan GFR tetap normal atau meningkat, tetapi sudah terdapat kerusakan

1
ginjal sehingga mempunyai risiko tinggi untuk mengalami 2 keadaan utama akibat
PGK, yaitu hilangnya fungsi ginjal dan terjadinya penyakit kardivaskuler.

2
BAB 4

STADIUM PGK

Gambaran umum perjalanan gagal ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat
hubungan antara bersihan kreatinin dan LFG sebagai persentase dari keadaan normal,
terhadap kreatinin serum dan kadar Blood Ureum Nitrogen (BUN) dengan rusaknya massa
nefron secara progresif oleh penyakit ginjal kronik (Price, S.A., 1995).

Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu (Price,
S.A., 1995) :

Stadium I

Stadium pertama dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin
serum dan kadar BUN normal (10-20 mg per 1000ml ), dan penderita asimptomatik.
Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang
berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan
test LFG yang teliti.

Stadium II

Stadium kedua perkembangan ini disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75%
jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini kadar
BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-
beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin serum juga
mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila penderita
misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada stadium
insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh kegagalan
pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress dan
perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini.

Stadium III

Stadium ketiga atau stadium akhir gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron

3
telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%
dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.

Perhimpunan Nefrologi Indonesia membagi gangguan fungsi ginjal kronis menjadi 5


stadium menurut tingkat keparahannya, yaitu :

1. Kondisi normal: Kerusakan ginjal dengan nilai GFR normal. Nilai GFR 60-89
ml/menit/1,73 m2.
2. Stadium 1: Kerusakan ginjal ringan dengan penurunan nilai GFR, belum terasa gejala
yang mengganggu. Ginjal berfungsi 60-89%. Nilai GFR 60-89 ml/menit/1,73 m2.
3. Stadium 2: Kerusakan sedang, masih bisa dipertahankan. Ginjal berfungsi 30-59%.
Nilai GFR 30-59 ml/menit/1,73 m2.
4. Stadium 3: kerusakan beratsudah tingkat membahayakan. Ginjal berfungsi 15-29%.
Nilai GFR 15-29 ml/menit/1,73 m2.
5. Stadium 4: Kerusakan parah, harus cuci ginjal. Fungsi ginjal kurang dari 15%. Nilai
GFR kurang dari 15 ml/menit/1,73 m2.

4
BAB 4

PENYEBAB

Penyebab penyakit ginjal kronis (Sukahatya, dkk. 1994; Askandar, dkk. 2007)

Penyakit Contoh jenis-jenis terbanyak

Penyakit Ginjal Diabetik Diabetes tipe 1 dan 2

Penyakit Ginjal Non-Diabetik Penyakit glomerulus (penyakit otoimun,

infeksi sistemik, obat-obatan,

keganasan)

Penyakit-penyakit pembuluh darah

(penyakit pembuluh darah besar,

hipertensi, mikroangiopati)

Penyakit- penyakit tobulointerstisiel

(ISK, batu, obstruksi, keracunan obat)

Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal

polikistik)

Penyakit pada Transplantasi Rejeksi kronik

Toksisitas obat (siklosporin atau

takrolimus)

Penyakit rekuren (penyakit glomerulus)

Glomerulopati transplant

5
BAB 5

PATOFISIOLOGI

Gambar 1. Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik. (dikutip dari Sukahatya M, Soewanto, dkk. 1994)

Terdapat dua pendekatan teoritis yang umumnya diajukan untuk menjelaskan

gangguan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik. Sudut pandangan tradisional mengatakan

bahwa semua unit nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda-beda,

dan bagian-bagian spesifik dari nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu dapat saja

benar-benar rusak atau berubah strukturnya. Pendekatatan kedua dikenal dengan hipotesis

Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, yang berpendapat bahwa bila nefron terserang

penyakit, maka seluruh unuitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap

bekerja normal.

6
Patofisiologi PGK terkait dengan penyebab yang mendasari, selanjutnya proses

berjalan secara kronis progresif yang dalam jangka panjang akan menyebabkan penurunan

massa ginjal. Sejalan dengan menurunnya massa ginjal, sebagai mekanisme kompensasi

maka nefron yang masih baik akan mengalami hiperfiltrasi oleh karena peningkatan tekanan

dan aliran kapiler glomerulus, dan selanjutnya terjadi hipertrofi. Hipertrofi struktural dan

fungsional dari sisa nefron yang masih baik tersebut terjadi akibat pengaruh molekul-molekul

vasoaktif, sitokin serta growth factor, hingga pada akhirnya akan terjadi proses sklerosis.

Aktifitas aksis Renin-Angiostensin intrarenal juga ikut berperan dalam hiperflasi-hipertrofi

dan sklerosis.

7
BAB 6

GEJALA KLINIS

Pada dasarnya gejala yang timbul pada PGK erat hubungannya dengan penurunan

fungsi ginjal, yaitu:

1. Kegagalan fungsi ekskresi, penurunan GFR, gangguan resorbsi dan sekresi di

tubulus. Akibatnya akan terjadi penumpukan toksin uremik dan gangguan

keseimbangan cairan, elektrolit, serta asam-basa tubuh.

2. Kegagalan fungsi hormonal

Penurunan eritropoetin

Penurunan vitamin D3 aktif

Gangguan sekresi urine

Lain lain

Keluhan gejala klinis yang timbul pada PGK hampir mengenai seluruh sistem, yaitu:

Umum : lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan debilitas, edema.

Kulit : pucat, rapuh, gatal, bruising

Kepala dan leher : foetor uremi

Mata : fundus hipertensi, mata merah

Jantung dan vaskuler : hipertensi, sindroma overload, payah jantung, pericarditis

Respirasi : efusi pleura, edema paru, nafas Kussmaul, pleuritis uremia

Gastrointestinal : anorexia, mual, muntah, gastritis, ulkus, colitis uremia,

8
Ginjal : nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria

Reproduksi : penurunan libido, impotensi, amenorhoe, infertilitas ginekomasti

Syaraf : letargi, malaise, tremor, kejang, koma, penurunan kesadaran

Tulang : ROD, kalsifikasi di jaringan lunak

Sendi : gout, pseudogour, kalsifikasi

Darah : anemia, kecenderungan berdarah akibat penurunan fungsi trombosit,

defisiensi imun akibat penurunan fungsi trombosit, defisiensi imun

akibat penurunan fungsi imunologis dan fagositosis

Endokrin : intoleransi glukosa, resistensi insulin, hiperlipidemia, penurunan

kadar testoteron, dan estrogen

Farmasi : penurunan ekskresi lewat ginjal

9
BAB 7

EVALUASI

Beberapa individu dapat termasuk dalam kelompok yang mempunyai peningkatan

risiko untuk menjadi PGK walaupun tanpa kerusakan ginjal dan GFR masih dalam batas

normal atau meningkat. Sehingga pada setiap individu harus dicari apakah ada kemungkinan

peningkatan risiko untuk menderita PGK berdsarkan faktor klinis dan sosiodemografis.

Faktor-faktor Klinis

Diabetes Keganasan

Hipertensi Riwayat keluarga dengan PGK

Penyakit autoimun Sembuh dari GGA

Infeksi sistemik Penurunan massa ginjal

Infeksi saluran kemih Terpapar terhadap obat tertentu

Batu saluran kemih Berat badan lahir rendah

Obstruksi saluran kemih bawah

Apabila seseorang sudah ditetapkan ada peningkatan risiko mengalami PGK tetapi

belum mengalami PGK maka perlu evaluasi sebagaimana dibawah ini:

Evaluasi klinik untuk semua pasien:

Pengukuran tekanan darah

Kreatinin serum untuk mengukur GFR

10
Rasio protein-kreatinin atau rasio albumin-kreatinin pagi hari, atau spesimen urin

sewaktu.(untimed spot urine specimen)

Pemeriksaan sedimen urine atau dipstik untuk deteksi adanya sel darah merah dan

sel darah putih.

Evaluasi klinik untuk pasien tertentu (tergantung faktor risiko):

USG (misalnya untuk pasien dengan gejala obstruksi saluran kemih, infeksi atau

batu, riwayat keluarga penyaki ginjal polikistik)

Elektrolit serum (Na, K, bicarbonat)

Konsentrasi urin (berat jenis atau osmolalitas)

Keasaman urin (pH)

Pertanda dari kerusakan ginjal adalah adanya kelainan dalam komposisi darah atau

urin atau adanya kelainan radiologis. Walaupun terdapat beberapa pertanda, tetapi

NKF/DOQI menekankan pentingnya proteinuria sebagai pertanda kerusakan ginjal. Istilah

proteinuria menunjukkan adanya peningkatan ekskresi urin untuk albumin, protein spesifik

lain, atau protein total. Sedangkan istilah albuminuria secara spesifik menunjukkan adanya

peningkatan ekskresi albumin di urin. Mikroalbumin menunjukkan bahwa ekskresi albumin

diatas nilai normal, tetapi dibawah kadar yang dapat dideteksi dengan tes untuk protein total.

Pada orang dewasa dengan peningkatan risiko terjadi PGK dianjurkan untuk memeriksa

albuminuria dengan spot urine, baik dengan dipstik khusus untuk albumin atau rasio

albumin/kreatinin.

11
Mikro Albuminuria atau
Metode pengumpulan urin Normal
albuminuria proteinuria klinis

Ekskresi 24 jam <300 mg/hari - > 300 mg/hari


Protein Dipstik urin sewaktu (spot) <30 mg/dl - > 30 mg/dl
total
Urin sewaktu perbandingan
<200 mg/g - >200 mg/g
protein terhadap kreatinin
Ekskresi 24 jam <30 mg/hari 30-300 mg/hari >300 mg/hari
Dipstik spesifik Albumin
< 3 mg/dl > 3 mg/dl -
Urin sewaktu
Albumin < 17 mg/g 17-250 mg/g
(pria) (pria) > 250 mg/g (pria)
Urin sewaktu perbandingan
Albumin < 25 mg/g 25-355 mg/g > 355 mg/g
(wanita) (wanita) (wanita)

Untuk semua penderita yang sudah ditetapkan sebagai PGK, maka evaluasi

laboratorium yang harus dilakukan adalah:

Kreatinin serum untuk menentukan GFR.

Ratio protein/kreatinin atau ratio albumin/kreatinin pagi hari atau sewaktu dengan

spot urin.

Pemeriksaan sedimen urin atau dipstik untuk sel darah merah dan sel darah putih.

Pemeriksaan radiologis ginjal, biasanya USG.

Elektrolit serum (Na, K, Cl, bicarbonat).

Pedoman K/DOQI merekomendasikan perhitungan GFR dengan rumus Cockroft-

Goult untuk orang dewasa, yaitu:

Klirens kreatinin (ml/mn.) = (140 umur) x berat badan


x (0,85 jika wanita)
72 x kretinin serum

12
BAB 8

KRITERIA DIAGNOSA

1. Penyakit berlangsung lama, progresif, dan irreversibel.

2. gejala tidak khas, bisa didapatkan gejala berikut:

lemas, mual, muntah, sesak nafas, pucat

kencing berkurang

3. Tanda (sign)

Anemis, kulit kering

Edema tungkai atau muka

Dapat disertai tanda bendungan paru

4. laboratorium:

Hb 10 g% N: L (13-17) ; P (11,5-16)

Ureum > 50 mg%

Kreatinin > 2 mg% N: 0,5-1,5 mg/ dl

Tes klirens kreatinin < 75 ml / menit N: L (9,7-13,7); P (8,8-12,8)

13
BAB 9

TATALAKSANA

Penatalaksanaan PGK dalam praktik sehari-hari adalah sebagai berikut:

1. Pengobatan penyakit dasar


2. Pengendalian keseimbangan air dan garam
3. Diet rendah protein, tinggi kalori
4. Pengendalian tekanan darah
5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa
6. Pencegahan dan pengobatan osteodistrofi renal (ODR)
7. Pengobatan gejala uremi spesifik
8. Deteksi dini dan pengobatan infeksi
9. Penyesuaian pemberian obat
10. Deteksi dan pengobatan komplikasi
11. Persiapan dialisis dan transplantasi

1. Pengobatan Penyakit Dasar


Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak harus dilakukan.
Termasuk disini adalah pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah pada pasien
DM, koreksi jika ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan infeksi saluran kemih.

2. Pengendalian keseimbangan air dan garam

Pemberian cairan disesuaikan dengan produksi urin. Yaitu produksi urin 24 jam
ditambah 500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya dibatasi 40-
120 mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung rata-rata 150 mEq. Furosemide dosis
tinggi masih dapat dipakai pada awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi
bermanfaat dan pada obstruksi merupakan contra indikasi. Penimbangan berat badan,
pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan cairan akan membantu
pengelolaan keseimbangan cairan dan garam.

3. Diet rendah protein dan tinggi kalori


Asupan protein dibatasi 0,6-0,8 gram/kg/BB/hari. Rata-rata kebutuhan protein sehari

pada penderita GGK adalah 20-40 gram. Kebutuhan kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari.

14
Diet rendah protein tinggi kalori akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan

akan memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat progresivitas

penurunan faal ginjal.

4. Pengelolaan hipertensi
Berbeda dengan pengendalian hipertensi pada umumnya, pada PGK masalah pembatasan

cairan mutlak dilakukan. Target tekanan darah 125/75 diperlukan untuk menghambat

laju progresifitas penurunan faal ginjal. Penghambat -ACE dan ARB diharapkan akan

menghambat progresifitas PGK. Pemantauan faal ginjal secara serial perlu dilakukan

pada awal pengobatnan hipertensi jika digunakan penghambat -ACE dan ARB. Apabila

dicurigai adanya stenosis arterial renal, penghambat ACE merupakan kontraindikasi.

5. Pengendalian gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa

Gangguan keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hiperkalemia dan asidosis.

Hiperkalemia dapat tetap asimtomatis walaupun telah mengancam jiwa. Perubahan

gambaran EKG kadang baru terlihat setelah hiperkalemia membahayakan jiwa.

Pencegahan meliputi:

A. diet rendah kalium


menghindari buah (pisang, jeruk, tomat) serta sayuran berlebihan

B. menghindari pemakaian diuretika K-sparring

Pengobatan hiperkalemia tergantung derajat kegawatannya:

1. Gawat

Glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate)

Glukosa intravena (25-50 ml glukosa 50%)

Insulin-dextrose i.v. dengan dosis 2-4 unit atracpid tiap 10 gram glukosa

Natrium bicarbonat intravena (25-10 ml 8.4% Na HCO3)

15
2. Meningkatkan ekskresi kalium

Furosemid

Untuk mengatasi kondisi odema pada pasien gagal ginjal, terutama jika

disertai adanya gagal jantung kongestif disamping sebagai terapi kombinasi

penanganan hipertensi.

K-exchange resin

Dialisis

6. Pencegahan dan pengobatan ROD

Pengendalian hiperphosphatemia

Suplemen vitamin D3 aktif

Paratiroidektomi

7. Pengobatan gejala uremi spesifik

Diet rendah protein juga memperbaiki keluhan anoreksia dan mual-mual. Anemia yang

terjadi pada PGK terutama disebabkan oleh defisiensi hormon eritropoetin. Selain itu

juga bisa disebabkan oleh defisiensi Fe, asam folat atau vitamin B12. Pemberian

eritropoetin rekombinan pada penderita PGK yang menjalani HD akan memperbaiki

kualitas hidup, dapat pula diberikan pada penderita PGK pra-HD. Sebelum pemberian

eritropoetin dan suplemen Fe diperlukan evaluasi kadar SI, TIBC, dan feritin.

8. Deteksi dan pengobatan infeksi

Penderita PGK merupakan penderita dengan respon imun yang rendah, sehingga

kemungkinan infeksi harus selalu dipertimbangkan.

9. Penyesuaian pemberian obat

Beberapa obat memerlukan penyesuaian dosis karena ekskresi metaboliknya melalui

ginjal, penggunaan obat nefrotoksik misalnya aminoglikosida, co-trimoxazole,

16
amphoterisin sebaiknya dihindari dan hanya diberikan pada keadaan khusus. OAINS

juga menurunkan fungsi ginjal. Tertacyclin meningkatkan katabolisme protein.

Nitrofurantoin juga harus dihindari dan penggunaan diuretik K-sparing harus pula

berhati-hati karena menyebabkan hiperkalemia.

10. Deteksi dan pengobatan komplikasi

Komplikasi yang merupakan indikasi untuk tindakan HD antara lain:

a. Ensephalopati uremik

b. Perikarditis atau pleuritis

c. Neuropati perifer progresif

d. Osteodistrofi Renal (ODR) progresif

e. Hiperkalemia yang tak dapat dikendalikan dengan pengobatan medikamentosa

f. Sindroma overlaod

g. Infeksi yang mengancam jiwa

h. Keadaan sosial

11. Persiapan dialisis dan tranplantasi

Penderita PGK dan keluarganya sudah harus diberitahu sejak awal bahwa pada suatu

saat penderita akan memerlukan HD atau transplantasi ginjal. Pembuatan akses

vaskuler sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens kreatinin dibawah 15 ml/menit.

Dianjurkan pembuatan akses klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit. Perlu

membatasi punksi pembuluh darah daerah ekstremitas yang akan dipakai untuk akses-

vaskuler. Disamping persiapan dari sei medik perlu pula persiapan non medik.

17
BAB 10

INDIKASI DIALISIS

1. Uremia > 200 mg%

2. Asidosis dengan pH darah < 4,72

3. Hiperkalemia > 7 mEq/l

4. Kelebihan / retensi cairan dengan tanda-tanda gagal jantung / edema paru

5. Klinis uremia dengan kesadaran menurun / koma

18
BAB 11

KESIMPULAN

Penyakit Ginjal Kronis atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit
ginjal yang ditandai adanya kerusakan dari struktur ginjal lebih dari 3 bulan yang dengan atau

tanpa penurunan LFG < 60 mL/min/1,73 m2, dyang bersifat progresif dan irreversible.

Adapun gejala klasik CKD diantaranya adalah edema, hipertensi dan anemia. Berdasarkan
derajat penyakitnya CKD dibagi menjadi 5 stage yang dinilai dari LFG. Gejala klinis CKD
meliputi gejala penyakit dasar, gejala sindrom uremikum serta gejala komplikasi CKD.
Penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan derajat kerusakan fungsi ginjal.

Pada kasus, pasien didiagnosis dengan CKD stage V dengan penyebab riwayat
hipertensi, diabetes mellitus dan batu ginjal sehingga penatalaksanaan utama pada pasien ini
ialah terapi pengganti ginjal berupa hemodialisis. Disamping itu pada pasien ini juga
diberikan beberapa terapi penunjang lainnya, yang disesuaikan dengan manifestasi klinis
yang muncul. Penanganan etiologi, gejala dan komplikasi penyakit dengan tepat, serta
perubahan pola diet yang disesuaikan dengan fungsi ginjal diharapkan akan membantu
mencegah perburukan kondisi ginjal sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, S.A., 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku II. Edisi
4. EGC, Jakarta
2. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), 2003. Penyakit Ginjal Kronik dan
Glomerulopati: Aspek Klinik dan Patologi Ginjal. PERNEFRI,Jakarta..
3. Sukahatya M, Soewanto, Yogiantoro M, Pranawa, 1994. Gagal Ginjal

Kronik.Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam. RSUD

Dr.soetomo

4. Askandar T, Poernomo B S, Djoko S, Gatot s, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

edisi 1. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press

20

You might also like