You are on page 1of 5

Asvi Warman Adam : Betulkah PKI Terlibat G30S?

By Wawan Setiawan on Wednesday, 14 September 2011 at 08:53


Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr/
yang sampai sekarang sudah dikunjungi 758 930 kali

=== ===== ==== ======

Sejarawan LIPI, Asvi W. Adam dalam tahun 2000 telah menulis untuk majalah
TEMPO (Edisi 2-8 Oktober) artikel yang mengangkat pertanyaan penting (dan
rumit) Betulkah PKI terlibat G30S ? . Bahan-bahan pemikiran yang
dipaparkan dalam artikel tersebut (yang ditulis beberapa tahun sesudah rejim
militer Suharto jatuh) menambah kemungkinan bagi kita untuk melihat G0S
dari berbagai sudut pandang.

Tulisan ini memperkaya berbagai karya yang sudah dibuat oleh para sejarawan
dan pengamat politik, dalam dan luar negeri, mengenai G30S, untuk kita
jadikan renungan bersama.

Silakan simak tulisan itu selengkapnya, seperti yang disajikan berikut ini.

A. Umar Said

Asvi Warman Adam : Betulkah PKI Terlibat G30S?

SEJARAH, menurut E.H. Carr dalam buku teksnya What is History, adalah
dialog yang tak pernah selesai antara masa sekarang dan lampau, suatu proses
interaksi yang berkesinambungan antara sejarawan dan fakta-fakta yang
dimilikinya. Jadi, tidak ada tulisan atau buku sejarah yang final. Bila
ditemukan sumber atau fakta baru, buku sejarah yang lama bisa direvisi.
Demikian pula halnya dengan kasus Gerakan Tiga Puluh September 1965 (G30S).

Setelah Soeharto berhenti menjadi presiden pada 1998 lalu, sudah terbit
beberapa buku baru yang mengungkapkan hal yang selama ini kurang diketahui
masyarakat. Misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan
Perempuan di Indonesia (1999), dan pleidoi Kolonel A. Latief, Soeharto
Terlibat G30S (2000). Di samping itu, telah terbuka pula berbagai arsip
mengenai Indonesia tahun 1965/1966 di AS dan Inggris. Kedua jenis sumber di
atas dapat dijadikan landasan untuk mempertanyakan kebenaran sejarah tentang
peristiwa tersebut versi pemerintah Indonesia, yang menyebut pelaku utamanya
adalah PKI dan Biro Chusus-nya.

Dalam bukunya, Latief mengungkapkan bahwa ia ditangkap tanggal 11 Oktober


1965. Ketika itu paha kanannya ditusuk bayonet dan lutut kirinya ditembak.
Selama 10 tahun ia berada dalam sel isolasi yang dikunci dan baru diadili
pada 1978. Dari rangkaian tekanan di dalam penjara atau ketika diperiksa
dalam sidang Mahmilub, dapat dipertanyakan apakah pengakuan sebelum dan
dalam sidang itu dapat dijadikan sumber sejarah yang layak dipercaya.

Hal serupa dialami oleh Sulami, Wakil II Sekjen Gerwani, seperti dituturkan
dalam buku Perempuan-Kebenaran dan Penjara (1999). Wanita ini ditangkap pada
1967 dan baru diadili pada 1975. Antara lain ia dituduh memberikan barang
berharga kepada keluarga Bung Karno di Istana Bogor. "Karena menolak tuduhan
itu, interogator baju loreng marah dan memerintahkan algojo agar kedua jari
kaki saya diinjak dengan sepatu tentara.... Dengan geram interogator
bertanya, Bagaimana? Ngaku tidak? Saya diamkan saja. Ia teriak, Cambuk
sepuluh kali. Algojo penginjak kaki mundur dan tukang cambuk maju dengan
rotan belahan. Tiga malam saya mengalami keadaan itu...."

Kedua pengalaman di atas rasanya sudah cukup untuk meragukan validitas


sumber yang dipergunakan dalam menyusun sejarah versi pemerintah Orde Baru.
Selain itu, dapat dikatakan bahwa alasan utama untuk menyimpulkan bahwa
PKI--sebagai organisasi--mendalangi G30S tidak kuat. Yang dipakai alat bukti
adalah pengakuan Aidit sebanyak 50 halaman folio sebelum ditembak di Jawa
Tengah, yang konon berbunyi, "Saya adalah orang yang mempunyai tanggung
jawab tertinggi pada peristiwa 30 September 1965 dan disokong oleh penjabat
PKI lainnya serta penjabat organisasi rakyat di bawah PKI" (Soegiarso
Soerojo, 1988: 265). Apakah betul Aidit yang menulis surat pengakuan itu?
Kalau benar ia mengaku, mengapa ia ditembak mati?

Selain itu, selama ini bukti utama lainnya adalah penerbitan Harian Rakyat
tanggal 2 Oktober 1965. Dalam buku putih yang disunting oleh Alex Dinuth itu
(1997), dicantumkan isi Harian Rakyat yang terdiri dari Pojok ("Gerakan 30
September sudah menindak Dewan Djenderal. Simpati dan dukungan rakjat di
pihak Gerakan 30 September.") Tajuk surat kabar itu antara lain menyatakan,
"Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tersebut adalah persoalan intern AD.
Tetapi kita rakjat jang sadar akan politik dan tugas-tugas revolusi mejakini
akan benarnja tindakan jang dilakukan oleh Gerakan 30 September untuk
menjelamatkan revolusi dan rakjat". Dimuat juga keterangan dari Anwar Sanusi
(anggota Politbiro CC PKI) bahwa "Situasi ibu pertiwi dalam keadaan hamil
tua" dan karikatur H.R. dengan kata-kata "Letkol Untung Komandan Bataljon
Tjakrabirawa menjelamatkan Presiden dan RI dari coup Dewan Djenderal".

Pada tanggal 1 Oktober 1965 malam, Pepelrada Jaya melarang terbit semua
harian yang terbit di Ibu Kota kecuali koran Angkatan Bersenjata dan Berita
Yudha, yang memang diterbitkan pihak militer. Surat Perintah Pangdam V/Jaya
(No. 01/Drt/10/1965) yang dikeluarkan Mayjen Umar Wirahadikumah berbunyi,
"Dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai peristiwa
pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September/Dewan
Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media
pemberitaan".

Menjadi tanda tanya mengapa Harian Rakyat yang jelas menjadi terompet PKI
selama ini bisa terbit. Salah satu dokumen yang berasal dari Kedutaan
Inggris di Jakarta (South-East Asia Department, Indonesia, D H 1015/218 10
Oct 1965) menyingkap keraguan tentang isi koran tersebut, apakah betul
mewakili PKI. "My guess is that the editor took an unauthorised initiative."
Apakah koran kiri sengaja dibiarkan terbit untuk menjebaknya? Atau
sebaliknya, apakah tidak mungkin, bila isi Harian Rakyat tanggal 2 Oktober
1965 dipersiapkan oleh pihak lain.

Larangan terbit semua koran itu--meskipun hanya lima hari--sangat


menentukan, karena informasi dikuasai dan dimonopoli oleh pihak militer.
Ketakutan akan dibredel kembali menyebabkan semua media massa hanya menulis
atau mengutip pemberitaan sesuai dengan keinginan pemerintah/pihak keamanan.

Kampanye tentang keganasan komunis dengan gencar dilakukan oleh kedua harian
militer tersebut. Berita Yudha Minggu, 11 Oktober 1965, memberitakan bahwa
tubuh para jenderal itu telah dirusak, "Mata dicungkil dan sementara itu ada
yang dipotong kemaluan mereka." Sedangkan sukarelawan-sukarelawan Gerwani
melakukan hubungan tidak senonoh dengan mayat para jenderal itu. Padahal,
menurut visum dokter tidaklah demikian. Para korban itu meninggal dengan
luka-luka karena tembakan atau terbentur dinding sumur di Lubang Buaya.
Saskia Wieringa mencatat bahwa koran Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha
menyiarkan kampanye sadistis sejenis ini secara teratur sampai bulan
Desember 1965.

Informasi (atau lebih tepat disinformasi) itulah antara lain yang menyulut
kemarahan rakyat dan akhirnya melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap
mereka yang dicurigai sebagai anggota PKI. Kampanye untuk menghantam komunis
ini mendapat dukungan penuh dari dunia Barat. Dalam dokumen dari pihak
Inggris yang dialamatkan ke Singapura mengenai "Indonesian Disturbances" (D
1835, 6 Oct 1965) ditulis "Meanwhile we certainly do not exclude any
unattributable propaganda or psywar activities which would contribute to
weakening the P.K.I. permanently. We therefore agree with the recommendation
in last sentence your paragraph 2. Suitable propaganda themes might be:
P.K.I. brutally in murdering Generals and Nasution's daughter; Chinese
interference in particular arms shipments; P.K.I. subverting Indonesia as
agents of foreign Communists; fact that Aidit and other prominent Communists
went to ground; the virtual kidnapping of Sukarno by Untung and P.K.I.;
etc., etc. We want to act quickly while the Indonesian are still off
balance, but treatment will need to be subtle."

Sebetulnya, kalau Buku Putih yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI


tahun 1994 dibaca dengan seksama, bisa diperoleh kesimpulan yang tentu tidak
diharapkan oleh pembuat buku tersebut. Dalam buku Gerakan 30 September,
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia itu terdapat indeks nama sebanyak 306
orang tokoh (pada 10 halaman). Kalau kita melihat daftar indeks itu terlihat
bahwa kasus tersebut pada intinya menyangkut Presiden Sukarno (disebut 128
kali), dua tokoh PKI (Aidit dan Syam, 77 kali), dan dua kubu perwira ABRI
(107 kali). Dalam "indeks kata penting", tiga kata yang paling sering muncul
adalah 1)Gerakan Tiga Puluh September, 2) Dewan Revolusi, 3) Dewan Jenderal.
Sedangkan kata "PKI" hanya disebut dua kali. Jadi, buku ini berbicara lebih
tentang tokoh PKI (atau menurut istilah Orde Baru, oknum), yaitu Aidit dan
Syam, ketimbang mengenai PKI sebagai sebuah organisasi sosial-politik.

Aidit memang Ketua PKI, tetapi dalam suratnya kepada Sukarno ia mengatakan
bahwa "Tanggal 30 September tengah malam saya diambil oleh orang berpakaian
Cakrabirawa (tidak saya kenal) dengan keterangan: dipanggil ke Istana untuk
sidang darurat kabinet, tetapi kendaraan tersebut menuju ke jurusan
Jatinegara. Kemudian pindah mobil terus menuju ke sebuah kampung dan
ditempatkan di sebuah rumah kecil. Di situ saya diberi tahu bahwa akan
diadakan penangkapan terhadap anggota-anggota Dewan Jenderal." (Soegiarso
Soerojo, hlm. 262). Sedangkan Sjam sendiri dalam berbagai buku masih
diragukan identitas aslinya, apakah ia agen PKI yang disusupkan ke kalangan
Angkatan Darat atau sebaliknya, intel tentara yang menyamar di tubuh PKI,
atau bisa juga ia merupakan agen ganda.

Mengenai G30S, penulis sendiri berpendapat bahwa mustahil peristiwa berdarah


itu dirancang oleh pelaku tunggal, dan peristiwa tragis itu disebabkan oleh
unsur internal (dalam negeri), didukung faktor eksternal (unsur asing).
Tuduhan bahwa PKI menjadi dalang G30S sebagaimana dimuat dalam buku putih
versi pemerintah Orde Baru dan diajarkan di sekolah-sekolah patut
dipertanyakan kembali. Tanggal 1 Oktober 1965 malam, selain sebagai tanggal
pembredelan pers yang pertama dalam sejarah Orde Baru, bisa pula dianggap
sebagai awal upaya perekayasaan sejarah di Indonesia.

Saya tidak membantah perihal tindakan brutal oleh PKI dan ormasnya sebelum
tahun 1965. Aksi sepihak yang dilancarkan oleh orang-orang komunis dalam
mengampanyekan ketentuan land reform telah menimbulkan konflik sosial,
terutama di pedesaan. Di bidang seni dan budaya terjadi pengekangan
kebebasan bagi kelompok yang tidak mendukung Manipol, seperti yang dialami
oleh Taufiq Ismail dan kawan-kawan. Aktivis organisasi Islam PII
dipermalukan (seperti dalam insiden Kanigoro), HMI dituntut agar dibubarkan.

Namun, semua tindakan yang kasar itu telah dibalas dengan pembantaian
terhadap paling sedikit 0,5 juta orang yang dicurigai sebagai penganut paham
komunis di Indonesia. Rasanya, pembalasan itu sudah jauh dari setimpal.
Seyogianya rekonsiliasi antara umat Islam dan orang-orang kiri dilakukan
pada 1966. Tapi itu tidak dilakukan oleh rezim Orde Baru, yang malah sengaja
mengawetkan masalah ini dan menjadikannya sebagai alat legitimasi sekaligus
alat represi.

***

You might also like