You are on page 1of 12

STATUS EPILEPTIKUS

Definisi
Status epileptikus (SE) adalah suatu kondisi di mana bangkitan epilepsi
berlangsung terus-menerus, atau bangkitan berulang dengan /tanpa pemulihan
kesadaran, selama periode 30 menit atau lebih.1
SE adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya dua
bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan
kesadaran.2
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan
sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas
listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(unprovoked) . Epilepsi adalah situasi dimana terjadi bangkitan kejang 2 kali atau
lebih dalam setahun.3,4

Klasifikasi
Konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau bangkitan
berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.2
Non-konvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan elektrografik
memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk
perubahan perilaku atau awareness.2

Tabel.1 Klasifikasi Status Epileptikus.1,3


_____________________________________________________________
_________
Status epilepticus confined to early childhood
Neonatal status epilepticus
Status epilepticus in specific neonatal epilepsy syndromes
Infantile spasms
Status epilepticus confined to later childhood and adult life
Febrile status epilepticus
Status inchildhood partial epilepsy syndromes
Status epilepticus in myoclonic-astatic epilepsy
Electrical status epilepticus during slow wave sleep
Landau-kleffner syndrome

Status epilepticus occuring in childhood and adult life


Tonic-clonic status epilepticus
Absence status epilepticus
Epilepsia partialis continua
Status epilepticus in coma
Specific forms of status epilepticus in learning difficulty
Syndromes of myoclonic status epilepticus
Simple partial status epilepticus
Complex partial status epilepticus

Status epilepticus confined to adult life


De novo absence status and late onset

Berdasarkan klinis:
- SE fokal
- SE general

Berdasarkan durasi:
- SE Dini( 5-30 menit)
- SE menetap/ Established(>30 menit)
- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis
antikonvulsan awal dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:


- SE-NK Umum
- SE-NK fokal.2

Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan
lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi
kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron-neuron
akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan dalam
mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains
inhibitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan
asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,
dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan
epilepsy belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut. Epileptic seizure
apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls di area otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari
impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau
kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak
secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena
dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang
berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang
menyebabkan hal ini yaitu:
Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang
optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, disebabkan
konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata memang
mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).
Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat
normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini
ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita
epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.Sehingga dapat disimpulkan
bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :
Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk
menimbulkan bangkitan.
Hilangnya postsynaptic inhibitory controle sel neuron.
Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus
epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari
sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan
serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,
hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,
subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama
dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah
meluasnya eksitasi selesadimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan
ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya.
Pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi
spike and wave yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu
dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron.
(karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata
serangan epilepsi bisa terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion. Pada keadaan
tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis metabolik depolarisasi impuls
dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang
berkepanjangan disebut status epileptikus.

DIAGNOSIS
Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu:
Langkah pertama: memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal
menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi?
Langkah kedua: apabila ya, maka bangkitan yang ada termasuk jenis
bangkitan yang mana?
Langkah ketiga: apakah faktor penyebabnya, sindrom epilepsi apa yang
ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita
oleh pasien?

Secara struktural, diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar :

1. Anamnesis (auto dan aloanamnesis)


Pola / bentuk bangkitan
Lama bangkitan
Gejala sebelum, selama dan pascabangkitan
Frekuensi bangkitan
Faktor pencetus
Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
Riwayat penyakit, penyebab atau terapi sebelumnya
Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik


Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau
obat terlarang dan kanker.

3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila


memungkinkan

3.1. EEG
Indikasi :
- Membantu menegakkan diagnosis
- Menentukan prognosis pada kasus tertentu
- Pertimbangan dalam penghentian obat anti-epilepsi
- Membantu dalam menentukan letak fokus

Rekaman EEG termasuk rekaman waktu tidur, stimulasi fotik, dan


hiper-ventilasi.
Kira-kira 29-38% dari pasien epilepsi dewasa, EEG tunggal
menunjukkan kelainan epileptiform. Bila diulang pemeriksaannya,
gambaran epileptiform meningkat menjadi 59-77%.,
Bila EEG normal dan persangkaan epilepsi sangat tinggi, maka dapat
dilakukan EEG ulangan dengan persyaratan khusus.

3.2. Pemeriksaan neuroimaging struktural dan fungsional


Indikasi :
- Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan struktural
- Adanya perubahan bentuk bangkitan
- Terdapat defisit neurologik fokal
- Epilepsi bangkitan parsial
- Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun
- Untuk persiapan operasi epilepsi

CT scan : dapat mendeteksi lesi fokal tertentu

MRI : merupakan prosedur imaging pilihan untuk epilepsi dengan


sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding CT scan. Dapat
mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa. Diindikasikan untuk epilepsi refrakter yang
sangat mungkin memerlukan terapi pembedahan

3.3. Pemeriksaan Laboratorium


Darah : rutin, elektrolit, kadar gula, fungsi hati, dll sesuai indikasi
Cairan serebrospinal : atas indikasi
Pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi
Dagnosis pasti
Ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinis bangkitan berulang
(minimum 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran epileptiform pada EEG.

Penanganan
Prinsip :
1. Stabilisasi pasien dengan prinsip kegawatan umum ( ABC )
2. Menghentikan bangkitan dan mencari etiologi secara simultan
3. Mencegah bangkitan ulang atau mengatasi penyulit
4. Mengatasi faktor pencetus
Bila setelah menit ke 60 belum teratasi (refrakter), sebaiknya perawatan
dilakukan di ICU.1

Tabel 2. Penatalaksanaan Umum dan Terapi Anti Epilepsi Spesifik pada Berbagai
Stadium Status Epileptikus 1,2

Stage of Status General Measures AED treatment


Premonitory Asses cardiorespiratory function Diazepam (i.v. bolus or p.r.)
(0-10 minutes) Secure airways Midazolam (i.m., i.v.bolus, p.r)
Give oxygen Paraldehyd (i.m., p.r.)
Early Institute monitoring Lorazepam (i.v.bolus)
(0-30 minutes) i.v acces Diazepam (i.v.bolus)
Emergency investigations Second line:
Give 50 % glucose (50 ml) Lignocaine (i.v.bolus & inf)
Give thiamine where appropriate Clonazepam (i..v.bolus)
Treat acidosis Paraldehyde (i.m.)
Transfer to intensive care unit Phenytoin (i.v.bolus )
Estabilished Estabilished aetiology Phenobarbitone (i.v. loading & inf)
(30-60/90 minutes) Identify and treat medical Phenytoin (i.v. loading & inf )
complication Chlormethiazole ( i.v. loading &
Pressor therapy if needed inf )
Second line:
Clonazepam (i..v.bolus or inf)
Paraldehyde (i.v. inf)
Diazepam (short inf )
Midazolam ( short inf )
Refractory EEG monitoring Thiopentone (i.v.bolus & inf
( 60 Monitoring seizure EEG and )
minutes) cerebral function Propofol ( i.v. bolus & inf )
Intracranial pressure Second line:
monitoring if appropriate Pentobarbitone ( i.v. bolus
& inf )
Isoflurane (inhalation )
Etomidate (i.v.bolus & inf )

Catatan
Bila status epileptikus telah teratasi maka dilakukan pemeriksaan lanjut yang lebih
cermat.

Tabel 3. Obat-Obat Untuk Penanganan Status Epileptikus Konvulsif Akut.1,2


Generic Dose Rate Advantages Disadvantages
Name
Diazepam 5-10 mg IV 2-5 mg/min Fast onset of Possible greater chance
(0.2-0.5 mg/kg) action of late seizure
recurrence
Diazepam 5-10 mg per As tolerated Does not require Longer onset of action
rectal gel rectum Ivaccess than IV; less control
(0.2-0.5 mg/kg)
Fosphenytoin 1400 mg IV <150 Easy transition to Long onset of action,
(20 mg/kg ) mg/min chronic utility of IM dosing
administration unknown
Lorazepam 4-8 mg IV 2 mg/min Prevent Longer onset of action
(0.05-0.1 mg/kg reccurence than diazepam
Midazolam 0.20 mg/kg IV or 2-5mg min Can be given IM Possible greater chance
IM with efficacy of late seizure recurrent
equal to diazepam
Valproic acid 1500-2000 mg IV 20-100 Appears safe Fastest administration
(25 mg/kg ) mg/min rate unknown
diluted 2:1
1. Lorazepam atau Diazepam IV adalah obat lini pertama yang paling umum
dipakai. Midazolam IM memiliki efikasi yang setara dengan diazepam dan tidak
memerlukan akses IV.
2. Berdasarkan atas berat badan rata-rata orang dewasa, dosis bolus
Benzodiazepin mungkin perlu diulang jika tidak ada efek obat dalam 5-10 menit.

Tabel. 4 Treatment of Refractory Convulsive Status Epilepticus 1,2


IV Loading
Generic Name Maintenance Dose Advantages Disadvantages
Dose
Ketamine 1-2 mg/kg over 0.005-0.05mg/kg/min Does not dec. Unknown efficacy.
2-4 min as anesthetic dose BP Inc. BP.may cause
dissociative side effect
Midazolam 0.20 mg/kg 0.05-0.20 mg/kg/hr Fast,convenie Expensive,possible
(1-36 ug/kg/min) nt tachyphylaxis/toleranc
titrated to seizure e
control
Pentobarbital 1-12 mg/kg at 1-5 mg/kg/hr titrated Fast, available Hypotension usually
50 mg/min to to burst requires fluid and
burst suppression pressors,Immune
suppression suppression.
Phenobarbital 10-20 mg/kg at 30-60 mg q 12 hr Readily Takes too long to load,
50-100 mg/min available hypotension
Propofol 1-5 mg/kg over 1-15 mg/kg/hr titrated Simple to Requires intubation,
5 min to burst supression adjust high lipid and calorie
content

Faktor risiko epilepsi pada anak dengan palsi serebral


1. Riwayat Kejang neonatus
Epilepsi yang ditimbulkan akibat kejang neonatus berhubungan dengan
gangguan neurologis yang permanen yaitu Mental retardasi dan palsi serebral.
Neonatus dengan klinis kejang mempunyai risiko tinggi untuk morbiditas dan
mortalitas. Dalam tindak lanjut Studi dari neonatus dengan kejang klinis, 17(27%)
berkembang menjadi epilepsi, 16(25%) menjadi palsi serebral, dimana 13 anak
menderita epilepsi dengan palsi serebral. Penelitian yang dilakukan terhadap 77
pasien dengan kejang neonatus didapatkan 23 pasien (30%) meninggal dunia, dan
dari 59% yang bertahan hidup memiliki kelainan neurologi. 40 % menderita mental
retardasi, 43% palsi serebral, dan 21 % menderita epilepsi.
2. Onset kejang
Penelitian yang dilakukan secara retrospektif pada tahun 2008, didapatkan
dari 65 anak palsi serebral dengan epilepsi diketahui 49.2 % anak mengalami onset
kejang pertama usia 12 bulan pertama kehidupan. Penelitian lain yang dilakukan di
Nigeria didapatkan 75.3% anak palsi serebral dengan epilepsi mengalami onset
kejang pertama sebelum berusia 1 tahun. Onset kejang pertama pada usia dibawah
1 tahun sering dihubungkan dengan kejadian epilepsi dimasa yang akan datang. Hal
ini disebabkan pada rentang usia ini otak masih dalam proses perkembangan
sehingga setiap gangguan yang terjadi mungkin akan menyebabkan kerusakan otak.
Kejang yang berlangsung dalam waktu yang lama juga akan meningkatkan risiko
kerusakan otak.
3. Usia gestasi
Penelitian yang dilakukan secara cross-sectional di Egypt pada 48 anak palsi
serebral dengan epilepsi didapatkan bahwa prematuritas secara statistik
berpengaruh terhadap kejadian palsi serebral dengan epilepsi.
4. Kelainan pada pemeriksaan neuroimaging
Penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 didapatkan dari 47 anak palsi
serebral dengan epilepsi didapatkan 40 anak mempunyai hasil neuroimaging yang
abnormal. Penelitian yang juga dilakukan pada tahun 2009 didapatkan 85.28 %
anak dengan palsi serebral memperlihatkan kelainan pada hasil CT-Scan atau MRI
dimana 44.54% memperlihatkan epilepsi.
5. Riwayat epilepsi pada keluarga
Riwayat epilepsi pada keluarga meningatkan risiko individual untuk
mengalami epilepsi. Kondisi genetik yang diwariskan dari generasi ke generasi
mungkin menyebabkan terjadinya epilepsi. Riwayat epilepsi dalam keluarga pada
pasien dengan palsi serebral akan meningkatkan risiko terjadi epilepsi.
6. Riwayat Infeksi Susunan saraf pusat
Infeksi SSP sering ditemukan dinegara yang sedang berkembang, 30%
sampai 50 % kasus diantaranya akan mengalami kecacatan. Kecacatan yang paling
sering ditemukan adalah palsi serebral dan epilepsi, yang dapat terjadi bersamaan
atau berdiri sendiri. Beberapa penelitian, menyatakan bahwa resiko terjadinya
epilepsi meningkat bila palsi serebral terjadi akibat komplikasi infeksi SSP
Daftar Pustaka

1. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perhimpunan Dokter Saraf 2007


2. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Perhimpunan Dokter Saraf 2014
3. Kegawat Daruratan Neurologi. Status Epileptikus. Bagian Neurologi UNPAD RSHS
Bandung.2012
4. Neurology in Daily Practice. Pertolongan Pertama pada Bangkitan. Bagian Neurologi
UNPAD RSHS Bandung.2012
5. Guyton AC., Hall JE., Sistem saraf. In : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of
Medical Physiology) Edisi 9.Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta. 1996
6. Syafendra Mega. Faktor Risiko Epilepsi pada Pasien CP. USU.2015
7. Neurology in Daily Practice. Cerebral Palsy. Bagian Neurologi UNPAD RSHS
Bandung.2012

You might also like