You are on page 1of 33

REFERAT

SIROSIS HEPATIS DAN ETIOLOGI

Disusun Oleh:
Annisa Mardhiyah
(1113103000054)

Pembimbing:
dr. Elza Febria Sari Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim,
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ''Sirosis
Hepatis dan Etiologi'' ini. Shalawat serta salam saya curahkan kepada junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta pengikutnya,
semoga kita senantiasa menjadi pengikutnya hingga akhir zaman.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Elza
Febriasari, SpPD selaku pembimbing saya yang telah memberikan arahan,
bimbingan, pengetahuan serta saran, sehingga referan ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang
sedang menempuh kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam dan bagi para peserta
pendidikan selanjutnya.
Bekasi, 20 Juli 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata pengantar .......................................................................................................... 2
Daftar Isi.................................................................................................................... 3
BAB I Pendahuluan................................................................................................... 4
BAB II. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 5
BAB III. Kesimpulan ................................................................................................ 33
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

Sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar setelah penyakit


kardiovaskuler dan kanker. Diseluruh dunia sirosis hepatis menempati urutan
ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat
penyakit ini. Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa
gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di
negara maju, maka kasus sirosis hepatis yang datang berobat kedokter hanya kira-
kira 30% dari seluruh populasi penyakit ini dan lebih dari 30% lainnya ditemukan
secara kebetulan ketika berobat, sisanya ditemukan saat otopsi1
Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia
termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki
dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata
terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49
tahun.
Sirosis dapat disebabkan berbagai macam penyakit hati kronis dengan
penyeybab tersering di negara barat ialah konsumsi alkohol. Sementara di
Indonesia, sirosis terutama disebabkan oleh hepatitis B atau C kronik.
Pengklasifikasian pasien berdasarkan etiologi penyakit hati cukup
bermakna, karena pada penatalaksanaan sirosis perlu dilakukan penangan
terhadap penyebab yang mendasarinya. Dalam makalah ini penulis membahas
mengenai sirosis hati beserta etiologinya dari berbagai macam referensi, sehingga
diharapkan dapat memahami lebih baik mengenai penyakit sirosis dan etiologinya
serta pentalaksanaannya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hati merupakan organ intestinal terbasar dengan berat sekitar 1,2 - 1,8 kg
atau kurang lebih sekitar 25% berat badan orang dewasa. Hati terletak di bawah
diafragma di dalam rongga abdomen dan menempati hampir seluruh regio
hiopokondrium dekstra dan regio epigastrium.1,2

Gambar 2.1 Anatomi hepar


Sumber : Tortora, 2014

Hampir seluruh permukaan hati dilapisi peritoneum viseral. Permukaan


anterior yang cembung dibagi menjadi dua lobus utama oleh adanya perlekatan
ligamentum falsiform, yaitu lobus dekstra yang berukuran lebih besar dan lobus
sinistra yang berukuran lebih kecil. Pada daerah antara ligamentum falsiform
dengan kandung empedu di lobus kanan dapat ditemukan lobus kuadratus dan
daerah yang disebut lobus kaudatus yang buasanya tertutup oleh vena kava
inferior dan ligamentum venosum pada permukaan posterior.1,2

Hati memiliki berbagai fungsi, diantaranya:


Fungsi pencernaan : mengekskresi garam empedu berfungsi untuk proses
pencernaan dan penyerapan lemak.

5
Fungsi metabolisme, hati berperan dalam metabolisme karbohidrat,
protein, dan lemak setelah zat-zat tersebut diserap dari saluran cerna.
Detoksifikasi atau penguraian zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan zat
asing lainnya.
Fungsi sintesis : hati mensintesis berbagai protein plasma, termasuk
protein yang dibutuhkan dalam proses pembekuan darah dan protein yang
berperan dalam mengangkut hormon steroid serta kolesterol dalam darah.
Fungsi penyimpanan : hati berperan sebagai tempat penyimpanan
glikogen, lemak, besi, tembaga, dan berbagai vitamin lainnya.
Aktivasi vitamin D bersama dengan kulit dan ginjal.
Fagositosis : Menguraikan bakteri dan sel-sel darah yang sudah tua.
Fungsi ekskresi : mengekskresikan kolesterol dan bilirubin. bilirubin
merupakan produk penguraian yang berasal dari destruksi sel darah merah
yang sudah tua.1,2,3

Secara mikroskopis hati tersusun dari 50.000-100.000 lobulus yang terdiri


atas sel hati yang berbentuk kubus dan tersusun radier mengelilingi vena sentralis.
Komponen hati secara mikroskopis adalah sebagai berikut:
1. Hepatosit (hepato: "hati", sit: "sel") : Merupakan sel fungsional utama
pada hati yang merupakan sel epitel terspesialisasi yang membentuk 80%
volume hati. Untuk melaksanakan berbagai fungsinya, susunan anatomik
hati memungkinkan setiap hepatosit berkontak langsung dengan darah dari
dua sumber, yaitu darah arteri yang berasal dari arteri hepatika dan darah
vena dari vena porta hepatika. Arteri hepatika mengalirkan darah yang
kaya oksigen dan metabolit darah untuk di prorses oleh hati, sedangkan
vena porta mengalirkan darah vena dari saluran cerna yang berisi produk
dari saluran cerna untuk diproses, disimpan, ataupun di detoksifikasi oleh
hati sebelum produk-produk tersebut mendapat akses ke sirkulasi umum.
Di dalam hati, vena porta bercabang-cabang menjadi kapiler yang disebut
sinusoid hati dan memungkinkan terjadinya pertukaran antara darah
dengan hepatosit sebelum darah mengalir ke dalam vena hepatika yang
akan menyatu dengan vena kava inferior. Hepatosit tersusun menjadi suatu

6
struktur kompleks yang disebut hepatic laminae. Pada kedua sisi hepatic
laminae tersebut terdapat sinusoid. Di antara hepatosit yang berdekatan
terdapat kanalikuli tempat dimana garam empedu disekresikan.2,3
2. Sinusoid hepatik: Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang
sangat permeabel yang terdapat diantara susunan hepatosit. Darah dari
cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir ke sinusoid dan dan
dibawa ke vena sentralis, kemudian dari vena sentralis darah akan
mengalir ke vena hepatik dan menuju ke vena kafa inferior. Di dalam
sinusoid juga terdapat sel-sel fagosit yang disebut sel stelata atau
makrofag hepatik, yang berperan dalam menghancurkan sel darah merah
dan putih yang sudah rusak, bakteri, dan zat-zat asing lainnya. Cabang
duktus biliaris, cabang arteri hepatik, dan cabang vena hepatik bersamaan
disebut dengan trias porta.2,3
3. Kanalikuli biliaris : merupakan saluran kecil diantara sel-sel hepatosit
yang berperann untuk mengumpulkan garam empedu yang diproduksi
hepatosit. Melalui kanalikuli, garam empedu dibawa ke duktus biliaris,
menuju duktus hepatik dekstra dan sinistra yang kemudian bergabung
membentuk duktus hepatik komunis dan meninggalkan hati. Duktus
hepatik komunis tersebut bergabung dengan duktus sistikus dari kandung
empedu dan membentuk duktus biliaris komunis. Melalui duktus biliaris
komunis, garam empedu masuk ke duodenum untuk membantu proses
pencernaan.2,3

Gambar 2.2 Histologi hati


Sumber: Tortora, 2014

7
Hepatosit, duktus biliaris, dan sinusoid hepatik tersusun secara anatomi dan
fungsional dalam tiga bentuk yang berbeda, yaitu:
1. Lobulus hepatik : berdasarkan model ini, hati tersusun menjadi unit
fungsional yang dikenal sebai lobulus, yaitu susunan jaringan berbentuk
heksagonal yang mengelilingi satu vena sentralis. Di setiap sudut lobulus
tersebut terdapat trias porta.2,3
2. Lobulus porta : model ini mengutamakan fungsi eksokrin hati, yaitu
sekresi garam empedu dengan duktus biliaris yang merupakan bagian dari
trias porta sebagai sentral. Lobulus portal ini berbentuk segitiga dan
digambarkan dengan tiga garis imajiner yang menghubungakan ketiga
vena sentralis yang terletak paling dekat dengan trias porta. 2
3. Hepatik asinus : Hepatik asinus tersusun dari dua lobulus hepatik yang
terletak bersebelahan. Hepatik asinus berbentuk oval dengan aksis pendek
dibentuk oleh dua trias porta yang berdekatan dan aksis panjang yang
dibentuk oleh dua vena sentralis yang paling dekat dengan aksis pendek.
Hepatik asinus terbagi menjadi tiga zona.

Gambar 2.3 lobulus hepatik


Sumber : Tortora, 2014

Zona 1 terletak paling dekat dengan trias porta dan paling pertama
menerima oksigen, nutrien, serta toksin dari darah, sehinga paling cepat
mengalami perubahan morfologi jika terjadi obstruksi duktus biliaris dan
paparan terhadap zat toksin, tetapi sel-sel di zona ini mengalami kematian
paling lama ketika terjadi gangguan sirkulasi. Sedangkan sel-sel di zona 3
terletak paling jauh dari trias porta, sehingga paling cepat mengalami
kerusakan ketika terjadi gangguan sirkulasi.2

8
Gambar 2.4 lobulus hepatik
Sumber : Tortora, 2014

2.2 Sirosis Hepatis


2.2.1 Definisi
Sirosis hati merupakan kondisi histopatologi dimana terjadi kerusakan
parenkim hati dan perubahan arsitektur hati yang ditandai dengan regenerasi
nodular yang bersifat difus dan dikelilingi septa-septa fibrosis. Sirosis merupakan
tahap akhir dan merupakan dampak tersering dari perjalanan kilins yang panjang
dari semua penyakit hati kronis. 1,4,5
Gambaran morfologi dari sirosis hati meliputi fibrosis difus, nodul
degeneratif, perubahan arsitektur lobular, dan pembentukan hubungan vaskular
intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (arteri hepatika dan vena porta)
dan eferen (vena hepatika).1

2.2.2 Epidemiologi
Sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit
kardiovaskular dan kanker pada penderita usia 45 - 46 tahun. Di seluruh dunia
sirosis hati menempati urutan ketujuh penyebab kematian dengan rasio lebih
tinggi pada laki-laki (1,6 : 1). Usia rata-rata penderita terbanyak adalah golongan
usia 30-59 tahun dengan puncak usia 40 - 49 tahun.1
Insiden Sirosis hati di Amerika diperkirakan 360 per-100.000 penduduk.
Penyeybab sirosis hati sebagian besar adalah penyakit hati alkoholik dan non
alkiholik steatohepatitis serta hepatitis C. Di Indonesia belum ada data prevalensi
penderita sirosis hati secara keseluruhan. Di Asia tenggara, penyebab utama
sirosis adalah hepatitis B dan C. Angka kejadian sirosis hati di Indonesia akibat
hepatitis B berkisar antara 21,2% - 46,9% dan hepatitis C berkisar 38,7% -
73,9%.1

9
2.2.3 Etiologi
Seluruh penyakit hati yang bersifat kronis dapat menyebabkan sirosis hati.
Penyeybab tersering di negara barat ialah konsumsi alkohol. Sementara di
Indonesia, sirosis terutama disebabkan oleh hepatitis B atau C kronik.6
Pengklasifikasian pasien berdasarkan penyebab penyakit hati cukup
bermakna, pasien dikelompokkan menjadi sirosis alkoholik, sirosis akibat
hepatitis kronik, sirosis biliaris, dan penyebab yang lebih jarang seperti sirosis
kardiak, sirosis kriptogenik, dan penyebab lainnya.6

Tabel 2.1 Etiologi Sirosis Hepatis


Etiologi sirosis hepatis
1. Penyakit hati alkoholik
2. Hepatitis viral kronik
Hepatitis B
Hepatitis C
3. Hepatitis Autoimun
4. Steatohepatitis nonalkoholik
5. Sirosis biliaris
Sirosis bilier primer
Kolangitis sklerosis primer
Kolangiopati autoimun
6. Penyakit metabolik didapat
Hemokromatosis
Wilson
Defisiensi alpha 1-antitrypsilin
Fibrosis kistik
7. Galaktosemia
8. Penyebab lainnya
Hepatotoksik akibat obat atau toksin
Sirosis kardiak

10
9. Infeksi parasit tertentu (Schistosomiasis)
10. Sirosis Kriptogenik
Sumber : Sudoyo, 2011
1. Sirosis Alkoholik
Konsumsi alkohol berlebihan dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan kerusakan hati akibat efek langsungnya sebagai hepatotoksin.
Alkohol berperan dalam menyebabkan berbagai macam penyakit hati kronik,
mulai dari perlemakan hati (steatosis), perlemakan hati yang disertai peradangan
(steatohepatitis atau alcoholic hepatitis), sampai ke sirosis.5,7
Konsumsi alkohol yang berlebihan juga berperan dalam kerusakan hati
yang lebih lanjut pada pasien dengan penyakit hati lain seperti hepatitis C,
hemokromatosis, dan pasien dengan perlemakan hati yang berkaitan dengan
obesitas.6
Konsumsi alkohol kronik dapat memicu terjadinya nekrosis tanpa adanya
proses inflamasi dan nekrosis. Fibrosis dapat berbentuk sentrilobular, periselular,
atau periportal. Ketika fibrosis sudah mencapai derajat tertentu, maka akan terjadi
perubahan arsitektur hati dan sel-sel hati akan digantikan oleh nodul-nodul
degeneratif. Pada sirosis alkoholik, nodul biasanya berukuran <3mm, sirosis
bentuk ini disebut juga deengan mikronodular, pada penghentian penggunaan
alkohol dapat terbentuk nodul yang berukuran lebih besar sehingga terbentuk
mikronodular dan makronodular.6

Gambar 2.5 Progresi penyakit hati alkoholik


Sumber : Stickel F,

11
Perubahan histologi yang terjadi merupakan penyebab dari paparan
alkohol yang terus menerus. Proses tersebut terutama diperankan oleh asetaldehid
yang merupakan hasil metabolit utama dari degradasi alkohol.
Alkohol (etil alkohol atau etanol) diabsorpsi melalui saluran
gastrointestinal terutama melalui usus dan dalam jumlah yang lebih kecil melalui
lambung. Metabolisme alkohol (etil alkohol atau etanol) berlangsung secara
simultan melalui dua jalur yang alkohol dehidrogenase (ADH) yang terjadi di
sitoplasma hepatosit, dan microsomal ethanol-oidizing system (MEOS) yang
terjadi di retikulum endoplasma. Kedua jalur tersebut berperan dalam terjadinya
gangguan metabolisme dan timbulnya efek toksik. Selain itu terdapat satu jalur
lagi yang hanya berperan kecil, yaitu jalur katalase yang berlokasi di
peroksisom.9,10
Jalur utama metabolisme etanol melibatkan enzim ADH yang
mengkatalisasi perubahan alkohol menjadi asetaldehid, yang merupakan metabolit
toksik yang sangat reaktif. Proses oksidasi alkohol yang dimediasi ADH tersebut
akan menghasilkan asetaldehid dan ion hidrogen. Ion hidrogen yang terbentuk
tersebut akan ditransfer ke NAD membentuk NADH. Kemudian asetaldehid akan
dimetabolisme menjadi asetat, yang nantinya akan dilepaskan ke aliran darah.
Akibat dari metabolisme etanol tersebut terbentuk NADH yang berlebihan, yang
akan menghambat oksidasi asam lemak dan menyebabkan peningkatan
esterifikasi asam lemak membentuk triasilgliserol, yang menyebabkan akumulasi
lemak di dalam hati, sehingga terjadi steatosis.9,10

Gambar 2.6 Oksidasi etanol oleh alkohol dehidrogenase


Sumber : Murray RK

Jalur MEOS juga berperan dalam metabolisme alkohol menjadi


asetaldehid. Konsumsi alkohol berlebihan dan berkepanjangan menyebabkan
induksi enzim dan peningkatan aktivitas MEOS. Enzim utama yang berperan
dalam jalur MEOS adalah Sitokrom P450 2E1 (CYP 2E1) . Selain berperan dalam

12
membentuk asetaldehid, CYP2E1 juga berperan dalam pembentukan reactive
oksigen spesies (ROS) seperti anion superoksida dan hidrogen peroksida yang
menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel-sel hepatosit. Aktivitas Hepatik
CYP2E1 pada manusia sudah dapat meningkat dengan konsumsi hanya 40 g
etanol per hari selama satu minggu.6,9,10

Asetaldehid yang sangat reaktif akan berikaran dengan berbagai molekul


termasuk protein membentuk protein-asetaldehid. Senyawa ini dapat mengganggu
aktivitas enzim, sintesis protein, serta mengganggu proses detoksifikasi radikal
bebas, sehingga terjadi aktivasi sel kuppfer oleh ROS dan menyebabkan
kerusakan sel hepatosit. 6,9,10
Aktivasi sel kuppfer tersebut akan menyebabkan produksi sitokin yang
mengaktifkan sel stelata. Sel stelata yang aktid memproduksi kolagen dan matriks
ekstraselular yang berlebihan. Akibatnya terbentuk jaringan ikat baik di zona
periportal maupun perisentral dan kemudian menggabungkan trias porta dengan
vena sentralis membentuk nodul degeneratif. Proses tersebut menyebabkan
kerusakan hepatosit dan menyebabkan hepatosit semakin berkurang, sementara
produksi deposisi kolagen terus meningkat. Secara bersamaan kedua proses
tersebut menyebabkan kontraksi dan lama-lama menyebabkan hati mengecil. 6

2. Hepatitis kronis
Hepatitis kronik merupakan inflamasi pada hati yang berlangsung lebih
dari 6 bulan. Hepatitis kronis ditandai oleh peningkatan serum aminotransferase
yang persisten dan temuan histologi melalui biopsi hati. Dari beberapa jenis virus
hepatotropik penyebab hepatitis, diketahui hanya tiga yang dapat menyebabkan
hepatitis kronis, yaitu HBV, HCV, dan HDV. Hepatitis B lebih banyak
mengalami progresi menjadi hepatitis kronik dibanding hepatitis C. Hepatitis B
kronik ditandai dengan adanya DNA HBV yang menetap dan HBeAg di serum,
yang menandakan replikasi virus yang aktif. Proses inflamasi yang progresif dan
berlangsung lama pada hepatitis kronis menyebabkan kerusakan pada sel-sel hati
dan pada akhirnya dapat menyebabkan fibrosis dan sirosis.5,6

13
3. Hepatitis Autoimun

Penyebab lain sirosis posthepatitis adalah hepatitis autoimun dan


nonalkoholik steatohepatitis. Pada hepatitis autoimun (AIH) terdapat aktivitas
imun yang abnromal yang menyebabkan peradangan dan penghancuran sel-sel
hati (hepatocytes) yang progresif dan pada akhirnya dapat menyebabkan sirosis.5

4. Nonalkoholik steatohepatitis

Perlemakan hati nonalkoholik disebubkan oleh kelainan metabolisme yang


mempengaruhi hati. Penyakit ini mencakup steatosis sampai nonalkoholik
steatohepatitis. Obesitas, diabetes tipe 2, sindrom metabolik, dan hiperlipidemia
merupakan kondisi yang biasanya berkaitan dengan perlemakan hati.9

Patogenesis perlemakan hati nonalkoholik melibatkan akumulasi lemak


dalam hepatosit dan pembentukan radikal bebas seperti pada penyakit hati
alkoholik. Gangguan metabolisme yang menyebabkan akumulasi lipid ini diduga
berkaitan dengan adanya gangguan pada sintesis dan degradasi lipid yang
disebabkan oleh resistensi insulin. Obesitas meningkatkan sintesis dan
mengurangi oksidasi asam lemak bebas. Diabetes tipe dua ataupun resistensi
insulin menyebabkan peningkatan pemecahan simpanan lemak, sehingga
meningkatkan kadar asam lemak dalam darah, yang nantinya akan terakumulasi di
dalam hati dan menyebabkan perlemakan hati. 9

Keton dan asam lemak bebas menginduksi enzim CYP P450 pada jalur
MEOS seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga terjadi peningkatan
radikal bebas yang menyebabkan kerusakan sel hati.9

5. Kelainan metabolik genetik

Beberapa kelainan genetik seperti hemokromatosis dan penyakit wilson


dapat menyebabkan akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang
menyebabkan kerusakkan jaringan dan sirosis.5,6

14
Hemokromatosis

Hemokromatosis merupakan kelainan dimana pasien mengalami


kecenderungan untuk menyerap besi (Fe) yang berlebihan dari makanan. Bentuk
sirosis yang terjadi biasanya merupakan tipe portal. Terdapat dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:

- Genetik, dimana sejak lahir penderita sudah mengalami kenaikan absorpsi


dari Fe.
- Kemungkinan didapat setelah lahir, dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Dimana kadara alkohol yang tinggi akan
meningkatkan penyerapan Fe

Kadar Fe yang tinggi ini akan terakumulasi pada organ-organ dan


menyebabkan berbagaik kelainan diantaranya sirosis, arthritis, kerusakkan otot
jantung yang menjurus pada gagal jantung, dan disfungsi organ seksual.
Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan pada organ-organ dengan
mengeluarkan besi dari tubuh melaui pengeluaran darah.

Penyakit Wilson

Pada penyakit Wilson, terjadi kelainan dari protein-protein yang


mengontrol tembaga (Cu) dalam tubuh. Penyebab penyakit Wilson belum
diketahui pasti, tetapi diduga disebabkan defisiensi bawaan dari seruloplasmin.
Seiring waktu, Cu akan terakumulasi di dalam hati, mata, dan otak. Akumulasi Cu
tersebut menyebabkan sirosis hati, degenerasi basal ganglia, dan terbentuknya
cincin berwarna coklat kehijauan pada kornea yang disebut Kayser Fleischer
Ring. Pengobatan dilakukan dengan obat-obat oral yang meningkatkan eliminasi
Cu dari tubuh melalui urin.

6. Sirosis Biliaris

Sirosis biliaris memiliki gambaran patologi yang berbeda dari sirosis


alkoholik maupun sirosis posthepatitis, tetapi memiliki gambaran manifestasi

15
yang sama. Penyakit hati kolestasis dapat terjadi akibat proses nekroinflamasi,
proses kongenital atau metabolik, ataupun karena adanya kompresi duktus biliaris
dari luar. Terdapat dua kategori yang menunjukkan letak kelainan yaitu
intrahepatik dan ekstrahepatik.

Penyebab sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pasca hepatik yang ditandai
dengan statis empedu yang menyebabkan penumpukan empedu di dalam hati dan
kerusakan sel-sel hati

Penyebab utama kolestasis kronis adalah sirosis biliaris primer (PBC),


kolangitis sklerosis primer (PSC), dan kolangitis autoimun (AIC). 5

Primary biliary cirrhosis (PBC)

PBC merupakan penyakit hati yang lebih banyak terjadi pada wanita.
Penyebab PBC tidak diketahui, penyakit ini ditandai dengan adanya inflamasi dan
kerusakan dari saluran kecil empedu dalam hati. Pada PBC, kerusakkan dari
pembuluh-pembuluh kecil empedu menghalangi aliran yang normal dari empedu
kedalam usus. Peradangan yang terjadi terus menerus menyebabkan kerusakan
lebih lanjut pada pembuluh-pembuluh empedu dan menyebabkan kerusakan sel-
sel hati yang berdekatan. Kerusakan yang terjadi memicu pembentukan jaringan
parut yang akan menyebar keseluruh area kerusakan. Proses peradangan yang
progresif, fibrosis, dan efek-efek keracunan dari akumulasi produk-produk
tersebut dapat berlanjut dan menyebabkan sirosis.5

Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)

Seperti PBC, penyebab dari PSC juga tidak diketahui. Pada PSC, terjadi
peradangan pada saluran empedu besar diluar hati. Proses inflamasi tersebut
menyebabkan penyempitan dan obstruksi saluran, sehingga terjadi kolestasis
kronik. Obsruksi aliran empedu dapat menyebabkan infeksi dan jaundice, yang
pada akhirnya dapat menyebabkan sirosis.5

16
Defisiensi 1AT

Defisiensi 1AT merupakan kelainan genetik dimana terdapat

abnormalitas pembentukan protein 1AT, sehingga protein tersebut tidak dapat

disekresikan dari hati. Proses terjadinya penyakit hati akibat protein tersebut di
dalam hati belum diketahui. Diagnosis ditegakkan berdasarkan fenotip dan kadar
1AT. Penatalaksanaan yang efekti adalah dengan transplantasi hati.5

7. Penyebab lainnya

Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi


yang tidak umum pada beberapa obat-obat dan paparan yang lama pada racun-
racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian
tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu
parasit (schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit hati
dan sirosis.

Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati secara akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak sedangkan kerusakan hati kronik dapat
menyebabkan sirosis hepatis. Apabila obat-obatan yang bersifat hepatotoksik
digunakan secara berulang maka akan menyebabkan kerusakan setempat yang
kemudian dapat meluas dan akhirnya menyebabkan sirosis hepatis (Glenda,
2002).

Sirosis Kardiak
Pasien dengan gagal jantung kongestif sisi kanan dapat mengalami cedera
hati kronik dan sirosis kardiak. Sirosis kardiak merupakan kondisi yang jarang
terjadi.
Pada gagal jantung kanan berkepanjangan terjadi peningkatan tekanan
vena yang akan ditransmisikan melalui vena kava inferior dan vena hepatik ke

17
dalam sinusoid, sehingga terjadi dilatasi sinusoid. Hati menjadi besar dan
mengalami pembengkakan. Selain itu kegagalan jantung menyebabkan penurunan
sirkulasi, sehingga terjadi iskemia yang dapat menyebabkan nekrosis sentrilobular
dan fibrosis perisentral. Proses fibrosis dapat meluas dan pada akhirnya dapat
menyebabkan sirosis.5

8. Sirosis Kriptogenik
Sirosis kriptogenik adalah sirosis yang tidak diketahui penyebabnya.

Gambar 2.7 Etiologi dan patogenesis sirosis

2.2.4 Patogenesis
Terlepas dari etiologi yang mendasarinya, gambaran patologi sirosis terdiri
dari perkembangan fibrosis sampai adanya distorsi arsitektur hati yang disertai
pembentukan nodul degeneratif. Perubahan ini mengakibatkan penurunan massa
hepatoselular beserta fungsinya, dan menyebabkan perubahan aliran darah.6
Kerusakan yang terjadi pada sel hati tersebut dapat disebabkan berbagai
faktor antara lain infeksi, obat, toksin, penyakit keturunan dan metabolik. Semua

18
faktor tersebut dapat menyebabkan jejas dan inflamasi pada organ hepar yang
akan mengaktivasi sel stelata.1,6
Sel stelata merupakan sel utama penghasil matriks ekstraselular (ECM)
setelah terjadi cedera pada hepar. Pada keadaan normal sel stelata bersifat diam,
namun ketika terdapat faktor pencetus, sel stelata akan menjadi aktif dan
berproliferasi untuk membentuk kolagen dan berubah menjadi sel miofibroblas
yang dapat berkontraksi. Proses ini menyebabkan terbentuknya jaringan parut
pada organ hati.1,6
Deposit ECM di space of Disse (ruang perisinusoid) juga menyebabkan
perubahan mikrovaskular hati yang ditandai dengan remodelling sinusoid,
kapilarisasi pembuluh darah, dan disfungsi endotel. Kapilarisasi sinusoid
kemudian mengubah pertukaran normal aliran vena porta dengan hepatosit,
sehingga material yang seharusnya dimetabolisme oleh hepatosit akan langsung
masuk ke aliran darah sistemik dan menghambat material yang diproduksi hati
masuk ke darah. Proses ini akan menimbulkan hipertensi porta dan penurunan
fungsi hepatoselular.1,6

2.2.5 Patofisiologi
Pada awal terjadinya inflamasi akan terjadi pembengkakan pada hepar
yang menyebabkan peregangan kapsula glissoni dan membuat gejala nyeri pada
region kanan atas abdomen dan regio epigastrium. Setelah terjadi inflamasi
berulang maka akan terbentuk jaringan parut, sehingga dalam pemeriksaan fisik
didapatkan permukaan hati yang berbenjol-benjol.
Adanya perubahan struktur parenkim hati karena proses fibrosis tersebut
menyebabkan terhambatnya aliran darah sistem porta yang membawa darah dari
sistem pencernaan, sehingga darah akan kembali menuju ke limpa dan traktus
gastrointestinal menyebabkan splenomegali. Selain itu arteri juga berdilatasi dan
terbentuk aliran darah kolateral. Bentuk dari dilatasi arteri superficial yaitu
tampak sebagai jarring jarring telangiektasis pada wajah dan tubuh atau yang
lebih dikenal dengan spider nevi. Bentuk dari pembuluh darah kolateral yaitu
distensi pembuluh darah abdomen berupa caput medusa dan distensi pembuluh

19
darah esophagus berupa varises esophagus. Pembuluh darah kolateral yang
terbentuk akibat hipertensi portal tersebut rupture dan menyebabkan perdarahan.

2.2.6 Klasifikasi
Secara klinis sirosis hati dibagi atas: 1. Sirosis hati kompensata dan 2.
Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular
dan hipertensi portal.1

2.2.7 Manifestasi Klinis


Perjalanan penyakit sirosis hati lambat dan seringkali asimtomatis. 40%
pasien yang mengalami sirosis tidak menunjukkan gejala sampai mengalami fase
penyakit yang lebih lanjut, sehingga sebagian besar penderita datang dalam
keadaan stadium dekompensata disertai komplikasi. Diagnosis sirosis hepatik
asimtomatis biasanya dibuat ketika tes pemeriksaan fungsi hati atau radiologi
menunjukkan abnormalitas, sehingga kemudian dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut dan biopsi hati.1
Gejala klinis yang muncul biasanya tidak spesifik seperti anoreksia,
mudah lelah, penurunan BB, dan lemas. Pada keadaan lebih lanjut dapat
ditemukan tanda klinis berupa ikterus, spider angiomata (spider telangiektasi),
splenomegali, caput medusae, palmar eritema, perubahan kuku Muchrche,
clubbing finger, kontraktur Dupuytren, ginekomastia, atrofi testis hipogonadisme,
splenomegali, asites, dan fetor hepatikum. 1
Ikterus merupakan akibat hiperbilirubinemia yang menyebabkan kulit dan
membran mukosa menjadi berwarna kuning. Bila kadar bilirubin kurang dari 2-3
mg/dl, ikterus tak terlihat. Warna urin terlihat gelap seperti air teh.
Spider angioma adalah suatu lesi vascular yang dikelilingi beberapa vena-
vena kecil. Tanda ini sering ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas.
Mekanisme terjadinya tidak diketahui, ada anggapan dikaitkan dengan
peningkatan rasio estradiol/testosterone bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan
selama hamil, malnutrisi berat, bahkan ditemukan pula pada orang sehat, walau
umumnya ukuran lesi kecil.

20
Eritema palmaris, warna merah saga pada thenar dan hypothenar telapak
tangan. Hal ini berhubungan dengan perubahan metabolisme hormone estrogen.
Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan pula pada kehamilan, artritis
rheumatoid, hipertiroidisme, dan keganasan hematologi.
Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui, diperkirakan
akibat hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.
Jari gada (clubbing finger) lebih sering ditemukan pada sirosis bilier.
Osteoartropati hipertrofi suatu periostitis proliferatif kronik, menimbulkan nyeri.
Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fascia palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak secara spesifik
berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga bisa ditemukan pada pasien diabetes
mellitus, distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang juga mengkonsumsi
alkohol.
Pada pasien sirosis juga terjadi gangguan metabolisme estrogen yang
menyebabkan hiperestrogenemia pada laki-laki dan bermanifestasi sebagai palmar
eritema (gambaran vasodilatasi lokal) dan angioma pada kulit, hipogonadisme,
dan ginekomastia.4

Ginekomastia secara histologis berupa proloferasi benigna jaringan


glandula mamae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan androstenedion.
Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan aksila pada laki-laki,
sehingga laku-laki mengalami perubahan kearah feminism. Kebalikannya pada
perempuan menstruasi cepat berhenti sehingga dikira fase menopause. Trofi testis
hipogonadisme menyebabkan impotensi dan inferti. Tanda ini menonjol pada
alkoholik sirosis dan hemokromatosis.

Hepatomegali ukuran hati yang sirotik bisa membesar, normal, atau


mengecil. Bilamana hati teraba, hati sirotik teraba keras dan nodular.
Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena hipertensi
porta.

21
Asites merupakan penimbunan cairan dalam rongga peritoneum akibat
hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Caput medusa- juga sebagai akibat
hipertensi porta.
Fetor hepatikum merupakan bau napas yang khas pada pasien sirosis
disebabkan peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik
yang berat.
Pada fase dekompensata dapat muncul komplikasi seperti hipertensi porta,
perdarahan akibat varises esofagus, ensefalopati hepatik dan infeksi bakteri akibat
disfungsi barrier mukosa dan sel kupffer.4,6
Hipertensi portal merupakan gambaran komplikasi yang signifikan pada
sirosis dekompensata dan berperan dalam terjadinya asites dan perdarahan akibat
varises esofagogastrik.6

Tabel 2.2 Tanda-tanda klinis sirosis hati dan penyebabnya


Tanda Penyebab
Spider angioma atau spider nevi Peningkatan estradiol
Palmar eritema Gangguan metabolisme hormon seks
Perubahan kuku:
- Muehrche's lines - Hipoalbuminemia
- Terry's nails - Hipoalbuminemia
- Clubbing - Hipertensi portopulmonal
Osteoartopati hipertrofi Chronic proliferative periostitis
Kontraktur Dupuytren Proliferasi fibroplastik dan
gangguan depsit kolagen
Ginekomastia Peningkatan estradiol
Hipogonadisme Perlukaan gonad primer atau supresu
fungsi hipofise atau hipotalamus
Ukuran hati; besar, normal, mengecil Hipertensi portal
Splenomegali Hipertensi portal
Asites Hipertensi portal
Caput medusae Hipertensi portal
Murmur Cruveilhier-Baungarten Hipertensi portal
(bising daerah epigastrium)
Fetor hepaticus Peningkatan diamethyl sulfida
Ikterus Bilirubun meningkat (min 2-3mg/dl)

22
Asterksis.flapping tremor Ensefalopati hepatikum

Sumber : Sudoyo, 2011

2.2.8 Komplikasi
Komplikasi utama pada sirosis hepatis adalah hipertensi portal, asites,
peritonitis bakterial spontan, perarahan esofagus, sindroma hepatorenal,
ensefalopati hepatikum, dan kanker hati.1

Hipertensi porta

Hipertensi porta adalah peningkatan gradien tekanan vena hepatik lebih


dari 5mmHg. Hipertensi porta terjadi akibat peningkatan resistensi terhadap aliran
darah portal. Peningkatan resistensi dapat terjadi melalui tiga mekanisme yaitu:
(1) prehepatik; (2) intrahepatik; dan (3) posthepatik. Penyebab utama prehepatik
adalah obstruksi trombosis, penyempitan vena porta sebelum percabangan di
dalam hati atau splenomegali masif dengan peningkatan aliran darah vena
splanknik. Penyebab posthepatik dapat berupa gagal jantung kanan berat,
perikarditis konstriktif, dan obstruksi aliran vena hepatik, sedangkan penyebab
intrahepatik adalah sirosis, schistosomiasis, perlemakan, sarkoidisis, dan penyakit
yang mempengatuhi mikrosirkulasi seperti hiperplasia nodular regeneratif.1,4

Hipertensi porta pada sirosis terjadi akibat peningkatan resistensi


intrahepatik terhadap aliran darah porta karena adanya perubahan struktur
parenkim hati (deposisi jaringan fibrosis dan nodul degeneratif) serta peningkatan
aliran darah splanknik akibat vasodilatasi pada splanchknik vascular bed. Selain
itu mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah sinusoisd hati juga berperan, hal
ini disebabkan karena adanya defisiensi nitrit oksida dan perubahan sel stellata
menjadi myofibroblas.1,4

Faktor lain yang berperan dalam terjadinya hipertensi porta adalah


peningkatan aliran darah vena porta akibat sirkulasi hiperdinamik, hal ini terjadi
akibat vasodilatasi arteri terutama di sirkulasi splanknik. Peningkatan aliran darah
arteri splanknik ini menyebabkan peningkatan aliran vena ke sistem vena porta.
Berbagai mediator seperti prostasiklin dan TNF berperan dalam terjadinya

23
vasodilatasi arteri splanknik, dan NO merupakan yang paling signifikan.4

Empat konsekuensi utama dari hipertensi porta adalah: (1).asites, (2).


Portosistemik venous shunt, (3). Splenomegali kongestif, (4). Ensefalopati
hepatik.

Gambar 2.8 Gambaran klinis sirosis

Sumber: Kumar, 2014

Asites

Asites merupakan akumulasi cairan didalam kavitas peritoneal. 85% kasus


asites disebabkan oleh sirosis. Asites biasanya akan tampak secara klinis jika
sudah terjadi akumulasi sebanyak 500 ml. Cairan pada umumnya merupakan
cairan serosa yang mengandung protein kurang dari 3gm/L (sebagian besar
albumin). Cairan dapat mengandung sel-sel mesotelial dan leukosit mononuklear.
Influks neutrofil menunjukkan adanya infeksi, sedangkan adanya sel darah
menunjukkan kemungkinan keganasan intraabodminal. Jika asites
berkepanjangan, cairan peritoneal dapat masuk melalui limfatik transdiafragma
dan menyebabkan hidrotoraks. Patogenesis asites cukup kompleks dan melibatkan

24
beberapa mekanisme berikut:

Asites pada sirosis terutama disebabkan oleh hipertensi porta,


hipoalbuminemia akibat penurunan fungsi sintesis pada hati, dan disfungsi ginjal
yang menyebabkan akumulasi cairan di dalam peritoneum.1

Pada sirosis terjadi hipertensi sinusoid yang menyebabkan perpindahan


cairan ke dalam ruang perisinusoid (space of Disse), cairan tersebut akan
dikeluarkan melalui sirkulasi limfatik hati. Selain itu, perpindahan cairan tersebut
juga dipengaruhi oleh keadaan hipoalbuminemia. Pada keadaan normal aliran
limfatik duktus torakikus berkisar antara 800 - 1000ml/hari, tetapi pada keadaan
sirosis, aliran limfatik hepar bisa mencapai 20L/hari dan melampaui kapasitas
duktus torakikus. sehingga cairan masuk ke dalam ruang periotenal. 4

Vasodilatasi splanknik dan sirkulasi hiperdinamik juga berperan dalam


terjadinya asites. Kondisi ini berkaitan dengan hipertensi portal. Vasodilatasi
arteri pada sirkulasi splanknik cenderung menurunkan tekanan darah arteri,
dengan bertambahnya vasodilatasi tersebut terjadi aktivasi vasokonstriksi
termasuk sistem renin angiotensin aldosteron dan peningkatan sekresi hormon
antidiuretik. Hipertensi porta, vasodilatasi, dan retensi Na serta cairan tersebut
meningkatkatn tekanan perfusi kapiler interstisial, sehinga terjadi ekstravasasi
cairan ke dalam cavitas abdomen. 4

Kolateral portosistemik

Tingginya tekanan sistem porta menyebabkan terbentuknya kolateral


portosistemik, yaitu aliran balik dari sistem porta menuju sirkulasi sistemik.
Kolateral portosistemik ini terbentuk melalui pembukaan dan dilatasi saluran
vaskuler yang menghubungkan sistem vena porta dan vena kava superior dan
inferior.

Anastomosis yang menghubungkan vena porta dengan sirkulasi sistemik


dapat membesar agar aliran darah dapat menghindari (bypass) tempat yang
obstruksi sehingga dapat secara langsung masuk dalam sirkulasi sistemik.
Walaupun demikian adanya kolateral ini tidak cukup menurunkan hipertensi

25
portal karena adanya tahanan yang tinggi dan peningkatan aliran vena porta.4

Gambar 2.9 Kolateral portosistemik

Varises dapat terbentuk jika perbedaan tekanan antara sirkulasi porta dan
sistemik (hepatic venous pressure gradient, HVPG) mencapai 1012 mmHg. Bila
tekanan pada dinding vaskuler sangat tinggi dapat terjadi pecahnya varises dan
menyebabkan perdarahan.

Gambar 2.10 Varises Esofagus


Sumber : Porth, 2012

Varises terutama dapat terjadi di vena-vena di sekitar rektum


(bermanifestasi sebagai hemoroid) dan pada pertemuan esofaogastrik (varises
gastroesofagus). Perdarahan karena hemoroid biasanya tidak masif dan tidak
berbahaya, sedangkan perdarahan karena pecahnya varises esofagus biasanya

26
masif dan dapat berakibat fatal. Pada dinding abdomen dapat ditemukan
gambaran caput medusae yang merupakan dilatasi vena periumbilikus.1,4

Aliran portosistemik ini juga dapat menurunkan kemampuan metabolisme


hati, fungsi retikuloendotelial, dan menegakibatkan hiperamonemia.4

Splenomegali

Keadaan kongesti yang berkepanjangan dapat menyebabkan splenomegali.


Kondisi splenomegali dapat menyebabkan gangguan hematologi seperti
trombositopeni sampai pansitopeni.4

Ensefalopati Hepatik

Komplikasi ensofalopati terjadi pada sekitar 28% penderita. Terjadinya


ensefalopati disebabkan karena hiperammonia akibat berkurangnya hepatic uptake
yang disebabkan oleh hipertensi porta dan/atau penurunan sintesis urea dan
glutamik.1

Berbagai faktor seperti infeksi, perdarahan , ketidakseimbangan elektrolit,


serta pemberian obat-obatan sedatif dan protein tinggi dapat berperan sebagai
presipitasi timbulnya ensefalopati hepatikum. Risiko ensefalopati dapat dikurangi
dengan mencegah atau menangani faktor presipitasi tersebut. (IPD)

Peritonitis bakterial spontan

Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi berat dan sering


terjadi pada asites yang ditandai dengan infeksi spontan cairan asites tanpa adanya
fokus infeksi cairan abdominal. Eschericia coli merupakan bakteri usus yang
sering menyebabkan peritonitis bakterial spontan. Diagnosis ditegakkan juka pada
sampel cairan asites ditemukan angka sel neutrofil> 250/mm3.1

Sindrom hepatorenal

Sindrom hepatorenal (SHR) merupakan gangguan fungsi ginjal tanpa


kelainan organik ginjal, yang ditemukan pada sirosis hati lanjut. SHR tipe 1

27
ditandai dengan gangguan perogresif fungsi ginjal dan penurunan klirens kreatinin
secara bermakna dalam 1-2 mingguu, sedangkan tipe 2 ditandai dengan
penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan serum kreatinin.1

2.2.9 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada stadium kompensata sempurna, terkadang sulit
menegakkan diagnosis sirosis karena biasanya asimtomatis. Pada proses lebih
lanjut, stadium kompensata dapat ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan klinis
yang cermat, laboratorium biokimia/serologi dan pemeriksan pencitraan lainnya.
Pada stadium dekompensata diagnosis tidak terlalu sulit untuk ditegakkan karena
gejala dan tanda klinis biasanya sudah tampak dengan adanya komplikasi. Pada
pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan abnormalitas sebagai berikut:
Tabel 2.3 Pemeriksaan laboratorium pada sirosis
Pemeriksaan Hasil
Aminotrasferase; ALT dan AST Normal atau sedikit meningkat
Alkali fosfatase (ALP) Sedikit meningkat
Gamma glutamil transferase Korelasi dengan ALP, spesifik khas
akibat alkohol sangat meningkat
Bilirubin Meningkat pada SH lanjut, prediksi
penting mortalitas
Albumin Menurun pada SH lanjut
Globulin Meningkat terutama IgG
Waktu protrombin Meningkat/penurunan produksi faktor
V/VII dari hati
Natrium darah Menurun akibat peningkatan ADH
dan aldosteron
Trombosit Menurun (hipersplenisme)
Leukosit dan neutrofil Menurun (hipersplenisme)
Anemia Makrositik, normositik, & mikrositik
Sumber: Sudoyo, 2011

Pemeriksaan laboratorium untuk mencari etiologi:


serologi virus hepatitis
- HBV: HbsAg HBeAg, Anti HBc, HBV-DNA

28
- HCV: Anti HCV, HCV-RNA
Auto antibodi (ANA, ASM, Anti-LKM) untuk autoimun hepatitis
Saturasi transferin dan feritin untuk hemokromatosis
Ceruloplasmin dan copper untuk penyakit wilson
Alpha 1-antitrypsin
AMA untuk sirosis bilier primer
Antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer

Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk mendeteksi SH kurang sensitf,
tetapi cukup spesifik bila penyebabnya jelas. Gambaran USG memperlihatkan
peningkatan ekodensitas hati dengan ekostruktur kasar homogen atau heterogen
pada sisi superfisial, sedangkan pada sisi profunda ekodensitas menurun. Selain
itu dapat dijumpai pembesaran lobus kaudatus, splenomegali, dan gambaran vena
hepatika terputus-putus. Asites tampak sebagai area beabs gema (eksolusen)
antara organ intra abdominal dengan dinding abdomen.
MRI dan CT scan konvensional bisa digunakan untuk menentukan derajat
SH, misal dengan menilai ukuran lien, asites, dan kolateral vaskular.1
Endoskopi
Gastroskopi dilakukan untuk memeriksa adanya varises esofagus dan
gaster pada penderita sirosis. Selain untuk diagnostik, juga dapat dilakukan untuk
pencegahan serta terapi perdarahan varises.1

Baku emas untuk diagnosis sirosis hati adalah biopsi hati melalui perkutan,
transjugular, laparoskopi, atau dengan biopri jarum halus. Pemeriksaan biopsi
tidak perlu dilakukan jika secara klinis, pemeriksaan laboratorium, dan radiologi
menunjukkan kecenderungan terhapdap sirosis.

2.2.10 Tatalaksana
Penanganan sirosis hati secara klinis fungsional dibagi atas :
1. Sirosis hati kompensata

29
2. Sirosis hati dekompensata, disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular
dan hipertensi portal.1

Penanganan SH kompensata bertujuan untuk mencegah perkembangan


menjadi sirosis dekompensata dan mengatasi kausa spesifik.
1. Terapi medikamentosa
Terapi sesuai etiologi
- HBV kronis bisa diberikan preparat interferon injeksi ataupun oral
dengan preparat analok nukleosida jangka panjang. SH akibat HCV
kronis dapat diberikan interferon.1
- Penyakit hati alkoholik : berhenti minum alkohol, asupan nutrisi yang
baik dan evaluasi medis untuk mengatasi komplikasi yang dapat terjadi.
Glukokortikoid kadang dipakai pada pasien dengan hepatitis alkoholik
berat tanpa disertai infeksi. Terapi lain yang digunakan pentoxifylline
oral yang menekan produksi TNF-a dan sitokin proinflamasi lainnya.6
Bila perlu terapi defisiensi besi. dapat diberikan tambahan Zink sulfat 2x200
mg per oral untuk memperbaiki nafsu makan dan keram otot
Bila perlu dapat diberikan antipruritus: kolestiramin, antihistamin, dan agen
topikal
Suplemen vitamin D pada pasien resiko osteoporosis

2. Terapi non-medikamentosa:
Diet seimbang 35-40 kkal/KgBB ideal dengan protein 1,2-1,5gr/KgBB
Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivasi dari atrofi otot, sesuaikan dengan
toleransi pasien
Stop konsumsi alkohol dan merokok
Pembatasan obat-obatan hepatotoksik dan nefrotoksik
Surveilans komplikasi sirosis hepatis:
- Monitor kadar albumin, bilirubin, INR, serta penilaian fungsi
kardiovaskular dan ginjal
- Deteksi varises dengan esofago-gastroduodenoskopi (EGD)
- Deteksi retensi cairan dan pemantauan fungsi ginjal

30
- Deteksi ensefalopati
- Deteksi karsinoma hepatoselular
- Vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B bila perlu
Pada sirosis dekompensata, tatalaksana bertujuan untuk mengatasi
kegawatdaruratan dan mengembalikan ke kondisi kompensata.1

Tabel 2.4 Penanganan komplikasi sirosis

Komplikasi Terapi
Asites - Tirah baring
- Diet rendah garam
- Obat anti diuretik; diawali
spironolakton, bila tidak adekuat
dikombinasi furosemid
- Parasintesis jika asites sangat
besar; 4-6 liter & disertai
pemberian albumin
- Resetriksi cairan
Varises esofagus - Propanolol
- Isosorbid dinitrat
- Saat perdarahan akut -->
somatostatin atau okreotid
diteruskan skleroterapi atau ligasi
endoskopi
Ensefalopati hepatikum Laktulosa
Neomisin
Peritonitis bakterial spontan Pasien asites dengan jumlah sel
PMN>250mm3 mendapat profilaksis
untuk mencegah PBS dengan sefotaksim
dan albumin
Albumin
Norfloksasin
Trimetoprin/sulfametoksazol
Sindrom hepatorenal Transjugular intrahepatic portosystemic shunt
(TIPS) efektif menurunkan hipertensi portal
dan SHR, serta menurunkan perdarahan
gastrointestinal. Bila terapi medis gagal,
dipertimbangkan untuk dilakukan
transplantasi hati.

Transplantasi hati diindikasikan pada sirosis dekompensata atau karsinoma


hepatoselular pada sirosis hati.1

31
2.2.11 Prognosis
Perjalanan sirosis hati bergantung pada etiologi penyakit dan
penanganannya. Beberapa sistem skoring dapat digunakan untuk menilai
keparahan sirosis dan menentukan prognosisnya. Sistem skoring ini antara lain
Child-Turcotte-Pugh (CTP) untuk menilai prognosis pasien dan Model end liver
disease (MELD) untuk evaluasi pasien dengan rencana transplantasi hati.1

Tabel 2.5 Kriteria Child-Turcotte-Pugh untuk menentukan prognosis


Skor / parameter 1 2 3
Bilirubin (mg%) <2,0 2-<3 > 3,0
Albumin (gr%) >3, 5 2,8 - < 3,5 <2,8
Waktu protrombin < 4 detik 40 - 6 detik > 6 detik
Asites 0 Minimal sedang Banyak
Hepatic enchephalopathy Tidak ada Std 1 dan II Std III dan IV
Keterangan : CTP A : 5-6 (prognosis baik)
CTP B : 7-9 (prognosis sedang)
CTP C : 10-15 (prognosis buruk)

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiawati S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing, 2014.
2. Tortora, J Gerard. Principles of Anatomy and Physiology. 14th edition.
USA: John Wiley and Sons. Inc. 2014.
3. Sherwood L. Harper - Illustrated Biochemistry, 28ed. Jakarta: EGC, 2011
4. Kumar V, Abbas AK, et al. Robbins and Cotran Pathologic Basis of
Disease 9th Edition. Philadelphia: Elsevier. 2014
5. Kasper DL, Hauser SL, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine
19th edition. 2011, McGraw-Hill education
6. Longo DL, Fauci As, et al. Harrisons Gastroenterology and Hepatology.
USA: McGraw-Hill, 2013
7. Orman ES, Odena G, et al. Alcoholic liver disease: Pathogenesis,
management, and novel targets for therapy. Journal of Gastroenterology
and Hepatology 2013; 28 (Suppl. 1): 778
8. Stickel F, Dastz G, et al. Pathophysiology and Management of Alcoholic
Liver Disease: Update 2016. Gut and Liver, Vol. 11, No. 2, March 2017
9. Grossman S, Porth CM, et al. Porth's Pathophysiology 9th. Lippincot
William & Wilkins, 2014
10. Murray RK, Bender DA, et al. Harper 'sIllustrated Biochemistry, 28th
edition. McGraw-Hill, 2013
11. Netiana, Juniati SH. Varises Esosfagus. Departemen Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher FK Universitas
Airlangga

33

You might also like