Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
dr. Radhiyana Putri
Pendamping:
dr. Dedi Handoko
BALIKPAPAN
April 2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
MINI PROJECT
Laporan Mini Project ini diajukan dalam rangka memenuhi tugas internsip di
Puskemas
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya berkat
limpahan nikmat, rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan
mini proyek yang berjudul Pengaruh Senam Vitalisasi Otak (SVO) terhadap Fungsi
Kognitif Orangtua Lanjut Usia (Lansia) Di Wilayah Kerja Puskesmas Kariangau.
Peneliti menyadari bahwa keberhasilan penelitian ini tidak terlepas dari
bantuan, dukungan, doa dan kerjasama yang baik berbagai pihak. Maka pada
kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
kepada :
1. Pak Yogik Wahyudianto, SSI. Apt, selaku Kepala Puskesmas Kariangau.
2. dr. Dedi Handoko, selaku dokter pendamping peneliti selama menjalankan
PIDI di Balikpapan khususnya saat rotasi di Puskesmas Kariangau yang telah
banyak memberikan semangat dan dukungan untuk terus giat belajar dan
menyelesaikan PIDI tepat waktu.
3. dr. Seprian Widasmara, selaku dokter di Puskesmas Kariangau yang telah
bersedia memberikan saran dan kritik, serta bimbingan selama selama peneliti
menjalankan PIDI.
4. dr. Nur Ayu Hasanah, selaku dokter di Puskesmas Kariangau yang telah
membimbing dan memotivasi selama peneliti menjalankan PIDI.
5. Rekan-rekan seperjuangan peserta PIDI Balikpapan khususnya Chenko
Rayndi, Silvester Anggi P.P, Novita Nurlita, Desy Nur Fatma Sari, Cempaka
dan Desire Bibiana P. terima kasih untuk dukungan dan bantuannya selama
menjalankan PIDI di Puskesmas Kariangau.
6. Seluruh staf Puskesmas Kariangau dan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu peneliti dalam
menyelesaikan mini proyek ini.
Semoga seluruh pihak yang telah disebutkan mendapatkan balasan pahala,
keberkahan, rahmat, kebaikan dan kesehatan dari Allah SWT.
Akhir kata, peneliti menyadari bahwa mini proyek ini masih terdapat banyak
keterbatasan. Oleh karena itu, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca. Semoga mini proyek ini dapat bermanfaat bagi
iii
pengembangan ilmu pengetahuan dan menjadi berkah bagi peneliti maupun
pembacanya.
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya. [QS. Al-Israa: 36]
Peneliti
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL........................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Pernyataan Masalah ....................................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................................ 3
1.4 Manfaat .......................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4
2.1 Profil Puskesmas Kariangau .......................................................................... 4
2.2 Lansia........................................................................................................... 12
2.3 Fungsi Kognitif ............................................................................................ 18
2.4 Senam Vitalisasi Otak (SVO) ...................................................................... 29
BAB III METOODE PENELITIAN ......................................................................... 45
3.1 Desain Penelitian ......................................................................................... 45
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................... 45
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................... 46
3.4 Bahan dan Instrumen Penelitian .................................................................. 46
3.5 Tahap Tahap Penelitian ............................................................................ 46
3.6 Definisi Operasional .................................................................................... 47
3.7 Alur Kegiatan Penelitian ............................................................................. 48
3.8. Teknik Analisa data ..................................................................................... 48
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN .............................................49
4.1 Karakteristik Responden di wilayah Puskesmas Pembantu Wilayah Kerja
Puskesmas Kariangau.................................................................................. 49
4.2 Gambaran Fungsi Kognitif Responden berdasarkan hasil MMSE dan Mini
cog-CDT di wilayah Puskesmas Pembantu Wilayah Kerja Puskesmas
Kariangau..................................................................................................... 50
4.3 Gambaran Fungsi Kognitif berdasarkan Usia, Jenis Kelamin, Pendidikan,
dan Riwayat penyakit Degeneratif ...............................................................52
4.4 Pengaruh Senam Vitalisasi Otak (SVO) terhadap Fungsi Kognitif lansia di
Wilayah Puskesmas Pembantu Wilayah Kerja Puskesmas Kariangau ........54
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................56
5.1 Kesimpulan.................................................................................................. 56
5.2 Saran............................................................................................................ 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 57
LAMPIRAN 1............................................................................................................ 59
LAMPIRAN 2............................................................................................................ 60
LAMPIRAN 3............................................................................................................ 62
LAMPIRAN 4............................................................................................................ 64
LAMPIRAN 5............................................................................................................
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
sekitar 13 orang lansia. Angka kejadian gangguan fungsi kognitif pada lansia dapat
diturunkan dengan pelaksanaan senam vitalisasi otak (SVO) pada lansia.3,4
Senam vitalisasi otak adalah salah satu olahraga yang disusun berdasarkan memori
gerak (kinestik), yang gerakannya berasal dari berbagai gerakan tarian di Indonesia
yang melibatkan berbagai proses imajinasi, pendengaran, sensorik, emosional dalam
satu gerakan. Gerakan-gerakan yang dilakukan dalam senam vitalisasi otak ini akan
merangsang kerja sama belahan otak dan antar bagian-bagian otak lainnya. Hal ini
akan memelihara berbagai fungsi otak agar dapat bekerja sesuai dengan fungsi dan
kebutuhannya dengan memberi suplai oksigen dan darah secara optimal khusunya ke
otak. Senam vitalisasi otak yang dilaksanakan para lansia akan meningkatkan fungsi
kognitif pada lansia sehingga angka kejadian terjadinya gangguan fungsi kognitif
dapat menurun. Dengan demikian dapat tercapai lansia sehat, mandiri, aktif,
produktif, dan berdaya guna bagi keluarga dan masyarakat, sesuai dengan tujuan
umum kebijakan pelayanan kesehatan berdasarkan UU no. 33 Tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia.2,5
Puskesmas Kariangau rutin melaksanakan kegiatan senam vitalisasi otak
setiap 2 kali dalam 1 bulan yang dilaksanakan di Balai desa. Lansia yang mengikuti
kegiatan tersebut merupakan lansia yang bertempat tinggal di sekitar puskesmas.
Namun kegiatan senam vitalisasi otak jarang dilakukan oleh puskesmas pembantu
(pusban) Kelurahan Kariangau. Hal ini mengakibatkan lansia yang bertempat tinggal
di sekitar pusban juga jarang melakukan senam vitalisasi otak. Oleh sebab itu,
peneliti ingin mengadakan senam vitalisasi otak pada pusban Kelurahan Kariangau
demi meningkatkan tingkat kesehatan lansia di wilayah tersebut salah satunya fungsi
kognitif dari lansia tersebut.5
2
1.3 Tujuan
o Tujuan umum
Membantu memperbaiki gangguan fungsi kognitif yang dialami lansia
di wilayah kerja Puskesmas Kariangau Balikpapan
Menurunkan kejadian gangguan fungsi kognitif pada lansia di wilayah
kerja Puskesmas Kariangau Balikpapan
o Tujuan Khusus
Menambah wawasan terkait senam vitalisasi otak pada lansia di
wilayah kerja Puskesmas Kariangau.
Melaksanakan senam vitalisasi otak secara rutin pada lansia di wilayah
kerja Puskesmas Kariangau
Mengetahui masalah-masalah kesehatan yang terdapat pada lansia di
wilayah kerja Puskesmas Kariangau terutama yang berhubungan
dengan fungsi kognitif lansia
1.4 Manfaat
o Manfaat bagi penulis
Mendapatkan pengalaman tentang senam vitalisasi otak dan dapat melakukan
senam vitalisasi otak bagi lansia di wilayah kerja Puskesmas Kariangau
o Manfaat bagi puskesmas
Sebagai bentuk implementasi promosi kesehatan dari program lansia
puskesmas dan tmeningkatkan kesehatan lansia di wilayah kerja PKM
Kariangau
o Manfaat bagi masyarakat
Peningkatan pengetahuan tentang senam vitalisasi otak dan kesehatan lansia
di wilayah Kariangau, sehingga diharapkan menurunkan angka kejadian
gangguan fungsi kognitif dan penyakit lainnya pada lansia
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Letak Geografi
Puskesmas Kariangau mempunyai luas wilayah kerja seluas 170.150 km2.
Adapun batas-batas wilayah kerja puskesmas Kariangau adalah :
- Sebelah Utara : Kelurahan Mentawir (Kab. PPU)
- Sebelah Selatan : Kelurahan Baru Ulu
- Sebelah Barat : Kelurahan Jenebora (Kab. PPU)
- Sebelah Timur : Kelurahan Batu Ampar / Kelurahan Karang Joang
( Peta wilayah kerja dapat dilihat pada gambar 1 )
4
Gambar 2.1 Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kariangau
5
2. Sarana dan Prasarana Wilayah Kerja
6
2. Peran Serta Masyarakat
7
c. Askes/BPJS 1513
d. Astek 0
e. Lain-lain 0
6 Jumlah pabrik 37
Jumlah pabrik dengan poliklinik 2
7 Dasa Wisma
a. Aktif 30
b. Tidak Aktif 55
c. Jumlah kader Aktif 70
d. Jumlah kader tidak Aktif 185
8 Pos Obat Desa (POD)
a. Pratama 1
b. Madya 0
c. Purnama 0
d. Mandiri 0
9 Pos Pesantren
a. Pratama 0
b. Madya 1
c. Purnama 0
d. Mandiri 0
Tabel 2.4 Luas Wilayah, Jumlah RT, Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga
Jumlah
Luas Rumah Rata-rata Kepadatan
Jumlah Jumlah
Kelurahan Wilayah Tangga Jiwa/Rumah Penduduk
Kelurahan Penduduk
(km2) (K Tangga /km2
K)
1 2 3 4 5 6 7
0,03
Kariangau 170.146 1 4.336 1.360 3,19 Jiwa/ KK
Jiwa/Km2
Sumber : Kantor Kelurahan Kariangau Tahun 2014
8
Tabel 2.5 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Rasio Beban
Tanggungan, Rasio Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk
Rasio Beban Rasio Jenis
Juml
Tangg Kela
Jumlah Kelompok Umur a
ungan min
R Jenis Kelamin h
T < 15 45
L P 1-4 5 14 4 6 65
1 4 4
3
12 2.312 2.024 297 866 2115 663 359 4336 57 114,23
6
Tabel 2.6 Persentase Penduduk Berusia 10 Tahun ke Atas Dirinci Menurut Tingkat Pendidikan
Tertinggi Yang Ditamatkan
Laki - laki & Perempuan
Tidak/
D.I/D.II/
Belu
SLTP/ D.III/
m Tdk/Belum SD/ SLTA/
Puskesmas Kelurahan M D.IV/
Per Tamat M M
T S.I/
nah SD/MI I A
S S.II/S.
Sek
III
olah
9
Tabel 2.8 Data Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No Pekerjaan Kariangau
1 Pegawai Negeri 31
2 TNI / POLRI 6
3 Swasta 228
4 Wiraswasta/Pedagang 82
5 Tani/ternak 143
6 Pertukangan 6
7 Buruh Tani 25
8 Pensiunan 12
9 Nelayan 46
10 Pemulung 0
11 Jasa / dll 1.119
Jumlah 1.698
Sumber : Kantor Kelurahan Kariangau Tahun 2014
4. Data Sekolah
Tabel 2.9 Data Sekolah
No Jenis Sekolah Jumlah
1 Taman Kanak-kanak / KB 3
2 Sekolah Dasar/ MI 3
3 SLTP/ Sederajat 2
4 SLTA/ Sederajat 0
5 Perguruan Tinggi 0
6 Lembaga Pendidikan Agama 1
7 Tempat Penitipan Anak 0
Total 9
Sumber : Kantor Kelurahan Kariangau Tahun 2014
10
5. Data Kesehatan Lingkungan
11
2.2.1 Definisi lansia
Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menyatakan
bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada tiga aspek yang perlu
dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial.2 Secara
biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan
secara terus menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu
semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian.
Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta
sistem organ. Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban
dari pada sebagai sumber daya. Aspek sosial penduduk lanjut usia merupakan satu
kelompok sosial sendiri. 6
2.2.2 Klasifikasi Lansia
WHO (1989) menetapkan batasan usia lanjut menjadi 1 :
1. Kelompok usia 45-59 tahun sebagai usia pertengahan ( middle/young elderly )
2. Orang dengan usia 60-74 tahun disebut lansia (ederly)
3. Umur 75-90 tahun disebut tua (old)
4. Umur di atas 90 tahun disebut sangat tua (very old).
Menurut pasal 1 ayat 2,3,4 UU no. 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan
bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.2
Ahli Gerontology membagi usia tua menjadi 2 kelompok yakni 7:
1. Usia tua yang muda (young old) berusia 65-74 tahun.
2. Usia tua yang tua (old-old) berusia 75 tahun dan lebih.
2.2.3` Perubahan pada Proses menua
Semua organ pada proses menua akan mengalami perubahan strktural dan
fisiologis, begitu pula organ otak. Selama manusia hidup, akan terjadi suatu
perubahan fungsi dan struktur sel tubuh manusia. maturitas akan terjadi pada sekitar
usia 20 atau 25 tahun. pertumbuhan akan berhenti, dan proses penuaan akan mulai
nampak usia 30 tahun.8,9 Proses penuaan ditandai oleh menurunnya kemampuan
tubuh untuk beradaptasi atau pulih dari suatu rangsangan. Begitu pula orang tua akan
berkurang kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan fisik. Penuaan dapat terjadi
12
secara fisiologis dan patologis. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis
(fisiological aging), maka mereka tua dalam keadaan sehat (healthy aging).10
Penuaan dibagi menjadi 2, yaitu (1) penuaan sesuai kronologis usia (penuaan
primer) yang dipengaruhi oleh faktor endogen, dimana perubahan dimulai dari sel,
jaringan, organ dan sistem pada tubuh, (2) penuaan sekunder yang dipengaruhi oleh
faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya/gaya hidup dan lingkungan. Faktor
eksogen dapat juga mempengaruhi faktor endogen, sehingga dikenal faktor risiko.
Faktor risiko tersebut yang menyebabkan penuaan patologis (pathological aging).10
Healthy aging akan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu endogenic dan exogenic
factor.12 Endogenic factor yang dimulai dengan cellular aging, melalui jaringan dan
anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh. Sedangkan Exogenic factor,
yang dapat dibagi faktor lingkungan (environment) dan faktor sosiobudaya atau gaya
hidup ( life style ).10
Healthy aging (menua sehat) dapat dilakukan dengan 4P yaitu peningkatan
mutu (promotion), pencegahan penyakit (prevention), pengobatan penyakit
(curative), dan pemulihan (rehabilitation), sehingga keadaan patologik pun dicoba
untuk disembuhkan karena proses patologik akan mempercepat terjadinya proses
penuaan, endogenic dan exogenic factors ini seringkali sulit untuk dipisah-pisahkan
karena saling mempengaruhi dengan erat maka bila faktor-faktor tersebut tidak dapat
dicegah terjadinya maka orang tersebut akan lebih cepat meninggal.10,11
Faktor risiko dan penyakit degeneratif seringkali bersamaan sehingga
memungkinkan terjadinya banyak penyakit pada satu penderita (multi patologi) maka
faktor risiko tadi haruslah dicegah dan dikendalikan. Adapun faktor endogen
(internal) dan eksogen (eksternal) tersebut adalah11,12 :
1. Faktor internal
Pengaruh faktor-faktor internal seperti terjadinya penurunan anatomik,
fisiologik dan perubahan psikososial pada proses menua yang makin besar,
penurunan ini akan menyebabkan lebih mudah timbulnya penyakit . Penurunan
anatomik dan fisiologik meliputi sistem otak dan syaraf otak, sistem kardiovaskuler,
sistem pernapasan, sistem metabolisme, sistem ekskresi dan sistem muskuloskeletal
serta penyakit-penyakit degeneratif, Proses menua tidak dengan sendirinya
menyebabkan terjadinya demensia. Penuaan menyebabkan terjadinya perubahan
13
anatomi dan biokimiawi disusunan saraf pusat. Penurunan anatomik dan fisiologik
dapat meliputi:
A. Sistem saraf pusat (otak) dan saraf otak
Berat otak akan menurun sebanyak sekitar 10%-12% selama hidup,
perbandingan substansi kelabu : substansi putih pada umur 20 = 1,28 : 1, pada umur
50 = 1,13 : 1 dan pada umur 100 = 1,55:1.13 Disamping itu meningen menebal, girus
dan sulcus otak berkurang kedalamannya, kelainan ini tidak menyebabkan gangguan
patologi yang berarti. Pada pembuluh darah terjadi penebalan intima akibat proses
aterosklerosis dan tunika media berakibat terjadi gangguan vaskularisasi otak yang
dapat menyebabkan stroke dan demensia vaskuler sedangkan pada daerah
hipotalamus menyebabkan terjadinya gangguan saraf otak akibat pengaruh
berkurangnya berbagai neurotransmitter.13
Penurunan aliran darah pada umur 17-18 = 79,3 cc/menit/100gr jaringan otak,
umur 57-99 = 47,7cc/100gr jaringan otak.13 Pada beberapa penderita tua terjadi
penurunan daya ingat dan gangguan psikomotor yang masih wajar, disebut sebagai
sifat pelupa benigna akibat penuaan keadaan ini tidak menyebabkan gangguan pada
aktifitas hidup sehari-hari, biasanya dikenali oleh keluarga atau teman karena sering
mengulang pertanyaan yang sama atau lupa kejadian yang baru terjadi. 13
B. Sistem kardiovaskuler
Dinding ventrikel kiri sampai usia 80 tahun menjadi 25% lebih tebal dari usia
30 tahun, cardiac output (COP) turun 40% atau kira-kira kurang dari 1% per tahun,
denyut jantung maksimal pada dewasa muda 195x/menit, pada 65 tahun 170x/menit,
tekanan darah rata-rata umur 20-24 tahun pada wanita 116/70 dan pada pria 122/76
dan pada umur 60-64 tahun wanita 142/85 dan pria 140/85.14 Walaupun tanpa adanya
penyakit pada usia lanjut jantung sudah menunjukkan penurunan kekuatan kontraksi,
kecepatan kontraksi dan isi sekuncup. Terjadi pula penurunan yang signifikan dari
cadangan jantung dan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan curah jantung.13
C. Sistem pernapasan/sistem respirasi
Sistem respirasi sudah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20-25
tahun, setelah itu mulai menurun fungsinya, elastisitas paru menurun, kekakuan
dinding dada meningkat, kekuatan otot dada menurun. Semua ini berakibat
14
menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru yang tak bebas dan pelebaran
gradient alveolar arteri untuk oksigen, disamping itu ada penurunan gerak silia di
dinding sistem pernapasan, penurunan reflek batuk yang dapat menyebabkan
terjadinya infeksi akut pada saluran pernapasan.13
Menurut Tilarso (1988), volume residual akan meningkat pada dekade ke 3
sampai dengan 9, kapasitas vital turun 17-22 cc/tahun, pemakaian oksigen maksimal
pada keadaan stress turun 50% pada usia 80 tahun.8
D. Sistem metabolisme
Pada sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa dengan kadar
glukosa darah puasa yang normal, frekuensi hipertiroid tinggi pada usia lanjut (25%)
sekitar 75% nya mempunyai gejala/tanda klasik. Hipotiroid merupakan penyakit
yang terutama terjadi antara usia 50-70 tahun dengan gejala yang tidak mencolok
sehingga sering tidak terdiagnosis.14
E. Sistem ekskresi
Berat ginjal pada usia 60 tahun 250 gr, umur 70 tahun 230 gr, umur 80 tahun
190 gr. Sedangkan jumlah glomeruli per ginjal pada kelahiran sampai 40 tahun
500.000 1.000.000, pada dekade 7 kurang dari 1/3-1/2.13 Pada usia lanjut ginjal
mengalami perubahan yaitu terjadi penebalan kapsula Bowman dan gangguan
permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi, nefron secara keseluruhan mengalami
penurunan dan mulai terlihat atropi, aliran darah di ginjal pada usia 75 tahun tinggal
sekitar 50% dibanding usia muda tetapi fungsi ginjal dalam keadaan istirahat tidak
terlihat menurun, barulah apabila terjadi stress fisik ginjal tidak dapat mengatasi
peningkatan kebutuhan tersebut dan mudah terjadi gagal ginjal.14
F. Sistem muskuloskeletal
Menurut Tilarso (1988), jumlah sel-sel lurik akan turun 50% pada usia 80
tahun, berat otot lurik pada 21 tahun 45% dari berat badan dan pada 70 tahun 27%
dari berat badan sedangkan pada tulang kecepatan kehilangan massa tulang/decade
pria 3% dan wanita 8%, rata-rata kehilangan tinggi pada umur 65-74 1,5 inch (3,7
cm), umur 85-94 3 inch (7,5 cm).8
15
Otot-otot mengalami atrofi disamping sebagai akibat berkurangnya aktifitas
juga akibat gangguan metabolik atau denervasi saraf, hal ini dapat diatasi dengan
memperbaiki pola hidup (olahraga atau aktifitas yang terprogram). Dengan
bertambahnya usia, proses perusakan dan pembentukan tulang melambat terutama
pembentukkannya hal ini akibat menurunnya aktifitas tubuh juga akibat menurunnya
hormon estrogen pada wanita, vitamin D dan beberapa hormon lainnya (parahormon
dan kalsitonin), trabekula tulang menjadi lebih berongga berakibat sering mudah
patah tulang akibat benturan ringan atau spontan.14
16
agar lansia bersangkutan dapat berinteraksi dengan sesama lansia maupun dengan
petugas kesehatan. Semakin berkurangnya kegiatan sosial maka semakin tidak
berkembang dan kecil kesempatan lansia untuk mengaktualisasikan diri.15
Frekuensi kontak sosial dan tingginya integrasi sosial dan keterikatan sosial
dapat mengurangi atau memperberat efek stress pada hipotalamus dan sistim saraf
pusat. Hubungan sosial ini dapat mengurangi kerusakan otak dan efek penuaan.15
Makin banyaknya jumlah jaringan sosial pada usia 25 lanjut mempunyai hubungan
dengan fungsi kognitif atau mengurangi rata-rata penurunan kognitif 39%.16
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh pada percepatan proses menua antara lain
gaya hidup/life style, faktor lingkungan dan pekerjaan. Budaya gaya hidup yang
mempercepat proses penuaan adalah jarang beraktifitas fisik, perokok, kurang tidur
dan nutrisi yang tidak teratur. Hal tersebut dapat diatasi dengan strategi pencegahan
yang diterapkan secara individual pada usia lanjut yaitu dengan menghentikan
merokok. Penelitian yang dilakukan oleh Harrington et al (2000) menemukan bahwa
ada hubungan hipertensi dengan penurunan fungsi kognitif selama 4 tahun follow up,
karena hipertensi dengan banyaknya infark kecil diotak seperti pencetus timbulnya
dimensia. Faktor lingkungan, dimana lansia manjalani kehidupannya merupakan
faktor yang secara langsung dapat berpengaruh pada proses menua karena penurunan
kemampuan sel, faktor-faktor ini antara lain zat-zat radikal bebas seperti asap
kendaraan, asap rokok meningkatkan risiko penuaan dini, sinar ultraviolet
mengakibatkan perubahan pigmen dan kolagen sehingga kulit tampak lebih tua.9
Pengaruh dari zat-zat pengawet makanan, zat-zat ini sifatnya
beracun/karsinogenik yang dalam jangka waktu tertentu dapat memperpendek usia
walaupun ada penangkalnya seperti enzim katalase, vitamin C,A,E, namun demikian
radikal bebas ini tetap lolos dan sangat reaktif serta cepat bereaksi terhadap protein,
DNA, dan lemak tak jenuh menyebabkan kanker, semakin usia lanjut radikal bebas
semakin terbentuk yang mempercepat proses menua. Radikal bebas diartikan sebagai
molekul yang relatif tidak stabil mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak
berpasangan diorbit luarnya, molekul ini sangat reaktif mencari pasangan
elektronnya, jika terbentuk dalam tubuh maka akan terjadi reaksi berantai yang
17
menghasilkan radikal bebas baru dan terus bertambah. dengan semakin banyaknya
sel-sel yang rusak yang pada akhirnya sel tersebut mati, adanya radikal bebas sel-sel
tidak dapat regenerasi.Reaksi antara radikal bebas dan molekul itu berujung pada
timbulnya suat penyakit-penyakit degeneratif seperti kardiovaskuler parkinson,
alzheimer dan penuaan.9,14
Faktor pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja
keras/over working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat
mempengaruhi fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus-menerus melatih
kapasitas otak dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan
mencegah demensia.14
18
2.3.2 Fisiologi Fungsi kognitif
Fungsi kognitif terdiri dari 13,17:
1. Atensi, konsentrasi
Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu
stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal
maupun eksternal yang tidak perlu atau tidak dibutuhkan.17
Fungsi kognitif yang baik didukung oleh atensi atau konsentrasi yang baik.
Atensi dan konsentrasi yang terganggu akan mempunyai dampak terhadap fungsi
kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Sistem aktivasi retikuler
sangat berperan penting dalam fungsi atensi, demikian juga thalamus sebagai pusat
modulasi kortikal. Penurunan fungsi atensi sesuai proses menua normal dimulai usia
20 tahun berlanjut sampai usia tua. Atensi merupakan kemampuan yang kompleks
termasuk kewaspadaan, konsentrasi, dan bebas distraksi. Atensi merujuk pada
mempertahankan menjalani perintah, fokus dan aktivitas mental yang dapat beralih
bila dibutuhkan.19
Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama
ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak
atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi
tubuh kontralateral lesi otak.19
2. Memori
Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat
dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui system limbik untuk
terjadinya pembelajaran baru.19
Pengetahuan dasar individual dapat sangat baik terpelihara sepanjang usia,
tetapi pemasukan informasi baru dapat menurun. Kemampuan memori pada usia 75
tahun menurun 25% dibandingkan usia 20 tahun.18
Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan
remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall .19
a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam
interval waktu beberapa detik.
b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari
(misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau
19
kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi
tersebut dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.
c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun-tahun
yang lalu (misalya tanggal lahir, sejarah, nama teman)
Gangguan utama fungsi ini pada proses menua berhubungan dengan
pemindahan informasi dari penyimpanan sementara ke tempat penyimpanan
permanen di otak, hal ini berkaitan dengan memori baru. Memori lama biasanya
relative baik atau sedikit menurun. Hasil penelitian fungsi memori menurun pada
proses recall, sedangkan recognition tetap baik. Pemeriksaan memori meliputi
memori baru (verbal/auditorik dan non-verbal/visual), memori tertunda (recall
memory), dan mengenali sesuatu serta memori lama (remote memory).19
3. Bahasa
Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang
membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus
dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa,
pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami
kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.19
Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4 parameter, yaitu
kelancaran, pemahaman, pengulangan dan naming 18,19 :
a. Kelancaran
Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan kalimat dengan
panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu metode yang dapat membantu menilai
kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis atau berbicara secara
spontan.
b. Pemahaman
Pemahaman merujuk pada kemampuan untuk memahami suatu perkataan atau
perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang untuk melakukan perintah
tersebut.
c. Pengulangan
Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang
diucapkan seseorang.
20
d. Naming
Naming merujuk pada kemampuan seseorang untuk menamai suatu objek
beserta bagian-bagiannya.
Bahasa mengacu pada komunikasi simbolis. Fungsi ini relatif baik pada
proses menua. Faktor sensoris seperti pendengaran yang berkurang juga dapat
menyebabkan gangguan kelancaran berbahasa.17
4. Visuospasial
Merupakan kemampuan persepsi ruang yaitu mengamati lingkungan sekitar
dan juga mengamati dirinya sendiri. Bila mengalami gangguan fungsi ini terjadi
kesulitan untuk menggambar atau melukis atau memahat dan sebagainya.19
Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan kontruksional
seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus)
dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini
tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling
dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan
visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal
dan parietal19.
Pasien diminta untuk menggambar jam berbentuk lingkaran kemudian dengan
angkanya yang lengkap, jika gambar jam digambar terlalu kecil sehingga angka-
angkanya tidak muat, hal ini mencermikan gangguan pada perencanaan. Jika terdapat
neglek unilateral pasien menempatkan angka hanya pada satu sisi. Selanjutnya pasien
diminta untuk menggambar jarum pada pukul 11:10. Pasien dengan gangguan fungsi
eksekutif akan menunjuk jarum pada angka 10 dan 1119.
5. Fungsi eksekutif
Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan
kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus
frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait
dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Diperlukan atensi,
bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif
18
.
21
Fungsi eksekutif dimediasi oleh korteks prefrontal dorsolateral dan struktur
kortikal serta subkortikal yang berhubungan dengan daerah tersebut. Kerusakan pada
korteks prefrontal dorsolateral dapat menimbulkan sindrom neurobehavioral dengan
gejala gejala seperti berkurangnya aktivitas motorik kompleks , proses berfikir
yang tidak konkrit, gagal mengenal konsep konsep, kurang fleksibilitas, serta
terjadi perilaku motorik yang stereotipik 19.
Istilah penurunan kognitif sebenarnya menggambarkan perubahan kognitif
yang berkelanjutan. Beberapa dianggap masih dalam spektrum penuaan normal,
sementara yang lainnya dimasukkan dalam ketegori gangguan ringan. Untuk
menentukan gangguan fungsi kognitif, biasanya dilakukan penilaian terhadap satu
domain atau lebih seperti memori, orientasi, bahasa, fungsi eksekutif dan praksis.
Temuan dari berbagai peneltian klinis dan epidemiologis menunjukkan bahwa faktor
biologis, perilaku, sosial dan lingkungan dapat berkontribusi terhadap esiko
penurunan fungsi kognitif 17,18.
22
Tingkat pendidikan yang rendah berhubungan dengan penurunan fungsi
kognitif yang dapat terjadi lebih cepat dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang
tinggi. Diduga ada beberapa mekanisme yang mendasari proses ini yaitu17:
a. Hipotesis brain reverse, teori ini mengatakan bahwasannya tingkat pendidikan
dan penurunan fungsi kognitif karena usia saling berhubungan karena
keduanya didasarkan pada potensi kognitif yang didapat sejak lahir.
b. Teori use it or lose it, teori mengatakan stimulus mental selama dewasa
merupakan proteksi dalam melawan penurunan fungsi kognitif yang
prematur. Pendidikan pada awal kehidupan mempunyai pengaruh pada
kehidupan selanjutnya jika seseorang tersebut terus melanjutkan pendidikan
untuk menstimulasi mental yang diduga bermanfaat untuk neurokimia dan
pengaruh struktur otak.
Satu teori menjelaskan tentang synaptic reserve hypothesis, dimana orang
yang berpendidikan tinggi mempunyai lebih banyak synaps di otak dibanding orang
yang berpendidikan rendah. Ketika synap tersebut rusak karena ada proses penyakit
Alzheimer maka synap yang lain akan menggantikan tempat yang rusak tadi. Teori
ini berhubungan dengan cognitive reserve hypothesis dimana orang yang beredukasi
memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi
dengan baik terhadap hilangnya suatu kemampuan dengan menggunakan strategi
alternative pada tes yang didapati selama pelatihan selama pendidikan, dengan
demikian dapat diasumsikan orang yang berpendidikan tinggi menurun fleksibilitas
ini dalam test-taking strategy 19.
Suatu studi yang dilakukan oleh Bennett et al, (2003) untuk mengetahui
hubungan antara tingkat edukasi formal dan patologi Alzheimer Diseases. Ternyata
dijumpai adanya bukti yang kuat antara senile plaque dan level fungsi kognitif yang
berbeda berdasarkan tingkat edukasi formal.
Studi yang dilakukan oleh Seeman et al (2005) menyimpulkan bahwasannya
semakin tinggi pendidikan penderita Alzheimer maka semakin cepat penurunan
fungsi kognitif. Hipotesis cognitive reserve (CR) dapat menjelaskan hal ini.
Hipotesis ini menjelaskan bahwa ada perbedaan individu dalam kemampuan
mengatasi patologis penyakit Alzheimer. Substrat neural dari CR dapat mengambil
bentuk dari jumlah yang besar dari sinaps atau neuron yang sehat saat yang lainnya
23
dipengaruhi proses patologis Alzheimer. Sehingga penyakit Alzheimer pada tingkat
pendidikan tinggi baru bermanifestasi secara klinis setelah kelainan patologi otak
cukup parah (patologis di otak yang berpendidikan tinggi lebih berat dari yang
berpendidikan rendah saat penyakit Alzheimer terdeteksi). Dan pada saat patologis
otak sudah berat dan meluas, substrat neural yang mengkompensasi tersebut tidak
lagi tersedia dan penurunan fungsi kognitif yang cepat terjadi.
3. Pekerjaan
Pekerjaan dapat mempercepat proses menua yaitu pada pekerja keras/over
working, seperti pada buruh kasar/petani. Pekerjaan orang dapat mempengaruhi
fungsi kognitifnya, dimana pekerjaan yang terus-menerus melatih kapasitas otak
dapat membantu mencegah terjadinya penurunan fungsi kognitif dan mencegah
demensia 20.
4. Stroke
Baik stroke iskemik maupun hemoragik dapat mengakibatkan kerusakan
bahkan sampai kematian sel otak. Akibat dari keadaan tersebut dapat timbul suatu
kelainan klinis sebagai akibat dari kerusakan sel otak pada bagian tertentu tetapi juga
dapat berakibat terganggunya proses aktivitas mental atau fungsi kortikal luhur
termasuk fungsi kognitif 20.
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai gangguan kognitif dan
demensia pasca stroke, Zhu et al (1998) dalam penelitiannya mengatakan bahwa
stroke selain berhubungan dengan disability (ketidakmampuan) juga berhubungan
dengan perkembangan demensia. Tipe stroke silent merupakan faktor risiko penting
untuk terjadinya gangguan kognitif. Dari hasil penelitiannya dikatakan bahwa stroke
juga berhubungan dengan terjadinya gangguan kognitif tanpa adanya demensia.
Pasien stroke iskemik yang dirawat mempunyai risiko paling sedikit lima kali
untuk terjadinya demensia. Mekanisme yang mendasari hubungan tersebut ada
beberapa. Pertama stroke secara langsung atau sebagian penyebab utama demensia,
yang secara umum diklasifikasikan sebagai demensia multi infark atau demensia
vaskuler. Kedua adanya stroke memacu onset terjadinya demensia Alzheimers. lesi
vascular pada otak termasuk perubahan pada subtansi alba, lesi degenerasi
Alzheimers dan usia sendiri berpengaruh pada perkembangan dari demensia.
24
Pohjasvaara dkk (1998) mengatakan bahwa faktor risiko demensia yang
dihubungkan dengan stroke belum diketahui secara lengkap, berbagai faktor
gambaran stroke (dysphasia, sindrom stroke dominan), karakteristik penderita
(tingkat pendidikan) dan penyakit kardiovaskular yang mendahului berperan
terhadap risiko tersebut 20.
Pohjasvaara dkk (1998) dalam penelitian lainnya mengatakan bahwa
penurunan kognitif dan demensia sering terjadi pada pasien stroke iskemik, dan
frekuensinya meningkat dengan meningkatnya usia. Hasil penelitian Pohjasvaara
didapatkan penurunan fungsi kognitif yang terjadi 3 bulan pasca stroke adalah 56,7%
untuk paling sedikit satu kategori, 31,8% untuk penurunan dua atau tiga kategori, dan
penurunan lebih dari empat kategori ada 26,8% 20
5. Hipertensi
Mekanisme pasti terjadinya gangguan kognitif pada hipertensi belum
sepenuhnya dipahami. Suatu hipertensi menyebabkan percepatan terjadinya
arterosklerosis pada jaringan otak yang berimplikasi pada gangguan kognitif, yang
mana pada penelitian sebelumnya ditunjukan adanya hubungan bermakna antara
derajat retinopati hipertensi sebagai akibat hipertensi lama yang mana selain proses
terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah retina sendiri juga peristiwa
aterosklerosis. Kapiler dan arteriola jaringan otak akan mengalami penebalan dinding
oleh karena terjadi deposisi hyaline dan proliferasi tunika intima yang akan
menyebabkan penyempitan diameter lumen dan peningkatan resistensi pembuluh
darah. Hal tersebut memicu terjadinya gangguan perfusi serebral,memungkinkan
terjadinya iskemia berkelanjutan pada gangguan aliran pembuluh darah yang kecil
hingga timbul suatu infark lakuner. Hipertensi kronik dapat menyebabkan gangguan
fungsi sawar otak yang menyebabkan peningkatan permeabilitas sawar otak.hal ini
akan menyebabkan jaringan otak khususnya substansi alba menjadi lebih mudah
mengalami kerusakan akibat adanya stimulus dari luar 20.
Peningkatan tekanan darah sistolik mempengaruhi fungsi kognitif terutama
pada usia lanjut, dimana terjadinya gangguan mikrosirkulasi dan disfungsi endotel
juga berperan pada gangguan fungsi kognitif pada hipertensi 17.
6. Diabetes Mellitus
25
Diabetes mellitus adalah sebuah penyakit metabolik yang dapat mempunyai
efek yang sangat merusak pada banyak organ di dalam tubuh. Salah satu komplikasi
diabetes mellitus adalah disfungsi kognitif. Pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
dapat mengalami gangguan kognitif 20.
Pengendalian kadar gula darah berperan dalam menentukan derajat disfungsi
kognitif yang terdeteksi pada pasien dengan diabetes tipe 2. Yaffe dkk menemukan
bahwa pasien dengan HbA1c lebih dari 7,0% mempunyai peningkatan empat kali
lipat mengalami gangguan kognitif ringan. Pengendalian kadar glukosa yang buruk
menyebabkan fungsi kognitif yang buruk juga 20.
7. Aktivitas fisik
Beberapa hipotesis yang menjelaskan tentang mekanisme yang mendasari
hubungan antara aktivitas fisik dan fungsi kognitif masih belum dapat dipahami.
Aktivitas fisik terlihat dapat mempertahankan aliran darah otak dan mungkin juga
meningkatkan persediaan nutrisi otak. Selain itu kegiatan aktivitas fisik juga diyakini
untuk memfasilitasi metabolisme neurotransmiter, dapat juga memicu perubahan
aktivitas molekuler dan seluler yang mendukung dan menjaga plastisitas otak. Bukti
dari suatu studi hewan telah menunjukkan bahwa aktivitas fisik berhubungan dengan
seluler, molekul dan perubahan neurokimia. Pengaruh yang diamati berhubungan
dengan peningkatan vaskularisasi di otak, peningkatan level dopamin, dan perubahan
25
molekuler pada faktor neutropik yang bermanfaat sebagai fungsi neuroprotective .
Selain itu aktivitas fisik juga diduga menstimulasi faktor tropik dan neuronal growth
yang kemungkinan faktor-faktor ini yang menghambat penurunan fungsi kognitif dan
demensia20.
Pada exercise, beberapa sistem molekul yang berperan didalamnya
bermanfaat untuk otak. Faktor-faktor neurotrofik kebanyakan yang berperan dalam
efek yang bermanfaat tersebut. Faktor neurotrofik itu terutama BDNF, karena dapat
meningkatkan ketahanan dan pertumbuhan beberapa tipe dari neuron, meliputi
neuron glutamanergik. BDNF berperan sebagai mediator utama dari efikasi sinaptik,
penghubungan sel saraf dan plastisitas sel saraf 20.
Diduga bahwa response neurotorphin yang diperantarai exercise mungkin
terbatas pada sistem motorik, sensorik, dari otak, seperti serebellum, area korteks
primer antara lain basal ganglia. Hasil yang dijumpai pada suatu penelitian beberapa
26
hari setelah voluntany tral-runing dilakukan, mengingatkan kadar dari BDNF mRNA
di hipokampus, struktur higly plastic yang secara normal berkaitan dengan fungsi
kognitif dibandingkan aktifitas motorik. Perubahan kadar mRNA dijumpai di neuron,
terutama di girus dentatus, hilus, dan regio CA3. Peningkatan terjadi dalam beberapa
hari pada tikus jantan dan betina, menetap sampai beberapa minggu selama latihan
dan bersamaan dengan peningkatan jumlah protein BDNF 20 .
Meskipun faktor-faktor neurotrofik lain seperti NGF & FGF-2 juga diindukasi
di hipokampus sebagai respon pada latihan, peningkatannya hanya sesaat dan kurang
jelas/nyata dibanding BDNF, ini menunjukkan bahwa BDNF merupakan kandidat
yang lebih baik dalam memediasi manfaat jangka panjang dari exercise pada otak 17 .
Aktivitas fisik kemungkinan mempertahankan kesehatan vaskular otak dengan
menurunkan tekanan darah, meningkatkan profil lipoprotein, mendukung produksi
endotel nitrat oksidasi dan memastikan perfusi otak cukup. Demikian pula, muncul
bukti hubungan antara insulin dan amiloid menunjukkan bahwa manfaat aktivitas
aerobik pada resistensi insulin dan glucose intolerance, mungkin ini merupakan
mekanisme yang lain dimana aktivitas fisik dapat mencegah atau menunda
penurunan fungsi kognitif 18.
8. Nutrisi
Berdasarkan penelitian di tiga kota di prancis dengan subjek 8085 lansia usia
65 tahun tanpa demensia, didapatkan bahwa konsumsi ikan, buah dan sayur dapat
mengurangi risiko segala penyebab demensia. Penelitian ini dimulai pada tahun 1999
menggunakan studi kohort dan diikuti selama 4 tahun. Hasilnya, mengkonsumsi ikan
setidaknya sekali dalam seminggu terbukti mampu menurunkan risiko segala
penyebab demensia (HR 0,65) dibandingkan orang yang lebih jarang mengkonsumsi
ikan. Mengkonsumsi buah dan sayur setiap hari mempunyai hubungan yang
signifikan dalam menurunkan risiko segala penyebab demensia (HR 0,72)
dibandingkan dengan mereka yang jarang makan buah dan sayur .20
9. Merokok
Penelitian menunjukkan bahwa merokok pada usia pertengahan berhubungan
dengan kejadian gangguan fungsi kognitif pada usia lanjut, sedangkan status masih
merokok dihubungkan dengan peningkatan insiden demensia dan Alzheimer
27
Diseases.24 Pada penelitian lainnya didapatkan bahwa jumlah batang rokok per-hari
tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan fungsi kognitif .20
Asupan nikotin, zat adiktif utama dalam rokok dapat menguntungkan fungsi
kognitif. Terutama atensi, belajar dan daya ingat dengan memfasilitasi pelepasan
asetilkolin, glutamate, dopamine, noreepinefrin, serotonin dan GABA, tetapi terpapar
asap tembakau jangka panjang terbukti meningkatkan risiko gangguan kognitif dan
demensia dikemudian hari, termasuk peningkatan infark otak silent, intensitas massa
alba, kematian neuron dan artrofi subkortikal. Merokok juga menurunkan kadar
antioksidan penangkap radikal bebas dalam sirkulasi, meningkatkan respons
inflamasi dan mengarah ke aterosklerosis yang mempengaruhi permeabilitas sawar
darah otak, aliran darah otak dan metabolisme otak. 20
28
juga dapat menyebar hingga daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang.
Buruknya lobus frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus
frontalis, dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan
dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut memperlihatkan
gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif 17.
29
2.4 Senam Vitalisasi Otak (SVO)
Latihan/Senam Vitalisasi Otak adalah salah satu olahraga yang disusun
berdasarkan memori gerak (kinestetik), yang gerakannya berasal dari berbagai
gerakan-gerakan tarian di Indonesia yang melibatkan berbagai proses imajinasi
penglihatan, pendengaran, sensorik, emosional (fungsi luhur otak) dalam satu
gerakan. Dalam Latihan/Senam Vitalisasi Otak diperlukan sinkronisasi antara gerak
napas fisiologis dan gerakan itu sendiri5.
2.3.1 Manfaat Senam Vitalisasi Otak
Manfaat umum latihan/Senam Vitalisasi Otak adalah memelihara berbagai
fungsi otak agar dapat bekerja sesuai fungsi dan kebutuhannya dengan memberi
suplai oksigen dan darah yang optimal, khususnya ke otak. Manfaat khusus
Latihan/Senam Vitalisasi Otak adalah memberikan stimulasi yang adekuat pada
struktur-struktur otak tertentu secara unimodal dan pada struktur yang
berkaitan/multimodal yang berperan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Latihan/Senam Vitalisasi Otak dapat dilakukan oleh anak-anak, remaja, dewasa, dan
usia lanjut.
Prinsip Dasar Tampilan Senam Vitalisasi Otak5
1. Lambat
Gerakan dalam Latihan/Senam Vitalisasi Otak dilakukan perlahan-lahan
dengan tujuan menyelaraskan pola gerak otot, gerakan ritmis otot-otot pernapasan,
dan metabolisme pada bagian otak yang terstimulasi dan melalui imajinasi saat
melakukan gerakan. Secara tidak langsung, gerakan yang lambat tidak memberi
beban berat pada jantung.
2. Dari bawah ke atas
Gerakan selama Latihan/Senam Vitalisasi Otak mengupayakan sistematika
gerak dari arah tubuh bagian bawah terus ke bagian atas, dengan tujuan untuk
melatih bagian otot yang lebih kecil sampai otot yang lebih besar. Hal tersebut
dilakukan agar gangguan-gangguan, terutama pada gerakan halus (misalnya
menjahit, menulis) dan gerakan kasar (misalnya menyapu) yang sering terjadi pada
orang tua dapat diatasi.
3. Berulang-ulang
30
Gerakan dalam Latihan/Senam Vitalisasi Otak dilakukan dengan beberapa
kali pengulangan. Hal ini penting sekali agar stimulasi gerak dapat terekam dalam
otak melalui jaras proprioseptif (melatih rasa gerakan pada sendi/memori gerak)
4. Melibatkan pandangan mata
Setiap gerakan yang dilakukan oleh tangan maupun kaki pada Latihan/Senam
Vitalisasi Otak senantiasa melibatkan pandangan mata. Hal ini untuk mengatasi
masalah pada usia lanjut yang berhubungan dengan gangguan konsentrasi visual dan
kemampuan visuospasial (mengenal ruang)
5. Gerak sendi penuh
Gerakan pada Latihan/Senam Vitalisasi Otak dilakukan sampai batas
maksimal sendi. Kegunaannya untuk mengatasi permasalahan sendi yang dapat
mengakibatkan keterbatasan gerak, yang biasa terjadi pada para lanjut usia.
6. Melibatkan pernapasan
Dalam Latihan/Senam Vitalisasi Otak, pernapasan senantiasa dilakukan secara
teratur pada setiap gerakan. Hal ini penting untuk mencapai oksigenisasi yang
optimal menuju otak karena permasalahan pada otak bisa muncul akibat kurangnya
oksigen di otak. Sebaliknya, metabolisme otak optimal dapat tercapai bila oksigen di
otak tercukupi. Dalam Latihan/Senam Vitalisasi Otak, suatu upaya yang terus
diarahkan adalah bagaimana proses pernapasan dalam dapat dilakukan setiap
melakukan gerak. Kontrol pernapasan ini juga sangat berguna untuk mencapai
relaksasi pada peserta.
7. Dihayati (sesuai gerakan yang dilakukan)
Setiap melakukan Latihan/Senam Vitalisasi Otak, peserta diharapkan
menghayati gerakan yang dilakukannya. Hal ini berguna untuk mencapai
harmonisasi antara gerak (otot dan sendi), otak dan emosi karena tujuan akhir
melakukan latihan ini adalah tercapainya keseimbangan antara fungsi otak, kerja otot
dan stabilisasi emosi. Setiap gerakan pada Latihan/Senam Vitalisasi Otak dilakukan
dengan imajinasi tertentu sesuai dengan rangsang suara atau pola gerakan yang akan
menyebabkan terangsangnya berbagai tempat di otak sehingga terjadi keselarasan
antara gerak, pikiran, dan emosi (body and mind exercise).
31
A. Persiapan5
Persiapan Untuk Pelatihan
Peserta diminta berjalan melenggang santai dan melakukan peregangan otot
batang tubuh, gelang bahu, dan panggul selama 5 menit.
Persiapan Latihan Gerak
Mulai dengan mengheningkan cipta dan memejamkan mata 30 detik.
B. Pemanasan5
Permohonan
Emosi : memohon dan bersyukur atas apa yang diberikanNya kesehatan jiwa-
raga
1. Kaki dibuka selebar bahu, lutut ditekuk sedikit. Kedua telapak tangan di
depan paha.
2. Hitungan 1-2 kedua lengan digerakkan bersama ke depan tubuh ke atas, kedua
telapak tangan diputar ke luar sehingga menghadap ke atas perlahan-lahan,
tarik nafas melalui hidung, lutut perlahan diluruskan, kaki jinjit, pandangan
mata mengikuti gerakan tangan menyilang di depan dada.
3. Hitungan 3-4 kedua tangan kaki turunkan, nafas hembuskan melalui mulut.
4. Seluruh gerakan diulang sekali lagi sebanyak 2x.
Pengharapan
Emosi-Imajinasi : Memohon dengan rendah hati dan penyerahan diri kepada
Yang Maha Kuasa agar di beri keselamatan dan kesehatan, gerakan seperti
menabur bunga ke udara
1. Kaki dibuka sedikit sebatas bahu, lutut ditekuk, tangan di depan lutut, telapak
tangan menghadap lutut
2. Hitungan 1-3: tangan lurus bergerak ke atas, telapak tangan menghadap ke
bawah, putar hingga menghadap ke atas, tarik napas melalui hidung, lutut
perlahan ditegakkan, pandangan mata mengikuti gerakan tangan
3. Hitungan 4: kepala ditengadahkan, tangan dikibaskan sehingga telapak tangan
menghadap keatas, kaki jinjit
32
4. Hitungan 5-8: tangan turun perlahan menuju posisi semula, napas di
hembuskan melalui mulut
33
Gambar 2.3 Gerakan Kepak Kupu-Kupu pada Senam Vitalisasi Otak
34
Gambar 2.4 Gerakan Rangkai Bunga Melati pada Senam Vitalisasi Otak
C. Latihan Inti5
Tapak Menyusur bertujuan untuk mengarahkan korrdinasi tungkai, bersamaan
dengan upaya stimulasi otak kecil, ditandai dengan gerakan awal pada tungkai
dengan pola dari bawah ke atas atau sentripetal.
1. Berdiri tegak, lengan disamping
2. Tangan di pinggang
3. Hitungan 1-2: Tapak tangan menyusuri pinggang ke bawah hingga mencapai
lutut
4. Hitungan 3-4: Tapak tangan mnyusuri lutut hingga kepala
5. Hitungan 5-6: Tapak tangan melambai ke langit kemudia menyentuh lutu
6. Hitungan 7-8: Tapak tangan mnyusuri lutut hingga pinggang
7. Gerakan ini diulang sebanyak 4x
35
3. Hitungan 2: kaki kanan diturunkan dengan tumit terlebih dahulu menyentuh
tanah, tanan turun setinggi pinggang, telapak tangan menghadap ke depan.
Napas di hembuskan melalui mulut.
4. Hitungan 3-4: lakukan untuk kaki kiri.
5. Hitungan 5-8: ulangi langkah maju seperti diatas.
6. Hitungan 1-8 berikutnya: jalan mundur diawali dari kaki kiri dengan gerakan
yang sama.
Note : Tangan menyilang di dada pada yang mengalami gangguan keseimbangan
36
Gambar 2.7 Gerakan Kemenangan pada Senam Vitalisasi Otak
D. Jeda 5
Menyentuh Pelangi (repetisi:1 x 8 hitungan)
Tujuan : Melatih otak kecil, untuk kemampuan raih dan keseimbangan tubuh
dan relaksasi
Emosi: menghayati keagungan pencipta kita yang telah memberi kehidupan,
keselamata, kesehatan dan kesejahteraan. Dengan membayangkan
pelangi yang indah melingar diatas langit.
37
1. Kaki sedikit dibuka, tangan disamping badan menyilang di depan dada tangan
kanan diatas dan pada saat kembali sebaliknya tangan kanan dibawah.
2. Hitungan 1-4: tarik napas (posisi dorso fleksi) dengan tangan digerakkan ke
atas dengan telapak tangan menghadap ke atas. Sampai di atas kepala, telapak
tangan menghadap ke bawah, jari-jari bersentuhan, pandangan mata lurus ke
depan. Bila gerakan tersebut tidak dapat dilakukan dengan kaki sejajar, dapat
dibantu dengan pijakan kaki ke belakang secara bergantian.
3. Hitungan 5-8: hembuskan napas, turunkan tangan ke posisi semula.(posisi
anterofleksi). Bila gerakan tersebut tidak dapat dilakukan dengan kaki sejajar,
dapat dibantu dengan pijakan kaki ke depan secara bergantian.
38
Gambar 2.10 Gerakan Kasih Sayang pada Senam Vitalisasi Otak
39
3. Hitungan 5 8 : perlahan-lahan kembali ke posisi awal, hembuskan napas
melalui mulut.
4. Berikutnya, lakukan gerakan yang sama dengan sisi yang lainnya.
5. Pandangan mata senantiasa mengikuti gerakan tangan.
D. Latihan Inti 25
o Menata jejak
Tujuan : Latihan koordinasi tungkai dan pandangan mata yang dikombinasikan
dengan latihan keseimbangan dan penguatan otot tungkai bawah
Emosi : merasa sehat, kuat, dan rasa optimis
1. Berdiri dengan kaki rapat, tangan disisi
2. Hitungan 1, tarik nafas, angkat paha kanan hingga tegak kurus badan ke arah
sisi kiri, lengan kanan lurus ke belakang, lengan kiri diayun lurus ke atas
kanan.
3. Hitungan 2, pertahankan, berdiri pada kaki kiri ini
4. Hitungan 3, hembuskan nafas, langkahkan kaki kanan ke sisi kiri depan,
badan condong ke depan
5. Hitungan 4, tarik torso ke belakang
6. Hitungan 5-8, gerakan yang sama dengan sisi lainnya
7. Hitungan 1-8 berikutnya, jalan zig-zag mundur ke posisi awal
40
Gambar 2.13 Gerakan Menata Jejak pada Senam Vitalisasi Otak
E. PENDINGINAN
Bersiul (repetisi:1 x 8 hitungan)
Bertujuan untuk melatih otot-otot mulut serta merangsang saraf-saraf wajah.
Tangan di pinggang, tarik napas, lalu mulut bersiul selama 8 hitungan.
Hitungan 1-2 tarik nafas, hitungan 3-8, bersiul 2 kali
41
Gambar 2.15 Gerakan Bersiul pada Senam Vitalisasi Otak
Gambar 2.17 Gerakan Angkat Turun Alis pada Senam Vitalisasi Otak
42
2. Hitungan 1: menutup mata
3. Hitungan 2: membuka mata, dan seterusnya
Gambar 2.18 Gerakan Membuka dan Menutup Mata pada Senam Vitalisasi Otak
43
Gambar 2.19 Gerakan Tatapan Mata pada Senam Vitalisasi Otak
44
BAB III
METODE PENELITIAN
45
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian
Seluruh lansia yang tinggal di
Kelurahan Kariangau
Kriteria Eksklusi
Laki-laki atau perempuan yang
berusia kurang dari 60 tahun
Kriteria Inklusi
Lansia yang memiliki keterbatasan
Laki-laki atau perempuan yang berusia fisik untuk datang ke pusban
lebih atau sama dengan 60 tahun yang
bertempat tinggal di sekitar pusban
Bersedia secara sukarela menjadi
responden
Sampel Penelitian
lansia yang bertempat tinggal di sekitar pusban
Kelurahan Kariangau yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi
46
Pada tahap pra-lapangan, peneliti melakukan penyusunan rancangan
penelitian. Usulan penelitian ini didiskusikan dengan dokter pendamping dan
penanggung jawab program yang berhubungan dengan penelitian. Pembuatan usulan
penelitian ini berlangsung sekitar satu bulan.
2. Tahap Lapangan
Tahap ini dilakukan dengan:
a. Memahami latar penelitian dan persiapan diri
Tahap ini peneliti mempersiapkan diri dengan memahami latar penelitian agar
dapat menentukan metode pengumpulan data
b. Memasuki lapangan
Pada saat memasuki lapangan, peneliti akan memeriksa terlebih dahulu fungsi
kognitif lansia di pusban di Kelurahan Kariangau, memberikan penyuluhan
terkait senam vitalisasi otak kepada lansia di daerah sekitar pusban dan
melakukan senam vitalisasi otak selama 2 minggu.
3. Tahap Analisa Data
Analisa data merupakan suatu tahap mengorganisasikan dan mengurutkan
data ke dalam suatu uraian dasar agar dapat mempermudah penentuan tema
dan dapat merumuskan hipotesa kerja. Pada tahap ini data tentang perubahan
fungsi kognitif yang ditemukan pada lansia setelah intervensi yang telah
dikumpulkan akan dianalisa sehingga dapat menunjukan hasil dari intervensi
yang dilakukan.
4. Tahap Penulisan Laporan
Setelah dilakukan analisa data, dilakukan tahap penulisan laporan. Tahap ini
dilakukan menyesuaikan dengan prosedur penulisan yang baik agar hasil
penelitian ini dapat dimengerti dan dimanfaatkan untuk perbaikan di masa
mendatang.
47
Penilaian fungsi kognitif yang dilakukan kepada responden menggunakan
MMSE dan mini cog-CDT yang diukur sebelum dilakukan senam vitalisasi
otak dan setelah 4 kali mengikuti senam vitalisasi otak
SVO 4x
48
data tidak normal. Evaluasi perihal keberhasilan senam vitalisasi otak yang
dilakukan di pusban adalah dengan melihat perubahan fungsi kognitif yang diuji
menggunakan MMSE, mini cog-CDT.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
49
(90%) memiliki penyakit degeneratif seperti Diabetes Mellitus Tipe II, hipertensi,
dan Hiperkolesterolemia, hanya 1 responden yang tidak memiliki penyakit
degeneratif namun memiliki penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan.
Karakteristik responden perlu untuk diketahui karena berhubungan dengan fungsi
kognitif yang akan dinilai pada responden. Fungsi kognitif dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan, riwayat penyakit
degneratif yang dimiliki, dan beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi
fungsi kognitif seseorang20.
Tabel 4.2 Hasil Fungsi Kognitif Menggunakan MMSE yang Diukur Pada Responden
Sebelum Senam
No. Hasil MMSE Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Normal 1 10
2. Ringan 5 50
3. Berat 4 40
Hasil fungsi kognitif sebelum senam yang diukur menggunakan Mini cog-
CDT memiliki titik potong (cut off point) mean 0,7 dan diperoleh hasil sebagaimana
ditampilkan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Hasil Fungsi Kognitif Menggunakan Mini cog-CDT yang Diukur Pada
Responden Sebelum Senam
No. Hasil Mini cog-CDT Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Normal 5 50
2. Terganggu 5 50
50
menggunakan MMSE. Pemeriksaan menggunakan Mini cog-CDT menunjukkan
bahwa 5 responden (50%) memiliki fungsi kognitif baik dan 5 responden lainnya
(50%) memiliki gangguan fungsi kognitif. Hal ini menununjukan bahwa sebagian
responden memiliki gangguan fungsi kognitif. Berdasarkan hasil pemeriksaan
dengan menggunakan dua instrumen berbeda, terdapat perbedaan jumlah responden
yang mengalami gangguan fungsi kognitif. Hal ini disebabkan karena pada
pemeriksaan menggunakan MMSE dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan,
perbedaan bahasa, dan budaya. Sehingga pada responden yang memiliki tingkat
pendidikan rendah dan memiliki perbedaan bahasa dapat terjadi bias pada saat
dilakukan pemeriksaan. Bias yang terjadi dapat dipastikan kembali dengan
melakukan uji mini cog-CDT. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Korner dk
(2012), korelasi hasil pemeriksaan menggunakan mini cog-CDT dan pemeriksaan
lain hampir sama sekitar 93-97% dan instrumen ini juga dapat mendeteksi gangguan
fungsi kognitif walaupun kondisi gangguan masih ringan22.
Setelah dilakukan SVO sebanyak 4 kali, dilakukan lagi pengukuran fungsi
kognitif terhadap responden menggunakan alat ukur yang sama. Hasil fungsi kognitif
setelah senam yang diukur menggunakan MMSE memiliki titik potong (cut off point)
mean 0,5 dan diperoleh hasil sebagaimana ditampilkan pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Hasil Fungsi Kognitif Menggunakan MMSE yang Diukur Pada Responden
Setelah Senam
No. Hasil MMSE Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Normal 4 40
2. Ringan 5 50
3. Berat 1 10
Hasil fungsi kognitif setelah senam yang diukur menggunakan Mini cog-CDT
memiliki titik potong (cut off point) mean 0,1 dan diperoleh hasil sebagaimana
ditampilkan pada tabel 4.5.
Tabel 4.5 Hasil Fungsi Kognitif Menggunakan Mini cog-CDT yang Diukur Pada
Responden Setelah Senam
No. Hasil Mini cog-CDT Jumlah (orang) Persentase (%)
1. Normal 9 90
2. Terganggu 1 10
51
Tabel diatas menunjukan bahwa responden yang memiliki gangguan fungsi kognitif
berat berjumlah 1 responden (10 %) dan responden yang memiliki gangguan fungsi
kognitif ringan berjumlah 5 responden (50 %), dan 4 responden (40%) memiliki
fungsi kognitif yang baik. Hasil tersebut merupakan hasil dari pemeriksaan
menggunakan MMSE. Pemeriksaan menggunakan Mini cog-CDT menunjukkan
bahwa 9 responden (90%) memiliki fungsi kognitif baik dan 1 responden lainnya
(50%) memiliki gangguan fungsi kognitif. Hasil ini menunjukkan adanya perbaikan
fungsi kognitif responden setelah dilakukan senam vitalisasi otak.
52
Tabel 4.7 Gambaran Fungsi Kognitif Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
53
penyakit Alzheimer (Kramer, Hillman, 2009). Selain itu terdapat teori yang disebut
cognitive reserve hypothesis yang menyatakan bahwa orang yang beredukasi
memiliki lebih banyak sinaps pada otak dan mampu melakukan mengkompensasi
dengan baik terhadap hilangnya suatu kemampuan.
Tabel 4.9 Gambaran Fungsi Kognitif Responden Berdasarkan Riwayat Penyakit
Degeneratif
Fungsi Kognitif sebelum senam
Normal Ringan Berat Total
Penyakit Degeneratif Memiliki Penyakit
0 5 4 9
Degeneratif
Tidak memiliki penyakit
1 0 0 1
degeneratif
Total 1 5 4 10
4.4 Pengaruh Senam Vitalisasi Otak (SVO) terhadap Fungsi Kognitif lansia
di Wilayah Puskesmas Pembantu Wilayah Kerja Puskesmas Kariangau
Pengaruh senam vitalisasi otak (SVO) terhadap fungsi kognitif lansia dinilai
dengan menggunakan uji T berpasangan. Jika sig. < 0,05 maka senam vitalisasi otak
memiliki pengaruh terhadap fungsi kognitif lansia. Pada penelitian ini, ditemukan
sig. 0,005. Hal ini menandakan adanya pengaruh svo terhadap fungsi kognitif lansia
di wilayah puskesmas pembantu wilayah kerja puskesmas Kariangau. Hal ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh Aziz (2016) di Bantul, Yogyakarta. Penelitian
tersebut menyatakan adanya pengaruh senam vitalisasi otak terhadap kejadian
demensia pada lansia di BPSTW Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan oleh
Blongkod (2015) juga menyatakan bahwa terdapat pengaruh senam vitalisasi otak
terhadap peningkatan fungsi kognitif lansia di Panti Sosial Trena Werdha Ilomata di
Kota Gorontalo. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan fungsi kognitif pada
54
kelompok lansia yang melakukan senam vitalisasi otak.23,24 Senam vitalisasi otak
merupakan senam yang disusun oleh dokter spesialis saraf dan fisioterapi yang
gerakannya telah disesuaikan untuk lansia. Setiap gerakannya berfungsi untuk
menstimulasi bagian tertentu otak sehingga membantu dalam meningkatkan fungsi
kognitif pada lansia.5
55
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini telah
diperoleh antara lain:
1. Responden yang memiliki fungsi kognitif baik sebelum dilakukan senam
vitalisasi otak berdasarkan hasil MMSE sebanyak 1 responden (10%),
sedangkan 5 responden (50%) memiliki gangguan fungsi kognitif ringan dan 4
responden (40%) memiliki gangguan fungsi kognitif berat. Berdasarkan hasil
mini cog-CDT, sebanyak 5 responden (50%) memiliki fungsi kognitif yang
normal dan 5 responden lainnya (50%) memiliki gangguan fungsi kognitif.
2. Senam Vitalisasi Otak (SVO) berpengaruh terhadap fungsi kognitif lansia
yang dibuktikan dengan uji T berpasangan dengan hasil sig. <0,05.
5.2 Saran
Penelitian ini dapat diajadikan sebagai salah satu dasar untuk pertimbangan
intervensi berikutnya demi mensukseskan Program Keluarga Sehat dengan
pendekatan siklus kehidupan.
1. Lansia diharapkan agar lebih rajin dalam memeriksakan kondisi kesehatannya
ke pelayanan kesehatan terdekat serta mengikuti kegiatan yang berkaitan
dengan kesehatan salah satunya senam vitalisasi otak.
2. Masyarakat diharapkan agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang
pentingnya aktivitas fisik bagi lansia contohnya senam vitalisasi otak
sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan kualitas hidup bagi para lansia.
3. Petugas kesehatan diharapkan agar dapat lebih meningkatkan sosialisasi
tentang senam vitalisasi otak kepada lansia dan mengadakan senam vitalisasi
otak secara rutin terutama lansia yang bertempat tinggal di sekitar puskesmas
pembantu karena lansia pada daerah tersebut masih jarang melakukan senam
vitalisasi otak karena terkendala transportasi untuk mengikuti senam vitalisasi
otak yang telah rutin dilaksanakan di puskesmas kariangau.
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes 2009 (Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.
2009. Diperoleh http://www.depkes.go.id/ Departemen Kesehatan.(2009) Sistem
Kesehatan Nasional, Jakarta).
8. Bahtiyar, Lutfi (2011) GDS: Hadi dan Kris Pranaka. 2010. Buku Ajar
BoedhiDarmojo GERIATRI. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
10. Marquez DX, Bustamante EE, Blissmer BJ, Prohaska TR. Health Promotion for
Successful Aging. American Journal of 60 Lifestyle Medicine. 2009; Vol. 3, No.
1, 12-19.
12. Franklin NC, Tate CA. Lifestyle and Successful Aging: An Overview. American
Journal of Lifestyle Medicine. 2009; Vol. 3, No. 1,6-11.
57
13. Ganong, WF, 2005. Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: ecg
14. Ong FS, Lu YY, Abessi M, Philips. The Correlates of Cognitive Ageing and
Adoption of Defensive-Ageing Strategies among Older Adults. Asia Pacific
Journal of Marketing and Logistics Vol. 21 No. 2, 2009 pp. 294-305
15. Kaplan, H.J., Sadock, B.J., Greb, J.A., 2010. Sinopsis Psikiatri: Ilmu
Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Dialih bahasakan oleh Dr. I Made Wiguna
S. Jakarta: Binapura Aksara.
16. Barnes LK, Leon MD, Wilson RS, Bienias JL, Evans DA. Social recourses and
cognitive decline in a population of older Africans and whites.Journal of
Neurology. 2004; 63(12):2322 -2326.
17. Machnick G, Allegri RF, Dillon C, Serrano CM, Taragano FE. Cognitive,
functional and behavioral factors associated with the burden of caring for
geriatric patiens with cognitive impairment of depression evidence from a South
American sample. Int J Geriatr Psychiatry 2008. [cited 2014 Jan 29]:; 24: 382-
389. Available from: EBSCH.
19. Xinqi D, Melissa S, Kumar R, Denis AE. Association of cognitive funtion and
risk for elder abuse in a community-dwelling population. Applied dement geriatr
cogn disord 2011;1(32):210.
21. Turana Y, Mayza A, Lumempouw SF. Pemeriksaan Status Mental Mini pada
Usia Lanjut di Jakarta, Medika.Vol.XXX, September, 2004; hal. 56
22. Krner, E.A., Lauritzen, L., Nilsson,F.M., Lolk, A., Christensen, P.. Simple
Scoring of The Clock Drawing Test for Demensia Screening. Danish Medical
Journal. January 2012.
24. Aziz, Firstyono Miftahul. (2016). Pengaruh Aktivitas Vitalisasi Otak Terhadap
Kejadian Demensia Pada Lanjut Usia di BPSTW Yogyakarta Unit Budi Luhur
Kasongan Bantul. Skripsi. Dipublikasikan. Universitas Aisyiyah Yogyakarta.
58
59
LAMPIRAN 1
Saya telah mendapat penjelasan dari peneliti tentang tujuan penelitian ini.
Saya mengerti bahwa data mengenai penelitian ini akan dirahasiakan. Semua berkas
yang mencantumkan identitas responden hanya digunakan untuk terkait penelitian.
Saya mengerti bahwa penelitian ini tidak akan berpengaruh negati terhadap diri
saya dan berguna untuk pengembangan Puskesmas Kariangau Balikpapan.
Demikian surat pernyataan ini saya tandatangani tanpa suatu paksaan. Saya
bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini secara sukarela
Balikpapan, 2017
(Ttd)
60
LAMPIRAN 2
MINI-MENTAL STATE EXAM (MMSE)
Nama Responden :..( Lk / Pr )
Umur:Pendidikan...........Pekerjaan:........
Riwayat Penyakit: Stroke( ) DM( ) Hipertensi( ) Peny.Jantung( ) Peny.
Lain..................Pemeriksa:Tgl
I ORIENTASI 1 Hari
2 Tanggal
3 Bulan
4 Tahun
5 Musim
6 Ruangan saat ini
7 Alamat
8 Kota
9 Provinsi
10 Negara
II REGISTRASI 11 Bola
Mengingat 3 kata (11, 12, 13) 12 Melati
13 Kursi
III ATENSI KALKULASI 14 93 atau A
(serial 100 7 atau 15 86 atau I
kebalikan dari kata DUNIA) 16 79 atau N
17 72 atau U
18 65 atau D
IV MEMORI 19 Bola
Mengingat kembali 3 kata (11-13) 20 Melati
21 Kursi
V BAHASA 22 Jam tangan
23 Pensil
Pengulangan 24 Tanpa,Kalau,Dan,Atau,Tapi
Pengertian verbal 25 Ambil kertas ini dengan
tangan kanan
26 Lipat menjadi dua dan
27 Letakkan di lantai
Membaca + pengertian bahasa 28 Tutup mata anda
tulisan
Menulis 29 (tulis kalimat lengkap S+P)
VI KONSTRUKSI 30 Ikuti gambar di bawah ini
61
MINI COG DAN CLOCK DRAWING TEST (CDT)
62
LAMPIRAN 3
T-Test
N Correlation Sig.
Pair 1 MMSE pre senam & MMSE
10 .707 .022
post senam
Pair 2 minicogCDT pre senam &
10 .333 .347
minicogCDT post senam
63
Paired Samples Test
Paired Differences
95% Confidence Interval of the
Difference
Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper t df Sig. (2-tailed)
Pair 1 MMSE pre senam - MMSE
.600 .516 .163 .231 .969 3.674 9 .005
post senam
Pair 2 minicogCDT pre senam -
.400 .516 .163 .031 .769 2.449 9 .037
minicogCDT post senam
64
LAMPIRAN 4
65