You are on page 1of 2

Pada pemeriksaan fisik pasien ini ditemukan gejala konstitusi yaitu pasien dalam

keadaan demam (suhu 37,9 oC) sejak 2 hari SMRS. Tonsil tampak membesar T4 T3,
hiperemis, permukaan tonsil tampak tidak rata, uvula tampak lengket pada tonsil kanan,
terdapat detritus, dan kriptae melebar. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa tonsilitis
kronis eksasebasi akut umumnya ditemukan tonsil tampak hiperemis, kriptae melebar, ada
detritus dan perlengketan. Sedangkan tonsilitis kronis yang tidak mengalami eksaserbasi,
tonsil ditemukan membesar/mengecil namun tidak tampak hiperemis, kriptae juga nampak
melebar, ada detritus dan perlengketan, namun tidak tampak ada tanda-tanda peradangan
seperti pada tonsilitis kronis eksaserbasi akut. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan
leukositosis (leukosit 14.720/uL) yang merupakan salah satu tanda infeksi pada pasien ini.

Pada pasien ini pula ditemukan abses pada tonsil kiri. Tonsil kiri tampak edema dan
lebih hiperemis daripada tonsil kanan. Abses intratonsiler merupakan salah satu komplikasi
dari peradangan kronis tonsil ke daerah sekitar. Menurut kepustakaan, abses ini adalah
akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan penutupan kriptae
pada tonsilitis folikular akut. Tonsil terlihat membesar dan merah.

Pasien dianjurkan untuk hospitalisasi karena pasien mengeluh tidak bisa makan
selama 3 hari akibat keluhan nyeri menelan yang dirasakan. Penatalaksaan awal pada pasien
ini diberikan terapi cairan berupa Ringer Laktat : D5% sebanyak 24 tpm; injeksi antibiotik
(ceftriaxone 2 x 1 gram); injeksi analgetik (ketorolac 3 x 1 ampul); dan pasien diberikan
injeksi ranitidine 2 x 1 ampul. Ranitidine merupakan antagonist reseptor H2 yang dibekerja
dengan cara menekan sekresi asam lambung. Diberikan obat antagonist reseptor H2 dengan
pertimbangan pasien tidak bisa makan selama 3 hari, sehingga tidak ada makanan yang
dicerna oleh lambung, dan bisa terjadi peningkatan asam lambung.

Menurut kepustakaan, penatalaksaan tonsilitis kronis terdiri atas terapi


medikamentosa dan operatif. Terapi medikamentosa ditujukan pada hygiene mulut dengan
cara berkumur atau obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat
irigasi gigi atau oral. Pemberian antibiotika pada penderita tonsilitis kronis eksaserbasi akut
berupa cephaleksin (golongan sefalosporin generasi pertama) ditambah metronidazole,
klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis). Pada pasien ini berikan antibiotik
golongan sefalosporin generasi kedua yaitu ceftriaxone. Ceftriaxone bekerja untuk bakteri
gram positif dan bakteri gram negatif. Tidak sama dengan kepustakaan, pada pasien ini tidak
mendapat terapi tambahan berupa metronidazole dan klindamisin, hanya mendapat satu terapi
antibiotik yaitu ceftriaxone.
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi organisme
patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang
inadekuat. Oleh karena itu, sebaiknya pada pasien dilakukan kultur tonsil untuk mengetahui
secara pasti bakteri penyebab infeksi agar pasien dapat diberikan antibiotik yang tepat.
Menurut kepustakaan, gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Umumnya kuman terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus hemolitikus diikuti
Stafilokokus aureus.
Pada follow up hari pertama (26 Mei 2015), keluhan nyeri menelan pasien sudah
berkurang, tidak demam, dan bisa makan-minum dengan baik. Adanya keluhan mata bengkak
setelah pemberian obat ketorolac intravena saat pasien diantar dari IGD ke ruangan rawat
inap. Di duga pasien mengalami alergi. Hasil pemeriksaan faring didapatkan pembesaran
tonsil sudah berkurang, besar tonsil T3 (kanan), T3 (kiri), masih disertai kriptae yang melebar,
adanya detritus, dan sedikit hiperemis. Untuk tatalaksana tetap dilanjutkan terapi sebelumnya
yaitu diberikan infus D5:RL 1:1 24 tpm, injeksi ceftriaxone 2x1gram (hasil skin test negatif),
ranitidin 2x1 IV, dan Norages (analgetik-anti inflamasi). Pada pasien ini injeksi ketorolac
dihentikan, karena diduga sebagai penyebab terjadinya alergi pada pasien.

Pada follow up hari kedua

You might also like