Professional Documents
Culture Documents
OLEH :
TINGKAT III,SEMESTER V
P07120214031
JURUSAN KEPERAWATAN
2016
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) KEPERAWATAN JIWA
MENGENAL RETARDASI MENTAL
A. LATAR BELAKANG
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan
bugar dan nyaman seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Jiwa yang sehat sulit
didefinisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada beberapa indikator untuk
menilai kesehatan jiwa. Karl Menninger mendefinisikan orang yang sehat
jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri
pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan
bahagia. Michael Kirk Patrick mendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah
orang yang bebas dari gejala gangguan psikis, serta dapat berfungsi optimal
sesuai apa yang ada padanya.
Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya
emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi (penangkapan panca
indera). Gangguan jiwa ini menimbulkan stress dan penderitaan bagi penderita
dan keluarganya.
Gangguan jiwa menurut Depkes RI (2000) adalah suatu perubahan pada
fungsi jiwa yang menyebabkan adanya gangguan pada fungsi jiwa, yang
menimbulkan penderitaan pada individu dan atau hambatan dalam
melaksanakan peran sosial. Penyebab gangguan jiwa itu bermacam-macam ada
yang bersumber dari berhubungan dengan orang lain yang tidak memuaskan
seperti diperlakukan tidak adil, diperlakukan semena-mena, cinta tidak
terbalas, kehilangan seseorang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, dan lain-
lain. Selain itu ada juga gangguan jiwa yang disebabkan faktor organik,
kelainan saraf dan gangguan pada otak. Secara lebih rinci, gangguan jiwa bisa
dimaknai sebagai suatu kondisi medis dimana terdapat gejala atau terjadinya
gangguan patofisiologis yang menganggu kehidupan sosial, akademis dan
pekerjaan.
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang
sangat signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita
gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data dari World Health Organisasi
(WHO) dalam Yosep (2013), ada sekitar 450 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan jiwa. WHO menyatakan setidaknya ada satu dari empat
orang didunia mengalami masalah mental, dan masalah gangguan kesehatan
jiwa yang ada di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.
Berdasarkan hasil penelitian dari Rudi Maslim dalam Mubarta (2011)
prevalensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sebesar 6,55%. Angka tersebut
tergolong sedang dibandingkan dengan negara lainnya. Data dari 33 Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) yang ada di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini
jumlah penderita gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Penderita
gangguan jiwa berat dengan usia di atas 15 tahun di Indonesia mencapai
0,46%. Hal ini berarti terdapat lebih dari 1 juta jiwa di Indonesia yang
menderita gangguan jiwa berat. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa
11,6% penduduk Indonesia mengalami masalah gangguan mental emosional
(Riset kesehatan dasar, 2007). Sedangkan pada tahun 2013 jumlah penderita
gangguan jiwa mencapai 1,7 juta (Riskesdas, 2013). Prevalensi gangguan jiwa
berat atau dalam istilah medis disebut psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan
ternyata lebih tinggi dibanding daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi
rumah tangga dengan minimal salah satu anggota rumah tangga mengalami
gangguan jiwa berat dan pernah dipasung mencapai 18,2%. Sementara di
daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7%. Nampaknya, hal ini
memberikan konfirmasi bahwa tekanan hidup yang dialami penduduk pedesaan
lebih berat dibanding penduduk perkotaan. Dan mudah diduga, salah satu
bentuk tekanan hidup itu, meski tidak selalu adalah kesulitan ekonomi. Di Bali
sendiri, penanganan gangguan jiwa masih setengah hati. Suryani Institut for
Mental Health (SIMH) mendata ada 9.000 orang dengan gangguan jiwa
(ODGJ). Parahnya, dari ribuan pengidap skizofrenia ini, 350 di antaranya
dipasung oleh keluarga. Dalam paparannya, SIMH membeberkan data yang
membuat peserta dialog tercengang yang dihadiri oleh pemangku kebijakan,
akademisi, pemerhati kesehatan, mahasiswa dan pelajar. Dari survei yang
dilakukan melalui Layanan Hidup Bahagia (LHB) pada 2008 di Karangasem,
Buleleng dan Kecamatan Denpasar Timur, diperkirakan sebanyak 7.000 orang
mengalami gangguan jiwa berat dan 300 orang dari mereka terpasung. Pada
2010, gangguan jiwa mengalami lonjakan drastis menjadi 9.000 orang dari 2,3
per seribu penduduk di Bali. Diperkirakan angka tersebut terus meningkat
hingga saat ini. Dominan usia 20-39 tahun mengidap gangguan jiwa.
Sementara 73 persen pihak keluarga berupaya mencarikan penyembuhan baik
melalui jalan medis dan nonmedis. Selama ini, kesadaran masyarakat untuk
perhatian dengan pengidap gangguan jiwa lebih-lebih yang dipasung sangat
minim. Kepedulian malah banyak datang dari warga negara asing (WNA) yang
menawarkan bantuan kepada SIMH dalam penanganan gangguan jiwa.
Pemprov Bali maupun pemerintah kabupaten/kota yang diharapkan banyak
berperan untuk mengentaskan pemasungan masih asyik dengan pembangunan
sik. Awalnya, Pemprov Bali sempat mengapresiasi kinerja SIMH dengan
menggelontorkan anggaran sebesar Rp1 M dalam menangani pasien 326 orang
tahun 2009. Hasilnya, 31% sembuh tanpa obat, 3% tidak ada perbaikan dan
66% sembuh menggunakan obat. Namun, belakangan kemudian dipotong
drastis mencapai 90%.
Penderita gangguan jiwa ringan di Provinsi Bali hingga 6 bulan pertama
tahun 2011 mencapai 305.623 orang. Angka tersebut mengalami kenaikan dari
158.023 pada tahun 2010. Secara keseluruhan, jumlah penderita gangguan jiwa
di Bali mencapai angka 14,2 persen dari jumlah penduduk. Jumlah tersebut
telah melampaui angka nasional sebesar 11,6%.
Retardasi mental merupakan salah satu gangguan yang biasa terjadi pada
masa kanak-kanak dan remaja yang mana adalah keadaan di mana fungsi
intelektual umum di bawah normal (< 70 = IQ), kemampuan kognitif, bahasa,
motorik dan sosial terbatas. Pada usia tertentu kebanyakan anak mulai
mengenal suara orang tua atau mulai belajar berjalan. Panduan untuk perilaku
berdasarkan umur ini tidak bersifat baku, jadi kalau anak Anda berjalan atau
berbicara setelah waktu yang lebih lama atau cepat daripada anak lainnya,
maka ini belum tentu menunjukkan adanya gangguan. Pemeriksaan standar
guna mengevaluasi retardasi mental sebaiknya dilakukan pada saat Anda curiga
adanya penundaan dalam perkembangan anak. Kira-kira 1% anak-anak
mengidap retardasi mental. Banyak anak dengan retardasi mental lahir dengan
abnormalitas fisik, seperti daya pendengaran yang lemah, atau masalah
jantung. Mereka ini beresiko tiga sampai empat kali lebih tinggi untuk
mengidap gangguan mental lainnya seperti ketidakmampuan belajar dan
mengompol daripada populasi umum. Rasio retardasi mental pada laki-laki dan
perempuan adalah 3:2.
Diperkirakan ada 3% dari total populasi di dunia mengalami retardasi
mental, tetapi hanya sekitar 1-1.5% yang terdata. Angka kelahiran bayi dengan
IQ di bawah 50 adalah 3,6 per 1000 kelahiran hidup. Pada 80% kasus retardasi
mental tidak diketahui penyebabnya, tapi sebagian besar anak dengan retardasi
berat sangat mudah diidentifikasi. Penyebab timbulnya retardasi bisa terjadi
pada masa-masa prenatal (sebelum lahir), perinatal (masa kelahiran) maupun
masa postnatal (sesudah lahir).
Retardasi mental oleh masyarakat masih dianggap aneh, karena hanya
sebagian kecil 2% anak yang menderita mengalami retardasi mental dari
setiap seribu anak. Keanehan sikap masyarakat terhadap retardasi mental dapat
dimaklumi karena masih banyak hal yang belum diketahui oleh sebagian besar
masyarakat. Seperti penyebab terjadinya retardasi mental akibat kerusakan
jaringan otak yang hanya diketahui oleh dokter. Orang tua yang memiliki anak
retardasi mental membutuhkan perawatan khusus, butuh pengetahuan,
kesabaran, dan bimbingan yang spesifik. Anak dengan retardasi mental biasa
oleh masyarakat sering disamakan dengan idiot, padahal belum tentu semua
anak retardasi mental adalah idiot. Idiot hanyalah istilah bagi anak retardasi
mental yang sudah dalam taraf sangat berat. Anak retardasi mental memiliki
kemampuan intelektual yang rendah yang membuat anak mengalami
keterbatasan dalam bidang keterampilan, komunikasi, perawatan diri, kegiatan
sehari-hari, kesehatan dan keselamatan, akademis dan occupational. Tanggapan
negatif masyarakat tentang anak retardasi mental menimbulkan berbagai
macam reaksi orang tua yang memiliki anak retardasi mental, seperti orang tua
mengucilkan anak atau tidak mengakui sebagai anak yang retardasi mental.
Anak yang retardasi mental disembunyikan dari masyarakat karena orang tua
merasa malu mempunyai anak keterbelakangan mental. Di sisi lain, ada pula
orang tua yang memberikan perhatian lebih pada anak retardasi mental. Orang
tua yang menyadari memiliki anak retardasi mental berusaha memberikan yang
terbaik pada anaknya dengan meminta bantuan pada ahli yang dapat
menangani anak retardasi mental. Orang tua yang memahami dan menyadari
akan kelemahan anak retardasi mental merupakan faktor utama untuk
membantu perkembangan anak dengan lingkungan. Antara orang tua satu
dengan orang tua lainnya dalam menggunakan pola asuh berbeda. Ada
bermacam-macam pola asuh orang tua. Macam-macam pola asuh dibedakan
atas pola asuh demokratis, otoriter, dan laizes faire (kebebasan). Masing-
masing pola asuh tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian. Pola asuh
yang dipilih orang tua dalam membimbing dan mendidik anak retardasi mental
yang berbeda dengan anak yang normal mengharuskan orang tua melakukan
penyesuaian diri dalam mendidiknya sehingga akan membantu perkembangan
anak retardasi mental.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa orang tua mempunyai pengaruh
yang besar bagi perkembangan anak yang mengalami retardasi mental. Orang
tua sebagai orang terdekat dalam kehidupan anak dapat membantu anak
retardasi mental dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Sikap yang
penuh cinta kasih dan penerimaan terhadap apapun keadaan anak merupakan
hal yang dibutuhkan oleh anak. Dengan pemberian edukasi yang dilakukan
oleh perawat kepada pasien dan keluarga mengenai retardasi mental diharapkan
pasien dan juga keluarga saling mendukung satu sama lain dan melakukan
yang terbaik untuk proses penyembuhan.
B. TUJUAN
1. Tujuan Intruksional Umum (TIU)
Setelah diberikan penyuluhan selama 40 menit, sasaran mengetahui tentang
retardasi mental.
2. Tujuan Intruksional Khusus (TIK)
Setelah dilakukan penyuluhan selama 1 x 40 menit, sasaran diharapkan
mampu :
a. Menjelaskan pengertian sehat jiwa dengan tepat.
b. Menyebutkan ciri-ciri sehat jiwa dengan benar.
c. Menjelaskan pengertian gangguan jiwa dengan tepat.
d. Menyebutkan ciri-ciri gangguan jiwa dengan benar.
e. Menyebutkan macam-macam gangguan jiwa dengan benar.
f. Menyebutkan penyebab gangguan jiwa dengan benar.
g. Menjelaskan pengertian retardasi mental dengan tepat.
h. Menyebutkan ciri-ciri seseorang yang mengalami retardasi mental
dengan benar.
i. Menyebutkan penyebab retardasi mental dengan benar.
j. Menyebutkan jenis-jenis retardasi mental dengan benar.
k. Menjelaskan penanganan seseorang dengan retardasi mental dengan
tepat.
l. Menyebutkan peran keluarga dalam menghadapi seseorang dengan
retardasi mental dengan benar.
C. MATERI PENYULUHAN
1. Pengertian Kesehatan Jiwa
2. Ciri-ciri Sehat Jiwa
3. Pengertian Gangguan Jiwa
4. Ciri-ciri Gangguan Jiwa
5. Macam-Macam Gangguan Jiwa
6. Penyebab Gangguan Jiwa
7. Pengertian Retardasi Mental
8. Ciri-ciri Seseorang dengan Retardasi Mental
9. Penyebab Retardasi Mental
10. Klasifikasi Retardasi Mental
11. Penanganan Seseorang dengan Retardasi Mental
12. Peran Keluarga dalam Menghadapi Seseorang dengan Retardasi
Mental
D. METODE
Ceramah, diskusi.
E. SASARAN
Keluarga Tn.NS
Peserta
(Penyuluh)
G. KEGIATAN
H. RENCANA EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
Tahap persiapan-awal pelaksanaan :
a. Materi yang diberikan sudah siap 3 hari sebelum kegiatan berlangsung.
b. Melakukan kontrak waktu 2 hari sebelum waktu pelaksanaan.
c. Pemateri sudah siap dalam melakukan penyuluhan.
2. Evaluasi Proses
a. Proses penyuluhan dapat berlangsung dengan lancar dan peserta
penyuluhan memahami materi penyuluhan yang diberikan.
b. Peserta penyuluhan memperhatikan materi yang diberikan.
c. Selama proses penyuluhan terjadi interaksi antara penyuluh dengan
sasaran.
3. Evaluasi Hasil
Tercapai atau tidaknya TIU dan TIK Penyuluhan
Misalnya :
a. Sasaran mampu menjelaskan kembali pengertian kesehatan jiwa.
b. Sasaran mampu menyebutkan kembaliciri-ciri sehat jiwa.
c. Sasaran mampu menjelaskan kembali pengertian gangguan jiwa.
d. Sasaran mampu menyebutkan ciri-ciri gangguan jiwa.
e. Sasaran mampu menyebutkan macam-macam gangguan jiwa.
f. Sasaran mampu menyebutkan penyebab gangguan jiwa.
g. Sasaran mampu menjelaskan kembali pengertian retardasi mental.
h. Sasaran mampu menyebutkan ciri-ciri seseorang dengan retardasi mental.
i. Sasaran mampu menyebutkan penyebab retardasi mental.
j. Sasaran mampu menyebutkan klasifikasi retardasi mental.
k. Sasaran mampu menjelaskan kembali penanganan seseorang dengan
retardasi mental.
l. Sasaran mampu menyebutkan peran keluarga dalam menghadapi
seseorang dengan retardasi mental.
I. SUMBER
Ah. Yusuf, Rinky Fitryasari PK dan Hanik Endang Nihayati. 2015. Buku Ajar
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Raistiyani Utami, Yuniara. 2009. Penyesuaian Diri dan Pola Asuh Orang Tua
yang Memiliki Anak Retardasi Mental. Online (Available) :
http://eprints.ums.ac.id/3599/1/F100030056.pdf. (Diakses pada tanggal 8
September 2016 pukul 15.30 Wita)
5. Mengatasi gangguan
Jika terdapat gangguan lain seperti gangguan visual dan pendengaran,
gangguan epilepsi, gangguan bicara dan gangguan lain dalam bahasa,
tingkah laku dan persepsi maka yang harus dilakukan untuk mencapai hasil
yang optimal adalah diperlukan terapi fisik terus menerus, terapi okupasi,
terapi bicara-bahasa, perlengkapan adaptif seperti kaca mata, alat bantu
dengar, obat anti epilepsi dan lain sebagainya. Perlu diagnosa yang tepat
untuk menetapkan gangguan, diluar hanya masalah taraf intelegensi.
6. Konseling Keluarga
Banyak keluarga yang dapat beradaptasi dengan baik ketika memiliki anak
yang menderita retardasi mental, tetapi ada pula yang tidak. Diantaranya
karena faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan keluarga dalam
menghadapi masalah perkawinan, usia orang tua, banyaknya saudara
kandung, status sosial ekonomi, tingkat kesulitan, harapan orang tua &
penerimaan diagnosis, dukungan dari anggota keluarga dan tersedianya
program-program dan pelayanan masyarakat.
EVALUASI
Kunci jawaban
1. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain apa adanya serta mempunyai sikap
positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan
interpersonal yang memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri
yang positif, dan kestabilan emosional.
2. Retardasi mental adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti
atau tidak lengkap, yang terutama ditandai oleh adanya keterbatasan
keterampilan selama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada semua
tingkat inteligensia yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.
3. Ciri ciri seseorang dengan retardasi mental
a. Hiperaktivitas seperti meraih obyek tanpa tujuan, tidak bisa diam dan
duduk lama
b. Mengganggu teman (anak lain) dengan memukul, meludahi, mencubit
teman, mengambil milik orang lain dan mengoceh/mengomel
c. Beralih perhatian yaitu sulit memusatkan perhatian pada suatu
kegiatan/pekerjaan dan cepat beralih perhatian atau merespon semua obyek
yang ada di sekitarnya
d. Mudah frustasi yaitu menghentikan aktivitas/pekerjaan jika tidak berhasil
dan disalahkan orang lain (teman, guru)
e. Sering menangis yaitu menangis tanpa sebab yang jelas, menangis jika
merasa terganggu dan tidak terpenuhi keinginannya
f. Merusak benda/barang seperti merobek buku, menggigit pensil/pulpen,
melempar barang, menggigit meja/kursi, mencorat-coret meja, mengotori
dinding, membanting pintu/jendela dan melempar kaca jendela
g. Melukai diri dengan membentur-benturkan kepala, memukul-mukul
pipi/dagu, mengorek-ngorek luka di tangan atau kaki dan menjambak
rambut
h. Meledak-ledak (impulsif) yaitu mudah marah/tersinggung dan tidak
kooperatif
i. Menarik diri yaitu pemalu, tidak ada keberanian dalam komunikasi dan
berhadapan dengan orang lain, menutup wajah dan menundukkan kepala.
4. Penyebab retardasi mental :
a. Infeksi dan atau intoksinas
b. Terjadinya rudapaksa dan / atau sebab fisik lain
c. Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi
d. Penyakit otak yang nyata
e. Penyakit atau pengaruh prenatal
f. Kelainan kromosom
g. Prematuritas
h. Akibat gangguan jiwa yang berat
i. Deprivasi psikososial
5. Peran keluarga :
a. Mengenal adanya penyimpangan awal sedini mungkin
b. Mengambil keputusan dalam mencari pertolongan atau bantuan kesehatan
untuk anggota keluarga
c. Memberi perawatan bagi anggota keluarga yang sakit, cacat, atau
memerlukan bantuan dan menanggulangi keadaan darurat
d. Menciptakan lingkungan keluarga yang sehat
e. Memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat
f. Menciptakan lingkungan yang sehat jiwa bagi anggota keluarga
g. Saling mencintai, menghargai dan mempertcayai antar anggota keluarga
h. Saling membantu dan memberi antar anggota keluarga
i. Saling terbuka dan tidak ada dikriminasi
j. Memberi pujian dan punishment sesuai dengan perilaku
k. Menghadapi ketegangan dengan tenang dan menyelesaikan masalah secara
tuntas
l. Menunjukan empati antar anggota keluarga
m. Membina hunbungan dengan masyarakat
n. Menyediakan waktu untuk kebersamaan, seperti : rekreasi bersama antar
anggota
Lampiran 3
DOKUMENTASI KEGIATAN