You are on page 1of 32

Konseling Genetik dan Skrining Janin dengan Riwayat Keluarga Down

Syndrome
Gita Nur Azizah
102013182
Gyta.azizah@yahoo.com
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
jl. Arjuna Utara no. 6, Jakarta Barat

Pendahuluan

Down Syndrom (Down syndrome) adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan


fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom.
Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat
terjadi pembelahan. Selain itu down syndrome juga disebabkan oleh hasil daripada penyimpangan
kromosom semasa konsepsi. Kromosom adalah merupakan serat-serat khusus yang terdapat
didalam setiap sel didalam badan manusia dimana terdapat bahan-bagan genetik yang menentukan
sifat-sifat seseorang. Pada individu normal jumlah kromosom adalah 46 kromosom atau 23 pasang
kromosom termasuk kromosom seks (XX dan XY). Kromosom itu sendiri adalah struktur
terorganisir dari DNA dan protein yang ditemukan dalam sel.1

Kelainan kromosom yaitu dapat berupa kelainan jumlah kromosom (aneuploidy dan poliploidi)
dan kelainan struktur kromosom itu sendiri. Setiap perubahan dalam jumlah kromosom normal
manusia yang berjumlah 46 disebut aneuploidy. Aneuploidy merupakan kelainan yang
menyebabkan individu yang terkena mewarisi tambahan kromosom (trisomosi) atau kehilangan
kromosom (monosomi), atau memiliki kelipatan abnormal komplemen kromosom normal
(poloploidi).2

Trisomy 21 atau disebut juga dengan down syndrome adalah kelainan genetik yang terjadi
pada sekitar 1 dari 800 kelahiran hidup. Trisomi merupakan kelaian jumlah paling sering
disebabkan oleh nondisjungtion, yaitu kromosom berpasangan dengan benar, tetapi gagal memisah
sewaktu meiosis. Resiko nondisjungtion meningkat seiring usia ibu. Harapan hidup untuk individu
dengan sindrom Down telah secara dramatis meningkat selama beberapa dekade terakhir sebagai
perawatan medis dan inklusi sosial telah membaik. Seseorang dengan sindrom Down dalam
kesehatan yang baik akan rata-rata hidup sampai usia 55 atau lebih.3

Anamnesis

Anamnesis merupakan pengambilan data yang dilakukan dengan mengajukan serangkaian


pertanyaan pada pasien (autoanamnesis) maupun pada keluarga pasien (alloanamnesis). Hal ini
dilakukan bertujuan untuk mengungkap peristiwa/kejadian-kejadian apa saja sehingga dapat
menegakkan dan menyingkirkan diagnosis. Pada anamnesis ditanyakan mengenai keluhan utama
yang dan lamanya, riwayat penyakit sekarang (karakter keluhan utama, perkembangan dan
perburukannya, kemungkinan adanya faktor pencetus, dan keluhan penyerta), riwayat penyakit
dahulu, riwayat kesehatan keluarga termasuk riwayat penyakit menahun, riwayat pribadi
(kelahiran, imunisasi, makan dan kebiasaan) dan riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal,
kebersihan, sosial ekonomi).

Anamnesis yang dapat dilakukan jika menghadapi kasus seperti ini adalah:

Menanyakan apakah ada yang bisa dibantu dan keluhan-keluhan pasien.


Menanyakan identitas suami (umur, pekerjaan, dan lain-lain)
Menanyakan riwayat pernikahan (consanguity, berapa lama menikah, berapa kali menikah)
Menanyakan apakah sebelumnya pernah hamil, riwayat kehamilan dahulu dan sekarang
Menanyakan apakah ada riwayat keguguran.
Menanyakan bagaimana keadaan anak sebelumnya.
Menanyakan apakah ada kesulitan pada kehamilan sebelumnya.
Menanyakan apakah ada riwayat dari pihak keluarga istri dan suami yang terkena penyakit
genetic seperti sindrom Down.
Menanyakan apakah ibu tersebut pernah menderita penyakit infeksi sebelum atau terkena
paparan radiasi sebelumnya.

Pemeriksaan Fisik

Umum. Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan jantung dan paru-paru, reflex, serta tanda-tanda
vital seperti tekanan darah, denyut nadi, suhu, dan pernapasan. Pemeriksaan umum pada ibu hamil
bertujuan untuk menilai keadaan umum ibu, status gizi, tingkat kesadaran, serta ada tidaknya
kelainan bentuk badan.4

Pemeriksaan Kehamilan. Pemeriksaan kehamilan sebelum umur 20 minggu tidak sepenuhnya


dapat dilakukan menurut metode yang lazim sebagai berikut:5

a. Anamnesis
b. Pemeriksaan dengan inspeksi
c. Pemeriksaan dengan palpasi
d. Pemeriksaan dengan auskultasi
Ini disebabkan oleh tanda kehamilan yang pasti belum seluruhnya dapat ditetapkan. Dengan
demikian, hasil pada pemeriksaan kehamilan muda masih merupakan dugaan hamil.5

Pemeriksaan inspeksi meliputi hal-hal berikut:

Inspeksi dilakukan untuk menilai keadaan ada tidaknya cloasma gravidarum pada muka/wajah,
pucat atau tidak pada selaput mata, dan ada tidaknya edema. Pemeriksaan selanjutnya adalah
pemeriksaan leher untuk menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar gondok atau kelenjar limfe.
Pemeriksaan dada untuk menilai bentuk buah dada dan pigmentasi putting susu. Pemeriksaan perut
untuk menilai apakah perut membesar ke depan atau ke samping, keadaan pusat, pegmentasi linea
alba, serta ada tidaknya striae gravidarum. Pemeriksaan vulva untuk menilai keadaan perineum,
ada tidaknya tanda Chadwick, dan adanya fluor. Kemudian pemeriksaan ekstremitas untuk menilai
ada tidaknya varises.4

Pemeriksaan Palpasi. Melakukan pemeriksaan dengan jalan melakukan perabaan pada organ yang
terkait dengan perubahan kehamilan tersebut. Palpasi abdomen khususnya: tinggi fundus uteri dan
palpasi janin intrauteri. Hal-hal yang dapat ditemukan pada pemeriksaan palpasi adalah:5

Uterus membesar
Tinggi fundus mencerminkan umur kehamilan
Tanda piscacek teraba
Balotemen seluruhnya terjadi pada abdomen
Gerak janin teraba
Tanda Hegar teraba
Balotemen vaginal dapat dibuktikan
Pemeriksaan Auskultasi untuk mendengarkan detik jantung janin, pada umur kehamilan kurang
dari 16-20 minggu masih sulit dengan menggunakan stetoskop Laenek. Pemeriksaan auskultasi
dengan mempergunakan Dopton sudah dapat didengar pada akhir minggu ke-12-14, sedangkan
stetoskop Laenek baru dapat didengar pada akhir minggu ke-20.5

Pemeriksaan penunjang

Selama 20 tahun terakhir, teknologi baru telah meningkatkan metode deteksi kelainan janin,
termasuk sindrom Down. Dalam deteksi sindrom Down dapart dilakukan deteksi dini sejak dalam
kehamilan. Dapat dilakukan tes skrening dan tes diagnostik. Dalam tes diagnostik, hasil positif
berarti kemungkinan besar pasien menderita penyakit atau kondisi yang memprihatinkan.
Skrining, tujuannya adalah untuk memperkirakan risiko pasien yang memiliki penyakit atau
kondisi.6,7

Skrining terdiri dari blood test dan/atau sonogram. Pada sonogram, tehnik pemeriksaan yang
digunakan adalah Nuchal Translucency (NT test). Ujian ini dilakukan pada minggu 11-14
kehamilan. Yang diuji adalah jumlah cairan di bawah kulit pada belakang leher janin. Tujuh dari
sepuluh bayi dengan sindrom down dapat dikenal pasti dengan tehnik ini. Hasil uji sonogram akan
dibandingkan dengan uji darah. Pada darah ibu hamil yang suspek bayinya sindrom down, apa
yang diperhatikan adalah plasma protein-A dan hormon human chorionic gonadotropin (HCG).
Hasil yang tidak normal menjadi indikasi bahwa mungkin adanya kelainan pada bayi yang
dikandung.6,7

Tes diagnostik cenderung lebih mahal dan memerlukan prosedur yang rumit; tes skrining
cepat dan mudah dilakukan. Namun, tes skrining memiliki lebih banyak peluang untuk salah: ada
false-positif (test menyatakan kondisi pasien ketika pasien benar-benar tidak) dan false-
negatif (pasien memiliki kondisi tapi tes menyatakan dia / dia tidak).6

1. Maternal Serum Screening


Darah ibu diperiksa kombinasi dari berbagai marker: alpha-fetoprotein (AFP),
unconjugated estriol (uE3), dan human chorionic gonadotropin (hCG) membuat tes standar,
yang dikenal bersama sebagai tripel tes.Tes ini merupakan independen pengukuran, dan
ketika dibawa bersama-sama dengan usia ibu (dibahas di bawah), dapat menghitung risiko
memiliki bayi dengan sindrom Down.Selama lima belas tahun terakhir, ini dilakukan dalam
kehamilan 15 sampai minggu ke-18 Baru-baru ini, tanda lain yang disebut Papp-A ternyata
bisa berguna bahkan lebih awal.6,7

Alpha-fetoprotein dibuat di bagian rahim yang disebut yolk sac dan di hati janin, dan
sejumlah AFP masuk ke dalam darah ibu. Pada sindrom Down, AFP menurun dalam darah
ibu, mungkin karena yolk sac dan janin lebih kecil dari biasanya.
Estriol adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, menggunakan bahan yang dibuat oleh
hati janin dan kelenjar adrenal. estriol berkurang dalam sindrom Down kehamilan.
Human chorionic gonadotropin hormon yang dihasilkan oleh plasenta, dan digunakan
untuk menguji adanya kehamilan. bagian yang lebih kecil tertentu dari hormon, yang
disebut subunit beta, adalah sindrom Down meningkat pada kehamilan.
Inhibin A adalah protein yang disekresi oleh ovarium, dan dirancang untuk menghambat
produksi hormon FSH oleh kelenjar hipofisis. Tingkat inhibin A meningkat dalam darah
ibu dari janin dengan Down syndrome, yang dihasilkan oleh selubung telur yang baru
dibuahi. Pada trimester pertama, rendahnya tingkat protein ini terlihat dalam sindrom
Down kehamilan.
Pertimbangan yang sangat penting dalam tes skrining adalah usia janin (usia
kehamilan). Analisis yang benar komponen yang berbeda tergantung pada usia kehamilan
mengetahui dengan tepat. Cara terbaik untuk menentukan bahwa adalah dengan USG.

2. Ultrasonografi (USG) Screening


Kegunaan utama USG (juga disebut sonografi) adalah untuk mengkonfirmasi usia
kehamilan janin (dengan cara yang lebih akurat daripada yang berasal dari ibu siklus haid
terakhir). Manfaat lain dari USG juga dapat mengambil masalah-masalah alam medis serius,
seperti penyumbatan usus kecil atau cacat jantung. Mengetahui ada cacat ini sedini mungkin
akan bermanfaat bagi perawatan anak setelah lahir. Pengukuran Nuchal fold juga sangat
direkomendasikan. 8
Kegunaan utama USG sebagai alat skrining mendeteksi sindroma Down dilakukan
pada trimester pertama usia kehamilan dan trimester kedua usia kehamilan. Beberapa marker
yang dapat dijumpai pada skrining trimester pertama antara lain nuchal translucency space,
kista higroma, hipoplasia atau tidak adanya os nasal, doppler duktus venosus. Pada trimester
kedua marker yang ditemukan pada USG antara lain thickness nuchal fold, echogenic
intracardiac focus, hyperechoic bowel, choroid plexus cysts, nasal bone, short long bones,
pyelectasis, ear length, iliac wing angle, fifth finger clynodactily, single umbilical artery.
Diagnosis dari sindroma Down merupakan gabungan dari skrining USG dengan marker yang
ditemukan.

Nuchal Translucency Janin


Pada skrining USG trimester pertama, marker yang paling menentukan perbedaan
sindroma Down dari kehamilan euploid adalah pengukuran ruang nuchal translucency(NT)
janin. Ruang NT janin yaitu ruang yang berisi cairan yang normal subkutan antara bagian
belakang leher janin dan kulit di atasnya. Pengukuran diambil dari tepi dalam pada garis
horizontal hingga batas tepi dalam kulit, dalam keadaan terlentang tidak hiperekstensi atau
fleksi dengan hasil pengukuran CRL (Crown Rump Length) antara 45-84 mm.
Pada janin dengan Down syndrome, ukuran ruang NT ini bisa meningkat secara signifikan.
Kemungkinan penyebabnya berisi cairan oleh karena gagal jantung sekunder yang disebabkan
malformasi struktur serta perkembangan sistem limfatik yang abnormal atau terhambat.
Tingkat sensitifitas deteksi untuk sindroma Down dengan pengukuran ruang nuchal
translucency adalah >70%, dengan tingkat false-positive 5%. Ketika pengukuran ruang NT
adalah 3mm atau lebih, CVS harus dilakukan dengan segera karena risiko minimum aneuploid
adalah 1/6.8

3. Amniocentesis
Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung sel-sel
janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada tahun 1880 untuk
dekompresi polihidramnio. Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal pertama
kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas menjadi metode
untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit yang diturunkan, dan
beberapa infeksi kongenital.8
Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin. Sel-
sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan dikeluarkan
dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-sel ini
dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH. Namun
laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis karena banyak
mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur. 8
Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan pada usia
kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah memadai (sekitar 150
ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable mencapai rasio terbesar. 3
Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk menentukan
jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi anomali pada
janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta memperkirakan jumlah air
ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu dan operator memakai sarung
tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-22 pada kantong amnion yang
tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya dilakukan pada daerah fundus untuk
mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan sedapat mungkin menghindari daerah
plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan pada daerah plasenta sebaiknya dibantu
dengan color doppler untuk mengidentifikasi pembuluh darah dan lakukan tusukan pada
daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta. Prosedur ini biasanya memerlukan anestesi
lokal. 8
Dapat dilakukan dengan teknik free hand dimana tangan operator yang satu
memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar
jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan
jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang
pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-sel
maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk analisa
sitogenetika.8
Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat dilakukan
pada lokasi lain setelah terlebih dahulu menilai kembali keadaan janin dan letak plasenta.
Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi penyebab kegagalan. Bila
tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis untuk beberapa hari kemudian,
jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.8
Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan amniosintesis
midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini yang berhubungan
dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas diperkirakan risiko abortus
berkisar 0,5 1%.8
Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan. Sudah
ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat tusukan jarum namun jarang
terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan tuntunan USG dapat mengurangi risiko tersebut
dan juga risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis midtrimester meliputi
korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan pervaginam. Insidens
korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban terjadi pada 1-2% penderita,
namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi cairan dan pada umumnya luaran
kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam juga sekitar 1% dan berhubungan dengan
ukuran jarum yang dipakai.8
Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif setelah
amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan menghindari
pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan pemberian anti-D
immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien Rh-negatif
yang belum tersensitasi.8
4. Pemeriksaan villi korialis (CVS)
Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa
kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih lanjut
sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin sudah
mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga diusahakan
untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama.8
Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun 1975
yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan kateter halus
ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada hambatan, kemudian
pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.
Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 9-12 minggu,
untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode biokimia yang
dapat diaplikasikan pada jaringan villi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi anomali kromosom,
defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam kehamilan terutama pada
penyakit turunan.
Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun transabdominal.
Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung janin dan
letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka tambahan
pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus, namun hindari
pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus keluar dari rongga
pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat pengambilan sampel yang dapat
mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi kateter.8
Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian
masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5 cm)
sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus dengan
tuntunan USG sampai terasa tahanan menghilang pada endoserviks. Operator menunggu
sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter dimasukkan sejajar
dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan pasang tabung pengisap 20
ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang terisap ke dalam tabung dapat dilihat
dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang terapung dalam media. Kadang kala
diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan
desidua ibu ikut terambil namun mudah dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk).
Bila tidak berhasil mendapat jaringan villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua.
Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid Jensen dan
Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau 20
ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam tabung
20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai lebih kecil
dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju mundur pada
ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil. Berbeda dengan
teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu, teknik ini dapat
dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi alternatif untuk amniosintesis dan
pemeriksaan darah janin. 8
Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan yang
ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi anggota
gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk reduksi
anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan setelah usia >
11 minggu.8
Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan hasil
negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil, namun di senter
yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.8
5. Pemeriksaan darah janin / kordosentesis 8
Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin
dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke dalam
tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical blood
sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah yang sering
digunakan. 8
Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik.
Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari
kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat namun
dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi korialis dan
amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan ini adalah bila
ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi plasenta. Pemeriksaan
darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat (usia kehamilan lanjut) pada
kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan karyotype atau untuk diagnosis prenatal
retardasi mental fragile-X. 8
Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi, koagulaopathi,
penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta penentuan anemia
dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah : terapi anemia pada janin
melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada janin dengan hidrops.
Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke tempat
insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih sulit
dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran jarumnya
lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang dipakai berukuran
20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung pengisap dan isap darah
kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel darah ini berasal dari janin atau
terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang baik hal ini jarang terjadi namun lebih
bijaksana bila dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin
akan tampak lebih besar dengan MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga
dapat dilakukan pada vena intrahepatik maupun jantung janin. 8
Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah : terjadinya
hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi. Kemungkinan
untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan pemantauan denyut
jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit. Pada ibu komplikasi yang
dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus diberikan anti-D immunoglobulin
pada ibu dengan rhesus negatif.8
6. Pemeriksaan laboratorium :

*Analisis Kromosom :
Analisis kromosom dapat mendeteksi kelainan genetis seseorang. Kelainan genetis tersebut antara lain
adalah jumlah k-romosom yang abnormal, misalnya sindrom Down (Trisomi 21). Ada tiga pola
kromosom yang bisa mengakibatkan munculnya sindrom Down. Trisomi 21 (nondisjunction),
translokasi, dan mosaik. Jika satu sel telur denganjumlah kromosom abnormal (disebabkan oleh
nondisjunction) dibuahi oleh sperma yang normal, hasil fertilisasi akan mempunyai jumlah kromosom
yang tidak normal. Sebanyak 95% sindrom Down disebabkan oleh nondisjunction. Pada translokasi
sebagian dari kromosom 21 terpecah dalam proses pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang
lain. Adanya potongan tambahan dari kromosom 21 inilah yang mengakibatkan munculnya
karakteristik sindromDown. Pada mosaik, penderita sebagian memiliki jumlah kromosom yang normal
dan sisanya memiliki trisomi 21.
*Studi sitogenetik: Karyotyping penderita dan orang tua penderia (untuk kepentingan konseling
genetik)
*Pemeriksaan lainnya:
Fluorescence In Situ Hybridization (FISH): digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21 secara cepat,
baik pada masa prenatal maupun masa neonatal
Indikasi Prenatal Diagnostik pada Pasien Dengan Family History Syndrom Down

Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35 tahun),
abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test lain yang positif.
Secara singkat indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut: 2
Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani pemeriksaan
diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai meningkat dengan cepat. Hal
ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis ibu. Pada usia 35 tahun kemungkinan untuk
mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli
yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia 33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.2

Pasangan yang pernah mempunyai anak trisomi mempunyai kemungkinan rekurens sebesar
1% sehingga perlu ditawari untuk diagnosis prenatal. Saudara kandung dan keluarga dekat (tingkat
kedua) dari penderita sindroma Down juga mempunyai sedikit peningkatan risiko untuk mendapat
keturunan yang menderita sindroma Down, namun banyak penelitian yang tidak menemukan
peningkatan insiden sindroma Down dalam keluarga pada tingkat kedua dan ketiga.9

Translokasi dan rearrangement struktur kromosom yang lain merupakan predisposisi untuk
mendapat keturunan dengan kelainan kromosom. Pasangan yang salah satu partnernya adalak
karier translokasi berimbang resiprocal mempunyai risiko tinggi untuk mendapat abortus berulang.
Diagnosis prenatal pada keturunannya menemukan hampir 10-12% dengan translokasi kromosom
yang tidak berimbang. Turunan dari penderita karier translokasi Robertsonian berisiko untuk
mendapat turunan dengan trisomi dan monosomi, bahkan pada karier translokasi robertsonian 21-
21 seluruh keturunannya diprediksi akan menjadi trisomi atau monosomi (lethal) kromosom 21.9

Riwayat keluarga dengan defek gen tunggal, yang memerlukan diagnosis prenatal
tergantung dari banyak faktor, seperti berapa jauh hubungan kekerabatan antara anggota keluarga
yang sakit dengan individu yang meminta konseling, demikian juga halnya frekuensi dari penyakit
tersebut dalam populasi.9

Pasangan keluarga yang mempunyai anak dengan kelainan gen, akan mempunyai risiko
berulang, tetapi risiko ini akan menurun dengan bertambah jauhnya jarak dengan individu yang
berisiko. Sebagai contoh orang tua dengan anak kelainan autosomal resesif mempunyai risiko
kelainan berulang 25% setiap kehamilannya, sebaliknya keturunan dari saudara kandungnya
mempunyai risiko 2/3 x risiko bila partnernya karier (frekuensi karier dalam populasi bila tidak
ada riwayat dalam keluarga) x risiko untuk mendapat keturunan yang sakit bila kedua orang tuanya
karier (1/4).2

Sindrom Down (Trisomi 21)

Kelainan ini pertama kali diketahui oleh Seguin dalam tahun 1844, tapi tanda tanda klinis
tentang kelainan ini mula mula diuraikan dalam tahun 1866 oleh seorang dokter bangsa inggris
J. Langdon Down. Nerdasarkan pasien yang menunjukkan tanda tanda tuna mental dan adanya
lipatan pada kelopak mata, maka kelainan ini semula disebut mongolisme. Tetapi agar supaya
tidak menyakiti hati bangsa Mongol, maka cacat ini kemudian dinamakan sindroma Down.10

Karyotype dari penderita sindroma Down ini terjadi pada autosom, maka penderita dapat
mengenai laki laki atau perempuan, sehingga formula kromosomnya dapat ditulis ebagai berikut
:10

1. Untuk laki laki (47 XY + 21)


2. Untuk perempuan (47 XX + 21)
Penderita sindroma down biasanya bertubuh pendek dan puntung, lengan atau kaki kadang
kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, mulu selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung
lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, jarak lebar antara kedua mata, kelopak mata
mempuinyai lipatan epikantus sehingga mirip orang oriental, iris mata kadang kadang berbintik
yang disebut bintik bintik Brushfield.10

Tangan dan kaki terliaht lebar dan tumpul, telapak tangan kerap kali memiliki garis tangan
yang mendatar, ibu jari kaki dan jari kedua tidak rapat, mata hidung dan mulut tampak kotor serta
gigi tampak rusak. IQ rendah antara 25 75, mempunyai kelainan jantung dan tidak resisten
terhadap penyakit. Dahulu biasanya berumur maksimal berumul 20 tahun, sekarang dengan
tersedianya berbagai macam antibiotika, usia mereka kini dapat diperpanjang. Resiko
mendapatkan anak sindrom down tidak tergantung dari bangsa, kedudukan atau keadaan social
orang tua. Pada saat ini sindrom down merupakan cacat (abnormalitas) kelahiran yang paling
banyak dijumpai dengan frekuensi satu dalam 600 kelahiran hidup. Dari sudut sitology dapat
dibedakan dua tipe sindrom down.10
1. Sindrom Down triplo-21 atau trisomy-21, sehingga penderita memiliki 47 kromosom.
Penderita laki-laki = 47, XY, +21 sedangkan penderita perempuan = 47, XX, +21. Kira-
kira 92,5% dari semua kasus sindrom Down tergolong dalam tipe ini.
2. Sindrom Down translokasi. Translokasi ialah peristiwa terjadinya perubahan struktur
kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom bersambungan dengan potongan
kromosom lainnya yang bukan homolognya.
Pada sindrom Down translokasi, lengan panjang dari autosomal nomor 21 melekat pada
autosomal lain, kadang-kadang dengan autosomal nomor 15 tetapi paling seringdengan autosomal
14. Dengan demikian individu yang menderita sindrom Down translokasi memiliki 46 kromsom.10

Kromosom yang mengalami translokasi dinyatakan dengan tulisan: t(14q21q) yang


diartikan t + translokasi; 14q=lengan panjang dari autosom; 21q = lengan panjang dari autosom
21 (Lengan pendek dari sebuah kromosom dinyatakan dengan huruf p). Penderita dari kedua tipe
sindrom Down itu identic. 10

Working Diagnosis
Diagnosis kerja dari kasus ini adalah G2P1A0 dengan janin suspek Sindrom Down (dengan
anggapan ibu ini belum pernah mengalami keguguran). Hal ini didasarkan karena usia ibu tersebut
saat kehamilan termasuk beresiko dan sebelumnya memiliki riwayat melahirkan anak dengan
sindrom Down.
Pemeriksaan kariotipe pada semua penderita sindrom Down adalah untuk mencari
adanya translokasi kromosom. Kalau ada, maka kedua ayah dan ibunya harus diperiksa. Kalau dari
salah satu ayah/ibunya karier, maka keluarga lainnya juga perlu diperiksa, untuk mengetahui
apakah kejadiannya disebabkan oleh translokasi kromosom atau trisomy. Hal ini sangat berguna
untuk pencegahan.
Diagnosis antenatal dengan pemeriksaan cairan amnion atau vili korionik, dapat dilakukan
secepatnya pada kehamilan 3 bulan. Dengan kultur jaringan dan pemeriksaan kariotipe 99%
sindrom Down dapat didiagnosis secara antenatal. Diagnosis antenatal perlu pada ibu hamil
yang berumur lebih dari 35 tahun, atau pada ibu yang sebelumnya pernah melahirkan anak
dengan sindrom Down.
Diagnosis Banding

Sindroma Trisomi-13 (Sindroma Patau)


Trisomi 13 ( 47 XX, +13 atau 47 XY, +13 ) kondisi ini yang juga dinakan Sindrom Patau.
Biasanya fatal pada tahun pertama kehidupan, hanya 8,6% bayi bertahan hidup melewati
ulang tahun pertama mereka. Bayi dengan trisomi 13 memiliki banyak malformasi. Bayi ini kecil
usia kehamilan dan mikrosefalik. Sering ditemukan defek fasial garis tengah, seperti siklop ( orbita
tunggal ), sebosefali ( nostril tunggal ), dan bibir dan palatum sumbing, demikian juga dengan
sistem anomali sistem saraf pusat, seperti holoprosensefali alobar. Kening tampak sloping, telinga
sering didapatkan berukuran kecil dan malformasi, mungkin didapatkan mikrotalmia atau
anoftalmia. Polidaktili postaksial tangan sering dijumpai, demikian juga dengan clubfeet
atau rocker-bottom feet. Hipospadia dan kriptorkidisme sering dijumpai pada anak laki-laki,
sedangkan anak perempuan umumnya mengalami hypoplasia labia minora. Kebanyakan bayi
dengan trisomi 13 juga memiliki penyakit jantung kongenital. Banyak bayi dengan kondisi ini
memiliki lesi tengkorak berbentuk punched-out di oksiput kiri atau kanan yang disebut aplasia
kutis kongenital, bila ditemukan bersama dengan polidaktili dan beberapa atau semua kelainan
wajah yang disebutkan sebelumnnya maka temuan tersebut patognomonik untuk diagnosis trisomi
13.11
Sindroma ini jarang ditemukan pada anak-anak dan tidak pernah pada anak dewasakarena
cacat yang hebat ini mendatangkan kematian pada usai sangat muda, yaitu tigu bulan pertama
setelah lahi. Tetapi bebrapa anak dapat hidup mencapai usia 5 tahun. Sindroma trisomy-13 yang
disebut dengan sindrom platau terjadi karena nondisjunction.10

Sindrom Patau juga dapat terjadi ketika bagian dari kromosom 13 menjadi melekat pada
kromosom lain (translokasi) sebelum atau pada saat pembuahan dalam translokasi Robertsonian.
Orang yang terkena memiliki dua salinan dari kromosom 13, ditambah bahan tambahan dari
kromosom 13 melekat pada kromosom lain. Dengan translokasi, orang tersebut memiliki
trisomi parsial untuk kromosom 13 dan sering tanda-tanda fisik dari sindrom berbeda dari
sindrom Patau khas. Sebagian besar kasus sindrom Patau tidak diwariskan, tetapi terjadi peristiwa
yang acak selama pembentukan sel-sel reproduksi (telur dan sperma). Sebuah kesalahan dalam
pembelahan sel yang disebut non - disjungsi dapat menghasilkan sel-sel reproduksi dengan jumlah
abnormal kromosom. Sebagai contoh, sel telur atau sperma dapat memperoleh salinan ekstra
kromosom. Jika salah satu dari sel-sel reproduksi atipikal berkontribusi pada susunan genetik
seorang anak, anak akan memiliki ekstra kromosom 13 di setiap sel tubuh. Sindrom Patau Mosaic
juga tidak diwariskan. Hal ini terjadi sebagai kesalahan acak selama pembelahan sel
pada awal perkembangan janin. Sindrom Patau karena translokasi dapat diwariskan. Orang yang
terpengaruh dapat membawa penataan ulang materi genetik antara kromosom 13 dan kromosom
lain. Penataan ulang ini disebut translokasi seimbang karena tidak ada bahan tambahan dari
kromosom 13. Meskipun mereka tidak memiliki tanda-tanda sindrom Patau, orang yang membawa
jenis translokasi seimbang berada pada peningkatan risiko memiliki anak dengan kondisi
tersebut.12
Sindroma trisomi-18 (sindrom Edward)

Trisomi 18 ( 47 XX, +18 atau 47 XY, +18 ) atau juga disebut Sindrom Edward adalah
trisomy autosomal kedua tersering, terjadi pada 1 dari 7500 kelahiran hidup. Lebih dari 95% hasil
konsepsi dengan trisomi 18 mengalami aborsi spontan pada trimester pertama. Trisomi 18
umumnya letal, hanya kurang dari 10% bayi yang terkena dapat bertahan sampai ulang tahun
pertama. Sebagian besar bayi dengan trisomi 18 lahir kecil untuk usia kehamilan. Anak dengan
trisomi 18 mengalami defiensi pertumbuhan intrauterin, konstelasi konsisten abnormal
kraniofasial dan anggota gerak, serta peningkatan kejadian defek struktural tertentu. Sekitar 90%
bayi ini meninggal saat berusia 1 tahun, seringkali karena malformasi sistem saraf pusat
atau jantung atau infeksi pernapasan, alasan pasti penurunan daya tahan hidup tidak selalu
diketahui. Sedikit individu yang mampu bertahan hidup sampai masa remaja memiliki retardasi
mental nyata.13
Sindrom ini memiliki frekuensi 1 dalam 8000 kelahiran dan 3-4 kali lebih sering pada
wanita. Sama seperti aneuploid lainny, risiko insiden lebih tinggi pada trisemester pertama, dan
85% fetus meninggal dalam 10 minggu dan saat teminasi. Translokasi Kromosom 18. Kejadian
ini. walaupun jarang, telah mengakibatkan terjadinya sindroma trisomi-18 yang parsial, yaitu
hanya sebagian saja dari 1 kromosom No. 18 diduplikasikan oleh pemanjangan lengannya yang
panjang atau oleh translokasi kepada sebuah kromosom yang lain. Penegakan diagnosis trisomi
parsial pada umumnya didasarkan atas gambaran klinik, oleh karena dengan tidak terdapatnya
saling translokasi pada 1 orang tua, maka tidaklah mungkin untuk memastikan, secara sitologik,
asal usul bahan kromosom tambahan tersebut. Sebagaimana halnya dengan translokasi sindroma
Down, keturunan dari 6 jenis kromosom yang berbeda-beda dapat timbul sebagai akibat pemisahan
kromosom yang terjadi pada 1 orang tua yang menjadi pembawa, tetapi besar sekali
kemungkinannya hanya 3 saja yang dapat bertahan untuk tetap terus hidup: kariotip yang normal,
pembawa translokasi yang berimbang serta trisomi-18 yang parsial; secara teoritis dalam
perbandingan yang sama.13

Sindrom ini dikenali dengan wajah yang sempit dengan jembatan hidung tinggi, fisura
palpebra pendek, mikrognatia dan mulut kecil, malformasi telinga, bersama dengan tangan yang
mengepal, jari-jari bertumpang tindih, dan kuku-kuku hipoplastik, hipertonia, oksiput prominen,
dagu yang mundur ke belakang, malformasi telinga dan telinga letak rendah, sternum pendek,
rocker-bottom feet. Tangan penderita clenched, dengan. Hampir 95% memiliki defek pada
jantung, umumnya berupa defek septum ventrikel dan atrium atau patent ductus arteriosus.
Anomali lainnya adalah ginjal yang berbentuk seperti tapal kuda, aplasia tulang radius,
hemivertebrata, hernia inguinalis serta umbilikalis, diastasis, dan imperforate anus. Umumnya
memenderita keterbelakangan mental, hipotonia, kegagalan bertumbuh dengan subur dan sehat
dengan berat badan lahir rendah. Terdapat juga cacat fleksi jari-jari tangan, ibu jari kaki yang
pendek dan dalam keadaan dorsifleksi, dengan kaki mendatar seperti kursi goyang atau
ekuinorvarus.14

Faktor resiko

1. Factor usia ibu


Faktor risiko hanya dikenal untuk mengandung seorang anak dengan sindrom Down adalah
usia ibu lanjut. Wanita tua itu pada saat pembuahan, semakin besar risiko memiliki anak
dengan sindrom Down. Ibu usia Risiko konsepsi sindrom Down antara lain:15
25 tahun 1 di 1.250
30 tahun 1 di 1.000
35 tahun 1 di 400
40 tahun 1 dari 100
45 tahun 1 dalam 30
Orang tua yang telah dikandung seorang anak dengan sindrom Down memiliki peningkatan
risiko 1% hamil anak lain dengan sindrom Down. Jika orangtua adalah pembawa translokasi
kromosom 21, risiko dapat setinggi 100%. Wanita dengan sindrom Down memiliki risiko 50%
untuk hamil anak dengan sindrom Down. Jika ayah memiliki sindrom Down, risiko mengandung
seorang anak dengan sindrom Down juga meningkat. 15
2. Ayah yang berusia lebih dari 40 tahun bila beristrikan wanita berusia lebih dari 35 tahun
memiliki resiko 2 kali lipat dibanding biasanya. Akan tetapi bila wanita berada di
bawah usia 35 tahun, usia ayah tidak berpengaruh walaupun Down syndrome tetap dapat
terjadi.
3. Wanita yang memiliki riwayat melahirkan bayi down syndrome memiliki resiko melahirkan
bayi dengan down syndrome lainnya sebesar 1/100.
4. Translokasi sindrom Down adalah jenis-satunya yang kadang-kadang langsung
diwariskan. Namun sebagian besar tipe translokasi Down syndrome adalah kasus-kasus
sporadis (acak), dengan tidak diketahui penyebabnya. Translokasi menyumbang sekitar 4%
dari semua kasus sindrom Down. Kesempatan untuk menyampaikan translokasi tergantung
pada jenis kelamin orang tua yang membawa kromosom disusun ulang 21:
a. Jika ayah adalah pembawa, risiko adalah sekitar 3 persen.
b. Jika ibu adalah pembawa, risiko sekitar 12 persen.
5. Adanya riwayat keluarga yang menderita down syndrome.
6. Rokok dan kontrasepsi oral meningkatkan resiko melahirkan anak down syndrome
pada wanita berusia kurang dari 35 tahun.

Etiologi

Sekitar 95% dari semua kasus sindrom Down dikaitkan dengan kelebihan kromosom 21
(kelompok G), sehingga disebut trisomi 21. Walaupun anak yang memiliki trisomi 21 dilahirkan
dari orang tua semua usia, secara statistic terdapat risiko yang lebih besar pada wanita lebih tua,
terutama mereka yang berusia lebih dari 35 tahun. Misalnya, pada wanita berusia 30 tahun insidens
sindrom Down sekitar 1 dalam 1500 kelahiran hidup, tetapi pada wanita berumur 40 tahun insiden
sekitar 1 dalam 100. Namun, mayoritas (80%) bayiyang menderita sindrom Down dilahirkan oleh
wanita berusia kurang dari 35 tahun. Pada kurang dari 5% kasus, usia ayah juga merupakan factor,
terutama pada pria berusia 55 tahun atau lebih.16

Sekitar 3% sampai 4% kasus mungkin disebabkan oleh translokasi kromosom 15 dan 21


atau 22. Tipe aberasi genetic ini biasanya diturunkan dan tidak berhubungan dengan usia orang tia
yang lanjut. Dari 1% sampai 2% individu yang menderita menunjukkan mosaisisme, yaitu sel yang
memiliki kromosom normal dan abnormal. Tingkat kerusakan fisik dan kognitif berhubungan
dengan persentase sel yang tersusun dari kromosom abnormal.16
Semenjak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindrom Down pada tahun 1959, maka
sekarang perhatian lebih dipusatkan pada kejadian nondisjunctional sebagai penyebabnya,
yaitu:16

1. Genetik
Diperkirakan terdapat predisposisi genetic terhadap non-disjunctional. Bukti yang
mendukung teori ini adalah berdasarkan atas hasil penelitian epidemiologi yang
menyatakan adanya peningkatan risiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan
sindrom Down.
2. Radiasi
Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya non-disjunctional pada
sindrom Down ini. Uchida 1981 menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak
dengan sindrom Down, pernah mengalami radiasi didaerah perut sebelim terjadinya
konsepsi. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan adanya hubungan antara radiasi
dengan penyimpangan kromosom.
3. Infeksi
Infeksi juga dikatakan sebagai salah satu penyebab terjadinya sindrom Down. Sampai saat
ini belum ada peneliti yang mampu memastikan bahwa virus dapat mengakibatkan
terjadinya non-disjunction
4. Autoimun
Factor lain yang juga diperkiraan sebagai etiologi sindrom Down adalah autoimun.
Terutama autoimun tiroid atau penyakit yang dikaitkan dengan tiroid. Penelitian Fialkow
1966 secara konsisten mendapatkan adanya perbedaan autoantibody tiroid pada ibu yang
melahirkan anak dengan sindrom Down dengan ibu control yang umurnya sama.
5. Umur Ibu
Apabila umur ibu diatas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat
menyebablan non-disjunction pada kromosom. Perubahan endokrin, seperti
meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya
konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormone, dan peningkatan
secara tajam kadar LH (Luteinizing hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormon)
secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya non-disjunction.
6. Umur ayah
Selain pengaruh umur ibu terhadap sindrom Down, juga dilaporkan adanya pengaruh dari
umur ayah. Penelitian sitogenik pada orang tua dari anak dengan sindrom Down
mendapatkan bahwa 20-30% kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi
korelasinya tidak setinggi dengan umur ibu.
Faktor lain seperti gangguan intragametik, organisasi nucleolus, bahan kimia dan frekuensi koitus
masih didiskusikan kemungkinan sebagai penyebab dari sindrom Down.16

Epidemologi

Sindrom down merupakan kelainan kromoson autosomal yang paling banyak terjadi pada
manusia. Diperkirakan angka kejadiannya terakhir adalah 1,0-1,2 per 1000 kelahiran hidup,
dimana 20 tahun sebelumnya dilaporkan 1,6 per 1000. Penurunan ini diperkirakan berkaitan
dengan menurunnya kelahiran dari wanita berumur. Sindrom dowm sangat erat kaitanan dengan
umur ibu. Diperkirakan 20% anak dengan syndrome down dilahirkan oleh ibu yang berumur diatas
35 tahun. Sindrom down dapat terjadi pada semua ras. Dikatakan bahwa angka kejadiannya pada
bangsa kulit putih lebih tinggi dibandingkan dengan kulit hitam, tetapi perbedaan ini tidak
bermakna. Sedangkan angka kejadian pada berbagai golongan social ekonomi adalah sama.10

Patofisiologi

Dari sudut sitologi, dapat dibedakan dua tipe sindrom down : 17


1. Sindroma Down Triplo 21 atau Trisomi 21, dimana pasien mempunyai kelebihan
sebuah autosom nomor 21 sehingga penderita memiliki 47 kromosom. Penulisan
kromosomnya sebagai berikut :
Penderita laki-laki = 47, XY, + 21.
Penderita perempuan = 47, XX, +21
Cara penulisan + 21 berarti ada kelebihan autosom nomor 21. Pada Sindroma Down trisomi-21,
nondisjunction dalam miosis 1 menghasilkan ovum yang mengandung 2 buah autosom nomor 21 dan
bila ovum ini dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa autosom nomor 21, maka terbentuklah
zigot trisomi-21.

2. Sindrom Down Translokasi


Translokasi adalah peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom, disebabkan karena
suatu potongan kromosom bersambung dengan potongankromosom lainnya yang bukan
homolognya. Pada sindrom down translokasi, lengan panjang dari autosom nomor 21 melekat
pada autosom lain, kadang kadang dengan autosom nomor 15, tetapi yang lebih sering
dengan autosom nomor 14. Dengan demikian individu yang menderita sindroma Down
translokasi memiliki 46 kromosom.
Kromosom yang mengalami tranlokasi dinyatakan dengan tulisan : t(14q21q) yang dapat
diartikan t : translokasi, 14q : lengan panjang dari autosom 14, 21q : lengan panjang dari
autosom 21.
Pada sindrom down translokasi ini dikenal istilah : (a) Translokasi resiprokal
yaituterjadi bila 2 kromosom bertukar sebagai materigenetik, (b) Translokasi
robertsonian yaitu jenis translokasi resiprokal tapi batas patahnya kromosom pada atau
dekat centromere (bagian sentral) 2 buah kromosomjenis akrosentris [jenis kromosom yang
lengan pendeknya (p) sangat pendekdan tidak mengandung gen].
Sindrom Down translokasi ini termasuk dalam kelainan struktur kromosom, dimana
pada keadaan ini dapat terjadi keadaan yang balans dan tidak balans. Pada pengaturan yang
balans bagian seluruh kromosom lengkap, tidak ada penambahan atau pengurangan materi
genetik. Umumnya kelainan struktur kromosom yang balans tidak menyebabkan masalah
klinik, tetapi seseorang dengan kelainan struktur kromosom balans berpotensi mempunyai
keturunan dengan kelainan struktur kromosom yang tidak balans.

Gejala Klinis

Pola gambaran fisik bersifat khas dan memungkinkan pengenalan bahkan dalam periode
neonatal. Sebagian besar temuan wajah dan anggota gerak yang terlihat pada orang dengan
sindrom Down tidak abnormal secara sendiri-sendiri, tetapi konstelasi total gambaran itu khas.
Tabel memuat daftar frekuensi temuan fenotipik lazim yang terdapat pada bayi baru lahir.
Brakisefali, telinga kecil, fisura palpebra miring ke atas, pangkal hidung rendah, bagian tengah
wajah datar, pipi penuh, dan wajah meringis saat menangis adalah ciri kraniofasial yang paling
konsisten dan bersama-sama menghasilkan penampilan yang khas. Walaupun lipatan epikantus
dan linea simian sering dicari dalam menentukan sindrom ini, masing-masing hanya mempunyai
frekuensi sekitar 50%. Brakidaktili merupakan temuan tangan yang lebih konsisten disbanding
perubahan pada garis palmar. Garis fleksi tunggal pada jari kelima, walaupun tidak tampak pada
semua bayi, tidak lazim terdapat pada populasi umum dan merupakan ciri penting. Telinga kecil
(kurang dari 3,2 centimeter pada bayi baru lahir) dan hipotonia terlihat pada 90% bayi baru lahir.13

Defek penyakit jantung congenital terjadi pada 30-50% anak dengan sindrom Down:
sekitar sepertiga lesi berupa defek bantalan endokardium; sekitar sepertiga adalah defek septum
ventrikel; terjadi defek septum atrium tipe sekundum dan juga terdapat tetralogi Fallot. Malformasi
gastrointestinal terjadi 5-7%, biasanya atresia duodenalis. Penderita sindrom Down mempunyai
peningkatan mortalitas pada usia 10 tahun pertama kehidupannya, bahkan bila mereka yang
dengan penyakit jantung tidak dimasukkan dalam analisis ini. Namun, sebanyak 90% anak tanpa
defek jantung congenital hidup sampai masa remaja. Mortalitas yang lebih besar pada masa kanak-
kanak lebih banyak akibat infeksi, terutama pneumonia. Alasan atas kerentanan ini tidak semuanya
diketahui, tetapi terdapat bukti abnormalitas fungsi limfosit T. abnormalitas anatomi system
respirasi, seperti refluks gastroesofageal, hipertensi pulmonal primer dan apnea obstruktif saat
tidur, terjadi dalam frekuensi meningkat pada sindrom Down dan mungkin sebagian bertanggung
jawab terhadap meningkatnya insiden infeksi.13

Tabel 1. Gejala Klinis Sindroma Down13

Ciri Frekuensi (%)


Kraniofasial
Mikrosefali 50
Oksiput datar 60-80
Pusaran rambut posterior di sentral 50
Telinga kecil (3,2 cm) 95
Kelebihan kulit tengkuk leher 80
Fisura palpebra miring ke atas 70-90
Lipatan epikantus 50-70
Bercak brushfield 30-80
Jembatan hidung datar 60-80
Menyeringai saat menangis Sering
Palatum pendek dan sempit 60-90
Lidah menjulur 40-60
Garis vertical bibir bawah 50
Pipi penuh Sering
Anggota gerak
Tangan lebar dan pendek 70
Kinodaktili, jari ke-5 60
Linea Simian 40-60
Dermatoglifik khas 99
Jarak antara jari kaki 1 dan 2 lebar 50-90
Garis telapak kaki banyak 65
Neurologik
Hipotonia 40-80

Riwayat alami sindrom Down pada masa kanak-kanak terutama ditandai oleh
keterlambatan perkembangan, retardasi pertumbuhan , dan imunodefisiensi. Keterlambatan
perkembangan biasanya sudah tampak pada usia 3-6 bulan sebagai kegagalan mencapai tahapan-
tahapan penting perkembangan sesuai-usia dan memengaruhi semua aspek fungsi motorik dan
kognitif. IQ rerata antara 30 dan 70 dan menurun seiring dengan pertambahan usia. Namun, derajat
retardasi mental pada orang dewasa dengan sindrom Down cukup bervariasi, dan banyak pengidap
dapat hidup semi-independen. Secara umum, keterampilan kognitif lebih terbatas daripada
kemampuan afektif, dan hanya sebagian kecil pengidap yang mengalami retardasi berat.17

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif
untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat
mengalami kemunduran dari sistim tubuhnya. Dengan demikian penderita harus mendapatkan
support maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas
yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Hal yang
dapat dilakukan antara lain :23,24

1) Medikamentosa :
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi
kelainan ini. Pengobatan hanya bersifat simptomatik. Pada tahap perkembangannya penderita
Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran
maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian
penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam
menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan
baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk
mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat
meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut
menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan
monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
Tidak ada pengobatan untuk memperbaiki sindroma down. Prinsip pengobatan medis
digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia penderita dengan cara:
- Pencegahan terhadap infeksi
- Rehabilitasi medis
- Alat bantu pendengaran bila didapatkan gangguan pendengaran
- Pengobatan dan pelatihan perilaku dilakukan jika ada kelainan psikiatri
- Hormon tiroid diberikan bila didapatkan tanda-tanda hipotiriod, untuk mencegah
terjadinya deteorisasi intelektual dan memperbaiki kemampuan individual
Pengobatan/therapi
Yang tersedia adalah berbagai macam antibiotika, maka usia mereka kini dapat
diperpanjang.
Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada
jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya
kelainan pada jantung tersebut.
Pemeriksaan Dini :
- Pendengaran. Biasanya terdapat gangguan pada pendengaran sejak awal kelahiran,
sehingga dilakukan pemeriksaan secara dini sejak awal kehidupannya.
Pendengarannya : sekitar 70-80% anak syndrom down terdapat gangguan pendengaran
dilakukan tes pendengaran oleh THT sejak dini.
- Penyakit jantung bawaan : 30-40% anak dengan Sindrom Down disertai penyakit
jantung bawaan. Mereka memerlukan penanganan jangka panjang oleh seorang ahli
jantung anak.
- Penglihatan. Sering terjadi gangguan mata, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan
secara rutin oleh dokter ahli mata.
- Nutrisi. Pada perkembangannya anak dengan sindrom down akan mengalami gangguan
pertumbuhan baik itu kekurangan gizi pada masa bayi dan prasekolah ataupun
kegemukan pada masa sekolah dan dewasa, sehingga perlu adanya kerjasama dengan
ahli gizi.
- Kelainan tulang : dislokasi patela, subluksasio pangkal paha/ketidakstabilan
atlantoaksial. Bila keadaan terakhir ini sampai menimbulkan medula spinalis atau bila
anak memegang kepalanya dalam posisi seperti tortikolit, maka perlu pemeriksaan
radiologis untuk memeriksa spina servikalis dan diperlukan konsultasi neurologis.
- Lain-lain. Aspek medis lainnya yang memerlukan konsultasi dengan ahlinya, meliputi
masalah imunologi, gangguan fungsi metabolisme atau kekacauan biokomiawi.
2) Non medikamentosa :
Terapi Wicara. Suatu terapi yang di pelukan untuk anak DS atau anak bermasalah dengan
keterlambatan bicara, dengan deteksi dini di perlukan untuk mengetahui seawal mungkin
menemukan gangguan kemampuan berkomunikasi, sebagai dasar untuk memberikan
pelayanan terapi wicara.
Terapi Okupasi. Terapi ini di berikan untuk dasar anak dalam hal kemandirian,
kognitif/pemahaman, dan kemampuan sensorik dan motoriknya. Kemandirian diberikan
kerena pada dasarnya anak "bermasalah" tergantung pada orang lain atau bahkan terlalu
acuh sehingga beraktifitas tanpa komunikasi dan memperdulikan orang lain. Terapi ini
membantu anak mengembangkan kekuatan dan koordinasi, dengan atau tanpa
menggunakan alat.
Terapi Remedial. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan akademis skill,
jadi bahan bahan dari sekolah bias dijadikan acuan program.
Terapi kognitif. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan kognitif dan
perceptual, missal anak yang tidak bias berkonsentrasi, anak yang mengalami gangguan
pemahaman, dll.
Terapi sensori integrasi. Terapi ini diberikan bagi anak yang mengalami gangguan
pengintegrasian sensori, misalnya sensori visual, sensori taktil, sensori pendengaran,
sensori keseimbangan, pengintegrasian antara otak kanan dan otak kiri, dll.
Terapi snoefzelen. Snoezelen adalah suatu aktifitas terapi yang dilakukan untuk
mempengaruhi CNS melalui pemberian stimulasi pada system sensori primer seperti
visual, auditori, taktil. Taste, dan smell serta system sensori internal seperti vestibular dan
proprioceptif dengan tujuan untuk mencapai relaksasi dan atau aktifiti. Snoezelen
merupakan metode terapi multisensories. Terapi snoefzelen Anak di ajarkan berprilaku
umum dengan pemberian system reward dan punishment. Bilan anak melakukan apa yang
diperintahkan dengan benar, makan diberikan pujian. Jika sebaliknya anak dapat hukuman
jika anak melakukan hal yang tidak benar. Dengan perintah sederhana dan yang mudah di
mengerti anak.
Cara medik tidak ada pengobatan pada penderita ini karena cacatnya pada sel benih yang
dibawa dari dalam kandungan. Pada saat bayi baru lahir, bila diketahui adanya kelemahan
otot, bisa dilakukan latihan otot yang akan membantu mempercepat kemajuan
pertumbuhan dan perkembangan anak. Penderita ini bisa dilatih dan dididik menjadi
manusia yang mandiri untuk bisa melakukan semua keperluan pribadinya sehari-hari
seperti berpakaian dan buang air, walaupun kemajuannya lebih lambat dari anak biasa.
Bahkan, beberapa peneliti mengatakan, dengan latihan bisa menaikkan IQ sampai 90. Dari
beberapa penelitian diketahui bahwa anak-anak penderita Sindrom Down yang diberi
latihan dini akan meningkat intelegensianya 20% lebih tinggi dibandingkan dengan pada
saat mereka mulai mengikuti sekolah formal. Latihan ini harus dilestarikan, walaupun anak
sudah dewasa. Bila bayi itu beranjak besar, maka perlu pemeriksaan IQ untuk menentukan
jenis latihan/sekolah yang dipilih. Pemeriksaan lain yang mungkin dibutuhkan adalah
pemeriksaan jantung karena pada penderita ini sering mengalami kelainan jantung.
Penyuluhan kepada orang tua
Diharapkan penjelasan pertama kepada orang tua singkat, karena kita memandang bahwa
perasaan orang tua sangat beragam dan kerena kebanyakan orang tua tidak menerima
diagnosa itu sementara waktu, hal ini perlu disadari bahwa orang tua sedang mengalami
kekecewaan. Setelah orang tua merasa bahwa dirinya siap menerima keadaan anaknya,
maka penyuluhan yang diberikan selanjutnya adalah bahwa anak dengan sindrom down itu
juga memiliki hak yang sama dengan anak normal lainnya yaitu kasih sayang dan
pengasuhan. Pada pertemuan selanjutnya penyuluhan yang diberikan antra lain : Apa itu
sindrom down, karakteristik fisik dan antisipasi masalah tumbuh kembang anak. Orang tua
juga harus diberi tahu tentang fungsi motorik, perkembangan mental dan bahasa. Demikian
juga penjelasan tentang kromosom dengan istilah yang sederhana, informasi tentang resiko
kehamilan berikutnya.
Pendidikan Khusus (SLB-C)
Anak akan mendapat perasaan tentang identitas personal, harga diri dan kesenangan. Selain
itu mengasah perkambangan fisik, akademis dan kemampuan sosial, bekerja dengan baik
dan menjalin hubungan baik.
Taman bermain
Misal dengan peningkatan keterampilan motorik kasar dan halus melalui bermain dengan
temannya, karena anak dapat melakukan interaksi sosial dengan temannya.
Intervensi dini.

Pada akhir akhir ini terdapat sejumlah program intervensi dini yang dipakai sebagai pedoman
bagi orang tua untuk memberikan lingkungan bagi anak dengan sindrom down. Akan mendapatkan
manfaat dari stimulasi sensori dini, latihan khusus untuk motorik halus dan kasar dan petunjuk
agar anak mau berbahasa. Dengan demikian diharapkan anak akan mampu menolong diri sendiri,
seperti belajar makan, pola eliminasi, mandi dan yang lainnya yang dapat membentuk
perkembangan fisik dan mental.18,19

Pencegahan20

Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan sangat
membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.
Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan gene targeting atau yang dikenal juga sebagai
homologous recombination sebuah gen dapat dinonaktifkan.
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui
amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi
ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas
usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka
memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa
dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom.
Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui
pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko
untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan
analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada
plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada
kehamilan 14-16 minggu.
Konseling genetik
Konseling genetik merupakan proses komunikasi yang berhubungan dengan kejadian atau risiko
kejadian kelainan genetik pada keluarga. Dengan adanya konseling genetik, maka keluarga
memperoleh manfaat terkait masalah genetik, khususnya dalam mencegah munculnya kelainan-
kelainan genetik pada keluarga. Manfaat ini dapat diperoleh dengan melaksanakan tindakan-
tindakan yang dianjurkan oleh konselor, termasuk di dalamnya tindakan untuk melakukan uji
terkait pencegahan kelainan genetic. Tindakan-tindakan yang disarankan dapat disarankan oleh
konselor dapat meliputi tes sebagai berikut:21

1. Prenatal diagnosis
Prenatal diagnosis merupakan tindakan untuk melihat kondisi kesehatan fetus yang belum
dilahirkan. Metode yang digunakan meliputi ultrasonografi, amniocentesis, maternal serum,
dan chorionic virus sampling.
2. Carrier testing
Carrier testing merupakan tes untuk mengetahui apakah seseorang menyimpan gen yang
membawa kelainan genetik. Metode yang digunakan untuk melaksanakan tes tersebut adalah
uji darah sederhana untuk melihat kadar enzim terkait kelainan genetik tertentu, atau dengan
mengecek DNA, apakah mengandung kelainan tertentu.
3. Preimplantasi diagnosis
Preimplantasi diagnosis merupakan uji yang melibatkan pembuahan in vitro untuk mengetahui
kadar kelainan genetik embrio preimplantasi. Biasanya seorang wanita yang akan melakukan
uji akan diberi obat tertentu untuk merangsang produksi sel telur berlebihan. Sel telur akan
diambil dan diletakkan di cawan untuk dibuahi oleh sperma donor. Setelah pembuahan maka
sel embrio yang terbentuk akan dianalisa terkait dengan kelainan genetik.
4. Newborn screening
Newnborn screening merupakan pemeriksaan bayi pada masa kelahiran baru. Pemeriksaan ini
meliputi pemeriksaan genetik, endokrinologi, metabolik, dan hematologi. Diharapkan dari
pemeriksaan ini dapat ditentukan prognosis ke depannya, sehingga perawatan (treatment) yang
berkenaan dapat diupayakan.
5. Predictive testing
Predictive testing merupakan tes yang digunakan untuk menguji apabila seseorang menderita
kelainan genetik dengan melihat riwayat genetik keluarga sebelumnya. Tes ini dilakukan
setelah kelahiran, dan biasa juga disebut sebagai presymptomatic testing.

Apabila hasil diagnosis menunjukkan adanya kelainan genetik maka konselor dapat menyarankan
pilihan-pilihan berikut:21

1. Agar tidak memiliki anak


Keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan keputusan yang berat bagi orang tua, karena
memiliki anak merupakan dambaan bagi setiap orangtua. Oleh karena itu konselor harus
menerangkan secara terperinci mengenai indikasi tidak memiliki anak, termasuk di antaranya
kemungkinan untuk terpapar kelainan genetik, sehingga orang tua dapat mempertimbangkan
keputusan tersebut.
2. Mengadopsi
Apabila pilihan untuk tidak memiliki anak tidak dapat diterima oleh orang tua, salah satu jalan
keluarnya berupa pilihan untuk mengadopsi anak. Anak yang diadopsi dapat merupakan anak
saudara sendiri (keponakan) atau anak orang lain yang tidak memiliki hubungan darah. Dalam
hal ini mengadopsi anak saudara sendiri memiliki risiko kelainan genetik lebih besar daripada
mengadopsi anak orang lain yang tidak memiliki hubungan darah. Konselor harus mengetahui
terlebih dahulu pedigree keluarga tersebut, dan memprediksi apakah di antara saudara-saudara
terdapat (kemungkinan) menderita kelainan genetik, dengan demikian keluarga dapat
mengambil keputusan yang terbaik menurutnya.
3. Kehamilan dengan donor sperma atau ovum
Kehamilan dengan donor sperma atau ovum merupakan salah satu solusi, di mana sel sperma
dan sel telur dipertemukan di luar rahim. Dalam hal ini akan diperiksa apakah sel sperma atau
sel ovum yang mengandung kelainan genetik. Sel yang mengandung kelainan genetik akan
digantikan dengan sel dari donor, sehingga tetap terjadi pembuahan dan diharapkan anak yang
dilahirkan dapat hidup sehat dengan risiko terpapar kelainan genetika yang minim.
4. Keputusan untuk tidak mempunyai anak lagi
Keputusan untuk tidak mempunyai anak lagi merupakan solusi yang dapat diambil untuk
orangtua yang telah memiliki anak sebelumnya namun menderita kelainan genetik, sehingga
dengan demikian kehadiran anak berikutnya yang diprediksi bakal menderita kelainan genetik
dapat dihindari.
5. Tindakan operasi
Tindakan operasi dapat diterapkan untuk kelainan genetik tertentu seperti spina bifida atau
congenital diaphragmatic hernia (suatu kondisi di mana terdapat lubang pada diafragma
sehingga membuat paru menjadi tidak berkembang). Pilihan ini dapat dilakukan pada masa
sebelum kelahiran. Namun kebanyakan penyakit genetik tidak dapat diobati dengan tindakan
operasi.
6. Menterminasi kehamilan
Terminasi kehamilan/ aborsi merupakan solusi yang paling memberatkan bagi orangtua,
terlebih bagi orangtua muda yang belum mempunyai anak sebelumnya. Konselor harus mempu
menjelaskan dengan baik dan mudah mudah dimengerti oleh orangtua mengenai indikasi dan
kontraindikasi medis pelaksanaan aborsi. Konselor juga harus memahami aspek etis yang
menyertainya serta melakukan pendekatan holistik. Dengan demikian orangtua tersebut dapat
berpikir jernih dalam mengambil keputusan yang terbaik.
7. Membiarkan anak lahir
Orangtua juga dapat ditawarkan pilihan untuk meneruskan kehamilannya, dengan risiko bahwa
anak yang dilahirkan menderita kelainan genetik dan umurnya hanya sebentar. Pilihan ini
memungkinkan orangtua untuk melihat anaknya sebelum meninggal walaupun hanya sesaat.

Namun pilihan apapun yang disarankan oleh konselor harus didiskusikan dulu dengan
pasien, dalam artian bahwa pasien diberikan kebebasan untuk berpikir jernih dan memilih
keputusan apa yang harus diambil. Konselor wajib memberikan semua informasi, termasuk baik-
buruk mengenai tindakan yang dapat diambil tanpa ada kesan menutup-nutupi.21
Kesimpulan

Sindrom down merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan karena kesalahan jumlah dalam
kromosom khususnya kromosom 21. Penyakit ini dapat terjadi akibat berbagai faktor antara lain faktor usia
ibu, faktor kesalahan pembelahan kromosom dan faktor translokasi robertsonian. Sindrom down memiliki
banyak manifestasi klinik tetapi memiliki kekhasan dalam wajah yang disebut mongolodi face atau wajah
khas sindrom down.

Penyakit ini tidak ada disembuhkan tetapi dapat diobati manifestasi klinik yang ada seperti kelainan
jantung bawaan. Dengan berkembangnya ilmu medis sindrom down yang tadinya hanya bertahan dalam 1
tahun pertama sekarang sudah dapat bertahan sampai 50 tahun. Sindrom down ini dapat dideteksi dengan
berbagai skrining semasa kehamilan dengan menggunakan teknik aminosentesis, chorrionic villus
sampling, dll.

Daftar Pustaka

1. Sietske N.H. Down syndrome 10 July 2011. Diunduh dari


http://www.medicinenet.com/down_syndrome/article.htm#what pada 25 Sept 2016
2. Alexander JM, Casey BM, Dashe JS Cunningham FG, Leveno KJ et al. Obstretri Williams.
Edisi ke 21. Jakarta: ECG.2009.h.77.
3. Care C. masalah sindrom Down. 2009. Diuduh dari http://www.childcare-
center.com/masalah/sindrom-down.html pada 25 Sept 2016
4. Hidayat AAA. Keterampilan dasar praktik klinik untuk kebidanan. Edisi ke-2. Jakarta:
Salemba Medika; 2008: 142.
5. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar kuliah obstetric. Jakarta: EGC;
2007: 215-9.
6. Rex AP, Preus M. A diagnostic index for Down syndrome. J Pediatr. Jun 1982;100(6):903-
6.
7. Roizen NJ. Down syndrome: progress in research. Ment Retard Dev Disabil Res Rev.
2001;7(1):38-44.
8. Kenneth J. Leveno, F. Gary Cunningham, Noeman F. Gant, James M. Alexander, Steven L.
Bloom, Brian M. Casey, et al. Skrining pada cacat Neural-tube dan sindrom Down.
Williams Manual of Obstetrics. Edisi 21. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. Hal 91.
9. M Teresa. Prenatal Diagnosis for Congenital Malformations and Genetic Disorders. 7
Agustus 2012. Diunduh dari www.medscape.com, 27 September 2016.
10. Suryo. Genetika Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2009.h.259-71.
11. (Marchdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson: ilmu kesehatan anak
esensial. edisi keenam. Jakarta: Saunders Elsevier; 2011.hlm.202-6.
12. Englert H. Trisomy 13. Dikutip dari.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001660.htm. Diakses pada: 26
September 2016
13. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri , volume 1. Jakarta:EGC;
2006.h.342.
14. Liyanage S, Barnes J. The eye and Downs syndrome. Br J Hosp Med (Lond).
2008;69(11):632-4.
15. Scott JA, Wenger SL, Steele MW, Chakravarti A. Down syndrome consequent to a cryptic
maternal 12p;21q chromosome translocation. Am J Med Genet. Mar 13 1995;56(1):67-71.
16. Wong DL, Eaton MH, Wilson D, Winkelstein ML, Schwartz P. Wong buku ajar
keperawatan pediatric volume 1. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2009: 713-4.
17. McPhee SJ, Ganong WF.Patofiologi penyakit: pengantar menuju kdokteran klinis. Edisi ke-
5. Jakarta: EGC; 2011:25-31.
18. Fadhli Aulia. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Anggrek;
2010.h. 33-39.
19. Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Penyakit ed. 6 vol 1. Jakarta : EGC.
20. Lejeune J, Gautier M, Turpin R. [Study of somatic chromosomes from 9 mongoloid
children.] Article in French. C R Hebd Seances Acad Sci. Mar 16 1959;248(11):1721-2.
21. Burke W. Genetic testing. N Engl J Med; 5 Desember 2002.h.1867-75.

You might also like