You are on page 1of 47

Laporan kasus

Seorang Perempuan, 36 Tahun, dengan Keluhan Badan Bertambah


Lemas Sejak 3 Hari yang Lalu

Pembimbing:
Dr. Nova Kurniati, Sp.PD, K-AI, FINASIM
Oleh:
Syarifa Aisyah, S.Ked
Rafiqy Saadiy Faizun, S.Ked

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA /
RSUP Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Hepatitis induced PTU + Penyakit Grave + DM Tipe 2

Syarifa Aisyah 04054821618018


Rafiqy Saadiy Faizun 04054821618133

Sebagai syarat untuk mengikut kepaniteraan klinik periode 30 Juni 2016 12


September 2016 di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

Palembang, Juli 2016

Dr. Nova Kurniati, Sp.PD, K-AI, FINASIM

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Hepatitis
induced PTU + Penyakit Grave + DM Tipe 2. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai tauladan umat manusia.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. Nova Kurniati, Sp.PD, K-AI, FINASIM selaku pembimbing.
Penulis menyadari banyak kekurangan dari laporan ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan. Demikian, semoga laporan
ini tetap dapat berkonstribusi untuk kemajuan ilmu kedokteran.

Palembang, Juli 2016

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Sampul ........................................................................................................ i
Halaman Pengesahan ................................................................................... ii
Kata Pengantar............................................................................................ iii
Daftar Isi..................................................................................................... iv
BAB I Pendahuluan ..................................................................................... 1
BAB II Status Pasien ................................................................................... 2
BAB III Tinjauan Pustaka ............................................................................ 18
BAB IV Analisis Masalah ............................................................................ 40
Daftar Pustaka ............................................................................................ 42

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit hipertiroid adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar


tiroid yang hiperaktif. Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon
tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Penyebab hipertiroid yang paling sering
adalah penyakit Graves. Sekitar 60-80% hipertiroid disebabkan oleh penyakit
Graves.3
Hasil pemeriksaan TSH (Thyroid Stimulating Hormone) pada Riskesdas
2007 didapatkan 12,8% laki-laki dan 14,7% perempuan memiliki kadar TSH
rendah yang menunjukkan kecurigaan adanya hipertiroid. Namun, menurut hasil
Riskesdas 2013, hanya terdapat 0,4% penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun
atau lebih yang dari wawancara mengaku menderita hipertiroid. 15
Penyakit Graves biasanya terjadi pada usia sekitar tiga puluh dan empat
puluh, dan lebih sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki.
Diketahui terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini dan sering berkaitan
dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya.5
Kondisi tirotoksikosis dengan sendirinya merupakan kondisi diabetogenik.
Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari pasien tirotoksikosis
dengan kejadian diabetes mellitus terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid terjadi
pada individu normal. Perubahan metabolik mungkin dapat terjadi sebagai akibat
dari hipertiroidisme dan berkontribusi terhdap penurunan kontrol glikemik.
Meskipun resiko terjadinya diabetes mellitus hanya berkisar 2-3% pada individu
yang menderita hipertiroidisme, jika ini tetap ditemukan, hal ini dapat
menyebabkan sulitnya mengontrol glukosa darah akibat dua kondisi metabolik
yang terjadi secara bersamaan.
Dari penjelasan di atas menunjukkan perlunya pengkajian lebih dalam
mengenai kasus penyakit Graves dan kaitannya dengan diabetes mellitus.

1
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 Identifikasi Pasien


Nama : Ny. S
Umur : 36 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Sukarami
No Registrasi/RM : RI 16008508/823890
Tgl masuk RS : 6 Juli 2016

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Os mengeluh badan bertambah lemas sejak 3 hari smrs

Riwayat perjalanan penyakit :

3 tahun smrs, os mengeluh timbul benjolan dileher sebesar telur bebek setelah
melahirkan anak ketiga. Benjolan dirasakan tidak membesar, nyeri (-), gangguan
menelan (-), perubahan suara (-), demam (-), benjolan ditempat lain (-). Os juga
mengeluhkan mudah berkeringat, mudah capek, jantung berdebar-debar (+),
mudah marah (+), lebih senang ditempat dingin (+), nafsu makan meningkat (+),
berat badan relatif tetap, sering haus (+), sering terbangun dimalam hari karena
ingin kencing frekuensi 3-4x/hari, sering merasakan kesemutan. Os juga
mengeluh matanya sedikit menonjol dan sering berair. Os berobat ke dokter dan
dikatakan sakit tiroid. Os merasakan gejala dirasakan berkurang setelah meminum
obat dari dokter. Os lupa nama obat yang diminum. Setelah minum obat selama 2
bulan, os berhenti minum obat.

8 hari smrs, os mengeluh badan lemas, jantung berdebar-debar (+), mudah


berkeringat (+), pusing sempoyongan (-), pandangan gelap (-), os mengeluh BAB
lebih cair, frekuensi 3x/hari, darah (-), lendir (-), muntah (+), muntah apa yang

2
3

dimakan, mual (-), nyeri ulu hati (+) hilang timbul, nyeri dirasakan tiba-tiba dan
hilang ketika dibawa istirahat, perut terasa penuh, nafsu makan menurun (+), berat
badan menurun (+), BAK jarang, frekuensi 3x/hari, warna kuning terang, os juga
mengeluhkan kedua kakinya bengkak, nyeri (-), merah (-), os lalu berobat ke RS
AK Gani dan dirawat selama 5 hari, os merasa keluhan berkurang, os dikatakan
menderita sakit tiroid.

3 hari smrs, os mengeluh badan bertambah lemas, mual (+), muntah (+) muntah
apa yang dimakan, demam (-), nyeri ulu hati (+), os juga mengeluh mata terlihat
kuning, BAB dan BAK tidak ada kelainan, os dibawa ke UGD RSMH dan
dirawat

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat hipertiroid (+)


Riwayat kencing manis (+)
Riwayat darah tinggi (-)
Riwayat maag (-)

Riwayat pengobatan

PTU 3x1
Furosemide 1x1
Propanolol 2x1
Neurodex 1x1
Glibenclamid 2x1

Riwayat penyakit keluarga

Keluhan yang sama disangkal


Kencing manis (+) (Ayah dan Ibu)

Riwayat kebiasaan

Pasien suka makan makanan yang berlemak seperti nasi padang, pasien
makan 3x/hari dan sering mengemil
4

Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal

Riwayat sosial ekonomi

Pasien seorang ibu rumah tangga yang membuka usaha sebagai penjual pempek,
biaya pengobatan ditanggung BPJS

Riwayat obstetri

Pasien telah menikah dan memiliki 3 orang anak


Anak-anaknya dilahirkan secara normal dengan berat badan anak
ke-1 : 3,4 kg
ke-2 : 3,4 kg
ke 3 : 4,0 kg
Riwayat keguguran 3x setelah kelahiran anak ke-3
Menstruasi teratur
KB suntik 3 bulan sekali

2.3 Pemeriksaan Fisik

(Dilakukan pada tanggal 12 Juli 2016)

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Vital sign

TD : 130/80
N : 96x/menit, irregular, isi dan tegangan cukup
RR : 22x/menit
T : 36,5o C

Status Gizi

TB : 155 cm
5

BB : 45 kg

BMI : 18,73

Kesan : Normoweight

Keadaan spesifik

Kulit : Warna kuning langsat, turgor kulit turun (-), ikterik (-)

Kepala : Normosefal, rambut rontok (-)

Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik (+), exopthalmus (-), pupil bulat,
isokor 3mm

Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)

Telinga : Serumen (-/-), nyeri tekan tragus (-/-)

Mulut : Bibir kering (-), bibir pucat (-), sianosis (-), lidah atropi (-)

Leher : JVP 5+0 cmH2 O, pembesaran KGB (-), teraba benjolan di leher bagian
anterior konsistensi padat, bergerak saat menelan, difus, permukaan licin, mobile,
nyeri (-), warna kulit diatas benjolan sama seperti sekitar, ukuran 5x4 cm.

Thorax

Paru

Paru depan Paru belakang


Inspeksi Normochest, kelainan Normochest, kelainan
kulit (-), simetris saat kulit (-), simetris saat
statis dan dinamis statis dan dinamis
Palpasi Stemfremitus simetris, Stemfremitus simetris,
ICS dalam batas normal ICS dalam batas normal
Perkusi Sonor seluruh lapang Sonor seluruh lapang
paru, batas paru hepar di paru
ICS V
6

Auskultasi Vesikular, ronkhi (-), Vesikular, ronkhi (-),


wheezing (-) wheezing (-)

Jantung

Inspeksi Ictus kordis tak terlihat


Palpasi Ictus kordis tak teraba
Perkusi Batas atas ICS II, batas kanan di linea sternalis ICS IV, batas kiri
di linea mid clavicula ICS V
Auskultasi HR 103x/menit, irreguler, BJ I/II normal, murmur sistolik (+),
gallop (-)

Abdomen

Inspeksi Datar, ikterik (-), spider angioma (-),


bekas luka operasi (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Perkusi Tympani
Palpasi Hepar teraba 3 jari dibawah arcus
costae, tepi rata, konsistensi padat,
nyeri (-). lien teraba (+) schuffner I,
permukaan licin, nyeri (-)

Ekstremitas

Superior Inferior
Capilary refill time <2/<2 <2/<2
Akral dingin - -
Edema - -
Koilenikia - -
7

2.4 Pemeriksaan penunjang

Laboratorium (6 Juli 2016)

Urinalisis
Warna Kuning (normal)
Kejernihan Jernih (normal)
Berat jenis 1,010 (normal)
pH 6 (normal)
Protein Negatif (normal)
Glukosa +++ (meningkat)
Keton Negatif (normal)
Darah Negatif (normal)
Bilirubin Negatif (normal)
Urobilinogen 1 (normal)
Nitrit Negatif (normal)
Leukosit esterase Negatif (normal)
Sedimen urin:
Epitel Negatif (normal)
Leukosit 0-1(normal)
Eritrosit 0-1(normal)
Silinder Negatif (normal)
Kristal Negatif (normal)
Bakteri Negatif (normal)
Mukus Negatif (normal)

Laboratorium (6 Juli 2016)

Hematologi
Jenis pemeriksaan Hasil
Hb 13,9 g/dl (normal)
8

RBC 5,15 x 106 /mm3 (normal)


WBC 10,8 x 103 /mm3 (normal)
Hematokrit 40% (normal)
PLT 125 x 103 /L (menurun)
Hitung jenis leukosit 0/1/64/25/10
Kimia Klinik Hati
Bilirubin total 15,30 mg/dl (meningkat)
Bilirubin direk 13,39 mg/dl (meningkat)
Bilirubin indirek 1,91 mg/dl (meningkat)
AST/SGOT 94 U/L (meningkat)
ALT/SGPT 70 U/L (meningkat)
Metabolisme Karbohidrat
Gula darah sewaktu 510 mg/dl (meningkat)
Ginjal
Ureum 33 mg/dl (normal)
Kreatinin 0,22 mg/dL (menurun)
Elektrolit
Kalsium 10 mg/dl (normal)
Natrium 135 mEq/L (normal)
Kalium 3,5 mEq/L (normal)
Imunoserologi Hepatitis
HbsAg Non-reaktif
Anti HAV IgM Non-reaktif
Anti HCV Non-reaktif

Laboratorium (8 Juli 2016)

Hematologi
Jenis pemeriksaan Hasil
Hb 12.7g/dl (normal)
9

RBC 4,76 /mm3 (normal)


WBC 10,1 x 103 /mm3 (normal)
Hematokrit 38% (normal)
PLT 111 x 103 /L (menurun)
Hitung jenis leukosit 0/2/59/28/11
Elektrolit
Kalsium (Ca) 9,3 mg/dl (normal)
Natrium (Na) 135 meq/L (normal)
Kalium (K) 4,5 meq/L (normal)

Laboratorium (12 Juli 2016)

Hematologi
Jenis pemeriksaan Hasil
Hb 11,9 g/dl (normal)
RBC 4,38 x 106 /mm3 (normal)
WBC 7,2 x 103 /mm3 (normal)
Hematokrit 35% (normal)
PLT 151 x 103 /L (menurun)
Hitung jenis leukosit 0/2/46/41/11
Kimia Klinik
Protein total 6,8 g/dl (normal)
Albumin 3,6 g/dl (normal)
Globulin 3,2 g/dl (normal)
Ureum 12 mg/dl (menurun)
Kreatinin 0,24 mg/dl (menurun)
Elektrolit
Kalsium (Ca) 9,2 mg/dl
Natrium (Na) 141 meq/L
Kalium (K) 4,4 meq/L
10

Imunologi-Serologi
Free T4 7,7 ng/dL (meningkat)
TSHs 0,005 IU/ml (menurun)

E KG

Interpretasi

Rythm tidak teratur

Gelombang P yang tak teratur

PR interval tidak ada

QRS normal

Kesan : Atrial fibrilasi


11

2.5 Diagnosis Sementara

Ikterus ec hepatitis induced PTU

Grave disease

DM type 2 tidak terkontrol

2.6 Diagnosis Banding

Ikterus ec cholelithiasis

Struma non toksik

Ca tiroid

2.7 Rencana pemeriksaan

USG Abdomen dan tiroid


Pemeriksaan TSHR-Ab

2.8 Prognosis

Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : Dubia ad malam

2.9 Tatalaksana

Non Farmakologi

Istirahat
Diet NB 1700 kalori
Edukasi

Farmakologi

IVFD NS 0,9% gtt xx/menit


12

Propanolol 3x10 mg
Thyrozol 1x10 mg
Digoxin 1x 0,25 mg
Inj Novorapid 3x8 IU sc
Inj Levemir 1x10 IU sc
Curcuma 3x1

2.10 Follow Up

Tanggal 13 Juli 2016


S Lemas

O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 140/70 mmHg
Nadi 98 x/menit
Pernapasan 22 x/ menit
Temperatur 36,6 o C

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (+)
Leher JVP (5+0)cm H2O
Struma (+) regio coli anterior, bergerak saat menelan
Pembesaran KGB (-)
Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Palpasi: stem fremitus kanan=kiri
Perkusi:hipersonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)
13

Jantung Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: iktus cordis tidak teraba
Perkusi: batas jantung normal
Aukskultasi: HR 103x/menit,irreguler, BJ I & II
normal, murmur (+), gallop (-)
Inspeksi: datar
Abdomen
Palpasi: lemas, nyeri tekan epigastrium (-),hepar
teraba 2 jbac tepi tumpul, konsistensi kenyal, Lien
teraba, schuffner I
Perkusi: timpani (+), shifting dullnes (-), nyeri ketok
CVA (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Tidak diperiksa
Genitalia

Superior : Palmar pucat (-/-), akral hangat (+), CRT <


Ekstremitas 2 , clubbing finger (-).
Inferior : edema tungkai (-)
A Ikterus ec hepatitis induced PTU
Grave disease
DM type 2 tidak terkontrol
P Non Farmakologis

Istirahat
Diet NB 1700 kalori
Edukasi

Farmakologis
IVFD NS 0,9% gtt xx/menit
Propanolol 3x 10 mg
Neurodex 1x1
Digoxin 1x0,25 mg
14

Inj Novorapid 3x8 IU sc


Inj Levemir 1x10 IU sc
Curcuma 3x1

Tanggal 14 Juli 2016


S BAB mencret 2x pagi ini, darah (-), lendir (+)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/60 mmHg
Nadi 94 x/menit
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,7 o C

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (+)
Leher JVP (5+0)cm H2O
Struma (+) regio coli anterior, bergerak saat menelan
Pembesaran KGB (-)
Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Palpasi: stem fremitus kanan=kiri
Perkusi:hipersonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: iktus cordis tidak teraba
Perkusi: batas jantung normal
Aukskultasi: HR 102x/menit,irreguler, BJ I & II
15

normal, murmur (+), gallop (-)


Inspeksi: datar
Abdomen Palpasi: lemas, nyeri tekan epigastrium (-),hepar
teraba 2 jbac tepi tumpul, konsistensi kenyal, Lien
teraba, schuffner I
Perkusi: timpani (+), shifting dullnes (-), nyeri ketok
CVA (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal
Tidak diperiksa

Genitalia
Superior : Palmar pucat (-/-), akral hangat (+), CRT <
2 , clubbing finger (-).
Ekstremitas
Inferior : edema tungkai (-)
A Ikterus ec hepatitis induced PTU
Grave disease
DM type 2 tidak terkontrol
P Non Farmakologis

Istirahat
Diet NB 1700 kalori
Edukasi

Farmakologis

IVFD NS 0,9% gtt xx/menit


Propanolol 3x 10 mg
Neurodex 1x1
Digoxin 1x0,25 mg
Inj Novorapid 3x8 IU sc
Inj Levemir 1x10 IU sc
16

Curcuma 3x1

Tanggal 15 Juli 2016


S BAB mencret 2x pagi ini, darah (-), lendir (+)
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 94 x/menit
Pernapasan 20 x/ menit
Temperatur 36,6 o C

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-/-), Sklera ikterik (+)
Leher JVP (5+0)cm H2O
Struma (+) regio coli anterior, bergerak saat menelan
Pembesaran KGB (-)
Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris kanan=kiri
Palpasi: stem fremitus kanan=kiri
Perkusi:sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-), wheezing (-)

Jantung Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat


Palpasi: iktus cordis tidak teraba
Perkusi: batas jantung normal
Aukskultasi: HR 101 x/menit,irreguler, BJ I & II
normal, murmur (+), gallop (-)
17

Abdomen Inspeksi: datar


Palpasi: lemas, nyeri tekan epigastrium (-),hepar
teraba 2 jbac tepi tumpul, konsistensi kenyal, Lien
teraba, schuffner I
Perkusi: timpani (+), shifting dullnes (-), nyeri ketok
CVA (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal

Genitalia Tidak diperiksa

Ekstremitas Superior : Palmar pucat (-/-), akral hangat (+), CRT <
2 , clubbing finger (-).
Inferior : edema tungkai (-)
A Ikterus ec hepatitis induced PTU
Grave disease
DM type 2 tidak terkontrol

P Non Farmakologis

Istirahat
Diet NB 1700 kalori
Edukasi

Farmakologis

IVFD NS 0,9% gtt xx/menit


Thyrozol 1x10 mg
Propanolol 3x 10 mg
Neurodex 1x1
Digoxin 1x0,25 mg
Inj Novorapid 3x8 IU sc
Inj Levemir 1x10 IU sc
Curcuma 3x1
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penyakit Grave

3.1.1 Definisi

Penyakit graves adalah suatu penyakit autoimun yang mengaktivasi


autoantibodi yang menyerang reseptor TSH (TRAb) yang akan menstimulasi
kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tirosin, sehingga penyakit grave
menimbulkan gejala yang khas dari hipertiroidisme 1 .

3.1.2 Epidemiologi

Penyakit grave jarang terjadi pada anak-anak. Insidensi meningkat pada


saat pubertas sampai usia sekitar 30 tahun. Penyakit grave 4-5 kali lebih sering
terjadi pada wanita dibanding pria1 .

3.1.3 Etiologi dan Faktor risiko

Etiologi penyakit grave masih belum diketahui. Tetapi ada faktor risiko yang
berpotensi menyebabkan penyakit grave 1 .

a. Faktor genetik
Adanya peningkatan kejadian penyakit grave pada pasien yang memiliki
keluarga yang mempunyai riwayat penyakit autoimun seperti Hashimoto
tiroiditis, DM type 1, addison disease, penyakit celiac, dll. Ada beberapa
gen yang berhubungan dengan penyakit grave seperti HLA, CTLA4,
PTPN22, CD40, IL2RA, FCRL3, TG, dan TSHR.
b. Stress
Banyak pengalaman klinisi melaporkan adanya peningkatan kejadian
tirotoksitosis pada tawanan di tempat penahanan Nazi, ini menunjukkan
faktor stress memicu kejadian ini. Pada saat stress terjadi penekanan
sistem imun melalui jalur nonspesifik mungkin disebabkan oleh pelepasan

18
19

kostisol dan corticotropin releasing, sehingga terjadi overcompentation


oleh sistem imun ketika supresi berakhir.
c. Jenis kelamin
Penyakit grave 4-5 x lebih sering diderita oleh wanita dibanding pria.
Estrogen dan progesteron memiliki pengaruh terhadap sistem imun
khususnya sel B sehingga meningkatkan presentasi antigen.
d. Kehamilan
Pada penelitian retrospektif di swedia, timbulnya onset penyakit grave
terjadi pada 30% dari wanita muda yang memiliki riwayat hamil 12 bulan
sebelum onset muncul. Hal ini mungkin disebabkan pad saat kehamilan
penurunan sistem imun tubuh.
e. Obat-obatan
Iodin dan obat-obatan yang mengandung iodin memicu terjadinya
penyakit grave terutama terjadi pada populasi yang kurang mengonsumsi
iodium.
f. Irradiasi
5 tahun setelah pemberian terapi radioiodin, terjadi peningkatan kadar
TRAb dibanding dengan pasien yang diterapi dengan obat antiroid dan
operasi.

3.1.3 Gambaran Klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu


tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal
berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan. Ciriciri ekstratiroidal seperti ophtalmopati
(proptosis, periorbital edema, disfungsi otot ekstraokular, neuropathy optik),
dermopathy (myxedema pretibial), dan thyroid acropachy (digital clubbing dan
edema)2 .
20

Tabel 1. Manifestasi Klinik pada Penyakit Grave1

Manifestasi Presentase
Hipertiroidisme 90-95%
Goiter 50%
Orbitopati 30%
Orbitopati berat 5%
Hipotiroidisme dengan orbitopati 5%
Dermopati 0,5%
Acropachy 0,1%
Neonatal hipertiroidisme 0,2%
Fetal hipertiroidisme 0,1%

Tabel 2. Gejala serta Tanda Hipertiroidisme3

Sistem Gejala dan tanda


Umum Tak tahan panas, hiperkinesis, capek,
BB turun, tumbuh cepat, toleransi obat,
youthfullness
Gastrointestinal Hiperdefekasi, lapar, makan banyak,
haus, disfagia, splenomegali
Muskular Rasa lemah
Genitourinaria Oligomenorea, amenorea, libido turun,
infertil, genikomasti
Kulit Rambut rontok, berkeringat, kulit
basah, silky hair dan onikolisis
Psikis dan saraf Labil, iritabel, tremor, psikosis,
nervositas, paralisis periodik dispneu,
Jantung Hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal
jantung
21

Darah dan limfatik Limfositosis, anemia, splenomegali,


leher membesar
Skeletal Osteoporosis, epifisis cepat menutup
dan nyeri tulang

Gambar 1. Gejala dan tanda Hipertiroidisme 16

3.1.4 Diagnosis

Diagnosa dapat dibuat berdasarkan dari tanda dan gejala yang ada.
Pemeriksaan laboratorium minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan
22

hipertiroid adalah FT4 dan TSHs. Apabila didapatkan peningkatan FT4 dan
penurunan TSHs, maka diagnosis hipertiroid dapat ditegakkan. Hipertiroid dengan
atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan exopthalmus harus dilakukan
radioiodine uptake, bila didapatkan peningkatan uptake, penyakit grave dan toxic
nodular goiter dapat ditegakkan4 .

Dokter juga dapat mempertimbangkan tes imunoglobulin thyroid-


stimulating, hampir semua pasien dengan penyakit grave terdeteksi TSHR-AB.
Pemeriksaan USG kadang dilakukan untuk membedakan massa tersebut bersifat
solid atau kistik.

3.1.5 Patofisiologi
Penyakit Graves disebabkan karena TSI yang disintesis di kelenjar tiroid
sama seperti di sumsum tulang dan di nodus limfa 3 . Kelenjar tiroid berada di
bawah stimulasi terus-menerus oleh sirkulasi autoantibodi terhadap reseptor
tirotropin, dan sekresi hipofisis tirotropin ditekan karena peningkatan produksi
hormon tiroid. Aktivitas yang merangsang antibodi reseptor thyrotropin
kebanyakan ditemukan dalam subclass immunoglobulin G1. Antibodi thyroid-
stimulating (TSI) ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan thyroglobulin
yang dimediasi oleh 3, '5'-cyclic adenosine monophosphate (siklik AMP), dan
juga merangsang penyerapan yodium, sintesis protein, dan pertumbuhan kelenjar
tiroid2 . Imunoglobulin yang merangsang tiroid disebabkan karena terdapat suatu
kelainan imunitas yang bersifat herditer, yang memungkinkan kelompok limfosit
tertentu dapat bertahan, berkembang biak dan menyekresi TSI sebagai respon
terhadap beberapa faktor perangsang. Sebagai akibat dari interaksi ini, antibodi
tersebut dapat merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis.5
23

Gambar 2. Patofisiologi Penyakit Graves

Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu


tiroidal dan ekstratiroidal, dan keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal
berupa goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid, hipertiroidisme akibat sekresi
hormone tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan turun, serta nafsu makan meningkat, palpitasi dan takikardi, dan
kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada kulit bawah. 3

3.1.6 Tatalaksana
Prinsip pengobatan tergantung dari etiologi tirotoksikosis, usia pasien,
riwayat alamiah penyakit, tersedianya modalitas pengobatan, situasi pasien, resiko
pengobatan, dan lainnya. Terdapat tiga modalitas terapi penyakit hipertiroid, yaitu
obat antitiroid, tindakan bedah (tiroidektomi), dan terapi yodium radioaktif. 3
A. Tirostatiska (OAT- Obat Anti Tiroid)
Terpenting adalah kelompok derivate tioidimazol (CBZ, karbimazol 5mg,
MTZ, metimazol atau tiamazol 5, 10, 30 mg) dan derivate tiourasil (PTU
propiltiourasil 50, 100 mg) menghambat proses organifikasi dan reaksi autoimun,
24

tetapi PTU masih ada efek tambahan yaitu menghambat konversi T4 dan T3 di
perifer. CBZ dalam tubuh cepat diubah menjadi MTZ. Waktu paruh MTZ 4-6
jam, sedangkan PTU 1-2 jam. MTZ berada di folikel 20 jam, PTU lebih pendek.
Tirostatika dapat lewat sawar plasenta dan air susu ibu. Dibanding MTZ, kadar
PTU 10x lebih rendah dalam air susu. OAT juga menghambat ekspresi HLA-DR
di sel folikel sehingga imunologis membaik. Pemakaian teratur dan lama dosis
besar tionamid berefek imunosupresif intratiodal. Dosis dimulai dengan 30mg
CMZ, 30mg MTZ atau 400mg PTU sehari dalam dosis terbagi, maksimal 2.000
mg/hari. Biasanya dalam 4-6 minggu tercapai eutiroidisme. Kemudian dosis
dititrasi sesuai respon klinis. Lama pengobatan 1-1,5 tahun, kemudian dihentikan
untuk melihat apakah terjadi remisi. Relaps dapat terjadi dalam 3-6 bulan setelah
obat dihentikan. Apabila terjadi relaps, maka dapat dipertimbangkan untuk
diberikan OAT kembali.5
Obat-obat golongan ini bekerja pada intratiroidal, ekstratiroidal, dan
mengenali proses imunologi pada PG. pada kelenjar tiroid, OAT menghambat
proses hormon tiroid dengan menghambat proses oksidasi dan organifikasi
iodium, inhibisi coupling ioditirosin, serta memengaruhi struktur dan biosintesis
tiroglobulin. Secara imunologi, OAT memengaruhi respon imun pada PG dengan
mekanisme yang masih kontroversial. 6
Ada dua metode untuk penggunaan OAT. Pertama, berdasarkan titrasi
mulai dengan dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/laboratoris dosis
diturunkan sampai mencapai dosis terendah dimana pasien masih dalam keadaan
eutiroidisme. Kedua disebut sebagai blok-substitusi, dalam metode ini pasien
diberikan dosis besar terus-menerus dan apabila mencapai keadaan
hipotiroidisme, maka ditambah hormon tiroksin hingga menjad eutiroidisme pulih
kembali.3
Efek samping yang sering adalah rash, urtikaria, demam dan malaise,
alergi, nyeri otot dan artalgia, dan yang paling ditakuti adalah agranulositosis.
Untuk evaluasi, gunakan gambaran klinis, misalnya dengan indeks Wayne atau
indeks New Castle, kadang-kadang diperlukan pemeriksaan T3 dan T4 .3
B. Tiroidektomi
25

Prinsio umum pada tiroidektomi adalah operasi dilakukan jika keadaan


pasien eutiroid, klinis maupun biokimiawi. Plumerisasi diberikan 3 kali. 5 tetes
solusio lugol fortiori 7-10 jam preoperative, dengan maksud menginduksi involusi
dan mengurangi vaskularisasi tiroid. Operasi dilakukan dengan tiroidektomi
subtotal dupleks mensisakan jaringan seujung ibu jari, atau lobektomi total
termasuk istmus dan tiroidektomi subtotal lobus lain. Komplikasi masih dapat
terjadi meskipun tingkat mortalitas rendah. Hipoparatiroidisme dapat permanen
atau sepintas. Setiap pasien pascaoperasi perlu dipantau jika apakah terjadi remisi,
hipoparairoidisme atau residitif.3

C. Yodium radioaktif (radio active iodium-RAI)


Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien dipersiapkan dengan
OAT menjadi eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir
pengobatan RAI. Dosis RAI berbeda, ada yang bertahap untuk membuat eutiroid
tanpa hipotiroidisme, ada yang langsung dengan dosis besar untuk mencapai
hipotirodisme kemudian ditamah tiroksin sebagai substitusi. Kekhawatiran bahwa
radiasi menyebabkan karsinoma tidak terbukti. Komplikasi ringan yaitu tiroiditis
kadang terjadi. Untuk wanita disarankan untuk jangan hamil selama 6 bulan
pacaradiasi. setiap kasus RAI perlu dipantau kapan terjadi hipotiroidisme (dengan
TSH dan klinis).3
3.1.7 Prognosis
Apabila tidak ditatalaksana secara optimal, kondisi tirotoksikosis akan
mengakibatkan berbagai komplikasi, seperti penyakit jantung tiroid, aritmia, krisis
tiroid, dan eksoftalmus maligna. Terjadinya remisi dipengarui oleh berbagai
faktor. Faktor sebelum pengobatan meliputi ukuran struma, kadar hormone
sebelum terapi, penanda imunologi, jangka waktu sebelum diobati, usia, jenis
kelamin, oftalmopati, dan kebiasaan merokok. Selain itu faktor pengobatan selain
durasi, dosis, respon, dan regimen terapi juga berpengaruh terhadap remisi.
26

3.2 Propilthiouracil (PTU)

Propilthiouracil (PTU) adalah obat anti thyroid golongan thiamide yang


menghambat sintesis hormon tiroid dengan cara memblok katalisasi peroxidase,
menghambat coupling DIT dan MIT, dan mengiodinasi sisa tirosin pada
tiroglobulin.1

Gambar 3. Struktur Propylthiouracil 8

PTU secara cepat diabsorbsi, dan mencapai kadar serum puncak setelah 1
jam. Bioavibilitas PTU sebesar 50-80% dikarenakan obasorbsi yang tidak
sempurna atau dimetabolisme di hati terlebih dahulu. Waktu paruhnya 1,5 jam,
dan obat ini diberikan setiap 6-8 jam/hari.7

Efek samping obat yang berbahaya terjadi 3-12% pasien. Sebagian besar
efek samping yang muncul adalah nausea dan distress gastrointestinal. Obat ini
meningkatkan risiko hepatitis berat, dan FDA memasukkan obat ini kedalam
black box, sehingga fungsi hati harus dimonitoring selama penggunaan PTU. 7,8

3.3. Diabetes Melitus

3.3.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
27

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.9 Sedangkan menurut WHO dikatakan bahwa diabetes melitus
sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat
dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
gangguan fungsi insulin.10

3.3.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association


(ADA), yaitu9 :
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat
kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering
kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar
penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi
pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

Gambar 4. Diabetes melitus tipe 1 16

2. Diabetes Melitus Tipe 2


DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar
insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin
untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam
darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari penderita DM
28

type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya diketahui DM


setelah usia 30 tahun.

Gambar 5. Diabetes melitus tipe 2 16


3. Diabetes Melitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

3.3.3 Prevalensi Diabetes Melitus


World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global
diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi
366 juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di
dunia dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes mencapai 8,4 juta dan
diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia akan
berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia
29

menyadari bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita
melakukan pemeriksaan secara teratur. 10

3.3.4 Patogenesis Diabetes Melitus


3.3.4.1 Diabetes mellitus tipe 1
Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian besar sel
pankreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meskipun rinciannya masih samar. Ikhtisar sementara urutan patogenetiknya
adalah: pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap penyakit ini. Kedua,
keadaan lingkungan seperti infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme
pemicu, tetapi agen noninfeksius juga dapat terlibat. Tahap ketiga adalah insulitis,
sel yang menginfiltrasi sel pulau adalah monosit/makrofag dan limfosit T
teraktivasi. Tahap keempat adalah perubahan sel beta sehingga dikenal sebagai sel
asing. Tahap kelima adalah perkembangan respon imun. Karena sel pulau
sekarang dianggap sebagai sel asing, terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja
sama dengan mekanisme imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta
dan penampakan diabetes.11
3.3.4.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pasien DM tipe 2 mempunyai dua defek fisiologik : sekresi insulin
abnormal dan resistensi terhadap kerja insulin pada jaringan sasaran (target).
Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Secara deskriptif, tiga fase dapat
dikenali pada urutan klinis yang biasa. Pertama, glukosa plasma tetap normal
walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat. Pada fase
kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi
insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah, tetapi sekresi insulin
menurun, menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. 11

3.3.5 Manifestasi Klinik Diabetes Melitus


Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan
mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
30

Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan dan
rasa gatal di kulit.16
Kriteria diagnostik :
Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir, atau Kadar Gula Darah Puasa 126
mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikit nya 8
jam, atau Kadar Gula Darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan
dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air. 12
Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal
2x.14

3.3.6 Komplikasi Diabetes Melitus


a. Penyulit akut
1. Ketoasidosis diabetik
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin
absolut atau relatif dan penningkatan hormon kontra regulator (glukagon,
katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut
menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan penggunaan glukosa
oleh sel tubuh menurun dengan hasil akhir hiperglikemia. Berkurangnya
insulin mengakibatkan aktivitas kreb cycle menurun, asetil Ko-A dan
Ko-A bebas akan meningkat dan asetoasetil asid yang tidak dapat
diteruskan dalam kreb cycle tersebut juga meningkat. Bahan-bahan
energi dari lemak yang kemudian di oksidasi untuk menjadi sumber
energi akibat sinyaling sel yang kekurangan glukosa akan mengakibatkan
end produk berupa benda keton yang bersifat asam. Disamping itu
glukoneogenesis dari protein dengan asam amino yang mempunyai
ketogenic effect menambah beratnya KAD. Kriteria diagnosis KAD
adalah GDS >250 mg/dl, pH <7,35, HCO 3 rendah, anion gap tinggi dan
keton serum (+). Biasanya didahului gejala berupa anorexia, nausea,
31

muntah, sakit perut, sakit dada dan menjadi tanda khas adalah pernapasan
kussmaul dan berbau aseton.16
2. Koma Hiperosmolar Non Ketotik
Ditandai dengan penurunan kesadaran dengan gula darah lebih
besar dari 600 mg% tanpa ketosis yang berarti dan osmolaritas plasma
melebihi 350 mosm. Keadaan ini jarang mengenai anak-anak, usia muda
atau diabetes tipe non insulin dependen karena pada keadaan ini pasien
akan jatuh kedalam kondisi KAD, sedang pada DM tipe 2 dimana kadar
insulin darah nya masih cukup untuk mencegah lipolisis tetapi tidak
dapat mencegah keadaan hiperglikemia sehingga tidak timbul
hiperketonemia.12
3. Hipoglikemia
Ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg% tanpa
gejala klinis atau GDS <80 mg% dengan gejala klinis. Dimulai dari
stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun. Stadium
gangguan otak ringan : lemah lesu, sulit bicara gangguan kognitif
sementara. Stadium simpatik, gejala adrenergik yaitukeringat dingin pada
muka, bibir dan gemetar dada berdebar-debar. Stadium gangguan otak
berat, gejala neuroglikopenik : pusing, gelisah, penurunan kesadaran
dengan atau tanpa kejang.12

b. Penyulit kronis
1. Mikroangiopati
Terjadi pada kapiler arteriol karena disfungsi endotel dan
trombosis.
Retinopati Diabetik
Retinopati diabetik nonproliferatif, karena hiperpermeabilitas dan
inkompetens vasa. Kapiler membentuk kantung-kantung kecil
menonjol seperti titik-titik mikroaneurisma dan vena retina mengalami
dilatasi dan berkelok-kelok. Bahayanya dapat terjadi perdarahan
disetiap lapisan retina. Rusaknya sawar retina darah bagian dalam
32

pada endotel retina menyebabkan kebocoran cairan dan konstituen


plasma ke dalam retina dan sekitarnya menyebabkan edema yang
membuat gangguan pandang. Pada retinopati diabetik prolferatif
terjadi iskemia retina yang progresif yang merangsang
neovaskularisasi yang menyebabkan kebocoran protein-protein serum
dalam jumlah besar. Neovaskularisasi yang rapuh ini berproliferasi ke
bagian dalam korpus vitreum yang bila tekanan meninggi saat
berkontraksi maka bisa terjadi perdarahan masif yang berakibat
penurunan penglihatan mendadak. Dianjurkan penyandang diabetes
memeriksakan matanya 3 tahun sekali sebelum timbulnya gejala dan
setiap tahun bila sudah mulai ada kerusakan mikro untuk mencegah
kebutaan. Faktor utama adalah gula darah yang terkontrol
memperlambat progresivitas kerusakan retina. 16
Nefropati Diabetik
Ditandai dengan albuminura menetap >300 mg/24 jam atau >200
mg/menit pada minimal 2x pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan.
Berlanjut menjadi proteinuria akibat hiperfiltrasi patogenik kerusakan
ginjal pada tingkat glomerulus. Akibat glikasi nonenzimatik dan AGE,
advanced glication product yang ireversible dan menyebabkan
hipertrofi sel dan kemoatraktan mononuklear serta inhibisi sintesis
nitric oxide sebagai vasadilator, terjadi peningkatan tekanan
intraglomerulus dan bila terjadi terus menerus dan inflamasi kronik,
nefritis yang reversible akan berubah menjadi nefropati dimana terjadi
keruakan menetap dan berkembang menjadi chronic kidney disease. 12
Neuropati diabetik
Kejadian tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar
dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah
diangnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan
skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan
33

pemeriksaan neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram,


dilakukan sedikitnya setiap tahun.16

2. Makroangiopati
Pembuluh darah jantung atau koroner dan otak
Kewaspadaan kemungkinan terjadinya PJK dan stroke harus
ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai resiko tinggi
seperti riwayata keluarga PJK atau DM.12
Pembuluh darah tepi
Penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes,
biasanya terjadi dengan gejala tipikal intermiten atau klaudikasio,
meskipun sering anpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki
merupakan kelainan yang pertama muncul. 12
34

Gambar 6. Komplikasi kronis DM tipe 2 16

3.3.7 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Tujuan pengobaan mencegah komplikasi akut dan kronik, meningkatkan
kualitas hidup dengan menormalkan KGD, dan dikatakan penderita DM terkontrol
sehingga sama dengan orang normal. 17 Pilar penatalaksanaan Diabetes mellitus
dimulai dari:
35

1. Edukasi
Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat.17
2. Terapi gizi medis
Terapi gizi medik merupakan ssalah satu dari terapi non farmakologik
yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Terapi ini pada
prinsipnya melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status
gizi diabetes dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.17
Tujuan terapi gizi ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan :
1. Kadar glukosa darah yang mendekati normal
a) Glukosa darah berkisar antaara 90-130 mg/dl
b) Glukosa darah 2 jam post prandial < 180 mg/dl
c) Kadar HbA1 c < 7%
2. Tekanan darah <130/80
3. Profil lipid :
a) Kolesterol LDL <100 mg/dl
b) Kolesterol HDL >40 mg/dl
c) Trigliserida <150 mg/dl
4. Berat badan senormal mungkin, BMI 18 24,9
Beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum melakukan perubahan
pola makan diabetes antara lain, tinggi badan, berat badan, status gizi,,
status kesehatan, aktivitas fisik dan faktor usia. Selain itu ada beberapa
faktor fisiologi seperti masa kehamilan, masa pertumbuhan, gangguan
pencernaan pada usia tua, dan lainnya. Pada keadaan infeksi berat dimana
terjadi proses katabolisme yang tinggi perlu dipertimbangkan pemberian
nutrisi khusus. Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah masalah
status ekonomi, lingkungan kebiasaan dan tradisi dalam lingkungan yang
bersangkutan serta kemampuan petugas kesehatan yang ada.
3. Intervensi Farmakologis
36

Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum


tercapai degan pengaturan makanan dan latihan jasmani. 17
1. Obat hipoglikemik oral
a. Insulin secretagogue :
sulfonilurea : meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Merupakan obat pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurangm namun masih boleh diberikan kepada pasien
dengan berat badan lebih. Contohnya glibenklamid.
Glinid : bekerja cepat, merupakan prandial glucose regulator.
Penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.obat ini
berisiko terjadinya hipoglikemia. Contohnya : repaglinid, nateglinid.
b. Insulin sensitizers
Thiazolindindion. Mensensitisasi insulin dengan jalan meningkatkan
efek insulin endogen pada target organ (otot skelet dan hepar).
Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein
pengangkut glukosa, sehingga ambilan glukosa di perifer meningkat.
Agonis PPAR yang ada di otot skelet, hepar dan jaringan lemak.
c. Glukoneogenesis inhibitor
Metformin. Bekerja mengurangi glukoneogenesis hepar dan juga
memperbaiki uptake glukosa perifer. Terutama dipakai pada
penyandang diabetes gemuk. Kontraindikasi pada pasien dengan
gangguan ginjal dan hepar dan pasien dengan kecendrungan
hipoksemia.
d. Inhibitor absorbsi glukosa
glukosidase inhibitor (acarbose). Bekerja menghambat absorbsi
glukosa di usus halus sehingga mempunyai efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Obat ini tidak menimbulkan efek
hipoglikemi.
37

Gambar 7. Main site kerja obat hiperglikemik oral

2. Insulin
Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi insulin basal dan
sekresi insulin prandial. Terapi insulin diupayakan mampu meniru
pada sekresi insulin yang fisiologis.
Defisiensi insulin mungkin hanya berupa defisiensi insulin basa,
insulin prandial atau keduanya. Defisiensi insulin basal
menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada keadaan puasa,
sedangkan defisiensi nsulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan.
Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi
terhadap defisiensi yang terjadi.
Terapi insulin dapat diberikan secara tunggal berupa insulin kerja
cepat (rapid insulin), kerja pendek (short acting), kerja menengah
(intermediate acting) atau insuli campuran tetap (premixed insulin)
Insulin diperlukan dalam keadaan : penurunan berat badan yang
cepat, hiperglikemia yang berat disertai ketosis, ketoasidosis
38

diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia


dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dengan dosis
yang hampir maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar,
IMA, stroke), kehamilan dengan DM/DM Gestasional yang tidak
terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi hepar atau
ginjal yang berat, kontraindikasi atau alergi OHO.
3. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis
rendah untuk kemudian diinaikan secara bertahap sesuai dengan respon
kadar glukosa darah. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak
dipakai adalah kombinasi OHO dan insulin basal (kerja menengah atau
kerja lama) yang divberikan pada malam hari atau menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali
glukosa yag baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar gula
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti ini kadar gula
darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan
diberikan insulin.

3.3.8. Pencegahan Diabetes Melitus


Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok
yang memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi
berpotensi untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi
penyuluhan meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan
jasmani dan menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan
kesehatan ini tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi
penyakit ini, pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya
pencegahan primer.14
39

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini
dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan
deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyuluhan
ditujukan terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan
pertama dan selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian
antiplatelet dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular
pada penyandang Diabetes.14
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes
yang telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya
kecacatan lebih lanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan
penyuluhan kepada pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya
rehabilitasi yang dapat dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang
optimal. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum
kecacatan menetap, misalnya pemberian aspirin dosis rendah 80-325
mg/hari untuk mengurangi dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik
antar para ahli di berbagai disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi,
bedah vaskular, radiologi, rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat
diperlukan untuk menunjang keberhasilan pencegahan tersier. 14
BAB IV

ANALISIS MASALAH

Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluh timbul benjolan di leher depan,


benjolan dirasakan tidak membesar, nyeri (-), demam (-), ini menyingirkan
diagnosis pembesaran tiroid disebabkan oleh infeksi, gangguan menelan (-),
perubahan suara (-),benjolan ditempat lain (-) menyingkirkan suatu keganasan
tiroid. Os juga mengeluhkan mudah berkeringat, mudah capek, jantung berdebar-
debar (+), mudah marah (+), lebih senang ditempat dingin (+), nafsu makan
meningkat (+), berat badan relatif tetap, sering haus (+), sering terbangun
dimalam hari karena ingin kencing frekuensi 3-4x/hari, sering merasakan
kesemutan, Os juga mengeluh matanya sedikit menonjol dan sering berair, hal ini
menunjukkan adanya gejala tiroidal hipertiroid sehingga struma yang dikeluhkan
bersifat toksik. 8 hari smrs, os mengeluh badan lemas, pusing sempoyongan (-),
pandangan gelap (-) kemungkinan adanya hipotensi disingkirkan, jantung
berdebar-debar (+), mudah berkeringat (+), os mengeluh BAB lebih cair,
frekuensi 3x/hari, darah (-), lendir (-), muntah (+), muntah apa yang dimakan,
mual (-), nyeri ulu hati (+) hilang timbul, nyeri dirasakan tiba-tiba dan hilang
ketika dibawa istirahat, perut terasa penuh, nafsu makan menurun (+), berat badan
menurun (+), os juga mengeluhkan kedua kakinya bengkak, nyeri (-), merah (-),
gejala-gejala ini menandakan adanya peningkatan kadar hormon tiroksin, badai
tiroid harus dipikirkan. 3 hari smrs, os mengeluh badan bertambah lemas, mual
(+), muntah (+) muntah apa yang dimakan, demam (-), nyeri ulu hati (+), os juga
mengeluh mata terlihat kuning, BAB dan BAK tidak ada kelainan, kemungkinan
hal ini diakibatkan efek samping yang ditimbulkan pada pemberian PTU kepada
os, dari beberapa sumber PTU memiliki efek hepatotoksik sehingga fungsi hati
harus dipantau selama penggunaan PTU.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik yang menandakan peningkatan


kadar bilirubin dalam darah, hepar teraba 2 jdac menandakan adanya

40
41

hepatomegali, lien teraba schuffner I menandakan adanya splenomegali yang


merupakan tanda-tanda pasien menderita hipertiroid.

Pada pemeriksaan penunjang EKG menunjukkan adanya atrium fibrilasi


yang merupakan salah satu tanda-tanda hipertiroid. Hasil laboratorium
menunjukkan peningkatan kadar bilirubin direk > indirek menunjukkan adanya
gangguan di intrahepatik atau posthepatik. HbsAg, anti HAV, dan anti HCA yang
negatif menunjukkan peningkatan biliubin bukan disebabkan oleh infeksi virus
hepatitis. Peningkatan kadar TSHs dan fT4 menunjukkan adanya hipertiroidisme.

Tatalaksana pada pasien ini diberikan IVFD NS 0,9% gtt xx/menit,


Thyrozol 1x10 mg sebagai obat anti tiroid yang lebih aman dari PTU, Propanolol
3x 10 mg diberikan untuk meringankan gejala hipertiroid dengan memblok
reseptor , Neurodex 1x1, Digoxin 1x0,25 mg diberikan untuk mengatasi aritmia
yang dialami os, Inj Novorapid 3x8 IU sc, dan Inj Levemir 1x10 IU sc diberikan
untuk mengontrol gula darah. Curcuma bersifat hepatoprotektor.
Daftar Pustaka

1. Acherman JC, Aiello LP, Alexander EK, et al. Williams Textbook of


Endocrinology 13th edition, Canada, Elsevier. 2016. p 388-410
2. Arnold AA, Linda AB, Brenda KB, et al. Endocrine Secrets 6 th edition,
USA, Elsevier, 2013. p 282-288
3. Djokomoeidjanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme.
Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
SYam AF, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta, Interna Publishing. 2009. p2003-2008
4. Bauer DC, McPhee SJ, Thyroid Disease. Dalam Lange pathophysiology of
Disease, Newyork, Lange Medical Book, 2006, p567-588
5. Price AS, Wilson LM. Gangguan kelenjar tiroid. Dalam: Pendit BU,
Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA, penyunting. Patofisiologi. Edisi
ke-6. Jakarta, EGC. 2012
6. Jameson JL, Weetman AP. Disorders of the thyroid gland. Dalam: Longo
DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J,
penyunting Harrisons principles of Internal medicine. Edisi ke-18. New
York: McGraw-Hill. 2012. Yeung SJ. Graves disease: Overview of Graves
Disease Patophisiology. [internet] [14 Juli 2016]. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/
7. Acusta PE, Barnes PJ, Barnes PA, Goodman and Gilmans the
Pharmacological Basis of Theurapeutic, California, Mc Grawhill, 2010.
p1173-1175
8. Katzung BG, Trevor AJ, Basic and Clinical of Pharmacology 12 th edition,
SanFransisco, Mc GrawHill.2011
9. Camila Manrique. Megan Johnson. James R. Sowers. Thiazide Diuretics
Alone or with Beta-blockers Impair Glucose Metabolism in Hypertensive
Patients with Abdominal Obesity. 2010 [dikutip 14Juli 2016]. Tersedia di
: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2796286/

42
43

10. Anil K Mandal, Linda M. Hiebert. Is Diuretic-Induced Hyperglycemia


Reversible and Inconsequential?. Mandal et al. Journal of Diabetes
Research and Clinical Metabolism. 2012[dikutip 14 Juli 2016]. Tersedia di
: http://www.hoajonline.com/journals/pdf/2050-0866-1-4.pdf
11. Giuseppe Mancia. Prevention of Risk factors : Beta-blockade and
hypertension. European Heart Journal Supplements. 2009 [dikutip 16 Juni
2015]. Tersedia di : http://www.gnmhealthcare.com/pdf/02-
2009/12/1713587_Preventionofriskfactorsbe.pdf
12. Suzanna Ndraha. Diabetes Melitus Tipe 2 Dan Tatalaksana Terkini.
Medicinus Vol. 27, No.2, Agustus, 2014
13. Shamshad J. Sherajee, Yoshiko Fujita, Kazi Rafiq, Daisuke Nakano,
Hirohito Mori, Tsutomu Masaki, et all. Aldosterone Induces Vascular
Insulin Resistance by Increasing Insulin-Like Growth Factor-1 Receptor
and Hybrid Receptor. DOI: 10.1161/ATVBAHA.111.240697. Arterioscler
Thromb Vasc Biol [dikutip 15 Juli 2016] Tersedia di :
http://atvb.ahajournals.org
14. James E. Tisdale,Douglas A. Miller. Drug-induced Diseases: Prevention,
Detection, and Management. [dikutip 15 Juli 2016] Tersedia di :
https://books.google.co.id/books
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
16. Sibernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Newyork, Thiem.
2000. p 281-290

You might also like