You are on page 1of 31

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap tindakan manusia mempunyai tujuan atau motivasi baik itu disadari maupun
tidak disadari. Demikian pula pekerjaan atau kegiatan karyawan mempunyai motivasi
misalnya dia mengharapkan gaji atau upah yang layak, kepuasan pribadi dari apa yang
dikerjakannya, promosi atau kenaikan jabatan dan lain sebagainya. Karyawan sebagai
makhluk sosial dalam bekerja tidak hanya mengejar penghasilan saja tetapi juga
mengharapkan selama bekerja dia juga dapat diterima dan dihargai sesama karyawan dan
diapun akan merasa bahagia juga dapat membantu karyawan lain (Anoraga, 2010).
Motivasi kerja adalah kemauan kerja suatu karyawan atau pegawai yang timbulnya
karena adanya dorongan dari dalam pribadi karyawan yang bersangkutan sebagai hasil
integrasi keseluruhan daripada kebutuhan pribadi, pengaruh lingkungan fisik dan pengaruh
lingkungan sosial dimana kekuatannya tergantung pada proses pengintegrasian tersebut.
Dengan demikian motivasi kerja merupakan gejala kejiwaan yang bersifat dinamis, majemuk
dan spesifik untuk masing-masing karyawan. Karena sifatnya tersebut, maka untuk
memberikan motivasi yang positif seorang supervisor atau pemimpin harus mengetahui dan
bersifat peka terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi kerja individu
karyawanannya (Anoraga, 2010).
Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Gallup ditemukan bahwa mayoritas
karyawan di AS tepatnya 55% tidak bergairah. Data tersebut merupakan data yang sangat
mengejutkan. Untuk itu seorang pemimpin atau manajer perlu untuk mencari cara inovatif
untuk memotivasi karyawan. Hal ini bertujuan agar motivasi karyawan meningkat dan kinerja
karyawan tersebut juga akan meningkat (Robbins, 2006).
Pemimpin hendaknya mengetahui sifat universal manusia biasanya tidak senang
diperintah. Karyawan pada dasanya bersedia dengan senang hati jika perintah itu dilakukan
dengan cara persuasif dan didasarkan atas kecakapan dan kebanggaan atas keahlian
pekerjaan. Karyawan setelah menyelesaikan tugas pekerjaan tentunya menginginkan
pemberitahuan atas hasil kerja mereka apa sudah benar atau masih perlu diadakan perbaikan.
Penyederhanaan dalam birokrasi misalnya dengan memperpendek arus pekerjaan juga
merupakan usaha untuk perbaikan struktrur organisasi yang tentunya akan meningkatkan
efisiensi dan motivasi kerja bagi para karyawan (Anoraga, 2010).
Penting untuk menyadari bahwa faktor manusia berperan penting dalam
meningkatkan peran dan motivasi kerja para karyawannnya, dimana orang itu tentu saja
1
adalah sang pemimpin. Juga perlu ditumbuhkan dedikasi , loyalitas dan semangat memiliki
suatu kantor atau perusahaan juga adalah upaya-upaya terkait dengan hal ini. Dengan era
persaingan sekarang, peran manajer atau pemimpin untuk meningkatkan motivasi kerja para
karyawannya adalah sesuatu yang sangat esensial dan tidak bisa ditawar-tawar lagi (Anoraga,
2010). Berdasarkan latar belakang diatas maka penting untuk membahas lebih jauh tentang
motivasi karena hal ini merupakan suatu yang esensial bagi kinerja suatu organisasi.

1.2 Tujuan
Mengetahui definisi motivasi
Mengetahui gambaran hierarki Maslow
Mengetahui perbedaan teori X dan teori Y
Mengetahui jenis-jenis teori-teori pembentukan motivasi
Mengetahui penjelasan tentang motivasi kerja

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Motivasi


Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada
tingkat komitmen seseorang. Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan
dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner & Freemen,
1995). Motivasi menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah segala sesuatu yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu. Sedangkan Sortell dan Kaluzny (1994) mengartikan
motivasi sebagai perasaan atau pikiran yang mendorong seseorang melakukan atau
menjalankan kekuasaan, terutama dalam berperilaku (Suarly & Bachtiar, 2009).
Berbeda dengan Ngalim dan Sortell, Stamford (dalam Luthans, 1970) membagi tiga
poin penting dalam pengertian motivasi, yaitu hubungan antara kebutuhan, dorongan dan
tujuan. Kebutuhan muncul karena adanya sesuatu yang dirasakan kurang oleh sesesorang,
baik bersifat fisiologis ataupun psikologis. Dorongan merupakan arahan untuk memenuhi
kebutuhan tadi. Tujuan adalah akhir dari satu siklus motivasi (Luthans dalam Suarly &
Bachtiar, 2009). Motivasi juga diartikan sebagai proses yang ikut menentukan intensitas, arah
dan ketekunan individu daam usaha mencapai sasaran (Robbin, 2006).
Oleh sebagian besar ahli, proses motivasi diarahkan untuk mencapai tujuan. Tujuan
atau hasil yang dicari karyawan dipandang sebagai suatu kekuatan yang bisa menarik orang,
seperti terlihat pada gambar 2.1, orang berusaha memenuhi berbagai macam kebutuhannya.
Kebutuhan yang kurang terpenuhi menyebabkan orang berusaha untuk mengurangi
kekurangan tersebut dengan memilih tindakan dan perilaku yang mengarah pada pencapaian
tujuan. Evaluasi prestasi oleh manajer menghasilkan imbalan atau hukuman yang bisa
mempengaruhi penilaian tentang kebutuhannya saat itu. Akhirnya siklus motivasi terulang
kembali.

3
I. Kebutuhan yang tidak
terpenuhi

VI. Karyawan menilai II. Pencarian jaan untuk


kembali kebutuhan memenuhi kebutuhan
KARYAWAN

V. Imbalan atau hukuman III. Perilaku yang


diarahkan pada tujuan

IV. Prestasi (evaluasi atas


tujuan yang dicapai)

Gambar 2.1 Proses Motivasi

Memotivasi adalah proses manajemen untuk mempengaruhi tingkah laku manusia


bedasarkan pengetahuan mengenai apa yang membuat orang bergerak (Stoner & Freeman
dalam Suarly & Bachtiar, 2009). Menurut bentuknya, motivasi terdiri dari:
1. Motivasi instrinsik, yaitu motivasi yang datang dari dalam individu.
2. Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang datang dari luar diri individu.
3. Motivasi terdesak, yaitu motivasi yang muncul dalam kondisi terjepit dan munculnya
serentak serta menghentak dan cepat sekali.

2.2 Teori Awal Tentang Motivasi


Tahun 1950-an adalah kurun waktu yang berhasil dalam pengembangan konsep-
konsep motivasi. Tiga teori spesifik yang dirumuskan selama periode itu, yang meskipun
dikritik habis-habisan dan saat ini dapat dipertanyakan validitasnya (Robbin, 2006).
Teori Hierarki Kebutuhan
Hierarki Kebutuhan (need hierarki) dikembangkan oleh Abraham Maslow. Ia
memandang bahwa kebutuhan manusia tersusun atas suatu hierarki atau urutan kebutuhan,
mulai dari kebutuhan yang paling mendasr (kebutuhan fisiologis) sampai yang paling tinggi
(aktualisasi diri). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
4
1. Fisiologis: kebutuhan yang berkaitan dengan fisik manusia, seperti makan, minum,
tempat tinggal, kesehatan badan, dan lain-lain.
2. Keamanan dan keselamatan (safety & security): kebutuhan akan kebebasan dari
ancaman, baik yang berupa ancaman, baik berupa ancaman kejadian, atau ancaman
dari lingkungan. Misalnya adalah gaji tetap sehingga bisa melakukan perencanaan
regular.
3. Rasa memiliki (belongingness), sosial dan cinta: kebutuhan untuk mengadakan
hubungan dengan orang lain, seperti pertemanan, afiliasi interaksi, pernikahan,
kerjasama, dalam tim, dan lain-lain.
4. Harga diri (esteem): kebutuhan untuk menghargai diri sendiri maupun mendapatkan
penghargaan dari orang lain. Misalnya adalah pencapaian posisi atau jabatan tertentu.
5. Aktualisasi diri (sef actualisation): kebutuhan untuk bisa memaksimumkan
kemampuan, keahlian, dan potensi diri. Misalnya dalam menghadapi tantangan kerja.
Menurut Maslow, orang akan berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok dulu
(fisiologis) sebelum beralih pada kebutuhan yang lebih tinggi. Atau dengan kata lain,
seseorang akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling menonjol atau paling
kuat dirasakannya pada saat ini. Jadi, yang harus menjadi perhatian manajemen adalah
sampai di tingkat mana kebutuhan yang telah terpenuhi dalam diri masing-masing karyawan,
sehingga bisa menetapkan strategi yang bisa memotivasinya (Robbin, 2006).
Teori kebutuhan Maslow telah memperoleh pengakuan luas, terutama pada para
manajer aktif. Ini dikarenakan teori tersebut berdasarkan teori yang intuitif dan mudah
dipahami. Tetapi sayangnya, secara umum riset tidak mensahihkan teori itu. Maslow tidak
memberikan pembenaran empiris, sementara beberapa studi yang berusaha mensahihkan teori
itu tidak mendukung teori itu (Suarly & Bachtiar, 2009).
Teori X dan Teori Y
Douglas McGregor mengemukakan bahawa terdapat 2 pandangan yang berbeda
mengenai manusia, yaitu negatif, yang ditandai dengan teori x, dan positif, yang ditandai
dengan teori y. Berdasarkan pengkajian McGroger mengenai cara manajer menangani
karyawan, dapat disimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai kodrat manusia
didasarkan pada kelompok asumsi tertentu dan menurut asumsi tersebut manajer cenderung
menularkan cara berperilakunya pada bawahannya.
Menurut Teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut:
1. Karyawan secara inheren tidak menyukai kerja dan bila memungkinkan akan
mencoba menghindarinya.
5
2. Karena karyawan tidak menyukai kerja, mereka harus dipaksa, diawasi atau diancam
dengan hukuman untuk mencapai sasaran
3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari pengarahan formal bila
mungkin.
4. Kebanyakan karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain yang terkait
dengan kerja dan akan menunjukkan ambisi yang rendah.

Terdapat empat asumsi positif pada Teori Y, yaitu:


1. Karyawan dapat emandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat
dan bermain.
2. Orang-orang akan melakukan pengarahan diri dan pengawasan diri jika mereka
memiliki komitmen pada sasaran.
3. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan untuk
bertanggung jawab.
4. Kemampuan untuk mengambil keputusan inovatif menyebar luas ke semua orang dan
tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen.

Menurut Maslow, teori x mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat rendah mendominasi


individu, sedangkan pada teori Y mengasumsikan bahwa kebutuhan tingkat tinggi yang
mendominasi individu. McGregor menganggap bahwa Teori Y lebih tepat dari pada teori
X. Sehingga ide-ide yang dapat dikembangkan dalam manajemen adalah partisipasi
pengambilan keputusan, memberikan pekerjaan yang menantang dan dapat
dipertanggungjawabkan serta meningkatkan hubungan kelompok yang baik sebagai
pendekatan yang akan memaksimalkan motivasi kerja karyawan.
Teori Dua Faktor
Teori dua faktor atau teori motivasi-higiene dikemukakan oleh psikolog Frederick
Herzberg, yang meyakini bahwa karyawan dapat dimotivasi oleh pekerjaannya sendiri dan di
dalamnya terdapat kepentingan yang bisa disesuaikan denan tujuan organisasi. Hubungan
individu dengan pekerjaannya merupakan hubungan dasar dan bahwa sikap seseorang
terhadap kerja dapat sangat menentukan kesuksesan atau kegagalan individu itu. Herzberg
menemukan berbagai respon mengenai apa yang diinginkan seseorang dari pekerjannya.
Respon-respon tersebut ditabulasikan dan kemudian dikategorikan.
Herzberg menyimpulkan bahwa jawaban yang diberikan orang-orang ketika mereka
merasa senang mengenai pekerjaan mereka sangat berbeda dari dari jawaban yang diberikan
ketika mereka merasa tidak senang. Karakterisitk tersebut tertentu cenderung secara
6
konsisten berkaitan dengan puas atau tidaknya terhadap pekerjaan. Responden yang merasa
senang dengan pekerjaan mereka cenderung mengaitkan faktor-faktor ini ke diri mereka
sendiri (faktor internal). Faktor tersebut disebut sebagai faktor pemuas (satisfier) atau faktor
motivator. Bila mereka tidak puas, mereka cenderung mengaitkan dengan faktor-faktor
ekstrinsik seperti pengawasan, gaji, kebijakan perusahan dan kondisi kerja. Dan faktor-
faktor tersebut dinamakan faktor yang menyebabkan ketidak puasan (dissatisfier) faktor
higiene
Menurut Herzberg, data tersebut mengemukanan bahwa lawan dari kepuasan
bukanlah ketidakpuasan, seperti yang diyakini pada umumnya. Menyingkirkan karakteristik
yang tidak memuaskan pada pekerjaan tertentu tidak serta merta menyebabkan pekerjaan
tersebut menjadi memuaskan. Hasil penemuannya mengindikasikan adanya kontinuum
ganda. Lawan Kepuasan adalah tidak ada kepuasan, dan lawan ketidakpuasan adalah tidak
ada ketidakpuasan.
Menurut Herzberg, faktor-faktor yang menyebabkan kepuasan kerja terpisah dan
berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu, manajer
yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menciptakan ketidakpuasan kerja dapat
membawa ketentraman tenaga kerja, belum tentu memotivasi mereka. Akibatnya, kondisi-
kondisi yang melingkupi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, gaji, kebijakan perusahaan,
hubungan antarpribadi, kondisi kerja fisik dan keamanan kerja telah dicirikan oleh Herzberg
sebagai faktor-faktor higiene. Jika memadai, orang-orang tidak akan tak terpuaskan tetapi
mereka juga tidak akan puas. Jika kita ingin memotivasi orang pada pekerjaannya, Herzberg
menyarankan untuk menekankan pada hal-hal yang berhubungan dengan kerja itu sendiri
atau hasil langsung yang diakibatkannya seperti peluang promosi, peluang pertumbuhan
pesona pengakuan, tanggung jawab dan prestasi. Inilah karakteristik yang dianggap sebagai
hal yang menguntungkan secara intrinsik.
Namun terdapat kritik terkait teori dua faktor, antara lain:
1. Prosedur yang digunakan Herzberg terbatasi oleh metodologinya. Bila semuanya
berlangsung baik, orang cenderung menganggap itu berkat diri mereka. Sebaliknya,
mereka menyalahkan lingkungan luar jika terjadi kegagalan.
2. Keandalan metodolgi Herzberg masih dipertanyakan. Karena penilai harus melakukan
penafsiran, mungkin mereka dapat mencemari penemuan denga menafsirkan respon
tertentu dengan cara tertentu namun di sisi lain memeperlakukan respon lain yang
serupa dengan cara yang berbeda.

7
3. Tidak digunakannya ukuran total kepuasan apapun. Dengan kata lain, sesorang dapat
tidak menyukai bagian dari pekerjaannya karena masih berfikir pekerjaan itu dapat
diterimanya.
4. Teori tersebut tidak konsisten dengan riset sebelumnya. Teori dua faktor mengabaikan
variabel-variabel situasi.
5. Herzberg mengasumsikan hubungan antara kepuasan dan produktivitas. Tetapi
metodologi riset yang dia gunakan hanya memandang kepuasan, bukan produktivitas.

Terlepas dari kritik tersebut, teori dua arah telah dibaca secara luas dan hanya sedikit
manajer yang tidak familiar dengan rekomendasinya.
2.3 Teori-Teori Kotemporer Tentang Motivasi
Teori ERG
Teori ERG oleh Clayton Alderfer merupakan teori kepuasan dalam motivasi yang
mengatakan bahwa individu mempunyai kebutuhan-kebutuhan berupa eksistensi, keterkaitan,
dan pertumbuhan. Teori ini serupa dengan hierarki kebutuhan Maslow karena juga
memandang kebutuhan manusia sebagai suatu hierarki. Namun dalam teori ERG hanya ada
tiga hierarki di bawah ini (Suarli & Bahtiar, 2009).
1. Eksistensi (Existence, E)
Kebutuhan yang bisa dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan, minuman, udara,
upah, dan kondisi kerja. Kebutuhan eksistensi ini sama dengan kebutuhan fisiologi dan
keamanan dalam hierarki kebutuhan Maslow.
2. Keterkaitan (Relatedness, R)
Kebutuhan yang bisa dipuaskan dengan hubungan sosial, hubungan antar pribadi.
Kebutuhan ini sama dengan kebutuhan tingkat ketiga dalam hierarki Maslow, yaitu
rasa memiliki, sosial, dan cinta.
3. Pertumbuhan (Growth, G)
Kebutuhan yang bisa dipuaskan bila seseorang memberikan kontribusi yang kreatif
dan produktif. Kebutuhan ini sama dengan kebutuhan tingkat empat dan lima dalam
hierarki Maslow, yaitu harga diri dan aktualisasi.
Teori ERG juga menyatakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi mengalami
kekecewaan, maka kebutuhan yang lebih rendah akan kembali walaupun sudah terpuaskan.
(Suarli & Bahtiar, 2009)
Disamping menggantikan lima kebutuhan dengan tiga kebutuhan saja. Perbedaan lain
antara teori kebutuhan Maslow dan teori ERG yaitu teori ERG memperlihatkan bahwa (1)

8
lebih dari satu kebutuhan dapat berjalan pada saat yang sama, dan (2) jika kepuasaan pada
kebutuhan tingkat lebih tinggi tertahan, maka hasrat untuk memenuhi kebutuhan tingkat lebih
rendah akan meningkat (Robbin, 2006).
Selain itu, hierarki kebutuhan Maslow mengikuti kemajuan yang bertingkat-tingkat
dan kaku. Akan tetapi, pada teori ERG tidak mengasumsikan hierarki yang kaku dimana
kebutuhan yang lebih rendah harus lebih dahulu dipuaskan secara substansial sebelum orang
dapat maju terus. Misalnya, seseorang dapat mengusahakan pertumbuhan meskipun
kebutuhan eksistensi dan keterhubungan belum dipuaskan, atau ketiga kategori kebutuhan
dapat berjalan sekaligus (Robbin, 2006).
Teori ERG juga mengandung dimensi frustasi-regresi. Pendapat Maslow tentang
bahwa individu akan tetap pada tingkat kebutuhan tertentu sampai kebutuhan tersebut
dipenuhi, disangkal oleh teori ERG. Teori ERG mengatakan bahwa bila tingkat kebutuhan
tertentu pada urutan lebih tinggi terhalang, maka hasrat individu untuk meningkatkan
kebutuhan tingkat lebih rendahnya akan berlangsung. Ketidakmampuan memuaskan
kebutuhan akan interaksi sosial, misalnya mungkin meningkatkan hasrat untuk memiliki
lebih banyak uang atau kondisi kerja yang lebih baik. Jadi frustasi (halangan) dapat
mendorong mundur ke kebutuhan yang lebih rendah (Robbin, 2006).
Teori ERG lebih konsisten dengan pengetahuan kita mengenai perbedaan individual
diantara manusia. Variabel-variabel seperti pendidikan, latar belakang keluarga, dan
lingkungan budaya dapat mengubah minat atau daya dorong yang dimiliki sekelompok
kebutuhan pada individu tertentu (Robbin, 2006).
Ringkasnya, teori ERG berargumen seperti Maslow bahwa kebutuhan tingkat lebih
rendah yang terpuaskan menghantar ke hasrat untuk memenuhi kebutuhan tingkat lebih
tinggi, tetapi kebutuhan ganda dapat beroperasi sebagai motivator pada saat yang sama, dan
frustasi ketika berusaha memuaskan kebutuhan tingkat lebih tinggi dapat menghasilkan
regresi ke kebutuhan tingkat lebih rendah (Robbin, 2006).
Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan para
koleganya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan; prestasi, kekuasaan, dan kelompok
pertemanan. Kebutuhan ini didefinisikan sebagai berikut (Robbin, 2006).
Kebutuhan akan prestasi: Dorongan untuk unggul, untuk berprestasi berdasar
seperangkat standar, untuk berusaha keras supaya sukses.

9
Kebutuhan akan kekuasaan: kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku
dalam suatu acara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku
sebaliknya.
Kebutuhan akan kelompok pertemanan: Hasrat untuk hubungan antarpribadi yang
ramah dan akrab.
Ada orang yang memiliki dorongan yang kuat sekali untuk berhasil. Mereka bergulat
demi prestasi pribadi bukannya ganjaran untuk sukses itu semata-mata. Mereka mempunyai
hasrat untuk melakukan sesuatu lebih baik atau lebih efisien daripada yang telah dilakukan
sebelumnya. Dorongan ini adalah kebutuhan akan prestasi (nAch-achievement need). Dari
riset mengenai kebutuhan akan prestasi, McClelland menemukan bahwa peraih prestasi tinggi
membedakan diri mereka dari orang lain berdasar hasrat mereka untuk menyelesaikan apa
yang dikerjakan dengan cara yang lebih baik. Mereka mengupayakan situasi dimana mereka
dapat mencapai tanggung jawab pribadi untuk pemecahan terhadap masalah-masalah, dimana
mereka dapat menerima umpan balik yang cepat atas kinerja mereka sehingga mereka dapat
mengetahui dengan mudah apakah mereka menjadi lebih baik atau tidak, dan dimana mereka
dapat menentukan sasaran yang cukup menantang. Peraih prestasi bukanlah penjudi; mereka
tidak menyukai keberhasilan yang didpatkan karena kebetulan. Mereka lebih menyukai
tantangan dalam menyelesaikan masalahdan menerima baik tanggung jawab pribadi atas
sukses atau gagal, bukannya mengandalkan hal-hal yang bersifat kebetulan atau
mengandalkan tindakan orang lain. Yang penting, mereka menghindari apa yang mereka
persepsikan sebagai tugas yang terlalu mudah atau terlalu sukar. Mereka menyukai tugas-
tugas dengan kesulitan tingkat sedang.
Peraih prestasi tinggi berkinerja paling baik apabila mereka mempersepsikan
kemungkinan sukses mereka sebesar 0,5, yaitu, di mana mereka menaksir bahwa mereka
mempunyai peluang sukses 50-50. Mereka tidak menyukai judi dengan peluang kecil karena
mereka tidak memperoleh kepuasan prestasi dari sukses secara kebetulan. Sama halnya pula,
mereka tidak menyukai rintangan yang rendah (probabilitas keberhasilan tinggi) karena tidak
ada tantangan terhadap keterampilan mereka. Mereka suka menentukan sasaran yang
menuntut sedikit pengerahan diri.
Kebutuhan akan kekuasaan (nPow-need for power) adalah hasrat untuk berpengaruh,
dan mengendalikan orang lain. Individu-individu dengan nPow tinggi menikmati
kekuasaan, bertarung untuk dapat mempengaruhi orang lain, lebih menyukai ditempatkan di
situasi kompetitif dan berorientasi status, dan cenderung lebih peduli akan prestise [gengsi]
serta memperoleh pengaruh atas orang lain daripada kinerja yang efektif.
10
Kebutuhan ketiga yang di ungkapkan McClelland adalah kelompok pertemanan atau
afiliasi (nAff-need for afiliation). Kebutuhan ini dapat perhatian paling kecil dari para
peneliti. Individu dengan motif afiliasi yang tinggi berjuang keras untuk mendapatkan
persahabatan, lebih menyukai situasi kooperatif daripada situasi kompetitif, dan sangat
menginginkan hubungan yang melibatkan derajat pemahaman timbal balik yang tinggi.
Dengan mengandalkan pada jumlah riset yang ekstensif, beberapa ramalan yang
cukup beralasan untuk didukung dibuat berdasarkan hubungan antar kebutuhan akan prestasi
dan kinerja pekerjaan. Meskipun lebih sedikit riset yang telah dilakukan pada kebutuhan akan
kekuasaan dan akan afiliasi, ada juga penemuan-penemuan yang konsisten.
Pertama, seperti di tunjukkan dalam peraga 6-5, individu dengan kebutuhan tinggi
untuk berprestasi lebih menyukai situasi pekerjaan dengan tanggung jawab pribadi, umpan
balik, dan risiko yang sedana-sedang saja. Bila karakteristik-karakteristik ini muncul, peraih
prestasi tinggi akan sangat termotivasi. Bukti itu secara konsisten memperlihatkan, misalnya,
bahwa peraih prestasi tinggi sukses dalam kegiatan wiraswasta, seperti misalnya menjalankan
bisnis mereka sendiri dan mengelola unit mandiri dadalam organisasi yang besar.
Kedua, kebutuhan tinggi untuk berprestasi tidak harus menghantar menjadi manajer
yang baik, teristimewa dalam organisasi-organisasi besar. Orang dengan kebutuhan prestasi
yang tinggi tertarik dengan seberapa baik mereka melakukan secara pribadi dan tidak tertarik
dengan mempengaruhi orang lain untuk melakukan dengan baik. Orang bagian penjualan
dengan nAch tinggi tidak harus merupakan manajer penjualan yang baik, dan manajer umum
(GM) yang baik mdalam organisasi besar lazimnya tidak mempunyai kebutuhan tinggi untuk
berprestasi.
Ketiga, kebutuhan akan afiliasi dan kekuasaan cenderung erat dikaitkan dengan
sukses manajerial. Manajer terbaik adalah yang tinggi dalam kebutuhan akan kekuasaan dan
rendah kebutuhan akan afiliasi. Memang, motif kekuasaan tinggi dapat merupakan
persyaratan bagi efektifitas manajerial. Tentu saja, mana penyebab dan mana akibat dapatlah
diperdebatkan. Telah di sarankan bahwa kebutuhan akan kekuasaan yang tinggi dapat terjadi
semata-mata sebagai fungsi dari level seseorang dalam organisasi hierarkis. Argumen
belakangan mengemukakan bahwa makin tinggi individu naik kedalam organisasi, makin
besar motif kekuasaan sang pemegang jabatan [incumbent]. Akibatnya, posisi-posisi yang
berkuasa akan menjadi rangsangan untuk munculnya motif kekuasaan tinggi.
Akhirnya, karyawan berhasil di latih untuk merangsang kebutuhan prestasi mereka.
Pelatih berlaku efektif dalam mengajar individu-individu untuk berpikir dari segi prestasi,
menang dan sukses; lalu kemudian membantu mereka untuk belajar cara bertindak dalam
11
cara yang berprestasi tinggi dengan lebih menyukai situasi dimana mereka mempunyai
tanggung jawab pribadi, umpan balik, dan risiko yang sedang. Jadi jika pekerjaan itu
membutuhkan peraih prestasi tinggi, manajemen dapat memilih seorang dengan nAch tinggi
atau mengembangkan calonnya sendiri lewat pelatihan prestasi.
Teori Evaluasi Kognitif
Pada akhir 1960 an seorang peneliti mengemukakan bahwa pengenalan imbalan
ekstrinsik, seperti gaji atas upaya kerja yang sebelumnya secara instrinsik telah dapat
memberi keuntungan karena adanya kesenjangan yang dikaitkan dengan isi kerja sendiri,
yang akan cenderung mengurangi keseluruhan tingkat motivasi. Pendapat ini yang akan
disebut teori evaluasi kognitif telah diteliti secara ekstensif, dan banyak studi
mendukungnya. Seperti akan kami tunjukkan, implikasi utama atas teori ini berkaitan dengan
cara pembayaran karayawan dalam berbagai organisasi.
Secara historis, ahli teori motivasi umumnya mengasumsikan bahwa motivasi
intrinsik seperti misalnya prestasi, tanggung jawab, dan kompetensi tidak bergantung pada
motivator ekstrensik seperti upah tinggi, promosi, hubungan penyelia yang baik, dan kondisi
kerja yang menyenangkan. Artinya, rangsangan satu tidak akan mempengaruhi rangsangan
lainnya. Tetapi teori evaluasi kognitif mengemukakan sebaliknya. Teori ini berargumen
bahwa bila imbalan ekstrinsik digunakan oleh organisasi sebagai hadiah atas kinerja yang
unggul, imbalan intrinsik yang berasal dari individu-individu yang melakukan apa yang
mereka sukai, akan berkurang. Dengan kata lain, bila imbalan ekstrinsik diberikan ke
seseorang untuk menjalankan tugas yang menarik, imbalan itu menyebabkan minat intrinsik
terhadap tugas itu sendiri merosot.
Mengapa akan muncul hasil seperti itu? Penjelasan yang populer adalah bahwa
individu mengalami hilangnya kendali terhadap perilakunya sehingga motivasi intrinsik
sebelumnya akan berkurang. Lagi pula, dihilangkannya imbalan eksternal dapat
menimbulkan pergeseran dari penjelasan eksternal ke penjelasan internal dalam persepsi
sebab akibat individu mengenai mengapa ia mengerjakan tugas tersebut. Jika anda membaca
sebuah novel tiap pekan karena dosen literatur inggris anda mensyaratkan anda melakukan
itu, anda dapat menghubungkan perilaku mmbaca anda dengan sumber eksternal. Tetapi
setelah kuliah itu selesai, jika anda melanjutkan membaca novel satu pekan sekali,
kecenderunan alami anda harus mengatakan,saya pasti menikmati emmbaca novel, karena
saya masih membaca novel satu pekan sekali.
Jika teori evaluasi kognitif itu sahih, teori itu seharusnya mempunyai implikasi besar
pada praktek-praktek manajerial. Telah menjadi kebenaran yang tidak dapat disangkal
12
diantara para spesialis kompensasi selama bertahun-tahun bahwa jika upaya atau ganjaran
ekstrinsik lain harus merupakan motivator yang efektif, ganjaran itu seharusnya dibuat
bergantung pada kinerja individu. Tetapi teori evaluasi kognitif akan berargumen, ini hanya
akan mengurangi kepuasan internal yang diterima individu dari mengerjakan tugas tersebut.
Kita telah menggantikan rangsangan internal dengan rangsangan eksternal. Memang jika
teori evaluasi kognitif itu benar, akan masuk akal untuk membuat upah individu tidak
bergantung pada kinerja agar menghindari berkurangnya motivasi intrinsik. Kita perhatikan
sebelumnya bahwa teori evaluasi kognitif telah dikukuhkan dengan sejumlah studi. Teori itu
masih juga mendapat serangan, khususnya pada metodologi yang digunakan dalam studi-
studi ini dan pada penafsiran atas temuan-temuan itu. Tetapi dimana teorin ini berdiri
sekarang ini? Dapatkah kita katakan bahwa bila organisasi menggunakan motivator ekstrinsik
seperti upah dan promosi untuk merangsang kinerja para pekerja, mereka melakukan hal itu
dengan mengorbankan minat instrinsik dan motivasi yang berkurang pada pekerjaan yang
sedang dilakukan? Jawabnya tidaklah sederhana ya atau tidak!
Walaupun diperlukan pengertian lebih lanjut untuk menjernihkan ambiguitas dewasa
ini, bukti memang membuat kita harus menyimpulkan bahwa saling ketergantungan antara
imbalan intrinsik dan ekstrinsik merupakan gejala yang nyata. Akan tetapi, dampak pada
motivasi karyawan ditempat kerja, dibandingkan dengan motivasi pada umumnya, mungkin
lebih rendah daripada yang diduga semula. Pertama, banyak studi menguji teori itu dilakukan
pada mahasiswa, bukan karyawan organisasi yang mendapatkan gaji. Para peneliti
mengamati apa yang terjadi pada perilaku mahasiswa bila imbalan yang telah dijatahkan
sebelumnya. Ini menarik, tetapi tidak mewakili situasi kerja yang lazim. Dalam dunia nyata,
bila imbalan ekstrinsik dihentikan, biasanya individu itu tidak lagi merupakan bagian dari
organisasi. Kedua, bukti menyatakan bahwa tingkat motivasi intrinsik yang sangat tinggi
sangat menolak dampak yang bersifat merusak dari imbalan ekstrinsik. Bahkan bila pekerjaan
secara inheren menarik, norma yang kuat sekali untuk pembayaran ekstrinsik masih tetap ada.
Pada bagian ekstrim yang lain, untuk tugas-tugas yang membosankan, imbalan ekstrinsik
tampaknya meningkatkan motivasi intrinsik. Oleh karena itu, teori itu mungkin mempunyai
keterbatasan untuk diterapkan pada organisasi kerja karena kebanyakan pekerjaan tingkat
rendah secara inheren tidak cukup memuaskan untuk mendukung berkembangnya minat
intrinsik yang tinggi dan banyak posisi manajerial serta profesioanal menawarkan imbalan
intrinsik. Teori evaluasi kognitif mungkin relevan pada perangkat pekerjaan organisasi yang
berada diantaranya-pekerjaan yang tidak luarbiasa membosankan dan tidak luar biasa
menarik.
13
Teori PenetapanSasaran
Gene Broadwater, pelatih tim lari lintas alam sekolah menengah hamiltonm
memberikan kata-kata akhir pada pasukannya sebelum mereka menghampiri garis untuk
lomba kejuaraan liga: masing-masing dari kalian siap secara fisik. Oleh karena itu, keluar
sana dan berusahalah sebaik-baiknya! Tidak ada seorangpun pernah dapat meminta kamu
lebih dari itu.
Anda telah mendengar sendiri ucapan Berusahalah sebaik-baiknya. Hanya itu yang
dapat diminta oleh siapapun. Tetapi apakah artinya berusaha sebaik-baiknya? Pernahkah
kita tahu kita telah mencapai sasaran yang samar-samar itu? Apakah pelari lintas alam itu
mencatat waktu yang lebih cepat seandainya pelatih memeberikan kepada masing-masing
dari mereka sasaran yang spesifik untuk dibidik? Mungkinkah anda melakukan lebih baik
dalam mata pelajaran bahasa inggris di sekolah menengah seandainya orang tua anda
mengatakan :kamu harus berjuang untuk memperoleh nilai 95 atau lebih bukannya
mengatakan kepada anda berusahalah sebaik-baiknya? riset mengenai penetapan sasaran
membahas isu-isu ini dan penemuannya, seperti anda akan saksikan, mengesankan menurut
dampak yang ditimbulkan oleh spesifikasi sasaran, tantangan dan umpan balik terhadap
kinerja.
Pada akhir 1960-an Edwin Locke mengemukakan bahwa niat-niat untuk bekerja
menuju sasaran merupakan sumber utama dari motivasi kerja. Artinya,sasaran memberitahu
karyawan apa yang perlu dikerjakan dan berapa banyak upaya akan harus dilakukan. Bukti
sangat kuat mendukung dari nilai sasaran. Lebih tepatnyan kita dapat mengatakan bahwa
sasaran khusus meningkatkan kinerja : bahwa sasaran sulit bila diterima baik, menghasilkan
kinerja yang lebih tinggi ketimbang tidak ada umpan balik.
Sasaran sulit yang spesifik menghasilkan tingkat keluaran (output) yang lebih tinggi
daripada sasaran umum lakukan sebaik-baiknya. Kekhusussan sasaran itu sendiri berfungsi
sebagai rangsangan internal. Misalnya bila pengemudi truk berjanji melakukan 12 perjalanan
bolak-balik antara Toronto dan Buffalo, New York, tiap pekan. Maka maksud ini
memberikan sasaran spesifik ntuk diraih. Kita dapat mengatakan bahwa, dengan semua hal
sama, pengemudi truk dengan sasaran spesifk akan berkinerja lebih baik daripada rekannya
yang beroperasi tanpa sasaran atau yang sasarannya bersifat umum lakukan sebaik-baiknya
Jika faktor-faktor seperti kemampuan dan penerimaan sasaran itu dikonstankan kita
juga dapat menyatakan bahwa semakin sulit sasaran maka semakin tinggi tingkat kinerjanya.
Akan tetapi adalah logis untuk memnasumsikan bahwa sasaran yang lebih mudah akan lebih

14
besar kemungkinan untuk diterima. Tetapi begitu karyawan menerima dengan baik tugas
yang sulit, ia akan berusaha keras sampai tugas itu dicapai, diturunkan atau diabaikan.
Orang akan melakukan dengan lebih baik bila mereka memperoleh umpan balik
mengenai betapa mereka maju kearah sasaran. Karena, umpan balik membantu
mengidentifikasi penyimpangan antara apa yang telah mereka kerjakan dan apa yang ingin
merke kerjakan. Artinya, umpan balik bertindak untuk memandu perilaku. Tetapi tidak semua
umpan balik sama kuatnya. Umpan balik yang ditimbulkan oleh diri sendiri-dimana
karyawan itu mampu memantau kemajuan sendiri-telah ditunjukkan sebagai motivator yang
lebih ampuh daripada umpan balik yang ditimbulkan secara eksternal.
Jika karyawan mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi dalam penentuan sasaran
mereka sendiri, akankah mereka berusaha lebih keras? Buktinya bervariasi menyangkut
keunggulan sasaran partisipatif terhadap sasaran yang ditugaskan. Dalam beberapa kasus,
sasaran yang digunakan secara partisipatif menghasilkan kinerja yang unggul. Dalam kasus
lain, individu akan memiliki kinerja terbaik bila ditugasi sasaran oleh atasan mereka. Tetapi
keuntungan utama dari partisipasi mungkin ada dalam peningkatan penerimaan terhadap
sasaran itu sendiri sebagai sasaran yang diinginkan. Seperti kita perhatikan, penolakan atau
keengganan lebih besar terjadi bila sasaran itu sulit. Jika orang-orang berpartisipasi dalam
penetapan sasaran, lebih besar mereka menerima sasaran yang sulit sekalipun daripada jika
mereka secara sembarangan ditugasi oleh atasan mereka. Alasannya adalah bahwa individu
lebih berkomitmen pada pilihan-pilihan dimana mereka ikut ambil bagian. Jadi meskipun
sasaran partisipatif mungkin tidak lebih unggul daripada sasaran penugasan, bila penerima itu
dianggap ada, partisipasi memang meningkatkan kemungtkinan sasaran yang lebih sukar
akan disetujui dan diusahakan.
Adakah hal-hal yang kebetulan dalam teori penentuan-sasaran atau dapatkah kita
beranggapan sebagai kebenaran yang universal bahwa sasaran yant sukar dan spesifik akan
selalau menghasilkan kinerja yang lebih tinggi? Disamping umpan balik, tiga faktor lain telah
ditemukan dapat mempengaruhi hubungan sasaran-kinerja, yaitu: komitmen sasaran,
keefektifan diri, yang memadai dan budaya nasional. Teori penentuan-sasaran sebelumnya
mengasumsikan bahwa individu berkomitmen terhadap sasaran, artinya bertekad untuk tidak
menurunkan atau meninggalkan sasaran. Ini paling besara kemungkinan untuk terjadi bila
sasaran itu diumumkan, bilas individu mempunyai locus of control internal, dan bila sasaran
itu ditentukan sendiri bukan ditugaskan. Keefektifan diri merujuk pada keyakinan individu
bahwa ia mapu menyelesaikan tugas tertentu. Makin tinggi keefektifan diri anda, makin
besarlah kepercayaan diri anda terhadap kemampuan untuk berhasil dalam tugas-tugas
15
tertentu, Jadi dalam situasi-situasi sulit, kita jumpai orang-orang dengan keefektifan diri
tinggi kan lebih berusaha keras untuk menguasai tantangan itu. Di samping itu individu yang
tinggi keefektifan dirinya tampaknya menanggapi umpan balik yang negatif dengan
meningkatkan upaya dan motivasi, sementara mereka yang rendah keefektifan dirinya
kemungkinan besar akan mengurangi upaya bila diberi umpan balik yang negatif. Riset
menunjukkan bahwa sasaran tampaknya memilki dampak yang lebih substansial terhadap
kinerja bila tugas itu sederhana dan bukannya rumit, dapat dikenal dan bukannya baru, serta
independen dan bukannya interdependent, tugas-tugas kelompok itu lebih disukai. Terakhir,
penentuan sasaran merupakan ikatan budaya. Teori ini sangat cocok untuk negeri seperti
amerika dan kanada karena komponen utama cukup segaris dengan amerika utara. Teori ini
mengasumsikan bahwa bawahan akan berdiri sendiri (skor pada jarak kekuasaan tidak terlalu
tinggi sehingga manajer dan bawahan akan mencari sasaran yang menantang) dan bahwa
kinerja dianggap perlu oleh keduanya. Jadi janganlah mengharapkan penentuan sasaran pasti
akan menghasilkan kinerja karyawan yang lebih tinggi di negara-negara portugal-chili,
dimana terdapat kondisi yang berlawanan.
Kesimpulan keseluruhan adalah bahwa niat-yang diucapkan dengan istilah sasaran
yang sukar dan spesifik-merupakan kekuatan motivasi yang ampuh. Pada kondisi yang tepat,
niat ini akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi. Tetapi tidak ada bukti yang mendukung
gagasan bahwa sasaran semacam itu berkaitan dengan peningkatan kepuasan kerja.
Teori penguatan
Lawan pendapat terhadap teory penentuan-sasaran adalah teory penguatan yang
pertama merupakan pendekatan kognitip yang mengemukakan bahwa sasaran individu
mengarahkan tindakannya. Dalam teory penguatan kita mempunyai pendekatan perilaku
(behavioristik), yang berargumen bahwa penguatanlah yang mengkondisikan perilaku. Jelas
secara filososfis bahwa keduanya berlawanan. Para ahli teori kekuatan memandang perilaku
dibentuk oleh lingkungan anda tidak perlu peduli, demikian pendapat mereka, akan peristiwa-
peristiwa kognitip internal. Apa yang mengendalikan perilaku adalah pemerkuat (line for
cers) setiap konsekuensi yang bila dengan segera menyusuli respon tertentu, meningkatkan
kemungkinan bahwa perilaku itu akan diulang.
Teory penguatan mengabaikan keadaan internal dari individu dan memusatkan semata
mata hanya pada apa yang terjadi pada seseorang bila ya mengambil sesuatu tindakan.
Karena teori ini tidak memperdulikan apa yang mengawali perilaku, masih jelas, teori ini
bukanlah teori motivasi. Tetapi teory ini memang memberikan cara analisis yang mampu

16
terhadap apa yang mengendalikan perilaku. Dan untuk alasan inilah teory ini lazim
dipertimbangkan dalam pembahasan motivasi.
Kami membahas peruses penguatan itu secara rinci dalam bab 2. Disitu ditunjukan
bagaimana penggunaan memperkuat untuk mengkondisikan perilaku memberikan pada kita
kawasan yang cukup banyak terhadap cara orang-orang belajar. Kita tidak dapat
mengabaikan fakta bahwa penguatan mempunyai pengikut yang luas sebagai piranti
motivasi. Akan tetapi, dalam bentuknya yg murni, teori penguatan mengabaikan perasaan,
sikap, pengharapan dan variabel kognitif lainnya yang dikenal berdampak terhadap perilaku.
Memang, beberapa peneliti memandang eksperimen sama yang digunakan oleh para ahli
teory penguatan untuk mendukung pendapat mereka dan menafsirkan penemuan-penemuan
dalam kerangka kognitip.
Tidak diragukan lagi bahwa penguatan mempunyai pengaruh yang penting atas
perilaku, tetapi sedikit kaum terpelajar yang siap untuk berargument bahwa penguatan
merupakan salah satunya pengaruh. Perilaku yang anda libatkan pada kerja dan banyaknya
upaya yang anda alokasikan pada tiap tugas dipengaruhi oleh konsekwensi-konsekwensi yang
mengikuti perilaku anda. Jika anda secara konsisten ditegur karena produksi anda melebihi
rekan-rekan anda, kemungkinan besar anda akan mengurangi produktifitas anda. Tetapi
produktivitas anda yg lebih rendah itu dapat juga dijelaskan dengan menggunakan (teory)
sasaran ketidak adilan, atau pengharapan.
Teory hanyut (flow) dan motivasi interinsik
Pernakah anda berfikir tentang masalah hidup anda, ketika anda begitu terlibat dalam
sesuatu sehingga lainnya tidak berarti apa-apa? Tugas ini menguras anda dan anda tidak sadar
akan waktu. Kebanyakan orang dapat. Itu mungkin terjadi ketika anda melakukan kegiatan
yang menyenangkan : berlari, main sky, menari, membaca novel, bermain game dikomputer,
mendengarkan music, memasak makanan yg enak. Para atlit biasanya menyebutnya sebagai
berada dalam zona. Tetapi seperti akan kami tunjukan, hal itu dapat terjadi juga ditempat
kerja. Para periset motivasi menyebut keadaan konsentrasi absolut ini sebagai flow (hanyut).
Pengalamn flow suatu unsur penting dari pengalaman flow adalah bahwa motivasinya
itu tidak berkaitan dengan sasaran akhir. Kegiatan yang dilakukan manusia ketika mereka
mencapai perasaan yg tidak dibatasi waktu (timelesness) itu berasal dari proses aktivitas itu
sendiri dan bukannya upaya untuk mencapai sasaran. Dengan demikian ketika seseorang
mengalami perasaan hanyut (flow) dia benar-benar termotivasi secara intrinsik.
Apakah orang biasa merasa bahagia bila mereka mengalami flow? Jawaban yang
mungkin mengherankan anda adalah tidak. Mereka terlalu tenggelam dalam konsentrasinya
17
yang dalam. Tetapi ketika tugas yang mengakibatkan flow itu selesai, dan orang melihat
kembali apa yang terjadi, ,maka dia dipenuhi dengan rasa syukur karena pengalaman itu,.
Selanjutnya kepuasan yg diterima dari pengalaman itu disadari dan keinginan untuk
mengulangi pengalaman itulah yg menciptakan motivasi yang berkelanjutan.
Apakah ada kondisi yang mungkin menghasilkan flow? ya. Ketika orang
menggambarkan pengalamn flow mereka berbicara tentang karateristik umum tugas-tugas
umum yang mereka lakukan. Tugas-tugas itu menantang dan menuntut penggunaan tingkat
keterampilan yang tinggi. Tugas-tugas itu diarahkan berdasarkan sasaran dan mempunyai
umpan balik tentang bagaimana tuga itu dijalankan. Namun penting diperhatikan lagi bahwa
walaupun tugas-tugas itu diarahkan berdasarkan sasaran namun bukanlah sasaran yang
memberikan motivasi emlainkan tugas itu sendiri.
Salah satu dari temuan-temuan riset paling mengejutakan yang terkait dengan flow
adalah bahwa flow itu tidak di asosiasikan dengan relaksasi. Memang pengalaman flow
jarang dilaporkan orang ketika mereka melakukan kegiatan relaksasi seperti menonton
televisi atau bersantai. Kejutan lain adalah bahwa pengalaman itu lebih mungkin dialami
pada saat kerja daripada dirumah.
Jika anda bertanya pada orang apakah mereka ingin mengurangi pekerjaan mereka,
jawabannya hampir selalu : jawabannya ya. Manusia menghubungkan relaksasi dengan
kebahagiaan. Mereka berpikir bahwa jika mereka memiliki lebih banyak waktu luang mereka
akan lebih bahagia. Studi terhadap ribuan orang mengemukakan bahwa mereka pada
umumnya salah memiliki keyakinan seperti itu. Ketika orang menghabiskan waktu dirumah
misalnya, mereka sering tidak punya sasaran yang jelas, tidak tahu apa yang harus dilakukan,
bingung, dan merasa bahwa keterampilan mereka tidak digunakan mereka sering mengalami
rasa bosan tetapi kerja mempunyai banyak sifat yang merangsang flow. Kerja biasanya
mempunyai sasaran yang jelas. Iya memberikan umpan balik tentang bagaimana orang bisa
bekerja dengan lebih baik entah dari proses itu sendiri atau melalui evaluasi yg dilakukan
atasan mereka. Keterampilan manusia umumnya cocok dengan pekerjaan mereka yg
memberikan mereka tantangan dan pekerjaan biasanya mendorong konsentrasi dan mencegah
kebingungan.
Model motivasi intrinsic
Pemahaman yang lebih jelas tentang flow sudah ditawarkan dalam modal motivasi
intrinsic ken tomas. Perluasan konsep flow ini mengidentifikasi unsur pokok yang
menciptakan motivasi intrinsic.

18
Thomas menggambarkan karyawan sebagai orang termotivasi secara intrinsic bila dia
benar-benar peduli dengan pekerjaannya, mencari cara yang lebih baik untuk
melakukannya,dan mendapat kekuatan dan kepuasan dalammelakukannya denganbaik.
Seperti pada flow, imbalan yang didapatkan dari motivasi intrinsik datang dari kerja itu
sendiri dan bukannya dari faktor-faktor eksternal seperti kenaikan gaji atau pujian dari atasan
Model Thomas itu mengemukakan bahwa motivasi intrinsik dicapai ketika orang
mengalami perasaan-perasaan adanya pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan dia
menetapkan komponen-komponen ini sebagai berikut :
Pilihan adalah peluang untuk mampu menyelesaikan kegiatankegiatan tugas yang
masuk akal bagi anda.dan melaksanakannya dengan cara yang memadai.
Kompetensi adalah pencapaian yang anda rasakan saat melakukan kegiatan pilihan
anda dengan cara yang amat terampil.
Penuh arti adalah peluang untuk mengejar sasaran tugas yang bernilai, sasaran yang
terjadi dalam skema yang lebih besar.
Kemajuan adalah perasaan bahwa anda memuat langkah maju yang berarti dalam
mencapai sasaran tugas anda.
Thomas melaporkan sejumlah studi yang menunjukkan bahwa keempat komponen
motivasi intrinsik ini berhubungan erat dengan peningkatan kepuasan kerja dan perbaikan
kinerja seperti penilaian penyelia akan tetapi, hampir semua studi yang dilaporkan oleh
Thomas dilakukan terhadap karyawan profesional dan dari kalangan manajer apakah keempat
komponen ini bisa memprediksi motivasi intrinsik, misalnya,pada kaum buruh biasa, sampai
sekarang belum jelas.
Ingatlah bagaimana keempat komponen motivasi intrinsic Thomas ini bertautan
dengan konsep flow.ketika tugas itu penuh arti ,maka manusia tidak menyukai waktu yang
sudah mereka habiskan untuk tugas-tugas kurang berarti lainnya mereka benar-benar terserap
kedalam tugas intrinsic, berpikir tentang itu sepanjang waktu kami bahkan memperkirakan
mereka mau meminjamwaktu dari kegiatan-kegiatan lain untuk menghabiskan lebih banyak
waktu demi sesuatu yang berarti. ketika tugas memberikan pengalaman flow, orang pada
umumnya bebas memilih untuk bekerja pada tugas itu,yang kontras dengan yang lain.
Kompetensi juga merangsang pengalaman flow kita cenderung menjadipaling dalam terlibat
ke dalam tugas bila kita melakukan kegiatan-kegiatan secara kompeten memberikan seluruh
perhatian untuk memenuhi tantangan yang timbul dari aktivitas-aktivitas kita.
Terakhir,kemajuan memperkuat perasaan bahwa waktu dan usaha kita membuahkan hasil

19
anda merasa bergairah dengan tugas dan ingin tetap menginvestasikanwaktu dan usaha anda
didalamnya.
Teori Kesetaraan
Teori ini menjelaskan bahwa kesetaraan (equity) memegang peran penting dalam
mempengaruhi motivasi yang ada pada masing-masing individu. Penilaian terhadap
kesetaraan dalam hal ini dilihat dari input (upaya, pengalaman, pendidikan dan kemampuan)
dan output (level gaji, kenaikan gaji, pengakuan) pekerjaan seseorang dengan orang lain dan
kemudian berespon untuk menghapuskan setiap ketidaksetaraan yang ada.
Disaat kesetaraan tidak terjadi maka akan timbul terjadinya ketegangan kesetaraan.
Seseorang akan cenderung merasa bersalah ketika mereka menerima terlalu banyak
penghargaan dan akan cenderung menimbulkan kemarahan ketika kurang mendapatkan
penghargaan. Timbulnya kondisi ketegangan negatif ini akan memberikan motivasi bagi
seseorang untuk memotivasi dirinya. Ada empat pembandingan acuan yang dapat digunakan
oleh karyawan :
a. Di dalam dirinya sendiri; Pengalaman karyawan dalam posisi yang berbeda dalam
organisasinya saat ini.
b. Di luar dirinya sendiri; Pengalaman karyawan dalam situasi atau posisi di luar
organisasinya saat ini.
c. Di dalam diri orang lain; Individu atau kelompok individu lain di dalam organisasi
karyawan tersebut.
d. Di luar diri orang lain; Individu atau kelompok individu di luar organisasi karyawan
itu.
Sedangkan pemilihan acuan yang akan digunakan sebagi pembanding berbeda-beda pada
masing-masing individu, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya;
a. Jenis Kelamin
Riset menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita lebih menyukain pembandingan
sesama jenis kelamin.
Riset juga menunjukkan bahwa wanita lazimnya dibayar lebih rendah dibanding pria
untuk pekerjaan yang sama. Wanita yang menggunakan wanita lain sebagai acuan
cenderung menghasilkan standart komparatif yang lebih rendah. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa karyawan dengan pekerjaan yang tidak dipisahkan oleh jenis
kelamin akan lebih banyak melakukan perbandingan cross-sex dibandingkan dengan
karyawan yang bekerja dengan pekerjaan yang didominasi oleh pria atau wanita.

20
b. Masa Kerja
Seseorang yang memiliki masa kerja lebih pendek cenderung memiliki informasi
yang lebih sedikit mengenai orang lain untuk dijadikan pembanding, sehingga mereka
akan cenderung mengandalkan pengalaman mereka sendiri sebagai pembandingnya.
Untuk karyawan yang memiliki masa kerja yang lebih panjang, berlaku hal yang
sebaliknya.
c. Profesionalisme dan Tingkat pendidikan
Karyawan level atas dalam peringkat professional dan mereka yang memilki tingkat
pendidikan yang lebih tinggi cenderung bersifat kosmpolitan dan mempunyai
informasi yang lebih banyak dan lebih baik mengenai karyawan di perusahaan lain.
Oleh karena itu mereka cenderung melakukan pembandingan dengan orang lain di
luar perusahaannya.
Berdasarkan teori kesetaraan, ketika seorang karyawan mempersepsikan adanya
ketidaksetaraan, maka dapat diprediksikan mereka akan mengambil salah satu dari enam
pilihan perilaku berikut ini;
1) Mengubah masukan (input) m ereka; cenderung tidak melakukan banyak upaya dalam
bekerja.
2) Mengubah keluaran (output) mereka; pada individu yang dibayar berdasarkan
banyaknya output akan cenderung berusaha untuk menghasilkan sesuatu dengan
kuantitas yang lebih tinggi namun kualitasnya lebih rendah.
3) Mendistorsikan persepsi mengenai dirinya; saya berfikir bekerja dengan kecepatan
sedang, tetapi sekarang asaya menyadari bahwa saya bekerja terlalu keras
dibandingkan dengan orang lain.
4) Mendistorsi persepsi mengenai orang lain; pekerjaannya (orang lain) tidak begitu
diinginkan seperti yang saya kira sebelumnya.
5) Memilih acuan yang berlainan; mungkin gaji saya tak sebanyak kakak ipar saya,
namun saya melakukan pekerjaan yang lebih baik disbanding ayah saya ketika dia
masih seusia saya dulu.
6) Meninggalkan medan; berhenti dari pekerjaan.
Secara khusus terdapat empat dalil yang berkaitan dengan upaya yang tidak setara:
1. Jika upah didasarkan pada jam kerja, maka karyawan yang digaji lebih tinggi
memberikan hasil yang lebih banyak dibandingkan yang dibayar dengan gaji rata-rata.

21
2. Jika upah didasarkan pada kuantitas produksi, karyawan yang diupah lebih tinggi
akan menghasilakan lebih sedikit satuan, namun dengan kualitas yang lebih tinggi
dibanding karyawan yang digaji dengan upah rata-rata.
3. Jika upah didasarkan pada jam kerja, maka karyawan yang dibayar lebih sedikit akan
menghasilkan output dengan kualitas yang kurang atau lebih buruk.
4. Jika upah didasarkan pada kuantitas produksi maka karyawan dengan gaji kecil akan
menghasilkan banyak satuan dengan kualitas rendah dibandingkan dengan karyawan
dengan upah rata-rata.
Secara teoritis, teori kesetaraan berfokus pada keadilan distributive atau keadilan yang
dipahami berdasarkan pada banyaknya imbalan atau upah yang diterima karyawan. Tetapi
kesetaraan juga harus mempertimbangkan kesetaraan procedural yakni kesetaraan yang
dipersepsikan dari proses yang ditentukan untuk menentukan distribusi imbalan. Namun,
bukti menunjukkan bahwa kesetaraan distributif cenderung memiliki pengaruh yang lebih
besar pada kepuasan karyawan dibandingkan dengan kesetaran procedural. Sementara itu,
kesetaraan procedural cenderung mempengaruhi komitmen organisasi karyawan,
kepercayaan pada atasan dan keinginan untuk berhenti.
Teori Pengharapan

Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul Work And Motivation


mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai Teori Harapan. Menurut teori ini,
motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan
yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu.
Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk
memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya.

Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika
seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar,
yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu.
Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk
berupaya akan menjadi rendah.

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia teori
harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian
kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkannya serta

22
menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannnya itu. Penekanan
ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu
mengetahui secara pasti apa yang diinginkannya, apalagi cara untuk memperolehnya.

Teori pengharapan mengatakan seorang karyawan dimotivasi untuk menjalankan


tingkat upaya yang tinggi bila ia meyakini upaya akan menghantar kesuatu penilaian kinerja
yang baik, suatu penilaian yang baik akan mendorong ganjaran-ganjaran organisasional,
seperti bonus, kenaikan gaji, atau promosi dan ganjaran itu akan memuaskan tujuan pribadi
karyawan tersebut.

Teori dari Vroom (1964) tentang cognitive theory of motivation menjelaskan


mengapa seseorang tidak akan melakukan sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat
melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan itu sangat dapat ia inginkan. Menurut Vroom,
tinggi rendahnya motivasi seseorang ditentukan oleh tiga komponen, yaitu:
Ekspektasi (harapan) keberhasilan pada suatu tugas
Instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang akan terjadi jika berhasil dalam
melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk mendapatkan outcome tertentu)
Valensi, yaitu respon terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau
negatif.Motivasi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi
harapanMotivasi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang diharapkan.
Dalam istilah lebih praktis, teori pengharapan mengatakan, karyawan dimotivasi untuk
melakukan upaya lebih keras bila ia meyakini upaya itu akan menghasilkan penilaian kinerja
yang baik. Oleh karena itu teori ini berfokus pada tiga hubungan:
a. Hubungan upaya-kinerja. Probabilitas yang dipersepsikan oleh individu yang
mengeluarkan sejumlah upaya tertentu itu akan mendorong kinerja.
b. Hubungan kinerja-imbalan. Sampai sejauh mana individu itu meyakini bahwa
berkinerja pada tingkat tertentu akan mendorong tercapainya output yang diinginkan.
c. Hubungan imbalan-sasaran pribadi. Sampai sejauh mana imbalan-imbalan organisasi
memenuhi sasaran atau kebutuhan pribadi individu serta potensi daya tarik imbalan
bagi individu tersebut.
Teori pengharapan ini membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak
termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata melakukan hal yang minimal sekedar
menjalankan kewajiban. Sementara itu Nadler dan Lawler dalam kutipan Wayne dan Faules

23
(2000), atas teori harapan menyarankan beberapa cara tertentu yang memungkinkan manajer
dan organisasi menangani urusan mereka memperoleh motivasi maksimal dari pegawai :
1 Pastikan jenis hasil atau ganjaran yang mempunyai nilai bagi pegawai
2 Definisikan secara cermat, dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dan diukur, apa
yang diinginkan oleh pegawai
3 Pastikan bahwa hasil tersebut dapat dicapai oleh pegawai
4 Kaitkan hasil yang diinginkan dengan tingkat kinerja yang diinginkan
5 Pastikan bahwa ganjaran cukup besar untuk memotivasi perilaku yang penting, dan
6 Orang berkinerja tinggi harus menerima lebih banyak ganjaran yang diinginkan dari
pada orang yang berkinerja rendah.
Kesimpulannya dari teori harapan adalah bahwa anggota organisasi akan termotivasi
bila orang-orang percaya mengenai tindakan mereka akan menghasilkan yang diinginkan,
hasil mempunyai nilai positif dan usaha yang dicurahkan akan menuai hasil.
2.4 Memadukan Teori Kotemporer Tentang Motivasi
Pondasi dasarnya adalah model pengharapan. Kita mulai secara eksplisit mengakui
bahwa peluang dapat membantu atau merintangi upaya individu. Teori pengharapan
memprediksi bahwa karyawan akan mengeluaarkan upaya adalam tingkatan tinggi jika ia
mepresepsikan hubungan yang kuat anatar upaya dan kinerja, kinerja dan imbalan, serta
imbalan dengan pemuas sasaran pribadi. Tiap hubungan ini pada gilirannya dipengaruhi oleh
faktor-faktor tertentu. Agar upaya menghasilkan kinerja yang baik, individu itu harus
mempunyai kemampuan prasyarat untuk berkinerja, sementara sistem penilaian kinerja yang
mengukur kerja individu harus dipersepsikan setara dan objektif. Hubungan kinerja-imbalan
akan kuat jika individu mempersepsikan bahwa kinerjalah (bukan senioritas, kesukaan
pribadi atau kriteria lain) yang di ganjar. Jika teori evaluasi kognitif shahih sepenuhnya
ditempat kerja yang sebenarnya, di sini kita akan mengurangi motivasi intrinsik individu itu.
Keterkaitan akhir dalam teori pengharapan adalah hubungan imbalan-sasaran pribadi. Teori
ERG akan berperan pada titik ini. Motivasi akan tinggi sampai pada deerajat di mana imbalan
yang diterima individu atas kinerjanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan dominan yang
konsisten dengan sasaran pribadi individu tersebut.
Model ini mempertimbangkan kebutuhan berprestasi serta teori penguatan dan
kesetaraan. Peraih prestasi tinggi tidak dimotivasi oleh penilaian organisasi terhadap
kinerjanya atau oleh ganjaran organisasi. Jika ada loncatan dari upaya ke sasaran pribadi bagi
mereka dengan nAch yang tinggi. Peraih prestasi tinggi secara internal terdorong motivasinya
selama pekerjaan yang mereka lakukan memberi mereka tanggung jawab pribadi, umpan
24
balik, dan risiko sedang. Jadi mereka tidak peduli akan tautan upaya-kinerja, kinerja-imbalan
atau imbalan-sasaran. Jika tugas menciptakan motivasi intrinsik sebagai akibat dari
penyediaan pilihan, kompetensi, penuh makna, dan kemajuan, maka upaya individu secara
internal akan digiring menuju sasaran.
2.5 Motivasi Kerja
a. Pengertian
Bekerja adalah suatu bentuk aktifitas yang bertujuan untuk mendapatkan kepuasan.
Gilmer menyatakan bahwa bekerja itu merupakan proses fisik maupun mental manusia
dalam mencapai tujuannya.
Motivasi kerja adalah suatu kondisi yang berpengaruh untuk membangkitkan,
mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja
(Mangkunegara, 2000:94).
b. Prinsip-prinsip dalam motivasi kerja
Terdapat beberapa prinsip dalam memotivasi kerja pegawai (Mangkunegara, 2000)
a. Prinsip partisipatif
Pegawai perlu diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi menentukan tujuan yang
akan dicapai oleh pemimpin
b. Prinsip komunikatif
Pemimpin mengkomunikasikan segala sesuatu yang berhubungan dengan usaha
pencapaian tugas. Dengan informasi yang jelas, kerja pegawai akan lebih mudah di
motivasi
c. Prinsip pengakuan
Pemimpin mengakui bahwa bawahan mempunyai andil di dalam usaha pencapaian
tujuan. Dengan pengakuan tersebut, pegawai akan lebih termotivasi
d. Prinsip pendelegaisan wewenang
Pemimpin memberikan otoritas dan wewenang kepada bawahan untuk sewaktu-waktu
dapat mengambil keputusan terhadap pekerjaan yang dilakukannya. Hal ini akan
membuat pegawai yang bersangkutan semakin termotivasi
e. Prinsip perhatian
Pemimpin memberikan perhatianterhadap apa yang diinginkan pegawai, dan
bawahannya termotivasi bekerja sesuai dengan harapan pemimpin
c. Peran manager dalam Menciptakan Motivasi
Manager mempunyai peranan yang sangat enting dalam memotivasi bawahannya. Untuk
melaksanakan tugas tersebut, manajer harus mempertimbangkan keunikan/karakteristik
25
staf dan berusaha memberikan tugas sebagai suatu strategi dalam memotivasi staf. Hal
yang perlu dilaksanakan manager dalam menciptakan suasana yang memotivasi adalah :
a. Mempunyai harapan yang jelas terhadap stafnya dan mengkomunikasikan harapan
tersebut pada stafnya
b. Bersikap adil dan konsisten terhadap semua staf dan karyawan
c. Mengambil keputusan dengan tepat dan sesuai
d. Mengembangkan konsep tim kerja
e. Mengakomodasi kebutuhan dan keinginan staf terhadap tujuan organisasi
f. Menunjukkan kepada staf bahwa manager memahami perbedaan dan keunikan dari
masing-masing staf.
g. Menghindari terbentuknya kelompok-kelompok yang mempertajam perbedaan antar
staf.
h. Memberikan kesem[atan kepada staf untuk menyelesaikan tugasnya dan melakukan
tantangan-tantangan yang akan memberikan pengalaman yang bermakna.
i. Meminta tanggapan dan masukan dari staf terhadap keputusan yang akan dibuat
dalam organisasi
j. Memastikan bahwa staf mengetahui dampak dari keputusan dan tindakan yang akan
dilakukan
k. Memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mengambil keputusan sesuai tugas
yang diberikan
l. Menciptakan situasi saling percaya dan kekeluargaan dengan staf
m. Memberikan kesempatan kepada staf untuk mengoreksi dan mengawasi tugas
n. Menjadi Role model bagi staf
o. Memberikan dukungan yang positif
d. Peran mentor sebagai instrument peningkatan motivasi kerja
Peran manager keperawatan sebagai mentor (Darling, 1984 dikutip oleh Maquis dan
Huston, 1998:246), yaitu sebagai :
a. Model : seseorang yang perilakunya dapat dicontoh
b. Envisioner : seseorang yang dapat melihat dan mengkomunikasikan arti keperawatan
professional dan keterkaitannya dalam praktik keperawtan
c. Energizer : manager selalu dinamis dan dapat menstimulasi staf untuk berpartisipasi
terhadap program kerjanya
d. Investor : manager yang menginvestasikan waktu dan tenaganya dalam
pengembangan profeis dan organisasi
26
e. Supporter : manager yang memberikan dukungan emosional dan menumbuhkan rasa
percaya diri stafnya
f. Pemegang procedure standart (standart prosedure) : manager selalu berpegang pada
standart yang ada dan menolak aktifitas yang kurang atau tidak memenuhi criteria
standart
g. Teacher Coach : manager yang mengajarkan kemampuan interpersonal atau cara
berpolitik yang penting bagi pengembangan diri stafnya
h. Feedback giver : manager yang akan memberikan umpan balik, baik secara tulus
positif atau negative dalam pengebangan diri
i. eye opener : manager selalu memberikan wawasan/pandangan yang luas tentang
situasi yang baru terjadi
j. door opener : manager selalu membuka diri dan memberikan kesempatan kepada staf
untuk berkonsultasi
k. idea bouncer : manager yng selalu bisa mendengan dan berdiskusi dengan
bawahannya
l. problem solver : manager yang akan membantu staf dalam mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah
m. Career counselor : manager yang membenatu staf untuk pengembangan karir (cepat
atau lambat)
n. Challanger : manager yagn mendorong staf untuk menghadapi perubahan atau
tantangan kritis dan pantang menyerah
e. Self-motivations untuk manager
Motivasi diri sendiri (self-motivations) dari manager merupakan variable yang
menentukan motivasi pada semua tingkatan, khususnya kepuasan kerja bagi staf,
sehingga menimbulkan keinginan untuk tetap bertahan pada institusi tersebut. Sikap yang
positif, bersemangat, produktif, dan melaksanakan kegiatan dengan baik merupakan
factor utama yang harus dimiliki manager. Terjadinya burn Out salah satunya
disebabkan oleh sikap manager ygn kurang positif. Oleh karena itu, secara kontinyu
manager selalu memantau tingkat motivasinya dan menjadikan motivasinya sebagai
panutan staf.
Hal penting yang harus dilaksanakan oleh manager keperawatan adalah perawtan diri.
Untuk mempertahankan self care ini, ada beberapa strategi :
a. Mencari masukan dari kelompok pendukung yang memungkinkan manageruntuk
selalu memperhatikan dan mendengarkan keinginan staf
27
b. Mempertahankan diet dan aktifitas
c. Mancari aktifitas yang membentu manager untuk dapat merasa santai
d. Memisahkan urusan pekerjaan dan kehidupan dirumah
e. Menurunkan harapan yang terlalu tinggi dari diri sendiri dan orang lain
f. Mengenali keterbatasan dan kelemahan diri sendiri
g. Menyadari bahwa bukan hanya dirinya sendiri yang dapat menyelesaikan semua
pekerjaan, tetapi berusaha dan belajar untuk menghargai kemampuan staf
h. Berani mengatakan TIDAK kalau memang merasa tidak mampu melaksanakannya
i. Bersantai, tertawa dan berkumpul bersama teman-teman
j. Menanamkan pandangan bahwa semua yang dikerjakannya adalah untuk
kemaslahatan umat dan sebagai ibadah
f. Factor yang mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja
Ada dua factor yang mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja, yaitu :
a. Motivasi
Menurut Rowland&Rowland (1997) fungsi manager dalam meningkatkan kepuasan
kerja staf didasarkan pada factor-faktor motivasi. Factor-faktor yang mempengaruhi
motivasi meliputi :
(1) Keinginan akan adanya peningkatan
(2) Rasa percaya bahwa gaji (reward) yang didapatkan sudah mencukupi
(3) Memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan
(4) Adanya umpan balik
(5) Adanya kesempatan untuk mencoba pendekatan baru dalam melakukan pekerjaan
(6) Adanya instrument kinerja untuk promosi, kerja sama, dan peningkatan
penghasilan

Kebutuhan seseorang untuk mencapai prestasi merupakan kunci dalam motivasi dan
kepuasan kerja.
Motivasi akan menjadi masalah apabila kemampuan yang dimiliki tidak dimanfaatkan
dan dikembangkan dalam melaksanakan tugasnya. Dalam hal ini persepsi seseorang
memegang peranan penting sebelum melaksanakan atau memlih pekerjaan
Motivasi seseorang akan timbul apabila mereka diberi kesempatan untuk mencoba
cara baru dan mendapat umpan balik dari hasil yang diberikan. Oleh karena itu,
penghargaan psikis dalam hal ini dangat diperlukan agar seseorang merasa dihargai
dan diperhatikan serta dibimbing maanakala melakukan kesalahan

28
b. Lingkungan
Factor lingkungan meliputi :
(1) Komunikasi
Perhargaan terhadap usaha yang dilakukan
Pengetahuan tentang kegiatan organisasi
Rasa percaya diri berhubungan dengan managemen organisasi
(2) Potensi pengembangan
Kesempatan untuk berkembang, meningkatkan karir dan mendapatkan
dukungan
Dukungan untuk tumbuh berkembang, seperti pelatihan, beasiswa studi,
pelatihan managemen
(3) Kebijakan individual yaitu tindakan yang mengakomodasi kebutuhan individu
seperti jadwal kerja, liburan, cuti sakit serta pembiyayannya.
Ketenangan dalam bekerja
Loyalitas organisasi dala staf
Penghargaan staf sesuai dengan agama dan latar belakangnya
Keputusan organisasi yang adil dan konsisten
Upah atau gaji yang cukup
Kondisi kerja yang kondusif

29
KESIMPULAN

Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah
karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang.
Dimana pada awalnya terdapat beberapa teori tentang motivasi yaitu teori hierarki kebutuhan,
teori X dan Y dan teori dua faktor. Dan pada perkembangannya juga terdapat teori
kotemporer tentang motivasi yang meliputi teori ERG, teori kebutuhan McClelland, teori
evaluasi kognitif, teori penerapan sasaran, teori penguatan, teori hanyut dan motivasi
intrinsik, model motivasi intrinsik, teori kesetaraan, dan teroi pengharapan. Semua teori ini
diharapkan akan meningkatkan motivasi dalam bekerja dan berpengaruh untuk
membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan
lingkungan kerja.

30
DAFTAR PUSTAKA

Robbins. 2006. Perilaku Organisasi, Edisi ke sepuluh, Alih Bahasa Benyamin Molan.
Jakarta: Macanan Jaya Cemerlang.
Suarli & Bahtiar. 2009. Manajemen Keperawatan: dengan Pendekatan Praktis.
Jakarta: Erlangga.

31

You might also like