You are on page 1of 21

MAKALAH KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembentukan Komisi Yudisial yang merupakan amanat dari konstitusi sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 24 A dan 24 B ayat (3) UUD 1945 dalam masa tugasnya telah banyak
melakukan hal-hal yang positif terutama dalam melakukans eleksi hakim agung, namun dalam
tugasnya menjaga kehormatan para hakim dari perbuatan-perbuatan yang tercela serta tindakan-
tindakan unprofessional conduct dari para hakim belum maksimal. Masih banyak rekomendasi-
rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial yang menyangkut rekomendasi penindakan
terhadap seorang hakim diabaikan oleh Mahkamah Agung.
Secara praktis usaha perwujudan kekuasaan kehakiman yang merdeka bertumpu kepada
proses peradilan. Tujuan utama proses peradilan adalah mencari dan mewujudkan kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu salah satu faktor keberhasilan penegakan hukum adalah terletak pada
fungsionaris badan kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi pihak-pihak lain.
Cita-cita mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak mungkin tercapai hanya
dengan membiarkan peradilan berjalan sendiri tanpa dukungan lembaga lain. Lembaga yang
secara formal diberi tugas dan peran mewujudkan kekuasaan kehakiman yang bebas melalui
pencalonan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi Yudisial (lihat
konsideran huruf b Undang-undang Nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial).
Dalam proses penegakan hukum unsur terpenting dan mempunyai peranan sentral adalah
legal aparatus. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang bertugas mengusulkan hakim agung dan
mengawasi perilaku hakim supaya sesuai dengan keluhuran profesinya, program kerja Komisi
Yudisial harus diarahkan kepada, pertama, penguatan lembaga Komisi Yudisial itu sendiri yaitu
dengan menata organisasi kelembagaan Komisi Yudisial, dan kedua pemantapan dari tugas-tugas
dan wewenang yang dibebankan oleh Undang-undang Nomor 22 tahun 2004.
Sebagai sebuah lembaga negara yang mandiri, komisi yudisial harus pula dilengkapi
dengan sebuah Dewan Kehormatan yang bertugas memeriksa dan mengadili para anggotanya
yang disangka telah melanggar code of conduct yang telah ditetapkan tadi. Dewan kehormatan
haruslah terdiri dari orang-orang yang independen dan sedapat mungkin anggota Dewan
kehormatan bukan berasal dari komisi yudisial tetapi dari kalangan luar.
Banyak putusan-putusan pengadilan yang apabila diuji petimbangan hukumnya tidak
sesuai dengan akal sehat dan common sence serta menunjukkan kelemahan pengetahuan hakim
terhadap teori-teori hukum. Kemudian prilaku hakim yang kadang-kadang menggunakan
kebebasan yang dimilikinya untuk mengadopsi keterangan saksi ahli yang sebenarnya
keterangan saksi ashli pun tidak mencerminkan keahlian yang dimilikinya tetapi karena terjadi
konspirasi keterangan ahli tersebut diterima oleh majelis hakim. Praktek-praktek seperti ini
sebenarnya merupakan tugas komisi yudisial untuk menghentikan dan mencegahnya. Oleh
karena itu, sebuah panel harus dibentuk di komisi yudisial untuk memantau putusan-putusan
pengadilan yang tidak mencerminkan keluhuran lembaga ini.
Komisi Yudisial harus menyadari bahwa tugas dan wewenang yang diembannya adalah
bersinggungan dengan harapan masyarakat terhadap peradilan. Harapan masyarakat terhadap
pengadilan adalah, pertama mendapat pelayanan yang adil dan manusiawi, kedua mendapat
pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan, serta ketiga mendapat penyelesaian
perkaranya secara efektif, efisien, tuntas dan definitif. Untuk memenuhi harapan masyarakat
tersebut tentu diperlukan hakim-hakim yang mempunyai integritas tinggi dan mengedepankan
supremasi of moral atas dasar doktrin interest of justice.
Putusan Komisi Yudisial dalam memeriksa para hakim nakal dan tidak profesional
sehingga menimbulkan ketidak adilan akan menjadi entry point bagi komisi yudisial untuk
menunjukkan bahwa pembentukannya tidak sia-sia, tetapi apabila tidak memenuhi harapan
masyarakat, komisi yudisial akan di cap sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam
berkembangnya mafia peradilan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, kami dapat menarik beberapa permasalahan yang hendak
kami bahas, antara lain:
1. Apa yang menjadi alasan dibentuknya Komisi Yudisial di Republik Indonesia?
2. Bagaimana peran Komisi Yudisial dalam reformasi peradilan pasca putusan Mahkamah
Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal yang terkait dengan pengawasan hakim?
3. Bagaimana keterkaitan antara peran Komisi Yudisial dalam reformasi peradilan dan mekanisme
recruitment hakim agung?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman atau kekuasaan yudikatif merupakan pilar ketiga dalam sistem
kekuasaan negara modern, di samping kekuasaan legislatif dan kekuasaan ekskutif. Baik di
negara-negara yang menganut civil law maupun common law, baik yang menganut sistem
pemerintahan presidensial maupun parlementer, lembaga kekuasaan kehakiman selalu
merupakan lembaga yang bersifat tersendiri.
Secara konstitusional, UUD 1945 menyatakan bahwa dalam kekuasaan kehakiman ini
terdapat tiga lembaga. Pertama, Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 A
UUD 1945. Kedua, Komisi Yudisial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 B UUD 1945. Dan
ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 C UUD 1945.
Dalam ketentuan umum sebagaimana tercantum pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman, hakim perlu memperhatikan enam prinsip yang
tercantum di dalam The Bangalore Principles, yaitu:
1. Independensi (Independence principle)
Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik
secara personal maupun institusi, dari berbagai pengaruh dari luar diri hakim berupe intervensi
yang bersifat mempengaruhi secara halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau balasan
karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang
berkuasa, kelompok atau golongan, dengan ancaman penderitaan atau kerugian tertentu, atau
dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, ataupun
bentuk-bentuk lainnya.
2. Ketidakberpihakan (Impartiality principle)
Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang
terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak manapun, dengan disertai
penghayatan mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.
3. Integritas (Integrity principle)
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan
kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas
jabatannya.
4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety principle)
Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku pribadi yang berhubungan dengan
kemampuan menempatkan diri dengan tepat, baik mengenai tempat, waktu, tata busana, tata
suara, atau kegiatan tertentu. Sedangkan kessopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak
merendahkan orang lain dalam pergaulan, baik dalam tutur kata lisan, tulisan, atau bahasa tubuh,
dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku ataupun bergaul.
5. Kesetaraan (Equality principle)
Prinsip kesetaraan ini secara esensial melekat dalam sikap setiap hakim untuk memperlakukan
setiap pihak dalm persidangan atau pihak-pihak lain terkait dengan perkara.
6. Kecakapan dan Kesek samaan (Competence and Diligence principle)
Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan,
pelatihan, dan/atau pengalaman dalam menjalankan tugas. Sementara itu, kesek samaan
merupakan sikappribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian,
ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

1. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan lembaga yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman
yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Ketuan Mahkamah Agung saat ini adalah
Harifin Tumpa.
Mahkamah Agung mempunyai kewenangan mengadili pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan
peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung. Selain itu, Mahkamah Agung juga memiliki
domain untuk memeriksa perkara dalam mekanisme Peninjauan Kembali (PK).
Mahkamah Agung juga mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

2. Komisi Yudisial
Di dalam kekuasaan kehakiman, juga terdapat suatu lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan
hakim. Pengawasan ini dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dalam melaksanakan wewenang itu, Komisi
Yudisial mempunyai tugas sebagai berikut:
a. Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b. Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. Menetapkan calon Hakim Agung; dan
d. Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.

3. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang juga menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara, Mahkamah Konstitusi
mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Rinciannya,
tiga orang diajukan oleh Mahkamah Agung, tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
dan tiga orang diajukan oleh Presiden. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
B. Hukum Dan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman ini bertugas untuk menegakan dan mengawasi berlakunya


peraturan perundang undangan tang berlaku (Ius Constitutum). Eksistensi hukum sangat
diperlukan dalam mengatur dalam kehidupan manusia, tanpa hukum kehhidupan manusia akan
liar, siapa kuat diyalah yang menang / berkuasa. Tujuan hukum untuk melindungi kepentingan
manusia dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.
Indonesia adalah negara hukum, sudah selayaknya menghormati dan menjunjug tinggi
prinsip prinsip hukum, salah satunya adalah diakuinya prinsip keadilan yang bebas yang tidak
memihak. Tolak ukuran dapat dilihat sejauh mana kemandirian badan badan peradilan dalam
menjalankan tugas dan kewenanganya terutama dalam menegakan aturan perundang undangan
(Hukum) dan keadilan. Maupun jaminan yuridis adanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman dalam praktek diselengarakan oleh adan badan peradilan
Negara. Adapun tugas pokok badan peradilan negara adalah memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara perkara yang diajukan oleh masyrakat pencari keadilan.
Sebagai istitusi yang dibutuhkan masyrakat, usia pengadilan sudah berbilang ribuan
tahun, jauh mendahului usia pengadilan moderen. Urusan atau pekerjaan mengadili adalah salah
satu sekian banyak fungsi yang harus ada dan dijalankan oleh masyarakat, sebagai respon
terhadap adanya kebutuhan tertentu. Mengadili adalah pekerjaan yang dibutuhkan untuk
membuat masyrakat menjadi tentram, dan produktif. Didalam masyrakat akan selalu muncul
persoaln diantara para angotanya harus diselesaikan. Persoalan persoalan yang tidak
diselesaikan akan menjadi ganguan bagi ketentraman dan produktifitas masyrakat. Suatu istitusi
mesti dimunculkan untuk menjalankan fungsi tersebut dan ia adalah Pengadilan.
Kemudia secara khusus, kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No. 4 tahun 2004 merupakan undang
undang yang organik. Sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan asas asas,
landasan, dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia. Pasal 10 ayat (1,2) UU
No. 4 tahun 2004, menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan sebuah Makamah Konstitusi. Adapun
badan peradilan yang berada dibawah Makamah Agung meliputi badan peradilan dalam
lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
c. Peradilan Militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara
Dalam menyelengarakan kekuasaan kehakiman tersebut, Makamah Agung bekedudukan
sebagai pengadilan negara tertinggi yang membawai semua lingkungan peradilan di Indonesia,
baik lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata
uasah negara. Mengenai kedudukan dan wewenang masing masing lingkungan peradilan
tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa perundang undangan, yakni :
a. UU No. 14 tahun 1985 tentang Makamah Agung dan beberapa perubahanya dalam UU No. 5
tahun 2004
b. UU No. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan beberapa perubahanya dalam UU No. 8 tahun
2004
c. UU No. 5 tahun 1986 tentang peradilan tata usaha negara dan beberapa perubahannya dalam UU
No. 9 tahun 2004
d. UU No. 7 tahun 1986 tentang peradilan agama dan beberapa perubahannya dalam UU No. 3
tahun 2006
e. UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer
f. UU No. 24 tahun 2003 tentang Makamah Kostitusi
g. UU No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial
Sasaran penyelengaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menumbuhkan kemandirian
para penyelengara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas.
Kemandirian para penyelengara dilakukan dengan cara meningkatkan integritas pengetahuan dan
kemampuan. Sedang peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kimerja para
penyelengara peradilan tersebut.
Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan persyaratan penting dalam melakukan
kegiatan pememuan hukum oleh hakim di pengadilan. Kemandirian atau kebebasan kekuasaan
kehakiman berarti tidak adanya intervensi dari pihak pihak extra judicial lainya, sehinga dapat
mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi hakim dalam menjalankan tugas tugasnya
di bidang Judisial, yaitu dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa yang diajukan
oleh pihak pihak yang berperkara. Lebih lanjut kondisi ini diharapkan dapat menciptakan
putusan hakim yang berkualitas, yang mengandung unsur keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Salah seorang hakim merasa bahwa kasus kasus kriminal tidak perlu menyita
perhatianya tetapi ia merasa perlu memeliti setiap detail undang undang kriminal tersebut. Dan
pengaruh tertentu yang mendorong para hakim itu untuk berusaha mengikuti hukum. secara
analitis, apa yang terjadi pada para hakim itu berlangsung melalui dua tahap. Pilihan pertamanya
adalah apakah hendak mengikuti Hukum atau tidak. Sikap sikap, nilai, dan konteks sosial
menentukan pilihan ini. Pilihan kedua adalah keputusan aktual. Bagaimanapun juga, bagi hakim
ini akan berarti bahwa ia selalu Terikat oleh huku.
Pegadilan juga dapat digantungkan pada tingkat perlapisan sosial dalam masyrakat,
semakin kompleks perlapisaan sosial dalam masyrakat semakin besar pula perbedaan nilai nilai
dan kepentingan antara lapisan dalam masyrakat. Pengadilan disitu sudah menjadi istitusi untuk
melindungi kepentingan golongan yang dominan dengan memaksakan berlakunya berlakunya
mempertahankan kedudukan mereka. Sebaliknya dalam masyrakat yang lebih sederhana, yaitu
dengan tingkat yang perlapisan sosial yang rendah maka kesepakatan nilai nilai relatif lebih
mudah untuk dicapai.
Meskipun demikian, kemandirian kekuasaan kehakiman harus disertai dengan
integritas moral, keluhuran, dan kehormatan martabat hakim, karena kalau tidak maka
manipulasi dan mafia peradilan bisa saja berlindung dibawah independensi peradilan, sehiga para
hakim yang menyalah gunakan jabatan menjadi sulit tersentuh hukum. Praktek mafia peradilan
terutama Judicial corruption menjadi semakin sulit diberantas, jika tidak para hakim Nakal
berlindung pada asas kemandirian atau indenpendensi kekuasaan kehakiman yang diletakan tidak
pada tempatnya. Pada pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 disebutkan bahwa kebebasaan dalam
melaksanakan wewenang judisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk
menegakan hukum keadilan berdasarkan pancasila, sehinga putusanya mencerminkan rasa
keadialan rakyat Indonesia.
C. Tugas dan Kewajiban Hakim
Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan
kehakiman. Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tersebut, hakim harus memahami ruang
lingkup tugas dan kewajibanya sebagaimana telah diatur dalam perundang undangan. Setelah
memahami tugas dan kewajibannya, selanjutnya hakin harus berupaya secara propesional dalam
menjalankan dan menyelesaikan pekerjaanya.
Hakikatnya tugas pokok hakim adalah, menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan,
dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun tugas dan kewajiban
hakim dapat diperinci lebih lanjut, yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi beberapa
macam, yaitu tugas hakim secara normatif dan tugas hakim secara konkret dalam mengadili
suatu perkara. Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara
normative telah diatur dalam UU No. 4 tahun 2004 antara lain :

1. Mengadili menurut hokum dengan tidak membedakan orang ( pasal 5 ayat 1 UU No. 4
tahun 2004 ).

2. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biyaya
ringan ( pasal 5 ayat 2 ).
3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dijatuhkan
dengan dalih bahwa hokum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan
mengadilinya ( Pasal 14 ayat 1 ).

4. Memeberi keterangan, pertimbngan dan nasehat nasehat tentang soal soal hokum
kepada lembaga Negara lainya apabila diminta ( pasal 25 ).

5. Hakim wajib mengali, memngikuti dan memehani nilai nilai hokum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyrakat ( pasal 28 ayat 1 ).

Diasmping itu tugas hakim secara normative sebagaimana ditentukan dalam perundang
undangan, hakim juga mempunyai tugas tugas secara kongret dalam memeriksa dan mengadli
suatu perkara melalui tiga tindakan secara bertahap, yaitu :
1. Mengkonstatir ( mengkonstatasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konret. Hakim
mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah dijatuhkan para pihak dimuka
persidangan. Syaratnya dalah peristiwa konret itu harus dibuktikan terlebih dahulu, tanpa
pembuktian hakim yidak boleh menyatakn suatu peristiwa konret itu bener benar terjadi. Jadi
mengkostatir berarti menetapkan peristiwa konret dengan membuktikan peristiwa atau
mengangap atau terbuktinya peristiwa tersebut.
2. Mengkualifisir ( mengkualifikasi ) yaitu menetapkan atau merumuskan suatu hukumnya. Hakim
nenilai peristiwa yang telah diangab benar benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum
yang mana seperti apa. Dengan kata lain menkualifisir adalah menemukan hukumnya terhadap
peristiwa yang telah dikostatir dengan jalan menerapkan peraturan hukum terhadap peristiwa
tersebut. Mengualifikasi dilakukan dengan cara mengarahkan peristiwanya kepada hukum atau
undang undangnya, agar aturan hukum atau perundang undangan tersebut dapat diterapkan
pada peristiwanya.. sebaliknya undang undangnya juga harus disesuaikan dengan
peristiwanya agar undang undang tersebut dapat mencakup atau meliputi peristiwanya.
3. Mengkostituir ( mengkostitusi ) atau memeberikan kostitusinya, yaitu hakim menetapkan
hukumnya dan memberikan keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Disini hakim
mengambil keputusan dari adanya premis mayor ( peraturan hukumnya ) dan premis minor
( peristiwa). Dalam memeberikan keputusan, hakim perlu memperhatikan factor yang
memberikan factor yang seharusnya diterapkan secara proposional yaitu keadilan ( grechtigkeit ),
kepastian hukumnya ( rechtssicherheit ), dan kemanfaatanya ( zweckmassingkeit ).Gr. Van der
Brught dan J.D.C Wilkelman menyebutkan tujuh langkah yang harus dilakukan seoprang hakim
dalam menyelesaikan kasus atau peristiwa, yaitu :

a. Meletakan kasus dalam peta ( memetakan Kasus ) atau memeparkan kasus dalam sebuah ihtiar
(Peta),artinya memaparkan secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus ( mensekematisasi).
b. Menerjemahkan kasus itu kedalam peristilahan yuridis (Mengkualifikasi, Pengkualifikasian).
c. Menyeleksi aturan aturan hukum yang relevan.
d. Menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan aturan hukum itu.
e. Menerapkan aturan aturan hukum pada kasusnya.
f. Mengevakuasi dan menimbang (mengkaji) argumen argumen dan penyelesaian.
g. Merumuskan formulasi penyelesaiaan.
Disamping itu dalam melaksanaakn dan memimpin jalanya proses persidangan, pada
prinsipnya majelis hakim tidak diperkenankan menunda nunda persidangan tersebut. Pasal 159
ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBg menyebutkan : pengunduran (penundaan) tidak boleh
diberikan atas permintaan keda belah pihak dan tidak boleh diperintahkan Pengadilaan Negeri
karena jabatanya, melainkan dalam hal yang terlambat perlu Dalam praktik hakim terkadang
terlalu lunak sikapnya terhadap permohonaan persidangaan dari para pihak atas kuasnya. Adapun
beberapa hal yang sering menyebabkan tertundanya sidang antara lain :
1. Tidak hadirnya para pihak atau kuasanya secara bergantian.
2. Selalu minta ditundanya sidang oleh para pihak.
3. Tidak datangnya saksi walau sudah dipangil.
Untuk mengatisipasi hal tersebut maka diperlukan peran hakim yang aktif terutama
dalam mengatasi hambatan dan tintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat (Speedy
Administration Of Justice). Perlu ketegasaan hakim untuk menolak permohonaan penundaan
persidangaan dari pihak, kalau berangaapan hal itu tidak perlu. Berlarut latutnya atau tertunda
tundanya jalanya peradilan akan mengurangi kepercayaan masyrakaat kepada peradilaan yang
mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (Justice Delayet Is Justice Denied).
PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
dalam UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN
1945
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum merupakan kumpulan peraturan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bersifat
memaksa agar orang menaati tata tertib dalam masyarakat, serta memberikan sanksi tegas bagi
pelanggarnya. Hukum sebagai sarana untuk mengatur kepentingan masyarakat dengan segala tugas dan
fungsinya tentu harus ditegakkan, dan oleh karena itu maka diperlukan aparat atau lembaga yang harus
mengawasi pelaksanaan/penegakan hukum tersebut.
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dikatakan: Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Usaha perwujudan kekuasaan
kehakiman yang merdeka bertumpu kepada proses peradilan. Tujuan utama proses peradilan adalah
mencari dan mewujudkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu salah satu faktor keberhasilan
penegakan hukum adalah terletak pada fungsionaris badan kekuasaan kehakiman yang bebas dari intervensi
pihak-pihak lain. Lembaga yang secara formal diberi tugas dan peran mewujudkan kekuasaan kehakiman
yang bebas melalui pencalonan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah Komisi
Yudisial. Selain Komisi Yudisial, juga terdapat lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman diantaranya adalah:
peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha Negara, peradilan militer dan mahkamah
Konstitusi.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari kekuasaan kehakiman?
2. Apa saja lembaga peradilan di Indonesia?
3. Mengapa terdapat lembaga peradilan di Indonesia?
4. Apa saja peran dari lembaga peradilan tersebut?

1.3. Tujuan Penulisan


2. Untuk mengetahui lebih jelas tentang kekuasaan kehakiman
3. Untuk mengetahui lembaga peradilan yang ada di Indonesia
4. Untuk mengetahui alasan dibentuknya lembaga peradilan di Indonesia
5. Untuk mengetahui peran dari lembaga peradilan.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Untuk menambah wawasan tentang kekuasaan kehakiman
2. Mengetahui lebih jelas tentang pelaksanaan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.
BAB II
MATERI
2.1 Pengertian dari kekuasaan kehakiman
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
2.2 Lembaga Peradilan yang ada di Indonesia
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang judikatif atau kekuasaan kehakiman sebagaimana
termuat dalam BAB IX tentang KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan
Pasal 25.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.
2.3 Alasan dibentuknya Lembaga Peradilan di Indonesia
Lembaga peradilan negara berfungsi mengawasi dan mengatur tatanan negara sehingga menjadi negara
yang yang terbebas dari semua ancaman yang mengancam negara di bidang apapun. Lembaga peradilan
juga sangat penting karena jika tidak ada lembaga peradilan siapa yang akan menghukum orang yang
melakukan kesalahan dan siapa yang akan menegaskan peraturan.
2.4 Peran dari Lembaga Peradilan di Indonesia
Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur dengan peraturan perundang-
undangan sebagaimana terurai di bawah ini.

a. Peradilan Umum
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya. Rakyat pencari keadilan adalah setiap orang WNI atau bukan. Dalam pelaksanaannya kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh:
1. Pengadilan negeri sebagai pengadilan tingkat pertama berkedudukan di ibu kota kabupaten atau
kotamadya dengan daerah hukum meliputi kabupaten dan kotamadya yang bersangkutan. Dikecualikan dari
ketentuan ini adalah pengadilan negeri Jakarta pusat, karena daerah hukumnya selain wilayah Jakarta pusat
juga meliputi tindak pidana yang dilakukan diluar negeri.
2. Pengadilan tinggi berkedudukan di ibu kota provinsi dengan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi yang bersangkutan.
3. Mahkamah agung sebagai pengadilan Negara tertinggi, berkedudukan di ibu kota Negara, wilayah
hukumnya adalah seluruh Indonesia
.
b. Peradilan Agama
Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang beragama islam. Dalam undang-undang No 7
Tahun 1989 mengatakan bahwa peradilan agama adalah lembaga yang berada dibawah departemen Agama
yang bertugas untuk meneyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakan hukum dan keadilan. Yang
mempunyai lingkup kewenangan, yaitu :
1. Peradilan bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu, yakni dibidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, dan hibah berdasarkan islam, waqaf dan sedekah.

c. Peradilan Militer
Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang mempunyai
kompetensi memeriksa dan mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang yang
berstatus sebagai anggota militer atau yang dipersamakan dengan itu. Secara administrative peradilan
militer ada dibawah organisasi militer, jika terjadi kasus pidana militer maka akan berlaku KUHPM (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer), sedang hukum formilnya adalah hukum acara pidana militr dan
berlaku dalam jurisdiksi peradilan militer.
Pengadilan Militer, terdiri dari:
1. Pengadilan tentara
2. Pengadilan tentara tinggi
3. Mahkamah tentara agung

d. Peradilan Tata Usaha Negara


Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:
Pengadilan Tata Usaha Negara;
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

e. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Dibidang peradilan, MA sebagai puncak peradilan menangani lima hal yaitu:
a. Kasasi
b. Peninjauan kembali
c. Sengketa wewenang mengadili
d. Memutus dalam tingkat pertama dan terakhir semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal
asing dan muatannya oleh kapal perang Indonesia
e. Melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada
dibawahnya, berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
2. Fungsi bidang pengawasan
Melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada
dibawahnya, berdasarkan undang-undang.
3. Fungsi bidang pemberian nasihat
Memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi.
4. Fungsi bidang pengamanan
5. Fungsi bidang administrasi
6. Fungsi bidang tugas dan kewenangan lainnya.

f. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga Negara yang melakukan tugas dibidang
kekuasaan kehakiman, MK bersifat merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum
dan peradilan. MK berkedudukandi ibu kota Negara Indonesia.
MK berkewenangan :

1. Menguji UU terhadap UUD


2. Memutus sengketa kewenangan lembaga-lembaga Negara
3. Memutus pembubaran partai politik
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu
5. Memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden tidak
lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden lagi.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Berdasarkan UUD 1945
BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman terdiri dari Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.
Lembaga peradilan negara berfungsi mengawasi dan mengatur tatanan negara sehingga menjadi negara
yang yang terbebas dari semua ancaman yang mengancam negara di bidang apapun. Lembaga kehakiman
di Indonesia yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara,
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
3.2 Saran
Dalam membuat makalah seharusnya kita lebih memperhatikan sistematika makalah. Menyusun sebaik
mungkin sehingga pembaca mudah dalam memahami isi makalah. Jika membuat makalah alangkah baiknya
tidak bertele-tele dalam menguraikan isi sehingga pembaca tidak merasa bosan.
Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas,
dimengerti, dan lugas. Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga
sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup
dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
KEKUASAAN KEHAKIMAN
Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu: Drs. Amin Yahya

Oleh:

Diana Fitriawati (092111093)

Nur Alifah (092111119)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

2010
KEKUASAAN KEHAKIMAN

I. Pendahuluan

Dalam Negara hukum teori yang dianut adalah teori kedaulatan hukum. Menurut teori ini,
yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu Negara itu adalah
hukum itu sendiri. Karena baik penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan Negara
itu sendiri semuanya tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus
sesuai dan menurut hukum. Hal tersebut bermula dari konsep kedaulatan rakyat yang
diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum yang kemudian dalam negara hukum harus
diwujudkan dalam sitem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang
tertib agar dapat dijalankan.
Dari segi kelembagaan prinsip organisasi kemesyarakatan harus diwujudkan dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam setruktur
mekanisme kelembagaan nagara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan
berfungsinya sistem demokrasi.
Menurut montesqueu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan
kekuasaan negara dalam tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat Undang-
undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana Undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (peradilan/
kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran).[1]
Ketiga poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain baik mengenai orangnya
maupun kekuasaannya. Ajaran ini kemudian kita kenal dengan ajaran trias politica.

II. Kekuasaan Kehakiman Berdasarkan UUD 1945

Pakar negara hukum dari Eropa, Paul Scholten mempunyai pandangan bahwa unsur-
unsur negara hukum adalah:
a. Diakuinya hak-hak asasi manusia
b. Adanya pemisahan kekuasaan
c. Adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang[2]
Dari tiga teori tersebut telah membuktikan bahwasanya suatu lembaga kekuasaan
kehakiman sangat penting bagi suatu negara hukum yang demokratis konstitusional.
UUD 1945 beserta penjelasannya tidak memberikan keterangan mengenai arti Kekuasaan
Kehakiman secara tuntas. Namun ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 dan 25 beserta
penjelasannya antara lain mencantumkan: Kekuasaan Kehakiman dilakukan menurut undang-
undang. dan Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim menurut undang-
undang.[3]
Maka yang dimaksud Kekuasaan Kehakiman dalam pasal 24 UUD 1945 adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

[1][1] www.pedulihukum.blogspot.com/ (29032010)

[2][2] Muhammad Tahrir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah Masa Kini. Jakarta: Bulan
Bintang, 1992. Hlm.9

[3][3] Ibid. hlm. 189


Sejak tahun 1948 sampai sekarang ada empat Undang-Undang yang mengatur tentang
Kekuasaan Kehakiman, yaitu:[4]
1. UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dn Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dan
Kejaksaan.
2. UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan dan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
3. UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang
kemudian diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU No.14 Tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman.
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.[5]

III. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman

Ketentuan umum yang ada pada Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tertulis bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan kedilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradialan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradialn tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan dan
ditetapkan oleh undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, dan
mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang di ajukan kepadanya.
Keberadaan lembaga pengadilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah
sangat penting, karena:

a. Pengadilan merupakan pengawal konstitusi

[4][4] Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006. hlm. 14

[5] [5] Kecuali Aceh Darussalam, ada kekhususan tersendiri dengan UU No. 44 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU No. 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NAD.
b. Pengadilan bebas merupakan unsur negara demokrasi
c. Pengadilan merupakan akar negara hukum[6]
Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa,
peradilan dilakukan dengan cara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali
dalam hal-hal yang tersebut dalam UUD. Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa adalah sesuai dengan pasal 29 UUD yang berbunyi:
ara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk yang memeluk agama masing-masing dan
untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.[7]

IV. Mahkamah Agung

Mahkamah Agung merupakan lembaga peradilan yang benar-benar merdeka dari


pengaruh-pengaruh luar dirinya sehingga menciptakan suatu kebenaran, keadilan, dan kedamaian
yang dapat diterima dan dirasakan oleh pihak-pihak yang berperkara.[8]
Pembentukan Mahkamah Agung di Indonesia berdasarkan pada ketentuan Pasal 24 UUD
1945 sebagai landasan konstitusional. Kemudian Ketetapan MPR RI No. III/ MPR/ 1978, pada
pasal 1 ayat (2), mengukuhkan Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara bersama-sama
dengan lembaga tinggi negara yang lain, yaitu Presiden, DPA, DPR, dan BPK. Selanjutnya pasal
I UU No. 14 Tahun 1985 mengukuhkan pula tentang kedudukan Mahkamah Agung sebagai
Lembaga Tinggi Negara.[9]

a) Tugas dan Fungsi Mahkamah Agung

[6][6] A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Hlm.
20

[7][7] C. S. T. Kansil, Hukum Tata Negara RI. Jakarta: Rineka Cipta, 2008. Hlm. 192

[8][8] A. Mukti Arto, Op. Cit. Hlm. 308

[9][9] Ibid. hlm. 182


Tugas dan fungsi yang diemban oleh MA berdasarkan UU No. 14 tahun 1985 dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini adalah:
a. Tugas Yudisiil, yaitu tugas untuk menyelenggarakan pengadilan, meliputi:
1) Memeriksa dan memutus perkara kasasi
2) Sengketa yuridiksi
3) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap
b. Tugas judicial reviu terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
c. Tugas pengawasan terhadap peradilan di bawahnya
d. Tugas penasihatan
e. Tugas Administratif
f. Tugas-tugas lain yang diberikan berdasarkan undang-undang.[10]

b) Kedudukan Mahkamah Agung


Mahkamah Agung dalam kedudukannya sebagai Lembaga Tinggi Negara membawa
konsekuensi bahwa Mahkamah Agung harus dapat memainkan peran politiknya untuk membawa
Negara Republik Indonesia ke arah yang di cita-citakan. Peran politik tersebut berupa penilaian
dan pengawasan serta sumbangan pemikiran di bidang hukum kepada semua lembaga tinggi
negara dan menjalankan politik pemerintahan negara.[11]

c) Susunan Organisasi Mahkamah Agung


Mengenai susunan organisasi yang ada dalam Mahkamah Agung dijelaskan dalam BAB II
Susunan Mahkamah Agung pasal 4 sampai dengan pasal 27.
Susunan organisasi MA terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitia, dan Sekretariat
Jenderal Mahkamah Agung. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari ketua, wakil ketua, dan
beberapa orang ketua muda. Hakim anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung. Pada
Mahkamah Agung juga ditetapkan adanya Sekretariat Jenderal dan dibantu oleh Wakil Sekjen.[12]

[10][10] A. Mukti Arto, Op.Cit. hlm. 183

[11][11] Pasal 11 TAP MPR No. III/ MPR/ 1978

[12][12] Ibid. Hlm. 184


V. Mahkamah Konstitusi (MK)

Perubahan UUD melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu


Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi sebagai
berikut: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan beradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahakamah Konstitusi.[13]
Sedangkan Mahkamah Konstitusi itu sendiri adalah sebuah lembaga Negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.[14]
Berikut akan dipaparkan lebih jelas mengenai Mahkamah Konstitusi dan hal-hal yang
bersangkutan di dalamnya;
a) Kekuasaan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Dalam pasal 24C yang berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi
menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD ,memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus
pembubaran partai politik, dan .memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di
samping itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai
dugaan pelanggaran oleh presiden dan / atau Wakil Persiden menurut UUD. Perlu dicatat bahwa
putusan ini sifatnya tidak final karena tunduk pada (subject to) putusan MPR, lembaga politik
yang berwenang memberhentikan Presiden (Pasal 7A).[15]
Mengapa antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung perlu dipisahkan? Menurut
Jimly Assiddiqie, karena pada hakekatnya, keduanya memang berbeda. Mahkamah Agung lebih
merupakan pengadilan keadilan (court of justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih

[13][13] Nimatul Huda,,,Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
hlm 201

[14][14] C. S. T. Kansil, Op. Cit. hlm.186

[[15] Nimatul Huda, Op. Cit. hlm. 202


berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum(court of law). Memang tidak bisa dibedakan
seratus persen dan mutlak sebagai court of justice versus court of law. Semula, formula yang
jimly usulkan adalah seluruh kegiatan judicial review diserahkan kepada Mahkamah
Konstitusi,sehingga Mahkamah Agung dapat berkosentrasi menangani perkara-perkara yang
diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD
1945 tetap memberikan kewenangan pengujian terhadap peraturan di bawah undang-undang
kepada Mahkamah Agung. Di pihak lain, Mahkamah Konstitusi juga diberi tugas dan kewajiban
untuk memutus dan membuktikan unsur kesalahan dan tanggung jawab pidana Presiden
dan/wakil Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut
UUD. Dengan kata lain, Mahkamah Agung tetap diberi kewenangan sebagai court of law
disamping fungsinya sebagai court of justice. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi tetap diberi
tugas yang berkenaan dengan fungsinya sebagai court of justice disamping fungsi utamanya
sebagai court of law. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan seratus persen antara
court of law dan court of justice, pada hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang
berbeda satu sama lain. Mahkamah Agung lebih merupakan court of justice, sedangkan
Mahkamah Konstitusi lebih merupakan court of law. Keduanya sama-sama merupakan pelaku
kekuasaan kehakiman menurut ketentuan pasal 24 ayat (2) UUD 1945.[16]
Pembagian tugas di bidang pengujian peraturan (judicial review) atas peraturan
perundang-undangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menurut jimliy, sama
sekali tidak ideal karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan
antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung . Ke depan, memang harus dipikirkan
kemungkinan mengintegrasikan seluruh system pengujian peraturan dibawah kewenangan
Mahkamah Konstitusi.[17]

b) Susunan Mahkamah Konstitusi


Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan keputusan Presiden. Sedangkan hakim konstitusi itu tidak lain adalah pejabat

[[16] Ibid. hlm 202-203, lihat juga pada Jimliy Asshiddiqie, Mahkamah Konstitusi dan Pengujian
Undang-undang, Makalah Kuliah Umum Program Dokter (S-3) Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia,02 Oktober 2004, hlm 5-6.

[[17] Ibid. hlm 204


Negara. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang
wakil merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi.
Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari , dan, oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama
3(tiga) tahun.

c) Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi


Seorang hakim konstitusi dalam pengangkatannya itu harus memenuhi beberapa syarat
yaitu:[18]
Sebagai warga Negara Indonesia;
Berpendidikan sarjana hukum;
Berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;
Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
Mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum sekurang-kurangnya 10 tahun .

VI. Penutup

Demikianlah makalah ini kami buat. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling
sempurna, namun tidak ada satu manusia pun yang mencapai derajat kesempurnaan. Manusia
hanya berusaha untuk bisa lebih sempurna dari sebelumnya, namun Tuhanlah yang menentukan
tingkat keberhasilannya. penulis yakin mempunyai banyak kesalahan, tetapi penulis lebih yakin
pada kekuasaan Tuhan karena Tuhan tidak akan menyia-nyiakan usaha hambanya menuju arah
yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arto, A. Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[[18] Nimatul Huda, Op. Cit. hlm. 187


Azhary, Muhammad Tahrir . 1992. Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-
prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah
Masa Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
Djalil, Basiq. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Pre nada Media.
Huda, Nimatul. 2006. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Kansil, C. S. T. 2008. Hukum Tata Negara RI. Jakarta: Rineka Cipta.
www. pedulihukum.blogspot.com/

You might also like