You are on page 1of 37

BAB I

PENYAJIAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Yayah Rokayah
Usia : 32 Tahun
Status : telah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jelengkong 3/15 desa panyiripan kecamatan Soreang Kabupaten Bandung
Tgl. Masuk RS: 15 Juli 2013 jam 20:00

II. Anamnesis
Anamnesis (alloanamnesis) tanggal 15 juli 2013 & autoanamnesis tanggal 17 juli
2013
Keluhan utama
Kejang- kejang
Riwayat perjalanan penyakit
P1A0 partus prematurus spontan, Os melahirkan 5 hari yang lalu, datang kerumah
sakit dengan kejang yang terus menerus sejak 15 menit SMRS disertai dengan sesak
nafas setelah kejang mulai berhenti. Sebelumnya Os mengeluh pusing kepala yang
sangat berat sejak 5 jam SMRS lalu Os beristirahat dan merasa matanya lama- lama
semakin buram sehingga akhirnya Os meminta dibawa ke Bidan terdekat lalu Os
dirujuk ke RS oleh bidan. Saat perjalananan menuju ke RS, os muntah kemudian
kejang- kejang yang tidak berhenti sampai berada di RS. Os tidak sadar ketika
kejang terjadi.
Os melahirkan di RSUD soreang pada tanggal 10 juli 2013, os dirujuk oleh bidan
karena prematur kontraksi dan Hipertensi (140/100). Ibu datang dengan keluhan
mulas- mulas yang semakin sering dan bertambah kuat sejak 3 jam SMRS disertai
dengan keluar lendir bercampur darah dari jalan lahir. Ibu menyangkal telah
keluarnya cairan bening yang banyak dari jalan lahir. ibu merasakan gerakan janin.
Setelah dilakukan pemeriksaan dalam oleh bidan di rumah sakit didapatkan ketuban
telah (-) dan pembukaan telah lengkap sehingga 15 menit setelah datang ke RS os

1
melahirkan secara spontan. Satu hari setelah melahirkan tekanan darah Os 130/90
dan protein urin (-) lalu Os pulang dan diberikan obat untuk rawat jalan berupa
metildopa, cefadroxil dan asam mefenamat.

Riwayat Terdahulu
Riwayat Obstetri: I: laki- laki, H/5 hari, lahir partus prematurus spontan, di
RSUD soreang/ bb: 2200 gram/ TB: 46 cm/ apgar 11: 7 5I: 9
Riwayat Pernikahan:
Wanita, 31 tahun, SMP, Ibu rumah tangga
Laki- laki, 34 tahun, SD, Buruh
HPHT: 7- 11- 2012 , TP: 14-08-2013
Riwayat ANC: 5 x ke bidan
Riwayat KB: -
Riwayat penyakit:
Os sebelumnya tidak pernah mengalami kejang- kejang, os juga tidak
memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal ataupun kencing manis. Saat hamil,
tekanan darah meningkat diketahui Os saat datang ke bidan ketika os mulai
merasakan mulas- mulas. Sejak 1 bulan sebelum kelahiran, kaki Os sering
bengkak. Os mempunyai riwayat asma sejak kecil tetapi jarang kambuh. Os
tuntas melakukan pengobatan TBC selama 6 bulan pada tahun 2009.

Riwayat Keluarga
Pada keluarga OS tidak pernah terdapat riwayat sakit seperti gejala yang OS
rasakan.

III. Pemeriksaan Fisik


Kesan umum
Keadaan umum: Somnolen
Kesan sakit: tampak sakit berat
Tinggi badan: 155 cm
Berat badan: 42 kg
Tanda- Tanda Vital
Tekanan darah: 150/100

2
Nadi: 115 x/ menit
Respirasi: 40x/ menit
Suhu: 36,4 0c
Status Gizi: IMT = 42/ (1,55)2= 17,4 (kurus)
Status Generalis
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung: PCH (+)
Mulut: bibir sianosis (-)
Leher: KGB tidak membesar, JPV ( 5+3cm), kaku kuduk (-)
Thorax:
Inspeksi: bentuk dan gerak simetris, iktus cordis tidak terlihat, sela iga
melebar (-), retraksi suprasternal (+)
Palpasi:
Ekspensi dada: simetris hemitoraks Ka=Ki
iktus cordis teraba di ICS 5 LAAS, pulsasi (+) vibrasi (-)
Perkusi:
Sonor pada seluruh lapang paru
Batas paru hati sulit dinilai
Peranjakan paru positif
Batas Jantung: sulit dinilai
Auskultasi
Paru: VBS Ka> Ki, ronkhi (-/+), wheezing (+/+)
Jantung:
BJ1 & BJ2 murni regular, pada katup mitral dan trikuspid BJ1>
BJ2, pada katup aorta dan pulmonal BJ2 > BJ1
Murmur (-), gallops (-)
Abdomen
Inspeksi: datar, simetris, tidak terlihat pelebaran pembuluh darah vena,
umbilicus tidak menonjol.
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Palpasi: hepar, lien, ginjal tidak membesar, Nyeri tekan epigastrium (+)
Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
Ekstermitas: Akral hangat (+), udem (-/-)

3
Status Obstetri
ASI (+/+)
Abdomen: datar, lembut
TFU: sudah tidak teraba
Saluran kemih: BAK (+) normal

IV. Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin (15/07/2013)
Hemoglobin : 12,9 g/dL
Hematokrit : 37%
Leukosit : 26.300/ mm3
Trombosit : 324.000/mm3
Golongan darah: O
Rhesus Faktor: +
Hitung Jenis (17/07/2013)
Basofil
Eosinofil-
Stab
Segment: 77%
Lymfosit: 18%
Monosit: 5 %
LED jam 1: 100 mm/ jam
LED jam II: 110 mm/jam
Kimia klinik (15/07/2013)
Glukosa darah sewaktu: 174.1 mg/dL
AST (SGOT) : 21,7 U/L
ALT (SGPT) : 22,5 U/L
Ureum : 14,2 mg/dL
Kreatinin : 0,70 mg/dL
Urine (15/07/2013)
Protein: Positif 3 (+++)

4
Mikrobiologi (17/07/2013)
BTA 3x
Bahan pemeriksaan Spuntum
Sewaktu negatif
Pagi negatif
Sewaktu negatif
Perwarnaan Gram (17/07/2013)
Hasil
Ditemukan bakteri coccus gram (+) yaitu diplococcus sp dan streptococcus sp
Epitel: 4-6/ lpk
Lekosit: 10-13/ lpk
Radiologi (16/07 2013)
Kesan
Kardiomegali, TB paru aktif dengan cavitas, Pengaburan sinus kiri ec suspek efusi
pleura minimal

5
V. Resume
Anamnesis: tension headeache (+), penglihatan kabur (+), vomit (+), spastic (+)
TTV: Hipertensi stage II (+), takipnue (+), takikardi (+)
Status gizi: kurus (+)
Pemeriksaan Fisik : PCH(+), retraksi suprasternalis (+), rh (-/+), wh (+/+), iktus
cordis melebar (+), paru kiri meredup pada ICS 4
Pemeriksaan penunjang: leukosit segmen , LED , Ureum , Protein +3, bakteri
diplococus & streptococcus (+), Kardiomegali, TB paru aktif (+), efusi pleura
minimal (+)

VI. Diagnosis Klinis


Diagnosis Obstetri: P1A0 partus prematurus spontan + late eklampsia postpartum +
kardiomiopati peripartum
Diagnosis interna: + CAP + Asma bronkiale eksaserbasi akut + TB paru relaps

VII. Ajuan pemeriksaan tambahan


Elektrolit
MRI

VIII. Rencana Pengelolaan dan terapi

Terapi umum:

Perlindungan jalan nafas


Bedrest duduk
Pasang NGT
Pasang Kateter
O2 3l / menit

Terapi Khusus:

Cefotaxime 2x1 gr iv
MgSO4 20% 10 g/jam dalam 500 ml NaCl 30gtt/m
Lasix 2x2 amp

6
KSR 1x1
Metildopa 3x 250g
Diazepam 1 amp secara perlahan (apabila kejang timbul kembali)

7
Tanggal 16/ 07 17/05 18/05 19/05
Keadaan Apatis Compos mentis Compos mentis Compos mentis
umum Kejang (-), sesak (+), sakit Kejang (-), sesak (), sakit Kejang (-), sesak (-), sakit Kejang (-), sesak (-), sakit
kepala (), batuk (+), mual (+) kepala (-), batuk (+), mual (-). kepala (-), batuk (), mual (-). kepala (-), batuk (), mual (-).
muntah (-), mata buram (), Muntah (-), mata buram (-), Muntah (-), mata buram (-), Muntah (-), mata buram (-),
BAK (+) BAK (+) BAK (+) BAK (+)
TNRS TD: 130/90, N:88x/ menit, R: TD: 120/70, N: 74x/m, R: 28x/m TD: 120/70, N: 64x/m TD: 100/60, S: 36,90C, N:
34x/menit S: 360c S: 37,40c S: 37,20C, R: 24x/m 72x/m, R: 20x/m

Pemeriks Mata: Ka(-/-). SI(-/-) Mata: Ka(-/-). SI(-/-) Mata: Ka(-/-). SI(-/-) Mata: Ka(-/-). SI(-/-)
aan fisik Hidung: PCH (-/-) Hidung: PCH (-/-) Hidung: PCH (-/-) Hidung: PCH (-/-)
Leher: KGB t.t.m., JVP (+) Leher: KGB t.t.m., JVP (-) Leher: KGB t.t.m., JVP (-) Leher: KGB t.t.m., JVP (-)
Thorax: B&G simetris, cor: Thorax: B&G simetris, cor: Thorax: B&G simetris, cor: Thorax: B&G simetris, cor:
s1&s2 murni regular, s1&s2 murni regular, s1&s2 murni regular, s1&s2 murni regular,
murmur (-), gallop (-); murmur (-), gallop (-); murmur (-), gallop (-); murmur (-), gallop (-);
pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+), pulmo: vbs ka= ki, wh (+/+),
rh(-/+) rh(-/+) rh(-/+) rh(-/+)
ASI (+/+) ASI (+/+) ASI (+/+) ASI (+/+)
Abdomen: datar, lembut, Abdomen: datar, lembut, Abdomen: datar, lembut, Abdomen: datar, lembut,
NTE (+), TFU: tidak teraba NTE (-), TFU: tidak teraba NTE (-), TFU: tidak teraba NTE (-), TFU: tidak teraba
Ekstermitas: udem (-/-) Ekstermitas: udem (-/-) Ekstermitas: udem (-/-) Ekstermitas: udem (-/-)

D/K Diagnosis Obstetri: P1A0 Diagnosis Obstetri: P1A0 Tetap Tetap


partus prematurus spontan + partus prematurus spontan +
eklampsia postpartum eklampsia postpartum
tertunda + kardiomiopati tertunda + kardiomiopati
peripartum peripartum
Diagnosis interna: + susp. Diagnosis interna: + susp.
CAP + Asma bronkiale CAP + Asma bronkiale
eksaserbasi akut + susp.TB eksaserbasi akut + TB paru
paru relaps relaps

8
Penatalak Bedrest duduk Bedrest duduk Bedrest Note: Os pindah rawat ke ruang
sanaan Pasang NGT NGT lepas O2 2l / menit stop IPD
O2 3l / menit O2 2l / menit Cefotaxime 2x1 griv Lasix -0-0
Cefotaxime 2x1 gr iv Cefotaxime 2x1 gr iv Lasix 1x 2 amp Cefadroxil 2x1 tab
MgSO4 20% 10 g/jam dalam MgSO4 20% 10 g/jam dalam KSR 1x1 Metildopa 3x 250g
500 ml NaCl 500 ml NaCl stop Metildopa 3x 250g
Lasix 1 x 2amp Lasix 1 x 2amp
KSR 1x1 KSR 1x1 Os boleh pulang
Metildopa 3x 250g Metildopa 3x 250g

Pemeriks Terlampir diatas Perwarnaan Gram


aan EKG dalam batas normal (+)diplococcus sp dan
penunjan Konsul ke IPD dan neuro streptococcus sp
g LED
Note: Leukosit segmen
Neuro: refleks patella ekstrim
(-), penglihatan baik,
kekuatan otot ekstermitas
baik, bila kejang berikan
diazepam 1 amp pelan.
Konsul kembali jika kejang
berulang
IPD: pemasangan NGT
diet cair, skrening TB ulang

9
BAB II

ANALISIS KASUS

Pada pasien ini penegakan diagnosis didasari oleh anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis, os merasakan nyeri kepala yang terus menerus dan semakin
memberat, mata buram, mual, dan muntah. Gejala ini merupakan gejala awal yang sering
ditemukan sebelum terjadinya eklampsia. Nyeri kepala dan mata buram diduga timbul akibat
hiperperfusi serebrovaskular yang memiliki predileksi pada lobus oksipitalis. Nyeri kepala dan
mata buram yang mulai berkurang setelah pemberian MgSO 4 mendukung diagnosis kearah
eklampsia. Mual dan muntah diduga timbul akibat perubahan pada hati. Kejang bersifat
diagnosik untuk eklampsia. Kejang eklamptik disebabkan autoregulasi yang mengalami
perubahan akibat kehamilan. Autoregulasi merupakan mekanisme untuk menjaga aliran darah
serebral relatif konstan meskipun terjadi perubahan pada tekanan perfusi serebral.2 Keadaan
pasien yang datang setelah 5 hari postpartum dengan keadaan eklampsia merupakan kriteria dari
eklampsia postpartum tertunda. Eklamsia postpartum tertunda adalah eklampsia yang terjadi
lebih dari 2 hari setelah melahirkan. Eklampsia postpartum tertunda bisa terjadi sampai 23 hari
setelah melahirkan.1

Sesak yang terjadi setelah kejang bisa disebabkan karena hiperkarbia, asidemia laktat,
dan hipoksemia transien sehinga umunya pernapasan mengalami peningkatan laju dan dapat
mencapai 50 kali atau lebih permenit sebagai respon terhadap hal tersebut.1 sesak yang masih
terus dirasakan sampai 2 hari perawatan bisa oleh karena penyakit asma ibu yang kambuh karena
pada pemeriksaan fisik ditemukan bunyi Wheezing positif pada kedua paru. Selain ditemukan
wheezing, ditemukan pula suara ronkhi pada sebelah kiri paru, suara ronkhi disebabkan oleh
gerakan udara melewati jalan nafas yang menyempit akibat terdapatnya sumbatan seperti sekret
(pada asma) ataupun cairan (udem paru). Hal ini menyebabkan sesak pada saat bernafas.

Prematur kontraksi saat ibu masih mengandung merupakan salah satu komplikasi dari
Hipertensi pada kehamilan. Saat setelah melahirkan tekanan darah menurun dan tidak ditemukan
proteinuria yang dapat disimpulkan tidak terdapat tanda pre-eklampsia setelah kelahiran
sehingga Os dapat pulang kerumah. Berdasarkan journal, 1/3 wanita dengan eklampsia

10
postpartum tertunda tidak memiliki riwayat hipertensi, proteinuria atau edema sebelumnya. 44%-
79% dari pasien dengan eklampsia postpartum tertunda, pre- eklampsia tidak terdiagnosis
sebelum terjadinya kejang.

Pada riwayat terdahulu, ditanyakan apakah pernah mengalami kejang sebelumnya adalah
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit epilepsi pada ibu. Riwayat penyakit
jantung, ginjal dan diabetes melitus merupaka faktor resiko dari munculnya hipertensi pada
kehamilan sehingga perlu ditanyakan. Salah satu faktor resiko yang mungkin menyebabkan Os
ini mengalami hipertensi adalah nulipara.

Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Protein Urin menunjukan angka +3 merupakan


diagnosis pasti Eklampsia dengan didukung oleh manifestasi klinis yang Os rasakan.
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk melihat apakah terdapat penurunan pada trombosit.
Trombositopenia merupakan gejala khas untuk preeklampsia yang meburuk. Trombositopenia
mungkin disebabkan oleh pengaktifan dan agregasi trombosit, serta hemolisis mikroangiopatik
yang dicetuskan oleh vasospasme yang hebat.1 Pada Os ini Hb, Ht, dan Trombosit dalam batas
normal tetapi Leukosit meningkat yang menandakan terdapatnya suatu infeksi. Kemudian
dilakukan pemeriksaan hitung jenis dan didapatkan peningkatan pada leukosit segemen yang
menandakan infeksi ke arah bakteri. Setelah dilakukan pewarnaan gram didapatkan bakteri
diplococus & streptococcus (+). Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang dan gejala klinis
didapatkan diagnosis susp. CAP (community aquired Pneumonia).

Pada pemeriksaan kimia klinik ditemukan SGOT & SGPT, kreatinin dalam batas normal
dan ureum hanya mengalami sedikit penurunan. Peningkatan SGOT dan SGPT dalam serum
merupakan penanda telah terdapat inflamasi atau nekrosis pada hati. Perubahan pada hepar
perempuan yang mengalami eklampsia fatal digambarkan oleh virchow pada tahun 1856. Lesi
khas yang lazim ditemukan adalah daerah perdarahan periportal pada tepi hepar. Keterlibatan
simtomatik biasanya bermanifestasi sebagai nyeri dan nyeri tekan derajat sedang hingga berat
pada kuadran kanan atas atau pertengahan epigastrium, biasanya hanya terjadi pada penyakit
berat. Peningkatan Kreatinin disesbabkan penurunan filtrasi glomerulus yang menandakan telah
terdapat komplikasi pada ginjal.

11
Pada pemeriksaan radiologis ditemukan kardiomegali dan efusi paru minimal yang
merupakan faktor penunjang diagnosis untuk kardiomiopati peripartum. Lalu terdapat gejala
klinis yang menunjang seperti sesak, orthopnue, takikardi, tapinue. Kardiomegali terjadi akibat
disfungsi sistolik ventrikel kiri. Selain itu, ditemukan pula gambaran TB paru aktif dengan
kavitas lalu dilakukanlah pemeriksaan LED dan Sputum BTA. LED meningkat sangat tinggi,
tetapi sputum BTA (-). Dari pemeriksaan ini dapat disimpulkan diagnosis Os penderita TB paru
relaps, karena os telah tuntas pengobatan TB pada tahun 2009 tetapi gambaran radiologi
menyatakan TB aktif dan LED sangat meningkat ditambah dengan keluhan Os yang masih
sering batuk. Hasil BTA bisa menghasilkan negatif palsu.

Untuk terapi, bedrest duduk dilakukan untuk memberikan posisi nyaman bagi OS yang
sedang sesak. Pemberian O2 meningkatkan pemasukan O2 ke dalam tubuh secara adekuat agar
tidak terjadi hiperkapnia dan kejang yang berulang. Pemasangan NGT untuk pemberian makanan
ketika Os dalam keadaan Somnolen. Pemasangan kateter untuk pengontrolan input dan output.
Pemberian obat MgSO4 untuk mengendalikan kejang, MgSO4 diberikan selama 24 jam. Dengan
dosis infus rumatan 2g/jam dalam 100 mL cairan IV. Metildopa diberikan untuk menurunkan
tekanan darah Os yang tinggi. Jika Os kejang berikan Diazepam 1 amp secara perlahan.
Cefotaxime diberikan sebagai antibiotik. Lasix digunakan untuk mempercepat pengendalian
tekanan darah dan untuk mengurangi kadar cairan di dalam tubuh. KSR diberikan untuk
mengganti kehilangan kalium akibat pemberian lasix.

12
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PREEKLAMPSIA DAN EKLAMPSIA

III.1.1 DEFINISI

Eklampsia pascapartum tertunda adalah eklampsia yang terjadi lebih dari 2 hari setelah
melahirkan sampai 23 hari setelah melahirkan.eklampsia pascapartum tertunda dianggap sebagai
subtipe dari eklampsia1
Eklampsia adalah kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan
dengan preeklampsia. kejang yang timbul merupakan kejang umum dan dapat terjadi sebelum,
saat, atau setelah persalinan. Bergantung pada saat terjadi eklampsia disebut sebagai antepartum,
intrapartum atau pascapartum. 2
Preeklamsia adalah keadaan dimana terjadi hipertensi disertai dengan proteinuria, oedem

atau kedua-duanya yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan, atau

kadang-kadang timbul lebih awal bila terdapat mola hidatidosa dan kehamilan kembar.1

III.1.2 INSIDENSI
Unit bersalin di Eropa juga melaporkan angka kesakitan dan kematian ibu serta perinatal
yang sangat tinggi pada eklampsia. Dalam suatu laporan dari Skandinavia yang meliputi periode
2 tahun, berakhir pada tahun 2000, Andersgaard dkk., (2006) menguraikan mengenai 232
perempuan dengan eklampsia. Meskipun hanya terdapat satu kematian ibu, sepertiga perempuan
mengalami komplikasi yang berat, yang mencakup syndrom HELLP, gagal ginjal, edema paru,
emboli paru dan stoke. United kingdom Obstectric Surveillance System (UKOSS) yang telah
diaudit oleh Knight (2007) melaporkan hasil akhir maternal pada 214 perempuan yang
mengalami eklampsia. Tidak terdapat kematian ibu, dan meskipun hasil akhir membaik
dibanding pada hasil audit sebelumnya, lima perempuan mengalami perdarahan serebral. Jadi,
dinegara maju, angka kematian ibu adalah sekitar 1 persen pada perempuan yang mengalami
eklampsia. 2

13
Eklampsia paling sering terjadi pada trimester ketiga dan menjadi semakin sering saat
hamil mendekati aterm. Pada beberapa tahun terakhir, telah terjadi pergeseran yang semakin
besar pada insiden eklampsia kearah periode pascapartum. Pergeseran ini diduga berkaitan
dengan perbaikan akses asuhan pranatal, deteksi preeklampsia yang lebih dini, dan penggunaan
magnesium sulfat profilaktik (chames dkk,2002).2

Eklampsia adalah penyebab kematian maternal kedua (19,6%) di United states setelah
emboli pulmonal. Antara 14% - 33% dari kasus eklmapsia terjadi setelah melahirkan. Eklampsia
pascapartum tertunda mengenai antara 4% - 26% pasien dengan eklampsia dan antara 28%- 79%
pasien dengan postpartum eklampsia. 1

III.1.3 ETIOLOGI

Preeklampsia tidaklah sesederhana satu penyakit, melainkan merupakan hasil akhir dari
berbagai faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada ibu, plasenta dan janin.

Faktor- faktor yang saat ini dianggap penting mencakup:2

1. implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh darah uterus
Pada implantasi yang normal, invasi tropoblas menyebabkan remodelisasi arteri spiralis
uterina. Pada preeklamsi terjadi invasi tropoblas yang abnormal. Pembuluh darah-pembuluh
darah desidua bersatu dengan tropoblas. Pembuluh darah-pembuluh darah ini gagal
beradaptasi, selanjutnya terjadi kerusakan lumen arteri spiralis oleh suatu atherosis sebagai
akibat dari aliran darah placenta. Hal ini diperkirakan sebagai penyebab perfusi placenta
patologis yang akhirnya menyebabkan preeklamsi.3

14
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di antara jaringan maternal, paternal
(plasental), dan fetal.
Preeklamsi sering terjadi pada kehamilan pertama dan biasanya tidak timbul lagi pada
kehamilan berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama
pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak sempurna, yang semakin
sempurna pada kehamilan berikutnya.3
Fierlie F.M. (1992) mendapatkan beberapa data yang mendukung adanya sistem imun
pada penderita preeklamsi dan eklamsi:
Beberapa wanita dengan preeklamsi dan eklamsi mempunyai kompleks imun dalam
serum.
Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada reeklamsi
dan eklamsi diikuti dengan proteinuri.
Stirat (1986) menyimpulkan, meskipun ada beberapa pendapat menyebutkan bahwa
sistem imun humeral dan aktivasi komplemen terjadi pada reeklmasi maupun eklamsi, tetapi
tidak ada bukti bahwa sistem imunologi bisa menyebabkan preeklamsi dan eklamsi.3

3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi pada
kehamilan normal2
4. Faktor- faktor genetik, termaksuk gen predisposisi yang diwariskan, serta pengaruh
epigenetik
Adanya hipertensi herediter tidak diragukan lagi berhubungan dengan preeklamsi. Beberapa
bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian preeklamsi dan eklamsi antara
lain:
Preeklamsi hanya terjadi pada manusia.
Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi pada anak-anak dari ibu yang
menderita preeklamsi dan eklamsi.
Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)
5. Faktor nutrisi
Makanan yang diduga turut menyebabkan terjadinya eklamsi adalah daging, protein,
purin, lemak, dan garam. Hal ini berhubungan dengan obesitas sebagai faktor resiko, dimana
terjadi peningkatan C-rective protein sebagai suatu marker inflamasi yang tampak pada penderita
preeklamsi.4
15
III.1.4 FAKTOR RESIKO

Faktor resiko pre- eklampsia dan eklampsia:1

Sebelumnya pernah pre- eklmapsia


Memiliki hipertensi atau tekanan darah diastoliknya 90 mmHg
Memiliki penyakit ginjal atau proteinuria
Memiliki penyakit diabetes melitus
Kehamilan ganda (gemeli)
Obesitas ( dengan BMI 35)
Memiliki riwayat keluarga yang pernah mengalami pre- eklampsia (kakak perempuan
atau ibu)
Umur 40 tahun
Kehamilan yang pertama (nulipara)
Jarak kehamilan 10 tahun
Tekanan darah sistolik 130 mmHg, atau diastolik 80 mmHg selama kehamilan
Memiliki sindrom antibodi antifosfolipid

III.1.5 PATOGENESIS
Vasospasme2
Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh sehingga timbul
hipertensi. Pada saat bersamaan, kerusakan endotel menyebabkan kebocoran interstitial
tempat lewatnya komponen- komponen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen yang
kemudian tertimbun di subendotel.dengan berkurangnya aliran darah akibat maldistribusi,
iskemia pada jaringan sekitar akan menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan gangguan
end- organ lain yang khas untuk sindrom tersebut.
Aktivasi sel endotel2
Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel menumpulkan respons
otot polos pembuluh darah terhadap agonis dengan cara melepaskan nitrat oksida. Sel
endotel yang rusak atau teraktivasi dapat menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan

16
menyekresikan substansi yang memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitivitas
terhadap vasopressor
Peningkatan respon presor2
Penurunan produksi Prostaglandin endotel
Prostasiklin adalah prostaglandin yang ditemukan pada tahun 1976. Prostasiklin
dapat meningkatkan cAMP intrasel didalam sel-sel otot pembuluh darah dan
5
meningkatkan efek antiagregasi trombosit.
Prostasiklin dibuat terutama didalam sel-sel endotel dari asam arakidonat,
dikatalisa oleh enzim siklooksigenase. Siklooksigenase dapat dihambat oleh obat-obatan
mirip aspirin. Gangguan mekanik atau kimia dari sel endotel merangsang pembentukan
dan melepaskan prostasiklin, contohnya : bahan bahan kimia seperti bradikinin /

trombin merangsang prostasiklin di dalam dinding pembuluh darah. 5


Tromboksan A2 dikeluarkan oleh trombosit dari asam arakidonat melalui
siklooksigenase yang dapat merangsang vasokontriksi dan agregasi trombosit. Kemudian
prostasiklin dan tromboksan mempunyai pengaruh yang berlawanan didalam mengatur
5
interaksi trombosit dinding pembuluh darah.
Jika dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi prostasiklin (PGI2)
menurun pada preeklampsia. Pada waktu yang sama, tromboksan A2 (TXA2) yang
disekresi oleh trombosit meningkat, dan perbandingan antara prostasiklin : tromboksan
menurun. Hasil ini meningkatkan sensitivitas terhadap infus angiotensin II, dan akhirnya
terjadilah vasokontriksi
Nitrat oksida
Inhibisi sintesis nitrat oksida meningkatkan tekanan arteri rerata, menurunkan laju
jantung, dan membalikkan ketidaksensitifan terhadap vasopressor yang diinduksi
kehamilan. Pada manusia, nitrat oksida tampaknya merupakan senyawa yang
mempertahankan kondisi normal pembuluh darah yang berdilatasi dan bertekanan rendah
yang khas untuk perfusi fetoplasenta. Zat ini juga dihasilkan oleh endotel janin dan
kadarnya meningkat sebagai respon terhadap pre- eklampsia, diabetes dan infeksi2
Endotelin
Protein angiogenik dan antiangiogenik

17
III.1.6 PATOFISIOLOGI
Sistem kardiovaskular 2
Gangguan berat pada pada fungsi kardiovaskular normal lazim terjadi pada preeklampsia
atau eklampsia. Gangguan ini berkaitan dengan:
1. Peningkatan afterload jantung yang disebabkan hipertensi
2. Preload jantung, yang sangat dipengaruhi oleh tidak adanya hipervolemia pada
kehamilan akibat penyakit atau justru meningkat secara iatrogenik akibat infus
larutan kristaloid atau onkotik intravena
3. Aktivasi endotel disertai ekstravasasi cairan intravaskular ke dalam ruang
ekstrasel, dan yang penting ke dalam paru- paru.
Darah dan koagulasi2
Salah satu kelainan lazim yang sering dijumpai adalah trombositopenia, yang sesekali
dapat sangat hebat sehingga mengancam nyawa. Selain itu, kadar berupa pembekuan
darah dalam plasma dapat berkurang, dan eritrosit dapat memperlihatkan bentuk yang
aneh serta mengalami hemolisis yang cepat.
Homeostasis volume2
Perubahan endokrin
Kadar renin, angiotensin II, angiotensin 1-7 dan aldosteron dalam plasma
meningkat secara nyata selama kehamilan normal. Pada kasus preeklampsia dan
meskipun volume darah berkurang, nilai- nilai ini berkurang secara nyata, tetapi
tetap diatas nilai saat tidak hamil (Luft dkk.,2009)2
Perubahan cairan dan elektrolit
Pada perempuan dengan preeklampsia berat, volume cairan ekstrasel, yang
bermanifestasi sebagai edema biasanya jauh lebih besar dibandingkan pada
perempuan dengan kehamilan normal. Mekanisme yang berperan dalam retensi
patologis cairan ini diduga terjadi akibat cendera endotel. Selain edema umum
dan proteinuria, perempuan ini memeliki tekanan onkotik plasma yang menurun
yang mengakibatkan ketidakseimbangan filtrasi dan semakin mendorong cairan
intravaskular ke dalam interstitium sekelilingnya.

18
Setelah terjadinya suatu kejang eklamptik, pH dan kadar bikarbonat dalam serum
menurun akibat asidosis laktat dan kehilangan karbon dioksida kompensatorik
melalui sistem pernafasan.
Ginjal 2
Selama kehamilan normal, aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat
secara bermakna. Dengan memburuknya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi
glomerulus berkurang yang dapat disebabkan oleh penurunan volume plasama,
peningkatan resistensi arteriol aferendan juga terdapat perubahan morfologis yang
ditandai dengan endoteliosis glomerulus yang menyumbat sawar filtrasi. Penurunan
filtrasi menyebabkan nilai kreatinin serum meningkat. 2
Proteinuria
Adanya proteinuria dalam derajat apapun akan menegakkan diagnosis
preeklampsia- eklampsia. Proteinuria dapat timbul pada tahap lanjut, dan
beberapa perempuan mungkin telah melahirkan atau mengalami kejang eklamtik
sebelum timbul proteinuria.
Perubahan anatomis
Kapiler pada glomerulus normal yang diperlihatkan pada sisi kiri memiliki
fenestra endotel yang lebar, dan pedikel yang menonjol dari podosit memiliki
jarak yang lebar (panah). Pada sisi kanan merupakan glomerulus yang mengalami
perubahan akibat sindrom preeklamsia. Sel- sel endorel tampak membengkak dan
fenestranya menyempit, pedikel juga menjadi saling berdekatan satu sama lainya.

19
Hepar2
Dari sudut pandang pragmatis, keterlibatan hepar pada pre- eklampsia mungkin
bermakna secara klinis dalam kondisi- kondisi berikut:
1. Keterlibatan simtomatik, biasanya bermanifestasi sebagai nyeri dan nyeri tekan
derajat sedang hingga berat pada kuadran kanan atas atau pertengahan epigastrium,
biasanya hanya terjadi pada penyakit berat.
2. Peningkatan asimtomatik kadar transaminase hepar dalam serum-AST dan ALT-
dianggap merupakan penanda preeklampsia berat. Secara umum, kadar transminase
serum berbanding terbalik dengan jumlah trombosit, dan kadar keduanya biasanya
kembali normal dalam 3 hari pasca partum.
3. Perdarahan hepar dari daerah yang mengalami infark dapat meluas sehingga
membentuk hematoma hepatis
Otak 2
Sindrom preeklampsia memiliki dasar dasar aktivasi endotel yang terkait dengan
kebocoran antarasel endotel, yang timbul pada tekanan darah yang jauh lebih rendah
dibandingkan tekanan yang menyebabkan edema vasogenik, dan juga didasari oleh
hilangnya autoregulasi batas atas (Zeeman dkk,2009b)
Terdapat sejumlah manifestasi neurologis sindrom preeklampsia. Masing- masing
manifestasi menunjukan keterlibatan berat suatu organ dan memerlukan perhatian segera:
1. Nyeri kepala dan skotomata diduga timbul akibat hiperperfusi serebrovaskular yang
memiliki predileksi pada lobus oksipitalis. Menurut Sibai (2005) dan Zwart dkk.,
(2008), 50 hingga 75 persen perempuan mengalami nyeri kepala dan 20 hingga 30
persen diantaranya mengalami gangguan penglihatan yang mendahului kejang
eklamtik. Nyeri kepala dapat ringan hingga berat, dan dapat intermittent atau
konstan. Menurut pengalaman kami, tanda ini unik karena biasanya membaik setelah
dimulainya infus magnesium sulfat.
2. Kejang bersifat diagnostik untuk eklampsia. Kejang terdiri atas pelepasan
neurotransmitter eksitatorik- khususnya glutamat- dalam jumlah berlebih;
depolarisasi jaringan neuron yang masif; dan letupan potensial aksi (meldrum,2002)

20
3. Kebutaan jarang terjadi pada preeklampsia saja, tetapi sering menjadi komplikasi
pada kejang eklamptik
4. Edema otak menyeluruh dapat timbul pada sindrom preeklampsia dan biasanya
bermanifestasi sebagai perubahan status mental yang bervariasi dan kebingungan
hingga koma

21
III.1.7 MANIFESTASI KLINIS
Preeklampsia

Para wanita hamil biasanya tidak mengetahui terhadap tanda preeklamsi yaitu hipertensi dan
proteinuria. Gejala klinis baru timbul pada keadaan yang sudah berat, seperti sakit kepala,
gangguan penglihatan, dan nyeri epigastrium.


Tekanan Darah
Gangguan mendasar yang terjadi pada preeklamsi adalah vasospasme arteriol yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah.

Peningkatan Berat Badan
Peningkatan berat badan yang mendadak dapat mendahului terjadinya preeklamsi, bahkan
pada beberapa wanita hamil peningkatan berat badan yang berlebihan merupakan tanda
pertama. Peningkatan berat badan normal adalah 1 pound per minggu, peningkatan 2
pound per minggu pada usia kehamilan berapapun atau peningkatan 6 pound selama
sebulan, maka harus sudah dicurigai adanya perkenbangan ke arah preeklamsi.

Proteinuria
Pada preeklamsi, kadar proteinuria bervariasi, tidak hanya pada pasien yang berbeda,
namun pada pasien yang sama terjadi perbedaan kadar dari jam ke jamnya. Pada
permulaan preeklamsi, hanya terdapat proteinuria yang minimal, tapi pada kasus yang
berat biasanya sudah sangat tinggi kadarnya. Proteinuria biasanya timbul lebih lambat
dibandingkan hipertensi dan peningkatan berat badan yang berlebihan.

Nyeri Kepala
Nyeri kepala jarang terjadi pada preeklamsi ringan. Lokasi tersering adalah di daerah
frontal, tapi dapat juga terasa di daerah oksipital. Nyeri kepala ini biasanya tidak reda
dengan pemberian analgesik biasa. Nyeri kepala yang berat hampir selalu mendahului
terjadinya kejang eklamsi yang pertama kali.

Nyeri Epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri di kuadran kanan atas sering terjadi pada preeklamsi berat
dan mengindikasikan ke arah kejang. Nyeri ini disebabkan iskemik hepatik atau
menegangnya kapsul hepar akibat edema dan perdarahan.

22

Gangguan Penglihatan
Vasospasme arteri retina berhubungan dengan gangguan penglihatan hingga
menyebabkan kebutaan yang dapat berlangsung selama 4 jam hingga 8 hari. Ablasio
retina juga dapat terjadi, walaupun biasanya hanya mengenai satu mata saja dan jarang
menyebabkan kehilangan penglihatan total.
Eklamsi
Eklamsi ditandai dengan kejang umum yang bersifat tonik klonik. Koma tanpa kejang juga
disebut eklamsi.

III.1.1 DIAGNOSIS
Preeklampsia1
Kriteria Minimum
TD 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu
Proteinuria 300 mg/ 24 jam atau 1+ pada pemeriksaan carik celup
Kemungkinan preeklampsia meningkat
TD 160/110 mmHg
Proteinuri 2.0 g/ 24 jam atau 2+ pada pemeriksaan carik celup (dipstick)
Kreatinin serum 1,2 mg/ dL, kecuali memang sebelumnya diketahui meningkat
Trombosit 100.000/ L
Hemolisis mikroangiopati- peningkatan LDH
Peningkatan kadar transaminase serum- ALT atau AST
Nyeri kepala yang persisten atau gangguan serebral arau visual lainnya
Nyeri epigastrik persisten

Eklampsia1
Kejang yang tidak disebabkan oleh penyebab lain pada perempuan dengan pre-eklampsia

III.1.2 DIAGNOSIS BANDING1

Diagnosis banding dari kejang pascapartum adalah:

Eklampsia pascapartum

23
Epilepsi
Hipoglikemia
Keracunan atau intoksikasi obat- obatan dan alkohol
Trauma kepala dan perdarahan intrakranial
Tumor otak
Hipertensi ensefalopati
Penyumbatan pembuluh darah otak
Meningitis, encefalitis, tetanus, atau infeksi HIV
Hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia atau hipernatremia
Uremia

III.1.3 TERAPI

Beberapa penelitian telah meneliti protokol terapi untuk mengatasi eklampsia, karena
pascapartum eklampsia tertunda dianggap sebagai subtipe dari eklampsia, terapi yang sama
dapat digunakan. 1

Prinsip- prinsip penatalaksanaan Eklampsia meliputi:2

1. pengendalian kejang menggunakan magnesium sulfat dalam dosis awal yang


diberikan secara intravena. Dosis awal ini dilanjutkan dengan infus magnesium
sulfat berkesinambungan
2. pemberian obat antihipertensi intermiten untuk menurunkan tekanan darah saat
dianggap terlalu tinggi sehingga berbahaya
3. penghindaran penggunaan diuretik kecuali terdapat edema paru yang nyata,
pembatasan pemberian cairan intravena kecuali terjadi kehilangan cairan yang
sangat banyak dan tidak menggunakan agen hiperosmotik
4. pelahiran janin untuk menyembuhkan

Magnesium sulfat untuk mengendalikan Kejang 2


Kejang eklamptik hampir selalu dicegah atau dihentikan oleh kadar magnesium dalam
plasma yang dipertahankan pada kisaran 4 hingga 7meq/L, 4-8-8,4 mg/dL, atau hingga 3,5
mmol/L.

24
Refleks patella menghilang jika kadar plasma mencapai 10 meq/L- sekitar 12mg/dL-
mungkin karena efek kuratiformis. Tanda ini merupakan peringatan akan terjadinya
keracunan magnesium. Jika kadar plasma meningkat melebihi 10 meq/L, pernafasan
melemah, dan pada kadar 12 meq/L terjadi paralisis pernafasan yang diikuti dengan henti
nafas. Terapi dengan kalsium glukonat atau kalsium klorida 1g intravena, disertai dengan
penghentian magnesium sulfat biasanya memulihkan depresi nafas ringan hingga sedang.
Untuk depresi nafas yang berat dan henti nafas, intubasi trakea segera dan ventilasi mekanis
dapat menyelamatkan jiwa.
Karena magnesium dibersihkan hampir seluruhnya oleh ekskresi ginjal, dosis yang
disebutkan tadi dapat terlalu besar jika filtrasi glomerulus menurun nyata. Dosis awal
magnesium sulfat sebesar 4g aman diberikan bagaimanapun kondisi ginjal pasien. Jadi
hanya laju infus rumatan yang boleh diubah bila terdapat penurunan laju filtrasi glomerulus.
Fungsi ginjal diperkirakan dengan mengukur kadar kreatinin dalam plasma. Jadwal
pemberian magnesium sulfat untuk preeklampsia berat dan eklampsia:2
Infus Intravena Kontinu
1. Berikan dosis awal magnesium sulfat sebsar 4 hingga 6 g yang diencerkan dalam
100 mL cairan IV dan diberikan selam 15 hingga 20 menit
2. Mulai infus rumatan 2g/ jam dalam 100 mL cairan IV. Beberapa ahli menganjurkan
dosis 1 g/ jam
3. Pantau toksisitas magnesium:
a. Periksa refleks tendon dalam secara berkala
b. Beberapa ahli mengukur kadar magnesium serum pada jam ke 4hingga 6 dan
menyesuaikan kecepatan infus untuk mempertahankan kadar magnesium
antara 4 dan 7 meq/L (4,8- 8,4 mg/dL)
c. Ukur kadar magnesium serum jika kadar kreatinin serum 1,0 mg/dL
4. Pemberian magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah awaitan kejang
Injeksi intramuskular intermiten
1. berikan 4g magnesium sulfat sebagai larutan 20% secara intravena dengan
kecepatan tidak melebihi 1g/ menit
2. lanjutkan segera dengan 10 g larutan magnesium 50%, separuhnya disuntikan
profunda di kuadran kanan luar kedua bokong menggunakan jarum ukuran 20

25
sepanjang 3 inci. (penambahan 1,0 mL lidokain 2% meminimalkan nyeri). Jika
kejang menetap setelah 15 menit, berikan kembali magnesium sulfat dalam
larutan 20% dengan dosis hingga 2g dan kecepatan tidak melebihi 1g/menit. Jike
perempuan tersebut bertubuh besar, dapat diberikan dosis hingga 4g secara
perlahan.
3. Setelah itu, tiap 4 jam, diberikan 5g larutan magnesium sulfat 50% yang
disuntikan profunda di kuadran kanan luar bokong kanan dan kiri secara
bergantian, tetapi dilakukan setelah memastikan:
a. Refleks patella positif
b. Respirasi tidak tertekan
c. Keluaran urin dalam 4 jam terakhir melebihi 100 mL
4. Magnesium sulfat dihentikan 24 jam setelah awaitan kejang

Tatalaksana Hipertensi
Beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengobati hipertensi pada pasien dengan
preeklampsia, eklampsia dan hipertensi pascapartum 1
Labetolol (20 mg diberikan secara intravena, 20-80 mg setiap 30 menit, diikuti
dengan 100-400 mg diminum oral 2- 3 kali setiap hari)
Nifedipine (5-10 mg diminum oral setiap 30 menit, diikuti oleh tablet 20- 60 mg
yang diminum oral sehari satu kali)
Hydralazine (5 mg bolud diberikan secara intravena , diikuti oleh 5- 10 mg setiap
30 menit)
Metildopa (250- 500 mg diminum oral, dua kali setiap hari atau 4 kali setiap hari
setelah melahirkan)

Bagi ibu yang meyusui obat labetolol, nifedipine dan metildopa aman digunakan. Terapi
antihipertensi dibutuhkan olah wanita yang memiliki preeklampsia selama 2 minggu
pascapartum dan bagi wanita yang memiliki hipertensi gestasional tanpa proteinuria obat
anti hipertensi diberikan selam 1 minggu setelah melahirkan. Target tekanan darah adalah
130-155 mmHg sistolik dan 80- 105 mm Hg diastolik untuk mereka yang tanpa gejala
penyerta lalu 130-139 mm Hg sistolik dan 80-89 mmHg untuk mereka dengan gejala
penyerta.1

26
III.1.4 PROGNOSIS

Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia. Kriteria Eden antara
lain:
1. koma yang lama (prolonged coma)
2. nadi diatas 120
3. suhu 39,4C atau lebih
4. tekanan darah di atas 200 mmHg
5. konvulsi lebih dari 10 kali
6. proteinuria 10 g atau lebih
7. tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas ringan; bila
dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan lebih buruk.
Tingginya kematian ibu dan bayi di negara-negara berkembang disebabkan oleh kurang
sempurnanya pengawasan masa antenatal dan natal. Penderita eklampsia sering datang terlambat
sehingga terlambat memperoleh pengobatan yang tepat dan cepat. Biasanya preeklampsia dan
eklampsia murni tidak menyebabkan hipertensi menahun.

III.2. MEMAHAMI DAN MENJELASKAN PERIPARTUM CARDIOMIOPATI

III.2.1 DEFINISI

Dilated Cardiomyopathy (DCM) adalah dilatasi dan gangguan kontraksi dari ventrikel
kiri maupun kedua ventrikel. Disebabkan oleh familial genetik, virus, dan/ atau imun, toksisitas
alkohol, atau faktor faktor yang tidak diketahui atau yang berhubungan dengan penyakit
kardiovaskuler yang diketahui.
Salah satu bentuk dari dilated cardiomyopathy (DCM) pada kehamilan adalah peripartum
cardiomyopathy (PPCM).
PPCM adalah salah satu bentuk DCM yang etiologinya tidak diketahui dan memenuhi
kriteria sebagai berikut :6

Terjadi pada bulan terakhir kehamilan atau sampai 5 bulan setelah persalinan

27
Tidak adanya penyakit atau kelainan jantung sebelum bulan terakhir dari kehamilan
Tidak adanya kondisi-kondisi yang teridentifikasi dapat menyebabkan gagal jantung
Adanya disfungsi sistolik dari ventrikel kiri yang dapat ditunjukkan oleh
echocardiography seperti adanya penurunan fraksi ejeksi

III.2.2 EPIDEMIOLOGI

Insidensi PPCM secara keseluruhan adalah sebanyak 1 dari 1500-4000 kelahiran hidup.
Sedangkan di Amerika Serikat sebesar 1 setiap 1300-15000 kelahiran hidup. Di Jepang sebesar 1
dari 6000 kelahiran hidup, di Afrika Selatan sebesar 1 dari 1000 kelahiran hidup dan 1 dari 350-
400 kelahiran hidup di Haiti. 6

PPCM berhubungan dengan beberapa faktor resiko seperti: umur ibu yang tua,
multiparitas, kehamilan multipel, dan ras kulit hitam terutama ras Afrika Amerika.6

III.2.3 ETIOLOGI

Etiologi dari PPCM sampai sekarang masih belum jelas, banyak kemungkinan penyebab yang
dkemukakan seperti misalnya:

Familial, DCM ditransmisikan sebagai gen autosomal resesif,autosomal dominan, X-


linked atau matrilinear (mitochondrial) trait.
Myocarditis biasanya disebabkan oleh virus
Respons imun yang abnormal pada kehamilan
Setelah melahirkan akan terjadi degenerasi dari uterus dimana akan terjadi
fragmentasi dari tropokollagen oleh enzym kolagenolitik yang menghasilkan aktin,
myosin dan metabolitnya. Ibu akan membentuk antibodi terhadap hasil fragmentasi
tersebut dan kadangkala terjadi reaksi silang dengan otot jantung.
Respons maladaptif terhadap perubahan hemodinamik pada kehamilan
Perubahan hemodinamik pada kehamilan akan menyebabkan transient hipertropi
pada otot jantung. Pada akhir kehamilan, akan terjadi penurunan dari fungsi sistolik yang
akan berlanjut ke masa postpartum yang kemudian akan kembali seperti pada saat

28
sebelum hamil. Apabila tejadi penurunan fungsi sistolik yang berlebihan, maka dapat
menyebabkan terjadinya PPCM.
Produksi sitokin tertentu pada kehamilan

III.2.4 GEJALA KLINIS


Pada anamnesa akan didapatkan bahwa gejala-gejala timbul pada bulan terakhir pada
kehamilan dan tidak pernah muncul sebelumnya. Keluhan yang dapat timbul seperti:
Kelelahan
Dyspnoe deffort
Oedem perifer
Orthopnoe
Paroxysmal nocturnal dyspnoe

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :


Tachypnoe
Tachycardia
Sianosis
Peningkatan JVP
Ronchi paru
Gallop S3
Pembesaran hepar
Oedem perifer
Dapat kita perhatikan bahwa gejala-gejala pada PPCM hampir sama dengan DCM, oleh
karena itu seringkali terjadi salah diagnosa dimana penyakit yang diderita pasien sebenarnya
adalah DCM yang tidak terdiagnosa pada awal kehamilan atau bahkan mungkin penyakit jantung
lainnya. Oleh karena itu untuk mendiagnosa PPCM dengan benar kita harus yakin kalau gejala-
gejala di atas baru timbul pada bulan terakhir kehamilan atau setelah persalinan.

29
III.2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis dari PPCM tidak berbeda dengan DCM, selain anamnesa dan pemeriksaan
fisik dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
seperti EKG, Echocardiography, X-ray dada, dll. Hasil yang didapat sama dengan pada DCM.

III.2.6 TERAPI GAGAL JANTUNG PADA IBU HAMIL DAN MENYUSUI

Pada ibu yang sedang menyusui, kadar obat yang terdapat pada air susu ibu biasanya
ditunjukkan dengan perbandingan kadar obat dalam plasma dengan kadar obat dalam air susu
ibu. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh adalah kelarutan obat dalam lemak, Protein-binding
capacity dari obat, dan pH dari obat dapat berpengaruh.7

-Adrenergic Blockers
Hasil data pemakaian -adrenergic blocker pada kehamilan masih sangat terbatas karena
obat ini biasanya digabung dengan -adrenergic blocker. Pemakaian gabungan kedua obat
ini tidak meberikan efek samping pada janin. Efek samping dari pemakaian obat-obat ini
pada laktasi belum diketahui.8
-Agonist
Metildopa dianggap sebagai obat lini pertama yang paling aman digunakan untuk ibu hamil
dengan kelainan jantung atau hipertensi. Penelitian untuk obat ini sudah dilakukan secara
luas, anak yang lahir dari ibu yang menerima metildopa pernah terus di follow up sampai
usia 7 tahun tanpa menunjukkan gejala abnormalitas apapun. -agonist lain yang dapat
dipakai adalah clonidin, keduanya telah diselidiki dan aman digunakan pada kehamilan.
Metildopa dan clonidin diekskresikan di air susu ibu namun tidak menimbulkan gejala
apapun pada bayi.
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors dan Receptor Blocker
ACE inhibitor seperti captopril, enalapril, lisinopril, fosinoprol, quinapril, benazepil, dan
yang lainnya dapat dengan cepat menembus barier plasenta dan berhubungan dengan
kematian janin, oligohidramnion, BBLR, kelainan osifikasi kranium, dan gagal ginjal pada
neonatal. Karena itu ACE inhibitor tidak disarankan tuntuk dipakai pada kehamilan. Hal
yang serupa juga berlaku untuk ARB seperti losartan, valsartan, irbesartan, dan obat-pbat
ARB baru lainnya. Konsentrasi dari captopril pada air susu ibu sangat rendah.

30
Obat Antiaritmia
Quinidine dapat melewati barier plasenta meskipun demikian masih dianggap pada
kehamilan, namun pernah dilaporkan adanya trombositopenia dan ototoksik pada janin
dengan pemakaian dosis terapi. Dosis yang berlebihan dapat menyebabkan kelahiran
prematur atau bahkan kematian janin. Quinidine diekskresikan dalam jumlah sedang pada
air susu ibu, namun kuantitas yang diserap oleh bayi biasanya tidak menimbulkan efek-efek
yang berbahaya kecuali apabila bayi masih prematur dimana kerja hepar belum sempurna
sehingga terdapat penumpukan quinidine.
-Adrenergic Blocker dan Kombinasi - Blocker3
-adrenergic blocker dapat ditoleransi dengan baik pada kehamilan, namun pernah
dilaporkan adanya IUGR apabila digunakan pada kehamilan awal. Bradikardia janin,
hipoglikemia neonatal, apnoe, dan hiperbilirubinemia juga pernah ditemukan . Atenolol,
metoprolol, dan propanolol sudah dipakai secara luas dalam kehamilan.
Perlu diperhatikan bahwa adanya sitmulasi fisiologis ataupun farmakologis dari reseptor
2-adrenergic dapat menyebabkan adanya relaksasi otot-otot uterus. Oleh karena itu lebih
baik menggunakan selektif 1-adrenergic blocker seperti atenolol atau metoprolol untuk
menghindari rangsangan pada uterus yang dapat timbul apabila non selektif -adrenergic
blocker seperti propanolol dipakai.
Kombinasi dari - dan -adrenergic blocker seperti labetolol sangat berguna dan dapat
ditoleransi dengan baik pada kehamilan. Meskipun penggunaannya menurunkan tekanan
adrah ibu namun aliran darah uteroplasental tidak berkuirang. Pada percobaan dengan
binatang, penggunaan labetolol tidak memiliki efek samping pada denyut jantung janin
ataupun tekanan darah janin.
-blocker diekskresikan dengan cukup banyak pada air susu ibu dan kadarnya lebih tinggi
dari kadar di plasma. Karena itu pada ibu menyusui yang menggunakan -blocker, perlu
diperhatikan adanya potensi efek samping pada bayi berupa bradikardi dan somnolen.
Calcium Channel Blockers
Penelitian mengenai penggunaan calcium channel blocker masih cukup terbatas. Namun
ada cukup banyak bukti yang menunjukkan penggunaan calcium channel blocker cukup
aman pada kehamilan. Calcium channel blocker atau calcium antagonis terbagi menjadi 4
grup :

31
Dihidropiridine (nifedipine)
Papaverine (verapamil)
Benzothiazepine (diltiazem)
Tetralol (mibefradil)
Pada percobaan dengan binatang, hampir tidak didapatkan adanya kelainan
kardiovaskular pada janin setelah terpapar oleh keempat grup dari calcium channel blocker
tersebut.
Perlu diingat bahwa penggunaan calcium channel blocker juga dapat menyebabkan
relaksasi dari uterus karena ini sebaiknya tidak dipakai pada saat mendekati partus karena
dapat menyebabkan perdarahan post partum.
Calcium channel blocker hanya diekskresikan dalam dosis rendah pada air susu ibu,
dengan demikian cukup aman digunakan pada laktasi, kecuali untuk mibefradil, pernah
dilaporkan adanya kelainan kongenital aorta pada bayi binatang percobaan setelah
penggunaan mibefradil pada induknya saat hamil.

Diuretik
Diuretik biasanya tidak digunakan pada kehamilan karena efeknya yang megurangi
volume darah ibu sehingga akan mengganggu nutrisi, oksigenasi, dan pertumbuhan janin.
Timbulnya hipokalemia, hiponatremi, dan trombositopenia pada janin juga pernah
dilaporkan3
Diuretik dapat mengurangi menurunkan produksi asi pada masa laktasi karena itu
penggunaannya dihindari saat laktasi.

Obat Inotropik
Obat inotropik seperti digoxin dapat menembus barier plasenta bahkan konsentrasi pada
janin dapat sama seperti pada plasma ibu. Penggunaan digoxin pada kehamilan dinilai aman,
hanya saja karena pada kehamilan tubuh juga memproduksi beberapa bahan yang berfungsi
seperti digoxin maka konsentrasi pada plasma sulit dinilai.Digoxin juga aman digunakan
pada laktasi
Obat-obat inotropik intravena seperti dopamin, dobutamin, amrinone, milrinone,
ephinephrine, dan norpephineprine dapat berbahaya karena dapat mengurangi aliran darah

32
plasenta dan menstimulasi kontraksi uterus. Karena itu obat-obat tipe ini harus digunakan
dengan sangat hai-hati dan hanya digunakan pada kondisi darurat.
Nitrat dan Vasodilatator
Nitrat dapat diugnakan dengan aman pada kehamilan meskipun nitrat bukan merupakan obat
gagal jantung yang cukup baik, namun efek vasodilatatornya dapat berguna untuk
preeklampsi dan IUGR. Pasien yang menggunakan nitrat perlu diawasi agar tidak terjadi
hipotensi karena dapat membahayakan janin. Penggunaan nitrat pada laktasi belum diselidiki
dengan baik.
Antiloagulan dan Antiplatelet
Penggunaan antikoagulan seperti warfarin (coumadin) pada semester pertama dapat
menyebabkan timbulnya embryopathy, perdarahan janin, malformasi, dan warfarin juga
bersifat teratogenik seperti hypoplasia hidung, artropi optik, katarak, deformitas, saddle
nose, tubuh pendek, dan retardasi mental. Karena resiko terjadinya embryopathy maka
warfarin sering diganti dengan heparin karena heparin tidak menembus barier plasenta
namun efeknya tidak sekuat warfarin. Menjelang persalinan heparin tidak boleh diberikan
lagi karena bahaya perdarahan. Sehari setelah persalinan pengobatan boleh dilanjutkan lagi.
Penggunaan antiplatelet seperti aspirin dengan dosis rendah terbukti dapat membantu
untuk mengatasi hipertensi atau infark myocardial pada kehamilan dan tidak memberikan
efek samping kepada janin seperti perdarahan atau penutupan prematur dari dari duktus
asteriosus karena adanya inhibisi prostaglandin.

33
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Val E. Ginzburg, Bryan Wolff. Headache and seizure on postpartum day 5: late
postpartum eclampsia. February 17,2009. Retrieved July 22, 2013 from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2638033/
2. Bloom SL, Cunningham GF, Gilstrap LC, Hauth JC, Leveno KJ, Wenstrom KD,
Hipertensi dalam Kehamilan, Dalam: Obstetri Williams, Edisi ke-23 jilid 2. Jakarta:
EGC: 2009: Bab 34: 740-748
3. http://www.ebmonline.org/cgi/content/full/222/3/222
4. Mabie WC, Reynolds C, Sibai BM, Hypertensive States of Pregnancy, Dalam: Current
Obstetric & Gynaecologic Diagnosis & Treatment, Edisi ke-9, DeCherney AH, Nathan
L, penyunting. New York: Mc Graw Hill, 2003: 338-353
5. Decherney Alan, Nathan Lauren. Hypertensive States of Pregnancy in: Current Obstetric
& Gynecologic Diagnosis & Treatment. 8th edition. USA. McGraw Hill Companies, Inc.
1994. 380 395
6. Carson M, Jacob DE. Peripartum Cardiomyopathy. November 2, 2005. retrieved August
1, 2006 from http://www.emedicine.com/med/topic292.htm
7. Prawirohardjo S. Penyakit Kardiovaskular. dalam: Ilmu Kandungan. Edisi ke-5.
Winkjosastro H, Saiffudin AB, Rachimhadhi T. penyunting. Jakarta: Tridasa Printer;
1999: 429-47
8. Glaser T, Setaro F, Pregnancy and Cardiovascular Disease. in : Medical Complications
During Pregnancy. 5th edition. Burrow G, Duffy T, ed. Philadelphia: W.B. Saunders
Company. 1999 : 111-29

34
35
36
37

You might also like