You are on page 1of 9

EUTANASIA

<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan


thanatos. Kata eu berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti
mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan mati dengan baik
tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa


penderitaan, maka dari itu dalam mengadakan euthanasia arti
sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun untuk
mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang
menghadapi kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia
tidaklah bertentangan dengan panggilan manusia untuk mempertahankan
dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak menjadi persoalan
dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia


lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan,
maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat
diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari
euthanasia yang kini maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar
pilihan rasional seseorang, sehingga banyak masalah yang ditimbulkan
dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks karena definisi
dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.

Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep


kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi
antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta
teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.

Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti pembunuhan tanpa


penderitaan (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap
penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk
bisa sembuh. Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara
harfiah akan memiliki arti mati baik. Di dalam bukunya seorang penulis
Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai mati
cepat tanpa derita. Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan
Dokter Belanda) menyatakan: Euthanasia adalah perbuatan dengan
sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup
seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek
atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus
untuk kepentingan pasien itu sendiri.
<!--[if !supportLists]-->B. <!--[endif]-->Jenis-Jenis Euthanasia

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Euthanasia ditinjau dari Pemberian Izin :

1. Eutanasia di luar kemauan pasien, Suatu tindakan


eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si
pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam
ini dapat disamakan dengan pembunuhan, dan
pelakunya dapat dikenakan ancaman tindakan pidana.
2. Eutanasia secara tidak sukarela, Eutanasia semacam ini
adalah yang seringkali menjadi bahan perdebatan dan
dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh
siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang
tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil
suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang
wali dari si pasien. Namun disisi lain, si pasien sendiri
tidak memungkinkan untuk memberikan ijin
dikarenakan kondisinya, misalnya sipasien koma atau
tidak sadar.
3. Eutanasia secara sukarela, Dilakukan atas persetujuan si
pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal
kontroversial. Beberapa Negara memberikan ijin untuk
eutanasia tipe yang ketiga ini, misalnya Belanda, namun
beberapa yang lain menganggapnya sebagai tindakan
bunuh diri yang dibantu, sehingga tetap melanggar
hukum.
<!--[if !supportLists]-->

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Euthanasia ditinjau dari Sudut Cara


Pelaksanaan

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Eutanasia agresif

Disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja


yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif
dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik
secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa
mematikan tersebut adalah tablet sianida.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Eutanasia non agresif

Kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)


digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang
pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima
perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan
secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis
tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik
eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Eutanasia pasif

Dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang


tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang
hidup pasien secara sengaja.

Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan bantuan


oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak
memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan
tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin
yang disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia
pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah
sakit. Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis
maupun pihak keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya
akibat keputusasaan keluarga karena ketidaksanggupan menanggung
beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien yang
tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari
pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun
akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah
sebagai upaya defensif medis.

<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Dilihat dari orang yang membuat keputusan
euthanasia dibagi menjadi:
1. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan
adalah orang yang sakit.
2. Involuntary euthanasia, jika yang membuat
keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga
atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
<!--[if !supportLists]-->

<!--[if !supportLists]-->C. <!--[endif]-->Tinjauan etis terhadap euthanasia

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Dari segi filosofis

Persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi


dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri
secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana
ia akan mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat
diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi
manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan
matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri
hidupnya jika ia menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang
tidak berguna. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung
euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien terminal:
the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai akhir
hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.
Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau
bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya,
sekaligus memungkinkan kematian yang baik, tanpa penderitaan yang
tidak perlu.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Tinjauan Hukum.

Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang
terdapat dalam KUHP Pidana.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Tinjauan Hak Asasi.

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Tinjauan Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan


keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau
pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir
tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan
haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang
dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan,
keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Tinjauan Agama.


Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak
ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang
atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli
agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.
Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak
Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia,
walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan.

<!--[if !supportLists]-->D. <!--[endif]-->Euthanasia menurut hukum di berbagai


Negara

Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia


serta ditoleransi di Negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss
dan dibeberapa Negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol,
Jerman dan Denmark termasuk di Indonesia.

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Euthanasia di Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang


yang mengizinkan euthanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif
berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi
Negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik euthanasia. Pasien-
pasien yang mengalami sakit menahun dan tidak dapat disembuhkan lagi,
diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan,
bahwa dalam KItab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan
bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para
dokter untuk melapor semua kasus euthanasia dan bunuh diri
berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya. Pada tahun 2002,sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang Belanda, dimana seorang dokter
yang melakukan euthanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan
dihukum.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Euthanasia di Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama


di dunia dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri
berbantuan, meski reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995
Northern Territory menerima UU yang disebut Right of the terminally ill
bill (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa
kali dipraktikkan, tetapi bulan maret 1997 ditiadakan oleh keputusan
Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali. Dengan demikian
menurut aturan hukum di Australia, tindakan euthanasia tidak dibenarkan.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Euthanasia di Belgia


Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir
September 2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan
tindakan eutanasia setiap tahunnya telah dilakukan sejak
dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul
suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan birokrasi kematian. Belgia
kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda
dan negara bagian Oregon di Amerika ). Senator Philippe Mahoux, dari
partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-
undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita
secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak
penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-
saat akhir hidupnya.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Euthanasia di Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di


Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya
secara eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin
lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon,
yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya
eutanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas
(Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya
menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Euthanasia di Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga


negara Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan
memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan
sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa membantu
suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan
melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri
sendiri. Pasal 115 tersebut hanyalah menginterpretasikan suatu izin
untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang dapat
digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Euthanasia di Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan


Britania Raya (Britains Royal College of Obstetricians and Gynaecologists)
mengajukan sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield
Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan
eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di
Inggris melainkan semata guna memohon dipertimbangkannya secara
saksama dari sisi faktor kemungkinan hidup si bayi sebagai suatu
legitimasi praktek kedokteran.
<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Euthanasia di Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu


perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344, 338, 340, 345,
Undang-undang Hukum Pidana. Dari ketentuan tersebut, ketentuan yang
berkaitna langsung dengan euthanasia aktif terdapat pada pasal 344
KUHP.

1. Pasal 344 KUHP, barang siapa menghilangkan jiwa orang


lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara
selama-lamanya dua belas tahun.Untuk euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah
ini perlu diketahui oleh dokter.
2. Pasal 338 KUHP , barang siapa dengan sengaja
menhilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati,
dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
3. Pasal 340 KUHP, Barang siapa yang dengan sengaja dan
direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain,
di hukum, karena pembunuhan direncanakan (moord),
dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur
hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh
tahun.
4. Pasal 359, Barang siapa karena salahnya menyebabkan
matinya orang, dihukum penjara selama-lamanya lima
tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
<!--[if !supportLists]-->

Selanjutnya juga dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang


mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus
euthanasia.

<!--[if !supportLists]-->E. <!--[endif]-->Praktik Euthanasia di berbagai Negara di dunia

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Florida

Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara


bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin
mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan
pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada
tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya,
Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim
medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup
lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat
kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu
disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya.
Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus
membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak
menemukan kondisi yang membahayakan ini pada pasiennya.Setelah Terri
Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan
Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan
permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya
bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Belgia

Nathan Verhelst terlahir wanita dengan nama Nancy. Dia selalu merasa
berbeda dan mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi pria. Semenjak tahun
2009, dia memutuskan untuk menjalani terapi hormon yang nantinya akan
mengubahnya menjadi pria. Namun operasi itu tidak berhasil. Dia mengalami sakit
yang luar biasa pada bagian dada dan alat kelaminnya tidak terbentuk secara
sempurna. Dia merasa menjadi monster karena hal ini. Nathan yang putus asa
akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melakukan suntik euthanasia.
Proses bunuh diri dengan suntik mati ini memang menjadi hukum yang legal di
Belgia. Seorang dokter dipilih oleh Nathan karena memang pernah melakukan hal
yang sama terhadap seorang kembar yang menderita kanker. Dokter tersebut
mengabulkan permintaan Nathan. Nathan menghembuskan nafas terakhirnya di
tangan dokter dengan pilihan suntik mati tersebut.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Korea

Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang
terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat,
seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu
pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada
Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk
memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan
melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park
mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak
dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum
meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang
telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa
walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat
bertahan hidup selama 24 jam saja.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Swiss

Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau euthanasia.


Disaksikan keluarganya, ia menenggak obat mematikan di satu klinik
di Swiss. Proses menuju kematian itu, disiarkan oleh televisi BBC.
Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley
berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan
lagi. Pemilik hotel ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu
dengan cara meminum obat mematikan. Niatnya itu bisa terlaksana
karena di negaranya, Swiss, euthanasia tidak terlarang. Ia pun meminta
dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat
mematikan, barbituates.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Amerika

Topic euthanasia menghangat di Amerika Serikat selama


persidangan jack Kevorkian di akhir tahun 1990-an, dokter tersebut
mengaku telah membantu setidaknya 130 orang pada tahun 1990-1998.

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Jepang

Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu


di Nagoya pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia
pasif", (shkyokuteki anrakushi) Kasus yang satunya lagi terjadi setelah
peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan
sebagai "eutanasia aktif " (, sekkyokuteki anrakushi).

<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Australia

Pada tanggal 22 Mei 2002, Nancy Crick, seorang nenek berusia 69


tahun yang tinggal di Australia Gold Coast bunuh diri dengan minum
koktail mematikan barbiturates.satu bulan sebelumnya, Nancy telah
meminta kepada pemerintah untuk euthanasia namun tuntutannya tidak
dipenuhi.

<!--[if !supportLists]-->8. <!--[endif]-->Indonesia

Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22


Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma
karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli,
33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan
suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu
contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini
akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

You might also like