Professional Documents
Culture Documents
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Dilihat dari orang yang membuat keputusan
euthanasia dibagi menjadi:
1. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan
adalah orang yang sakit.
2. Involuntary euthanasia, jika yang membuat
keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga
atau dokter karena pasien mengalami koma medis.
<!--[if !supportLists]-->
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan
dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja
menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter
selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli
apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan
sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui
pengobatannya. Di lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi
seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan
bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita
tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang
terdapat dalam KUHP Pidana.
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan
sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang
untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya
dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak
langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.
Nathan Verhelst terlahir wanita dengan nama Nancy. Dia selalu merasa
berbeda dan mempunyai keinginan yang kuat untuk menjadi pria. Semenjak tahun
2009, dia memutuskan untuk menjalani terapi hormon yang nantinya akan
mengubahnya menjadi pria. Namun operasi itu tidak berhasil. Dia mengalami sakit
yang luar biasa pada bagian dada dan alat kelaminnya tidak terbentuk secara
sempurna. Dia merasa menjadi monster karena hal ini. Nathan yang putus asa
akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melakukan suntik euthanasia.
Proses bunuh diri dengan suntik mati ini memang menjadi hukum yang legal di
Belgia. Seorang dokter dipilih oleh Nathan karena memang pernah melakukan hal
yang sama terhadap seorang kembar yang menderita kanker. Dokter tersebut
mengabulkan permintaan Nathan. Nathan menghembuskan nafas terakhirnya di
tangan dokter dengan pilihan suntik mati tersebut.
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang
terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat,
seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu
pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada
Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk
memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan
melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park
mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak
dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum
meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang
telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa
walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat
bertahan hidup selama 24 jam saja.