You are on page 1of 13

BRONKIEKTASIS

A. Definisi
Bronkiektasis merupakan pelebaran menetap dari bronkus dan
bronkiolus akibat kerusakan otot dan jaringan elastik penunjang,
disebabkan atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronis (Maitra &
Kumar, 2007 ).
Bronkiektasis bukan merupakan penyakit primer, tetapi lebih
merupakan akibat obstruksi atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh
berbagai penyebab. Jika sudah terbentuk, bronkiektasis akan menimbulkan
kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum
purulent dalam jumlah yang besar ( Maitra & Kumar, 2007 ).
Bronkiektasis adalah pelebaran bronkus yang disebabkan oleh
kelemahan dinding bronkus yang sifatnya permanen. Diagnosis
bronkiektasis dibantu dengan pemeriksaan bronkografi, tapi akhir-akhir ini
bronkografi jarang dilakukan dan digantikan dengan pemeriksaan High
Resoluted Computed Tomography ( HRCT ). Bronkiektasis sering
dikategorikan penyakit infeksi saluran pernapasan dengan diagnosis
bronkiektasis terinfeksi ( Djojodibroto, 2009 ).
B. Epidemiologi
Bronkiektasis adalah penyebab kematian yang sangat penting pada
Negara-negara berkembang. Di Negara maju seperti AS, bronkiektasis
mengalami penurunan sesuai dengan kemajuan pengobatan. Prevalensi
bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosial ekonomi
yang rendah ( Emmons, 2007 ).
Di Amerika Serikat, bronkiektasis bukan merupakan penyakit yang
umum. Tetapi jumlah penyakit bronkiektasis di Amerika Serikat biasanya
berkaitan dengan infeksi mycobacteria atau faktor lingkungan yang lain
yang dilaporkan meningkat ( Emmons, 2013 ).
C. Etiologi
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan bronkiektasis, antara lain
(Emmons, 2013):

1
1. Infeksi Primer
Bronkiektasis dapat disebabkan oleh bermacam-macam
infeksi nekrosis yang tidak mendapatkan pengobatan secara
adekuat. Infeksi primer merupakan penyebab umum dari
bronkiektasis di negara berkembang, dan biasanya penggunaan
antibiotik juga tidak konsisten. Ada beberapa bakteri yang dapat
menyebabkan bronkiektasis, antara lain Klebsiella species,
Staphylococcus aureus, Mycobacterum tuberculosis,
Mycoplasma pneumonia, Mycobacterium nontuberculosis,
measles virus, pertussis virus, influenza virus, dan herpes
simplex virus.
2. Obstruksi Bronkial
Focal postobstructive bronchiectasis dapat terjadi dalam
beberapa keadaam klinis, misal right-middle lobe syndrome, yang
merupakan tipe spesifik dari obstruksi bronkial yang dapat
menyebabkan bronkiektasis.
3. Aspirasi
Pada orang dewasa, aspirasi benda asing biasanya berasal
dari lambung, seperti makanan, asam peptida dan
mikroorganisme. Setelah aspirasi, pneumonia postobstruksi dapat
terjadi dengan perkembangan menjadi bronkiektasis.
Bronkiektasis juga dapat terjadi pada keadaan aspirasi kronik.
4. Fibrosis Kistik
Fibrosis kistik adalah kelainan multisistem yang
mempengaruhi sistem transport klorida pada jaringan eksokrine.
Hal ini terjadi karena defisiensi protein Cystic Fibrosis
Transmembrane Regulator ( CFTR ). Bronkiektasis adalah hal
yang umum ditemukan pada fibrosis kistik.
5. Defek anatomi kongenital
Defek anatomi kongenital yang dapat menyebabkan
bronkiektasis antara lain Williams-Campbell syndrome, Mounier-

2
Kuhn syndrome, Swyer-James syndrome dan Yellow-nail
syndrome.
6. Defisiensi Alpha1-antitripsin
Patogenesis bronkiektasis masih belum jelas, tapi diyakini
bahwa defisiensi hormone ini dapat menyebabkan pasien lebih
rentan terhadap infeksi saluran napas dan menyebabkan rusaknya
bronkus.
7. Paparan Gas Beracun
Paparan terhadap gas beracun dapat menyebabkan
kerusakan bronkus yang ireversibel dan bronkiektasis kistik.
Agen yang terlibat antara lain gas klorin dan ammonia.
D. Faktor Risiko
Faktor risiko dari bronkiektasis antara lain masalah kongenital atau
penyakit yang didapat, yang mempengaruhi paru atau saluran napas,
misalnya infeksi yang disebabkan oleh bakteri ( Sachdev, 2013 ).
E. Tanda dan Gejala
Hampir semua pasien dengan bronkiektasis memiliki batuk dan
produksi sputum kronis. Dahak bersifat lendir, mukopurulen, tebal, ulet,
atau kental. hemoptisis berlebihan juga dapat diakibatkan oleh kerusakan
saluran napas erosif yang disebabkan infeksi akut. 75 % pasien mengalami
dyspnea dan mengi. Nyeri dada pleuritik terjadi pada 50 % pasien yang
mempelihatkan adanya saluran udara perifer buncit atau pneumonitis distal
berdekatan dengan permukaan pleura visceral. Selain itu bunyi nafas
adventif pada pemeriksaan fisik dada, demam >38,0c, malaise, kelelahan,
lethargy ( Barker, 2005 ).
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol.
Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat
ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum
dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi
infeksi berulang sputum menjadi purulent dengan bau yang tidak
sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk

3
membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang
kurang dari 10 ml digolongkan sebagai bronkiektasis ringan,
sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai
bronkiektasis moderat, dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan
sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya
bronkiektasis diklasifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada
pasien fibrokistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak
disbanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya (Emmons,
2007).
b. Hemoptisis terjadi pada 56%-92% pasien dengan bronkiektasis.
Hemoptisis mungkin terjadi massif dan berbahaya bila terjadi
perdarahan pada arteri bronkial. Hemoptisis biasanya terjadi pada
bronkiektasis kering, walaupun angka kejadian dari bronkiektasis
tipe ini jarang ditemukan (Emmons, 2007).
c. Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis
tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi
pada pasien dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada
gambaran radiologisnya (Emmons, 2007).
d. Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalannafa
s yang diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea,
ini juga mungkin merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma
(Emmons, 2007).
e. Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada
46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat
sekunder pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi
akut (Emmons, 2007).
f. Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan
bronkiektasis yang berat. Hal ini terjadi akibat peningkatan
kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk
dan pembersihan sekret pada jalan nafas. Namun, pada umumnya
semua penyakit kronik disertai dengan penurunan berat badan
(Emmons, 2007).

4
g. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang (Emmons,
2007).
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Foto thorax
Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis
dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini:
(1) Ring shadow
Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran
(dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih
bayangan cincin sehingga membentuk gambaran honeycomb
appearance atau bounches of grapes. Bayangan cincin
tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus
(Kusuma, 2006).

Gambar 1. Tampakan foto thorax penderita bronkiektasis


Sumber: (Kusuma, 2006)

(2) Tramline shadow

5
Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru.
Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih
dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam.
Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada
daerah parahilus yang sebenenarnya terlihat lebih tebal dan
bukan pada daerah parahilus ( Kusuma, 2006 ).
(3) Tubular shadow
Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya
mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan
bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang
ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis
(Sutton, 2003).
(4) Glove finger shadow
Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus
yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan (Sutton,2003).
b. Bronkografi
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian
media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai
posisi ( AP, Lateral, Oblik ). Pemeriksaan ini selain dapat
menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat meentukan bentuk-
bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris
(tubulus, fusiformis), sakuler (kistik), dan varikosis (Kusuma,
2006).
Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita
bronkiektasis yang akan dilakukan pembedahan pengangkatan
yang menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis
yang akan diangkat ( Kusuma, 2006 ).
Pemeriksaan bronkogradi saat ini mulai jarang dilakukan
oleh karena prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi
pasien dengan gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap
kontras media ( Hassan, 2006 ).
c. CT-Scan thorax

6
CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan
penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis,
mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan
jalan nafas yang tidaj dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-
Scan resolusi yinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan
spesifitas sebesar 93% (Patel, 2005).
CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi
bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga
mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting
untuk menentukan apakah perlu dilakukan operasi (Patel,2005).

Gambar 2. CT scan thorax


Sumber ( Patel, 2005 ).
G. Patogenesis
Kelemahan dinding bronkus pada bronkiektasis dapat kongenital
ataupun didapat ( acquired ) yang disebabkan karena adanya kerusakan
jaringan. Bronkiektasis kongenital sering berkaitan dengan adanya
dekstrokardia dan sinusitis, jika ketika keadaan ini (bronkiektasis,
dekstrokardia dan sinusitis ) hadir bersamaan, keadaan ini disebut sebagai
sindrom Kartagener. Jika disertai pula dengan dilatasi trakea dan bronkus
utama maka kelainan ini disebut trakeobronkomegali (Djojodibroto, 2009).

7
Bronkiektasis yang didapat sering berkaitan dengan obstruksi bronkus.
Dilatasi bronkus mungkin disebabkan karena kerusakan dinding bronkus
akibat peradangan seperti pada penyakit endobronkial tuberkulosis.
Bronkiektasis non-tuberkulosis cenderung terjadi pada bagian paru yang
bergantung (dependent part) yang menyebabkan aliran drainase discharge
terhambat. Gaya berat menyebabkan akumulasi sputum sehingga infeksi
dan supurasi lebih mudah terjadi ( Djojodibroto, 2009 ).
H. Patofisiologi

Gambar 3. Patofisiologi Bronkiektasis


Sumber ( Barker, 2005 ).

I. Gambaran Histopatologi dan Penjelasan

8
Gambar 4. Gambaran Histopatologi bronkiektasis
Sumber ( Damjanov, 2010)
Terdapat beberapa perubahan morfologi yang dapat terjadi pada
bronkiektasis, antara lain (Damjanov, 2010):
a. Dinding bronkus
Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan
berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan
ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering
ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta
terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami
kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen
elastis.
b. Mukosa bronkus
Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia
pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia
skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila
terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi
pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan.

9
Gambar 5. Perubahan mukosa pada bronkiektasis
Sumber (Damjanov, 2010)
c. Jaringan paru peribronkial
Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan
antara 17 lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis
apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat,
jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti jaringan fibrotik
dengan kista-kista berisi nanah.
J. Terapi Lama
Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok, yaitu
(Rahmatullah, 2009):
1. Pengobatan konservatif
a. Pengelolaan umum, meliputi
1) Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi
pasien.
2) Memperbaiki drainase sekret bronkus.
3) Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan
pemberian antibiotik.
b. Pengelolaan khusus
1) Kemoterapi pada bronkiektasis.
2) Drainase sekret dengan bronkoskopi.
2. Pengobatan simtomatik
a. Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat
bronkodilator.
b. Pengobatan hipoksia, dengan pemberaian oksigen.
c. Pengobatan Hemoptisis misalnya dengan obat-obat
hemostatik.
d. Pengobatan demam, dengan pemberian antibiotik dan
antipiretik.
K. Terapi Baru

10
Baru-baru ini bsa dilakukan pengobatan pembedahan untuk
bronkiektasis.Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi)
segmen atau lobus yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis
yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-
tindakan konservatif yang adekuat, selain itu juga pada pasien
bronkiektasis terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau
hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis
masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi (Rahmatullah, 2001).
L. Komplikasi
Beberapa penyakit yang bisa enjadi komplikasi dari bronkiektasis
antara lain (Underwood, 2000):
a. Pneumonia
b. Empiema
c. Septicemia
d. Meningitis
e. Metastasis abses misalnya di otak
f. Pembentukan amiloid
Infeksi yang berulang dan radang menyebabkan berlanjutkan
nekrosis saluran nafas dan destruksi jaringan paru. Tergantung pada
perluasan pertumbuhan penyakit, dapat terjadi kor-pulmonale. Amiloidosis
sekunder dapat terjadi sistemik.
M. Prognosis
Prognosisnya tergantung dari berat ringannya serta luasnya
penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara
tepat (konservati ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis
penyakit (Rahmatullah, 2001).
Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek,
survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian karena penyakit
tersebut biasanya karena pneumonia, payah jantung kanan, empiema,
hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronchitis
kronik berat dan difus biasnya disabilitasnya yang ringan (Rahmatullah,
2001).

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Barker, AF. 2005. Bronchiectasis. N Engl J Med, Vol. 346, No. 18.
Available at: http://www.nejm.org ( Diakses pada: Maret 2013 )

2. Damjanov, Ivan. 2010. Buku Teks dan Atlas Berwarna Histopatologi.


Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Djojodibroto D. 2009. Respirologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

4. Emmons EE. 2007. Bronchiectasis. Available at:


http://www.emedicine.com (Diakses pada : Maret 2013 )

5. Emmons EE. 2013. Bronchiectasis. Available at:


http://emedicine.medscape.com/article/296961-overview ( Diakses pada:
Maret 2013 ).

6. Hassan I. 2006. Bronchiectasis. Available at: http://www.emedicine.com


(Diakses pada: Maret 2013 ).

7. Kusuma WK. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

8. Maitra A, Kumar V. 2007. Paru dan Saluran Napas Atas. Dalam: Kumar
V, Cotran RS, Robbins SL (eds). Buku Ajar Patologi Robbins.
Diterjemahkan oleh: Pendit BU. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9. Patel PR. 2009. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.

12
10. Rahmatullah P. 2009. Bronkiektasis. Dalam: Suyono AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

11. Sachdev P. 2013. Risk Factors of Bronchiectasis. Available at:


http://www.onlymyhealth.com/risk-factors-bronchiectasis-1313478369
(Diakses pada: Maret 2013).

12. Sutton D. 2011. Textbook of Radiology and Imaging Volume 1. Tottenham:


Churchillliving stone.

13. Underwood, JCE. 2010. Patologi Umum dan Sistematika . Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

14. Allsagaf, Hood, Abdul Mukti. 2012. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya : Airrlangga University Press

15. http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/brn/brn_treatments.html

16. Rahmatullah, Pasiyan. 2008. Bronkiektasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta : Balai Penerbit FK UI

17. Meschan I. Obstrictive Pulmonary Disease. Synopsis of Analysis of


Roentgen Signs in General Radiology. Philadelphia. 2010. hal 55-56

18. Kusumawidjaja K. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan


Ekayuda. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006. hal 108-115.

19. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Churchill


livingstone. Tottenham. 2009. hal 45, 163, 164 & 168.

20. Patel PR. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga. Jakarta. 2005.
hal 40-41

21. Eng P, Cheah FK. Interpreting Chest X-rays. Cambridge Univesrsity


Press. New York. 2009. hal 67-68.

22. Greif J. Medical Imaging in Patients with Cystic Fibrosis.


www.eradimaging.com. Last update Februari 2008.

13

You might also like