You are on page 1of 60

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kemoterapika Antibakteri di golongkan atas dasar mekanisme kerjanya dalam zat bakterisid dan zat bakteriasis.

Istilah antibiotika seering kali digunakan dalam erti luas dengan demikian tidak terbatas pada obat-obat antibakteri
yang dihasilkan fungi daan kuman (definisi dari Waksman untuk antibiotika 0melainkan juga untuk obat-obat
sintesis.Selanjutnya istilah tersebut dengan arti luas yang akan digunanakan dalam pemakaran makalah ini.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar kita sebagai mahasiswa keperawatan dapat mengetahui fungsi
serta kerja dari obat penisilin yang selanjutnya dapat diaplikasikan dalam praktek klinis serta untuk menambah ilmu pengetahuan.

1.3.Rumusan Masalah

Mengetahui Definisi dari Antimikroba

Mengetahui Pembuatan

Mengetahui Mekanisme Kerja

Mengetahui Aktivitas

Mengetahui Jenis-Jenis Antimikroba


BAB II

PEMBAHASAN

Antimikroba

2.1 DEFINISI

Antimikroba (L,anti = lawan,mikro = kecil ) Adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri,yang
memiliki fungsi khasiat kuman,sedangkan toksistasnya bagi manusia relative kecil.Turunan zat tersebut yang dibuat secara semi
sintesis termasuk kelompok ini,begitu pula senyawa sintesis dengan khasiat antibakteri lazimnya disebut antibiotika.kegiatan
antibiosis untuk pertama kalinya ditemukan secara kebetulan oleh dr.Alexander Fleming (Inggris,1928,penisilin ).Tetapi
penemuan ini baru dikembangkan dan digunakan pada permulaan perang Dunia II di tahun 1941,ketika obat-obat antibakteri
sangat diperlukan untuk menaggulangi infeksi dari luka-luka akibat pertempuran.

Kemudian,para peneliti diseluruh dunia memperoleh banyak zat lain dengan khasiat antibiotis.akan tetapi,berhubung
dengan sifat toksinnya bagi manusia,hanya disebagian kecil saja yang dapat digunakan sebagai obat.Akan tetapai berhubung
dengan sifat toksinnya bagi manusia,hanya sebagian kecil saja yang digunakan sebagai obat.yang terpenting diantaranya adalah
streptomisin(1994),kloramfenikol (1947),tetrasiklin (1948),eritromisin (1965) dan doksorubisin (1969),minosiklin (1972),dan
tobramisin (1974).

2.2 PEMBUANTANNYA

Lazimnya antibiotika dibuat secara mikrobiologi,yaitu fungi dibiakan dalam tangki besar bersama zat-zat gizi
khusus.Oksigen atau udara steril disalurkan kedalan cairan pembiakan guna mempercepat pertumbuhan fungi guna meningkatkan
produksi antibiotiknya.setelah diisolasi dari cairan kultur antibiotikum dimurnikan dan aktivitasnya ditentukan.

Antibiotika semisintesis :yaitu apabila pada persemaian (culture substrate )dibubuhi zat-zat pelopor tertentu,maka zat-
zat ini diinkorporisasi kedalam antibiotikum dasarnya.hasilnya disebut senyawa semisintesis disebut penisilin-V.

Antibiotika sintesis tidak dibuat lagi dengan jalan biosintesis tersebut,melainkan dengan sintesa kimiawi misalnya
kloramfenikol.

2.3 MEKANISME KERJA

Cara kerja terpenting adalah perintangan sintasa protein,sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi,misalnya
kloramfenikol,tetrasiklin,aminoglikosida,makrolida,dan linkomisin.selai it beberapa antibiotika bekerja terhadap dinidng
sel(penicillin dan selfalosporin) atau membarn sel (polymiksin zat-zat piloyen dan imidazol).

Antibiotika tidak aktif terhadap kebanyakan virus kecil,mungkn karena virus tidak memiliki proses metabolism
sesungguhnya melainkan tergantung seluruhnya dari proses tuan rumah.

2.4 AKTIVITASNYA

Pada umumnya aktivitas dinyatakan dengan satuan berat (mg),kecuali zat-zat yang belum dapat diperoleh seratus
persen murni dan terdiri dari campuran bebrapa zat misalnya,polimiksin B,Basitrasin,dan nistatin,yang aktivitasnya selalu
dinyatakan denngan satuan Internasional(I.U)

Begitu pula senyawa kompleks dari penisilin,yakni prokain dan benzatin penisilin,yakni prokain dan benzatin penisilin.

Penggunaan

Antimikroba digunakan mengobati berbagai jenis infeksi kuman atau juga untuk prevensi infeksi misalnya pada
pembedahan besar.secara profilaktis juga diberikan pada pasien dengan sendi klep jantung buatan,juga sebelum cabut gigi.
Penggunaan penting non-terapeutis adalah sebagai stimulan pertumbuhan dalam peternakan sapi,babi dan ayam.efek ini
secara kebetulan ditemukan pada tahun 1940-an,tatapi mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas.Diperkirakan
antimikroba bekerja setempat didalam usus dengan menstabilisir floranya.Kuman-kuman buruk yang merugikan dikurangi
jumlah aktivitasnya,sehingga zat-zat gizi dapat dipergunakan lebih baik.Pertumbuhan dapat distimulasi dengan rat-rata 10%.yang
digunakan adalah terutama makrolida dan glikopeptida dalam makanan ternak dan jumlahnya kini sudah meningkat sampai lebih
dari 3 kali daripada penggunaanya sebagai obat pada manusia.

2.5 JENIS-JENIS ANTIMIKROBA

Dibawah ini akan dibahas berturut-turut kelompok antibiotika

A. SULFONAMID DAN KOTRIMOKSAZOL

1. SULFONAMID

Sulfonamid adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan secara sistemik untuk pengobatan dan pencegahan
penyakit infeksi pada manusia.Penggunaan sulfonamid kemudian terdesak oleh antibiotik.Pertengahan tahun 1970 penemuan
kegunaan sediaan kombinasi trimetoprim dan sulfametoksazol menigkatkan kembali penggunaan sulfonamide untuk pengobatan
penyakit infeksi tertentu.

a. Kimia

Sulfonamid berbentuk kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air,tetapi garam natriumnya mudah larut.Rumus
dasarnya adalah Sulfanilamid.

b. Aktivitas Antimikroba

Sulfonamid mempunyai spekrum antibakteri yang luas,meskipun kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik dan
strain mikroba yang resisten makin meningkat.Golongan obat ini umunya hanya bersifat bakteriostatik,namun pada kadar yang
tinggi dalam urin, sulfonamide dapat bersifat bakterisid.

c. Spektrum Antibakteri

Kuman yang sensitif terhadap sulfa secara in vitro ialah s. pyogenes,s. pneumonia, beberapa galur Basicilus anthracis
dan Corynebacterium diphtheria, Haemophilus influenzae, H. ducreyi, Brucella, vibrio cholerae, nocardia, actinomyces,
Calymmatobacterium granulomatis, Chlamydia trachomatis dan beberapa protozoa. Beberapa kuman enterik juga dihambat.
Pseudomonas, Serratia,proteus dan kuman-kuman multiresisten tidak peka terhadap obat ini.Beberapa srain E.coli penyebab
infeksi saluran kemih telah resisten terhadap sulfonamid,karena itu sulfonamid bukan obat pilihan lagi untuk penyakit infeksi
tersebut.

Banyak galur meningokokus ,pnemokokus,stertokokus,stafilokokus dan gonokokus yang sekarang telah resisten
terhadap sulfonamid.

d. Mekanisme Kerja

Kuman memerlukan PABA (p-aminobenzoid acid)untuk membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin
dan asam nukleat. Sulfonamid merupakan penghambat kompetitif PABA.

PABA
Sulfonamid

Berkompetisi dengan

PABA

Asam dihidrofolat

Trimetoprim

Asam tetrahidrofolat

Purin

DNA

Gambar Mekanisme Kerja Sulfonamid Dan Trimetoprim

Efek antibakteri sulfonamid dihambat oleh adanya darah,nanah dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan
asam folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan trimidin.

Sel-sel mamalia tidak dipengaruhi oleh sulfonamid karena menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan (tidak
mensintesis sendri senyawa tersebut)

Dalam sintesis asam folat,bila PABA digantikan oleh sulfonamid,maka akan terbentuk analog asam polat yang tidak
fungsional.

e. Kombinasi Dengan Trimetoprim

Senyawa yang memperlihatkan efek sinergistik paling kuat bila digunakan bersama sulfonamid ialah
trimetoprin.Senyawa merupakan penghambat enzim dihidrofolat reduktase yang kuat dan selektif.Enzim ini berfungsi mereduksi
asam dihidrofolat menjadi asam tetrahidrofolat,jadi pemberian sulfonamid bersama trimetroprin yang menyebabkan berangkai
dalam reaksi pembentukan asam tetra hidrofolat (gambar 39-2).Kombinasi kedua obat ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian
lain dari bab ini.

f. Resistensi Bakteri

Bakteri yang semula sensitive terhadap sulfonamid dapat menjadi resisten secara in vitro maupun in vivo.Resistensi ini
biasanya bersifat reversible,tetapi tidak disertai resistensi silang terhadap kemoterapeutik lain .Resistensi ini mungkin disebabkan
oleh mutasi meningkatkan produksi PABA atau mengubaah struktur molekul enzim yang berperan dalam sintesis folat
sedemikian rupa sehingga afinitasnya terhadap sulfonamid menurun.

Timbulnya resistensi merupakan factor yang membatasi manfaat sulfonamid dalam pengobatan penyakit
infeksi,terutama infeksi yang disebabkan oleh gonokokus, stafilokokus, meningokokus, streptokokus,dan beberapa galur shigella.
g. Farmakokinetik

Absorbsi

Absorbsi melalui saluran cerna mudah dan cepat,kecuali beberapa macam sulfonamid yang khusus digunakan untuk
infeksi local pada usus.Kira-kira 70-100% dosis oral sulfonamid di absorbs melalui saluran cerna dan dapat di temukan dalam
urin 30 menit setelah pemberian.Absorbsi terutama terjadi pada usus halus,tetapi beberapa jenis sulfa dapat diabsorbsi melalui
lambung.

Absorbsi melalui tempat-tempat lain,misalnya vagina,salurannapas,kulit yang terluka,pada umumnya kurang baik,tetapi
cukup menyebabkan reaksi toksik atau reaksi hipersensitivitas.

Distribusi

Semua sulfonamid terikat pada protein plasma terutama albumin dalam derajat yang berbeda-beda.Obat ini tersebar
keseluruh jaringan tubuh,karena itu berguna untuk infeksi sistemik.Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai 50-
80% kadar dalam darah.Pemberian sulfadiazin dan suflisoksazol secara sistemik dengan dosis adekuat dapat mencapai kadar
efektif dalam CSS (Cairan Serebrospinal) otak.Kadar taraf mantap di dalam CSS mancapai 10-80% dari kadarnya dalam darah ;
pada meningitis kadar ini lebih tinggi lagi.Namun oleh karena timbulnya resistensi mikroba terhadap sulfonamid ,obat ini jarang
lagi digunakan untuk pengobatan meningitis.Obat dapat melalui sawar uri dan menimbulkan efek antimikroba dan efek toksik
pada janin.

Metabolisme

Dalam tubuh,sulfa mengalami asetilasi dan oksidasi.Hasil oksidasi inilah yang sering menyebabkan reaksi toksik
sistematik berupa lesi pada kulit dan gejala hipersensitivitas, sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas
obat.Bentuk asetil pada N-4 merupakan metabolit utama,dan beberapa sulfonamid yang terasetilasi lebih sukar larut dalam air
sehingga sering menyebabkan kristaluria atau komplikasi ginjal lain. Bentuk asetil ini lebih banyak terikat protein plasma
daripada bentuk asalnya .Kadar bentuk terkonyugasi ini tergantung terutama pada besarnya dosis,lama pemberian,keadaan fungsi
hati dan ginjal pasien.

Ekskresi

Hampir semua diekskresi melalui ginjal,baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas. Masa paruh sulfonamid
tergantung pada keadaan fungsi ginjal.Sebagian kecil diekskresi melalui tinja,empedu dan air susu ibu.

h. Klasifikasi,Sediaan dan Posologi

Cara pemberian yang paling aman dam mudah ialah per oral,absorpsinya cepat dan kadar yang cukup dalam darah
segera tercapai.Bila pemberian per oral tidak mungkin dilakukan maka dapat diberikan parenteral (IM atau IV).Penggunaan
topikal sulfonamid umumya telah ditinggalkan kecuali sulfasetamid untuk mata,mafenid asetat dan Ag-sulfadlazin ntuk luka
bakar,serta sulfasalazin untuk kolitis ulseratif.

Dosis obat tergantung dari umur pasien,macam dan hebatnya penyakit,cara pemberian,jenis sulfa daan keadaan fungsi
ginjal; dan ini akan diterangkan lebih lanjut pada pembicaraan masing-masing golongan sulfa.

Berdasarkan kecepatan absorpsi dan ekskresinya, sulfonamid dibagi dalam 4 golongan besar :

1. Sulfonamid dengan absorpsi dan ekskresi cepat, antara lain sulfadiazine dan sulfisoksazol
2. Sulfonamid yang hanya diabsorpsi sedikit bila diberikan per oral dan karena itu kerjanya dalam lumen usus,antara lain
ftalilsulfatiazol dan sulfasalazin
3. Sulfonamid yang terutama digunakan untuk pemberian topikal, antara lain sulfasetamid , mefanid, dan Ag-sulfadiazin
4. Sulfonamid dengan masa kerja panjang,seperti sulfadoksin, absorpsinya cepat dan ekskresinya lambat.
i. Sulfonamid dengan absorpsi dan ekskresi cepat

Sulfisoksazol

Merupakan prototip golongan ini dengan efek antibakteri kuat. Sulfisoksazol hanya didistribusinya ke dalam cairan
ekstrasel dan sebagian besar terikat pada protein plasma.Kadar puncak dalam darah tercapai dalam 2-4 jam setelah pemberian
dosis oral 2-4 g.Hampir 95% obat dieksresi melalui urin dalam 24 jam sesudah pemberian dosis tunggal.Kadar obat ini dalam
urin jauh melebihi kadarnya dalam darah sehingga mungkin bersifat bakterisid.Kadarnya dalam CSS hanya 1/3 dari kadar dalam
darah.

Kelarutan sulfisoksazol dalam urin jauh lebih tinggi daripada sulfadiazin sehingga jarang menyebabkan hematuria atau
kristaluria (0,2-0,3 %).Sulfa ini dapat menggantikan golongan sulfa yang sukar larut dan toksik terhadap ginjal.Dosis permulaan
untuk dewasa 2-4 g dilanjutkan dengan 1g setiap 4-6 jam,sedangkan untuk anak 150 mg/kg berat badan sehari. Mula-mula
diberikan setengah dosis tersebut,kemudian dilanjutkan dengan 1/6 dosis per hari setiap 4 jam (Maksimal 6 g
sehari).Sulfisoksazol dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang kadang-kadang bersifat letal.Sediaan sulfisoksazol tersedia
dalam bentuk tablet 500 mg untuk pemberian oral.

Sulfametoksazol

Obat ini merupakan derivat sulfisoksazol dengan absorpsi dan ekskresi yang lebih lambat.Dapat diberikan pada pasien
dengan infeksi saluran kemih dan infeksi sistematik.Kristal uria lebih sering timbul karena persentase asetilasinya tinggi.

Sulfametoksazol umumnta digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan trimetoprim (di luar negeri ada sediaan
tablet sulfametoksazol saja yang mengandung 500 mg zat aktif).

Sulfadiazin

Absorbsi di usus terjadi cepat dan kadar maksimal dalam darah di capai dalam waktu 3-6 jam sesudah pemberian dosis
tunggal.

Kira-kira 15-40% dari obat yang diberikan diekskresikan dalam bentuk senyawa asetil.Hampir 70% obat ini mengalami
reabsorpsi ditubuli.Karena beberapa macam sulfa sukar larut dalam urin yang asam,maka sering timbul kristarulia dan
komplikasi ginjal lainnya.Untuk mencegah ini pasien dianjurkan minum banyak air agar produksi urin tidak kurang dari 1200
mL/hari atau diberikan sediaan alkalis seperti Na-bikarbonat untuk menaikkan pH urin.

Dosis permulaan oral pada orang dewasa 2-4 g,dilanjutkan dengan 2-4 g dalam 3-6 kali pemberian ; lamanya
pemberian tergantung dari keadaan penyakit.Anak-anak lebiah dari umur 2 bulan di beriakan dosis awal setengah dosis/hari
kemudian dilsnjutkan dengan 60-150 mg/kg BB (maksimum 6 g/hsri) dalam 4-6 kali pemberian. Sedian biasanya terdapat dalam
bentuk tablet 500 mg.

Sulfasitin

Sulfasitin (Sulfacytin) adalah sulfonamid yang ekskresinya cepat untuk penggunaan per oral pada infeksi saluran
kemih. Masa paruhnya dalam darah lebih pendek daripada sulfisoksazol (4 jam vs 7 jam). Kadarnya dalam darah lebih rendah
dari pada kadar sulfiksolsazol, oleh karena itu hsnya digunakan untuk infeksi saluran kemih. Pemberian dimulai dengan dosis
awal 500 mg dilanjutkan dengan dosis 250 mg 4 kali sehari sulfasitin tesedia dala bentuk tablet 250 mg (tidak dipasarkan di
Indonesia).
Sulfametizol

Sulfametizol termasuk golongan Sulfonamid yang ekresinya cepat, sehingga kadarnya dalam darah rendah setelah
pemberian dosis biasa. Digunakan untuk pengobatan infeksi saluran kemih dengan dosis 500-1000 mg dalam 3-4 kali pemberian
sehari. Sulfametizol tersedia dalam bentuk tablet 250-500 mg .

Kombinasi Sulfa

Untuk mengurangi atau mencegah terjadinya kristalrulia dibuat sediaan kombinasi tepat beberapa kombinasi sulfa,
misalnya sulfadiazin, sulfanerazin dan sulfa meatazin yang dikenal sebagai trisulfapirimidin. Kombinasi ini tersedia dalam
bentuk tablet atau suspense oral. Kombinasi sulfa ini tidak menghasilkan potensi atau perluasan spectrum anti bateri.

j. Sulfonamid yang hanya diabsorsi sedikit oleh saluran cerna

Sulfasalazin

Obat ini digunakan untuk pengobatan kolitis ulseratif dan enteritis regional dan remotoid artritis.Sulfasalazin dalam
usus diuraikan menjadi sulfapiridin yang diabsorpsi dan ekskresi melalui urin,dan 5-aminosalisilat yang mempunyai efek
antiinflamasi.Reaksi toksik yang terjadi antara lain Heinz body anemia, hemolisis akut pada pasien defisiensi G6PD , dan
agranulositosis. Mual,demam dan artralgia serta ruam kulit terjadi pada 20 % pasien dan desensitisasi dapat mengurangi angka
kejadian.Dosis awal ialah 0,5 g sehari yang ditingkatkan sampai 2-6 g sehari.Sulfasalazin tersedia dalam bentuk tablet 500 mg
dan bentuk suspense 50 mg/ml.

Suksinilsulfatiazol Dan Ftalilsulfatiazol

Dalam kolon,kedua sulfa ini dihidrolisis oleh bakteri usus menjadi sulfatiazol yang berkhasiat antibakteri dan hampir
tidak diabsorpsi oleh usus.Kedua obat ini tidak lagi dianjurkan penggunaannya karena tebukti tidak efektif untuk enteritis.

k. Sulfonamid untuk Penggunaan Topikal

Sulfasetamid

Natrium sulfasetamid digunakan secara topical untuk infeksi mata.Kadar tinggi dalam larutan 30% tidak mengiritasi
jaringan mata,karena pHnya netral (7,4),dan bersifat bakterisid.Obat ini dapat menembus kedalam cairan dan jaringan mata
mencapai kadar yang tinggi sehingga sangat baik untuk kongjungtivitis akut maupun kronik.

Meskipun jarang menimbulkan reaksi sentisitisasi,obat ini tidak boleh di berikan pada pasien yang hipersensitif
terhadap sulfonamid.

Obat ini tersedia dalam bentuk salep mata 10% atau tetes mata 30%.Pada infeksi kronik diberikan 1-2 tetes setiap 2 jam
untuk infeksi yang berat atau 3-4 kali sehari untuk penyakit kronik.

Ag-Sulfadiazin (Sulfadiazin-Perak)

In vitro obat ini menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur termasuk spesies yang telah resisten terhadap
sulfonamid.Ag-sulfadiazin digunakan untuk mengurangi jumlah koloni mikroba dan mencegah infeksi luka bakar.Obat ini tidak
dianjurkan untuk pengobatan luka yang besar dan dalam.Ag dilepaskan secara perlahan sampai mencapai kadar toksik yang
selektif untuk mikroba.Namun mikroba dapat menjadi resistin terhadap obat ini.Ag hanya sedikit diserap tetapi sulfadiazin dapa
mancapai kadar terapi bila permukaan yang diolesi cukup luas.Walaupun jarang terjadi,efek samping dapat timbul dalam bentuk
rasa terbakar,gatal dan erupsi kulit.Ag-sulfadiazin merupakan obat pilihan untuk pencegahan infeksi pada luka bakar.Obat ini
tersedia dalam bentuk krim (10 mg/g) yang diberikan 1-2 kali sehari.

Mafenid

Mafenid (Mafenid Asetat) mengandung alfa-amino-p-toluen sulfonamide,digunakan secara topikal dalam bentuk krim
(85 mg/g) untuk mengurangi jumlah koloni bakteri dan mencegah infeksi luka bakar oleh mikroba gram positif dan gram
negatif.Obat ini tidak dianjurkan untuk pengobatan luka infeksi yang dalam.Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi oleh
kandida.Pemberian kim 1-2 kali sehari dengan ketebalan 1-2 mm pada permukaan luka bakar.Sebelum pemberian obat,luka harus
di bersihkan.Pengobatan di anjurkan sampai dilakukan pencangkokan kulit.

Mafenid cepat diabsorbsi melalui permukaan luka bakar,kadar puncak tercapai daalm 2-4 jam setelah pemberian.Efek
samping berupa nyeri pada tempat pemberian,reaksi alergi dan kekeringan jaringan karena luka tidak dibalut dan metabolit obat
menghambat enzim karbonat anhidrase.Urin dapat menjadi alkalis dan dapat terjadi asidosis metabolik yang berakibat sesak
nafas dan hiperventilasi.

l. Sulfonamid Dengan Masa Kerja Panjang

Sulfadoksin

Sulfadoksin adalah sulfonamid dengan masa kerja 7-9 hari.Obat ini digunakan dalam bentuk kombinasi tetap dengan
pirimetamin (500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin)untuk pencegahan dan pengobatan malaria akibat P.falciparum yang
resisten terhadap klorokuin. Namun karena efek samping hebat seperti gejala Steven-Johnson yang kadang-kadang sampai
menimbulkan kematian, obat hanya digunakan untuk pencegahan bila risiko resistensi malaria cukup tinggi. Kombinasi ini juga
digunakan untuk pencegahan pneumonia ( Pneumocystis carinii syndrome) pada pasien AIDS ( acquired immuno deficiency
syndrome ), meskipun penggunaannya belum luas dan efek sampingnya mungkin hebat.

m. Efek Samping

Efek samping sering timbul (sekitar 5%) pada pasien yang mendapat sulfonamide. Reaksi ini dapat hebat dan kadang-
kadang bersifat fatal. Karena itu pemakaiannya harus hati-hati. Bila mulai terlihat adanya gejala reaksi toksik atau sensitisasi,
pemakaiannya secepat mungkin dihentikan. Mereka yang pernah menunjukan reaksi tersebut,untuk seterusnya tidak boleh diberi
sulfonamid.

Gangguan Sistem Hematopoetik

Anemia hemolitik akut dapat disebabkan oleh reaksi alergi atau karena defisiensi aktivitas G6PD.Sulfadiazin jarang
menimbulkan reaksi ini (0,05 %).Agranulositosis terjdi pada sekitar 0,1 % pasien yang mendapatkan sulfadiazine.Kebanyakan
pasien sembuh kembali dalam beberapa minggu atau bulan setelah pemberiann sulfonamid dihentikan. Anemia aplastik, sangat
jarang terjadi dan dapat bersifat fatal.Hal ini diduga berdasarkan efek mielotoksik langsung.

Trombositopenia berat,jarang terjadi pada pemakain sulfonamid.Trombositopenia ringan selintas lebih sering terjadi.Mekanisme
terjadinya tidak diketahui.

Eosinifilia,dapat terjadi dan bersifat reversibel.Kadang-kadang disertai dengan gejala hipersensivitas terhadap sulfonamid.

Pada pasien dengan gangguan sumsum tulang pasien AIDS atau yang mendapat kemoterapi dengan mielosupreasan sering
menimbulkan hambatan sumsum tulang yang bersifat reversibel.

Gangguan Saluran Kemih

Pemakaian sistemik dapat meimbulkan komplikasi pada saluran kemih,meskipun sekarang jarang terjadi karena telah
banyak ditemukan sulfa yang lebih mudah larut seperti sulfisoksazol.Penyebab utama ialah pembentukan dan penumpukan kristal
dalam ginjal, kaliks, pelvis, ureter atau kandug kemih, yang menyebabkan iritasi dan obstruksi. Anuria dan kematian dapat terjadi
tanpa kristaluria atau hematuria; pada otopsi ditemukan nekrosis tubular dan angiitis nerkotikans.

Bahaya kristaluria dapat dikurangi dengan membasakan (alkalinisasi)urin atau minum air yang banyak sehingga
produksi urin mencapai 1000-1500 ml sehari. Kombinasi beberapa jenis sulfa dapat pula mengurangi terjadinya kristaluria seperti
telah diterangkan diatas. presipitasi sulfadiazin atau sulfamerazin tidak akan terjadi pada pH urin 7,15 atau lebih.

Reaksi Alergi
Gambaran hipersensitivitas pada kulit dan mukosa bervariasi, berupa kelainan morbiliform, skarlantitform ,
urtikariform, erispeloid, pemifigoid, purpura, petekia, juga timbul eritema nodosum,eritema multiformis tipe Stevens-
Johnson,sindrom Behcet,dermatitis eksfoliativ dan fotosensitivitas.Kontak dermatitis sekarang jarang terjadi. Gejala umumnya
timbul setelah minggu pertama pengobatan tetapi mungkin lebih dini pada pasien yang telah tersensitisasi. Kekerapan terjadinya
reaksi kulit 1,5% dengan sulfadiazin dan 2% dengan sulfisoksazol.Suatu sindrom yang menyerupai penyakit serum (serum
sickness)dapat terjadi beberapa hari setelah pengobatan dengan sulfonamide. Hipersensitivitas sistemik divus kadang-kadang
pula terjadi. Sensitivitas hilang dapat terjadi antara bermacam-macam sulfa.

Demam obat terjadi pada pemakaian sulfonamid dan mungkin juga disebabkan oleh sentsitisasi ; terjada pada 3% kasus
yang mendapat sulfitoksazol. Timbulnya demam tiba-tiba padahari ke tujuh sampai pada ke sepuluh pengobatan, dan dapat
disertai sakit kepala, menggigil, rasa lemah, pruritus, dan erupsi kulit, yang semuanya bersifat refersibel. Demam obat ini perlu
dibedakan dari demam yang menandai reaksi toksik berat misalnya agranulositosis dan anemia hemolitik akut.

Hepatitis yang terjadi pada 0,1 % pasien dapat merupakan efak tiksik atau akibat sensitisasi. Tanda-tanda seperti sakit
kepala, mual, muntah, demam, hepatomegali, ikterus, dan gangguan sel hati tampak 3-5 hari setalah pangobatan, dapat berlanjut
menjadi atrofi kuning akut dan kematian. Kerusakan pada hepar dapat memburuk walaupun obat dihentikan.

Lain Lain

1 -2 % pasien mengeluh mual dan muntah yang mungkin bersifat sentral karena meski diberikan parenteral efak ini
kadang kadang juga timbul. Pemberian obat pada bayi dapat menyebabkan pergeseran ikatan bilirubin dengan albumin.
Sulfonamid tidak boleh diberikan dapa wanita hamil aterm.

n. Interaksi Obat

Sulfonamid dapat berinteraksi dengan anti koagulan oral, anti dia betik, sulfonylurea, dan fenitoin. Dalam hal tersebut
sulfa dapat memperkuat efek obat lain dengan cara hambatan metabolisme atau pergeseran ikatan dengan albumin. Pada
pemberian bersama sulfonamid dosis obat tersebut perlu disesuaikan.

o. Penggunaan Klinik

Penggunaan sulfonamid sebagai obat pilihan pertama untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu makin tedesak oleh
perkembangan obat anti mikroba lain yang lebih efektif serta meningkatnya jumlah mikroba yang resisten terhadap sulfa. Namun
peranannya meningkat kembali dengan ditemukannya kotrimuksazol.

Pengguaan topikal tidak dianjurkan karena kurang/tidak efektif, sedangkan resiko terjadi reaksi sensitisasi tinggi,
kecuali pemakaian local dari Na-sulfasetamid pada infeksi mata.

Infeksi Saluran Kemih

Sulfonamid pada saat ini bukan lagi obat pilihan utama untuk infeksi saluran kemih, karena jumlah mikroba yang
resisten makin meningkat. Namun demikian sulfisoksazol masih efektif untuk pengobatan infeksi saluran kemih dimana
prevalensi resistensi mikroba masih rendah atau mikroba masih peka. Obat pilihan lain untuk infeksi saluran kemih antara lain
trimetoprim-sulfametoksazol, antiseptic saluran kemih, derivate kuinolon dan ampisilin.

Kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol sangat berguna untuk infeksi saluran kemih. Masalah ini akan dibahas pada
judul kotrimoksazol.

Disentri Basiler

Sulfonamid tidak lagi merupakan obat terpilih, karena banyak strain yang telah resisten. Obat terpilih sekarang adalah
ampisilin atau kloramfenikol. Trimetoprim-sulfametoksazol agaknya masih efektif pada pemberian per oral, meskipun
dibeberapa tempat telah terjadi resistensi. Dosis dewasa ialah 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap 12 jam
selama 5 hari.

Meningitis Oleh Meningokokus


Banyak strain telah resisten terhadap sulfonamide, sehingga obat terpilih adalah penisilin G, ampisilin, sefolosporin
generasi ketiga, atau kloramfenikol. Kemoprofilaksis perlu dipertimbangkan diberikan pada subyek yang berkontak langsung
dengan pasien yang terinfeksi meningokokus. Rifampisin merupakan obat terpilih profilaksis. Bila strain penyebabnya sensitive
diberikan sulfisoksazol dengan dosis 1 gram setiap 12 jam sebanyak 4 dosis.

Nokardiosis

Sulfonamid sangat berguna untuk pengobatan infeksi oleh Nocardia asteroids. Sulfisoksazol atau sulfadiazine dapat
diberikan 6-8 gram per hari sampai beberapa bulan setelah semua gejala hilang. Untuk infeksi yang berat sulfonamide diberikan
bersama ampisilin, eritromisin dan streptomisin.

Trakoma Dan Inclusion Conjunctivitis

Walaupun bukan merupakan obat terpilih, pemberian sulfonamide secara oral selama 3 minggu efektif untuk trakoma.
Walaupun pemberian topical mensupresi gejala infeksi, eradikasi mikroorganisme tidak tercapai. Infeksi sekunder dengan bakteri
piogeinik dapat diobati dengan tetrasiklin topical. Dalam beberapa hari gejala-gejala local akan menghilang. Untuk inclusion
conjunctivitis (inclusion blenorrhea) diberikan salep sulfasetamid 10% topical selama 10 hari dapat juga dipergunakan tetrasiklin.

Toksoplasmosis

Infeksi toksoplasmosis gondii paling baik diobati dengan pirimetamin. Tetapi menurut pengalaman, lebih baik bila obat
tersebut dikombinasi dengan sulfadiazine, sulfisoksazol atau trisulfapirimidin dosis penuh. Bila terjadi korioretinitis sebaiknya
juga diberikan kortikosteroid.

Kemoprofilaksis Dengan Sulfonamid

Sulfonamid juga digunakan sebagai kemoprofilaksis untuk infeksi spesifik dengan bakteri-bakteri yang sensitive
terhadap sulfa. Untuk mencegah infeksi maupun kambuhnya demam rematik oleh streptococcus-hemolycus group A, sulfa sama
efektifnya dengan penisilin oral. Sulfa tidak dapat membasmi carrier streptokokus, tetapi dapat mencegah timbulnya faringitis
dan demam rematik. Tetapi karena toksisitas sulfa dan kemungkinan infeksi oleh streptokokus yang resisten terhadap sulfa, maka
penisilin lebih disukai untuk maksud ini. Sulfisoksazol dengan dosis 1 gram, 2 kali sehari digunakan pada pasien yang
hipersensitif terhadap penisilin. Dosis untuk anak setengah dari orang dewasa. Bila timbul efek samping yang umumnya terjadi
pada 8 minggu pertama pengobatan, maka perlu dilakukan pemeriksaan hitung leukosit setiap minggu selaama 8 minggu. Untuk
kemoprofilaksis disentri basiler dengan penyebab shigella, kecuali stain yang telah resisten, dapat digunakan sulfadiazin atau
sulfisoksazol 1 sampai 2 gram selama 7 hari. Beberapa penulis menyatakan bahwa infeksi oleh meningokokus yang sensitive
dapat dicegah dengan sulfadiazine atau sulfisoksazol. Namun resistensi terhadap obat ini sekarang sangat meningkat. Profilaksis
infeksi dengan sulfonamide sewaktu manipulasi misalnya katererisasi, diragukan kegunaannya

2. KOTRIMOKSAZOL

Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga
kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam uasaha
meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan kotrimoksazol.

a. Efek Terhadap Mikroba

Spectrum Antibakteri

Spectrum antibakteri trimetoprim sama dengan sulfametoksazol, meskipun daya antibakterinya 20-100 kali lebih kuat
daripada sulfametoksazol.
Mikroba yang peka terhadap kombinasi trime toprim-sulfametoksazol ialah ; S. pneumoniae, C. diphtheria, dan N
meningitis, 50-59 % strain S. aureus, S. epidermidis, S. pyogenes, S. viridians, S. faecalis, E. coli, P. mirabilis, P. morganii, P.
rettgeri, Enterobacter, Aerobacter spesies, Salmonela, Shigela, Serratia dan Alcaligenes spesies dan Klebsiela spesies. Juga
beberapa strain stafilokokus yang resisten terhadap metisilin, trimetoprim atau sulfometoksazol sendiri, peka terhadap kombinasi
tersebut. Kedua komponen memperlihatkan interaksi sinergistik. Kombinasi ini mungkin efektif walaupun mikroba telah resisten
terhadap tirmetropim. Sinergisme maksimum akan terjadi bila mikroba peka terhadap kedua komponen.

b. Mekanisme Kerja

Aktifitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk
membentuk asam tetrahidrofolat. Sulfonamide menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan
trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrshidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-
reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenin, guanin, dan timidin) dan beberapa asam amino
(metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintensis senyawa
tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim
tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar yang optimal dari kedua obat. Untuk kebanyakan kuman, rasio
kadar sulfametoksazol : trimetoprim, yang optimal ialah 20 : 1. Sifat farmakokinetik sulfonamide yang dipilih untuk kombinasi
dengan trimetoprim sangat penting mengingat diperlukannya rasio kadar yang relative tetap dari kedua obat tersebut dalam
tubuh. Trimetropim pada umumnya 20-100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi
diformulasikan untuk mendapatkan kadar sulfametoksezol in vivo 20 kali lebih besar daripada trimetoprim.

c. Resistensi Bakteri

Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimaksazol lebih rendah daripada terhadap masaing masing obat, karena mikroba
yang resisten terhadap salah satu komponen masih peka terhadap komponen lainnya. Resistensi mikroba terhadap trimetropim
dapat terjadi karena mutasi. Resistensi yang terjadi pada bakteri gram-negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa
sifat menghambat kerja obat terhadap enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S. aureus terhadap trimetropim ditentukan oleh
gen kromosom, bukan oleh pasmid. Resistensi terhadap bentuk kombinasi juga terjadi in vivo. Pravalensi resistensi E.coli dan S.
aureus terhadap kotrimoksazol meningkat pada pasien yang diberi pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut. Selama lima
tahun penggunaan resistensi S. aureus meningkat dari 0,4% menjadi 12,6%. Dilaporkan pula terjadinya resistensi pada beberapa
jenis mikroba Gram-negatif.

d. Farmakokinetik

Rasio kadar sulfametoksazol dan trimetoprim yang ingin dicapai dalam darah ialah sekitar 20 : 1. Karena sifatnya yang lipofilik,
trimetoprim mempunayi volume distribusi yang besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan sulfametoksazol 800 mg
dan trimetoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol : trimetoprim = 5 : 1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut
dalam darah kurang lebih 20 : 1.

Trimetoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol.
Volume distribusi trimetoprim hampir 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva dengan
mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat
pada protein plasma. Sampai 60% trimetropim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24 jam setelah
pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamid tidak mengalami konjugasi. Metabolit trimetropim ditemukan juga di urin. Pada pasien
uremia, kecepatan ekskresi dan kadar urin kedua obat jelas menurun.

e. Sediaan Dan Posologi

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral, mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Untuk anak
tersedia juga bentuk suspense oral yang mengandung 200 mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim/5 mL, serta tablet pediatric
yang mengandung 100 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim. Untuk pemberian IV tersedia sediaan infuse yang
mengandung 400 mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim/5 mL. dosis dewasa pada umumnya ialah 800 mg sulfametoksazol
dan 160 mg trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis yang lebih besar. Pada pasien dengan gagal ginjal,
diberikan dosis biasa bila klirens kreatinin lebih dari 30 mL/menit; bila klirens kreatinin 15-30 mL/menit, dosis 2 tablet diberikan
setiap 24 jam dan bila klirens kreatinin kurang dari 15 mL/menit, obat ini tidak boleh diberikan.
Dosis yang dianjurkan pada anak ialah trimetoprim 8 mg/kg/BB/hari dan sulfametoksazol 40 mg/kg/BB/hari yang diberikan
dalam 2 dosis. Pemberian pada anak di bawah usia 2 tahun dan pada ibu hamil atau menyusui tidak dianjurkan.

Trimetoprim juga terdapat sebagai sediaan tunggal dalam bentuk tablet 100 dan 200 mg.

f. Efek Samping

Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi folat pada orang normal. Namun batas
antara toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia relative sempit bila sel tubuh mengalami defisiensi folat. Dalam keadaan
demikian obat ini mungkin menimbulkan megaloblastosis, leucopenia, atau trombositopenia. Kira-kira 75% efek samping terjadi
pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh sulfonamid. Namun demikian kombinasi trimetoprim-sulfametoksazol
dilaporkan dapat menimbulkan reaksi kulit sampai tiga kali lebih sering dibandingkan sulfisoksazol pada penberian tunggal
(5,9% vs 1,7%). Dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis jarang terjadi. Gejala-gejala
saluran cerna terutama berupa mual dan muntah; diare jarang terjadi. Glositis dan Stomatitis relatif sering. Ikterus terutama
terjadi pada pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatitis kolestatik alergik. Reaksi susunan saraf pusat berupa sakit kepala,
depresi dan halusinasi, disebabkan oleh sulfonamid. Reaksi hematologik lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastik,
hemolitik dan makrositik), gangguan koagulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, purpura Henoch-Schonlein dan
sulfhemoglobinemia. Pemberian diuretik sebelumnya atau bersamaan dengan kotrimoksazol dapat mempermudah timbulnya
trombositopenia, terutama pada pasien usia lanjut dengan payah jantung; kematian dapat terjadi. Pada pasien AIDS (Aqcuired
immune-deficiency syndrome) yang diberi pengobatan kotrimoksazol umtuk infeksi oleh Pneumocystis carinii, sering terjadi efek
samping demam, lemah, erupsi kulit, dan/atau pansitopenia.

g. Penggunaan Klinik

Infeksi Saluran Kemih

Sulfonamid masih berguna untuk infeksi ringan saluran kemih bagian bawah. Tetapi timbulnya resistensi makin
meningkat terutama pada bakteri Gram-negatif, sehingga sulfonamide tidak dapat diandalkan untuk pengobatan infeksi yang
lebih berat pada saluran kemih bagian atas. Penting untuk membedakan infeksi pada ginjal dan infeksi pada saluran kemih bagian
bawah. Pada keadaan pielonefritis akut yang disertai demam hebat dan bila ada kemungkinan timbulnya bakteremia dan syok,
sebaiknya jangan diberi pengobatan dengan sulfonamid; tetapi dianjurkan pemberian suatu antimikroba yang bakterisid secara
parenteral yangb dipilih berdasarkan uji sensitivitas mikroba dari hasil kultur urin. Sulfonamid digunakan untuk pengobatan
sistitis akut maupun kronik, infeksi kronik saluran kemih bagian atas dan bakteriuria yang ansimtomatik. Sulfonamid efektif
untuk sistitis akut tanpa penyulit pada wanita. Pengobatan infeksi ringan saluran kemih bagian bawah, dengan kotrimoksazol
ternyata sangat efektif, bahkan untuk infeksi oleh mikroba yang telah resisten terhadap sulfonamid sendiri. Dosis 160 mg
trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol setiap 12 jam selama 10 hari menyembuhkan sebagian besar pasien. Efek terapi sediaan
kombinasi lebih baik daripada masing-masing komponennya terutama bila mikroba penyebabnya golongan enterobacteriaceae.
Pemberian dosis tunggal ( 320 mg trimetoprim dengan 1600 sulfametoksazol) selama 3 hari, juga efektif untuk pengobatan
infeksi akut saluran kemih yang ringan. Sediaan kombinasi ini terutama efektif untuk infeksi kronik dan berulang saluran kemih.
Pada wanita, efektivitasnya mungkin disebabkan oleh tercapainya kadar terapi dalam secret vaginal. Jumlah mikroba disekitar
orificium urethrea menurun sehingga kemungkinan terjadinya infeksi ulang pada saluran kemih bagian bawah berkurang.
Tirmetoprim juga ditemukan dalam kadar terapi pada sekret prostat dan efektif untuk pengobatan infeksi prostat. Dosis kecil (200
mg sulfametoksazol dan 40 mg trimetoprim per hari atau 2-4 kali dosis tersebut yang diberikan satu atau dua kali per minggu)
efektif untuk mengurangi frekuensi kambuhnya infeksi saluran kemih pada wanita. Harus diingat bahwa trimetoprim saja juga
cukup efektif untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Dosis dewasa yang umum digunakan ialah 100 mg setiap 12 jam. Untuk
memberikan pengobatan dengan sediaan kombinasi tersebut perlu dipertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas mikroba.

Infeksi saluran kemih berulang lebih sukar ditanggulangi daripada infeksi akut. Pengobatan infeksi kronik dengan sediaan
kombinasi ini perlu mempertimbangkan hasil pemeriksaan sensitivitas mikroba.

Infeksi saluran kemih berulang lebih sukar ditanggulangi daripada infeksi akut; infeksi kronik ini mungkin disebabkan infeksi
ulang oleh mikroba lain ataun karena persistensi mikroba yang sama. Infeksi ulang biasanya dapat diatasi dengan antimikroba
seperti sulfisoksazol, sedangkan kambuh oleh mikroba yang sama biasanya lebih sukar diatasi dan menunjukkan adanya sumber
infeksi yang persisten di saluran kemih bagian atas yang sukar dibasmi. Sebab persistensi ini antara lain : (1) obstruksi yang
bersifat funsional atau mekanik yang menghambat pengosongan kandung kemih; (2) resistensi mikroba terhadap antibiotik yang
biasa digunakan; (3) gangguan daya tahan tubuh seperti pada pasien diabetes mellitus; (4) kombinasi dari ketiga hal di atas.
Mikroba penyebabnya antara lain Escherichia, Enterobacter (Aerobacter), Alcaligenes, Klebsiella, Proteus, kokus Gram-positif
(termasuk enterokokus) dan mikroba campuran. Lajub penyembuhan infeksi kronik saluran kemih relatif rendah, apapun
antimikroba yang digunakan, dan terapi supresif kronik atau pengobatan intermiten terhadap kambuhnya gejala merupakan
tujuan pengobatan yang paling baik. Pengobatan dengan antibiotik pada kasus demikian ternyata tidak memberikan hasil yang
lebih baik dan pemberian antibiotic jangka lama sering menimbulkan efek samping.

Infeksi Saluran Napas

Kotrimoksazol tidak dianjurkan untuk mengobati faringitis akut oleh S. pyogenes, karena tidak dapat membasmi
miroba. Preparat kombinasi ini efektif untuk pengobatan bronchitis kronis dengan eksaserbasi akut. Perparat kombinasi ini juga
efektif untuk pengobatan otitis media akut pada anak dan sinusitis maksilaris akut pada orang dewasa yang disebabkan oleh strain
H. influenza dan S. pneumoniae yang masih sensitif. Beberapa galur pneumokokus penyebab bakteremia dilaporkan telah resisten
terhadap obat ini.

Infeksi Saluran Cerna

Sediaan kombinasi ini berguna untuk pengobatan shigellosis karena beberapa strain mikroba penyebabnya telah
resisten terhadap ampisillin. Namun demikian akhir-akhir ini dilaporkan terjadinya resistensi mikroba terhadap kotrimoksazol.
Obat ini juga efektif untuk demam tifoid. Kloramfenikol tetap merupakan obat terpilih untuk demam tifoid, karena prevalensi
resistensi mikroba penyebabnya terhadap obat ini masih rendah.

Kotrimoksazol efektif untuk carier S. typhi dan salmonella spesies lain. Dosis yang dianjurkan : 160 mg trimetoprim-800 mg
sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 bulan, tetapi dengan dosis ini penyakit masih dapat kambuh. Terjadinya penyakit kronik
pada kandung empedu diduga karena kegagalan menghilangkan carier state ini. Diare akut karena E. coli dapat dicegah atau
diobati dengan pemberian trimetoprim tunggal atau kotrimoksazol.

Infeksi Oleh Pneumocystis Carinii

Pengobatan dengan dosis tinggi (trimetoprim 20 mg/kgBB perhari dengan sulfametoksazol 100 mg/kgBB per hari,
dalam 3-4 kali pemberian) efektif untuk pasien infeksi yang berat pada pasien AIDS. Beberapa hasil penelitian telah
memperlihatkan bahwa pengobatan dengan dosis kecil efektif untuk pencegahan infeksi pneumocystis carinii pada pasien
neutropenia.

Infeksi Genitalia

Karena resistensi mikroba, kotrimoksazol tidak dianjurkan lagi untuk pengobatan gonore. Pemberian eritromisin 500
mg 4 kali sehari selama 10 hari atau 160 mg trimetoprim dan 800 mg sulfametoksazol per oral dua kali sehari selama 10 hari
efektif untuk pengobatan chancroid.

Infeksi Lainnya

Infeksi oleh jamur nokardia dapat diobati dengan kombinasi ini. Banyak laporan mengemukakan bahwa sulfametoksazol
mungkin efektif untuk pengobatan bruselosis bahkan bila ada lesi local seperti arthritis, endokarditis atau epididimorkitis. Dosis
yang diberikan berkisar antara 2 tablet (800 mg sulfametoksazol dan 160 mg trimetoprim) tiga kali sehari selama 1 minggu
diikuti dengan 2 tablet per hari selama 2 minggu sampai 4-8 tablet per hari selama 2 bulan. Sebagian besar pasien sembuh
terutama setelah pemberian rangkaian dosis yang disebut terakhir, namun 4% pasien kambuh dengan rangkaian dosis tersebut.
Pemberian kotrimoksazol secara IV dengan karbenisilin ternyata efektif untuk pengobatan infeksi pada pasien neutropenia.
Trimetoprim-sulfametoksazol juga berguna untuk pengobatan berbagai penyakit infeksi berat pada anak. Strain S. aureus yang
telah resisten terhadap metisilin mungkin masih peka terhadap kotrimoksazol, tetapi vankomisin masih tetap merupakan obat
pilihan untuk infeksi berat yang disebabkan oleh S. aureus yang telah resisten terhadap metisilin.

B. ANTISEPTIK SALURAN KEMIH

Berbagai obat antimikroba tidak dapat di gunakan untuk mengobati infeksi sistemik yang berasal dari saluran kemih karena
bioavailabilitasnya dalam plasma tidak mencukupi. Tetapi pada tubuli renalis, obat-obat ini akan mengalami pemekatan dan
berdifusi kembali ke parenkim ginjal sehingga bermanfaat untuk pengobatan infeksi saluran kemih. Oleh Karena kadarnya hanya
cukup tinggi pada saluran kemih saja., maka antimikroba seperti ini sering dianggap sebagai antiseptic local untuk infeksi saluran
kemih yang bekerja di mukosa saluran kemih.
1. METENAMIN

Kimia

Metenamin atau heksamin adalah heksametilentetramin. Dalam suasana asam, metenamin terurai dan membebaskan
formaldehid yang bekerja sebagai antiseptik saluran kemih. Formaldehid mematikan kuman dengan jalan menimbulkan denatursi
protein.

Reaksi ini berlangsung baik pada pH yang rendah. Pada pH lebih dari 7.4 obat ini tidak efektif.

Efek Antimikroba

Metenamin aktif terhadap berbagai jenis mikroba. Kuman gram negative umumnya dapat dihambat dengan metenamin,
kecuali Proteus karena kuman dapat mengubah urea menjadi amonium hidroksida yang menaikkan pH sehingga menghambat
perubahan metenamin menjadi formaldehid.

Karena tidak terjadi resistensi kuman terhadap formaldehid, efektivitas metenamin tetap baik.

Efek Samping Dan Kontraindikasi

Metenamin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi hati karena dalam lambung obat ini membebaskan ammonia.
Iritasi lambung sering terjadi bila di berikan dosis lebih dari 500 mg per kali.

Dosis 4-8 gr sehari selama lebih dari 3 minggu mungkin menimbulkan iritasi kandung kemih, proteinuria, hematuria dan erupsi
kulit. Oleh karena itu dosis harus segera di turunkan bila urin telah steril.

Metenamin jangan diberikan bersama sulfonamide karena dapat menimbulkan kristaluria. Selama pengobatan dengan
metenamin, pasien harus menghindarkan diri dari makanan atau obat yang dapat meningkatkan pH urin misalnya susu, antacid.

Sediaan Dan Posologi

Metenamin dan metenamin mendelat tersedia dalam bentuk tablet 0.5 gr. Dosis untuk orang dewasa ialah 4 kali 1
gram/hari, diberikan setelah makan dosis untuk anak kurang dari 6 tahun ialah 50 mg /kgBB/hari yang dibagi dalam beberapa
dosis.

Indikasi

Obat ini digunakan untuk profilaksis terhadap infeksi saluran kemih brulang, khususnya bila ada residu kemih.
Metenamin tidak di indikasikan untuk infeksi akut saluran kemih.

2. ASAM NALIDIKSAT

Kimia

Kristal asam nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Kelarutan dalam air rendah sekali, tetapi mudah larut
dalam hidroksida alkali dan karbonat.

Spektrum Antimikroba

Asam nalidiksat bekerja dengan menghambat enzim DNA girase bakteri dan biasanya bersifat bakterisid terhadap
kebanyakan kuman pathogen penyebab infeksi saluran kemih. Obat ini menghambat E. coli, proteus spp., Klebsiella spp. Dan
kuman-kuman koliform lainnya. Pseudomonas spp. Biasanya resisten.
Resistensi terhadap asam nalidiksat tidak dipindahkan melalui plasmid (factor R), tetapi dengan mekanisme lain. Resistensi
terhadap asam nalidiksat telah menimbulkan masalah klinik.

Farmakokinetik

Pada pemberian per oral, 96% obat akan diserap. Konsentrasinya dalam plasma kira-kira 20-50 mikrogram/mL, tetapi
95% terikat dengan protin plasma. Dalam tubuh, sebagian dari obat ini akan di ubah menjadi asam hidroksinalidiksat yang juga
mempunyai daya antimikroba.

Efek Samping Dan Kontraindikasi

Pemberian asam nalidiksat per oral kadang-kadang menimbulkan mual, muntah, ruam kulit dan urtikaria. Diare,
demam, eosinofilia, dan fotosensivitas kadang-kadang timbul, walaupun hal ini jarang terjadi dan diduga karena defisiensi enzim
G6PD.

Gejala SSP dapat berupa sakit kepalam, vertigo dan kantuk. Pada anak dan bayi mendapat asam nalidiksat dosis tinggi, dapat
timbul kejang yang mungkin disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakaranial. Efek samping ini dapat pula timbul bila obat
diberikan kepada pasien parkinsonisme, epilepsy dan gangguan sirkulasi darah pada otak.asam naliksidat tidak boleh diberikan
pada bayi berumur kurang dari 3 bulan juga pada trimester 1 kehamilan.

Sediaan Dan Posologi

Asam naliksidat tersedia dalam bentuk tablet 500 mg. dosis untuk orang dewasa iala 4 kali 500 mg/hari. Obat ini di
kontraindikasikan pada wanita hamil trimester pertama dan juga anak prapubertas.

Indikasi

Asam nalidiksat di gunakan untuk menobati infeksi saluran kemih bawah tanpa penyulit (misalnya sistisis akut). Obat
ini tidak efektif untuk infeksi saluran kemih bagian atas, misalny pielonefritis.

Dengan ditemukannya fluorokuinolon (spirofloksasin, ofloksasin, dll.) yang mempunyai daya antibakteri dan sifat
farmakokinetik yang lebih baik,tampaknya asam nalidiksat tidak akan banyak digunakan lagi di masa yang akan dating.

3. NITROFURANTOIN

Kimia Dan Efek Antibakteri

Nitrofurantoin ada antiseptic saluran kemih derivate furan. Obat ini efektif untuk kebanyakan kuman penyebab infeksi
saluran kemih seperti E. coli, proteus, sp., klebsiella, enterobacter, enterococcus, dll. Untuk Proteus mirabilis dan pseudomonas
obat ini kurang efektif. Resistensi dapat bekembang melalui pemindahan plasmid.

Farmakokinetik

Nitrofurantoin diserap dengan cepat dan lengkap melalui saluran cerna. Pemberian bersama makanan bukan hanya
mengurangi kemungkinan terjadinya iritasi lambung tapi juga mempertinggi biovailabilitasnya.
Setelah diserap, obat ini terikat kuat dengan protein plasma dan cepat di ekskresi melalui ginjal sehingga kada obat bebas dalam
darahtidak dapat mencapai kadar terapi. Masa [aruhny dalam serum hany 20 menit dan kira-kira 40% obat ini di ekskresi dalam
bentuk asalnya, sehingga didapatkan kadar yang cukup tinggi dalam urin bila faal ginjal cukup baik.

Bila klirens kreatinin kurang dari 40 ml/menit maka kadar obat dalam urin tidak cukup tinggi, sebaliknya terjadi akumulasi dalam
darah sehingga kemungkinan terjadinya intoksikasi juga lebih besar. Dengan demikian nitrofurantion tidak boleh di berikan pada
pasien gagal gijal.

Nitrofurantion menyebabkan urin berwarna agak coklat.

Efek Samping Dan Kontraindikasi

Efek samping yang paling sering di jumpai ialah mual, muntah dan diare. Keluhan-keluhan ini dapat dikuranngi dengan
pemberian bersama makanan atau susu. Reaksi hipersensivitas mungkin timbul berupa demam, leucopenia, granulositopenia,
anemia hemolitik, ikterus kolekstatik dan kerusakan hepatoselulerr. Selain itu dapat timbul pneumonitis akibat reaksi alergi dan
fibrosis pulmonus interstinal (jarang sekali terjadi).

Efek samping lain yang mungkin timbul iallah kelainan neurologic seperti sakit kepala, vertigo, kantu, nistagmus, dan nyeri otot.
Kelainan-kelainan lain bersifat sementara. Polineuropati lebih mudah terjadi pada pasien dengan gangguan faal ginjal, anemia,
diabetes, defisiensi vitamin b kompleks atau gangguan keseimbangan elektrolit.

Netrofurantion di kontraindikasikan pda gangguan faal ginjal dengan klirens kreatinin kurang dari 40 mL/menit. Obat ini jga
dikontraindikasikan pada gangguan faal ginjal bagi wanita hamil aterm dan bayi berumur kurang dari 3 bulan, karena dapat
menimbulkan anemia hemolitik.

Sediaan Dan Posologi

Nitrofurantion tersedia dalam bentuk kapsul atau tablet 50-100mg. dosis untuk orang dewasa ialah 3-4 kali 50-100
mg/hari. Untuk anak diberikan dosis 5-7 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam beberapa dosis. Obat ini tidak tersedia di Indonesia.

Penggunaan Klinik

Nitrofurantion efektif untuk mengobati bakteriuria yang disebabkan oleh infeksi saluran kemih bagian bawah.
Penggunaanya terbatas untuk tujuan profilaksdis atau pengobatan syupresif infeksi saluran kemih menahun, yaitu setelah kuman
penyebanya dibasmi atau dikurangi dengan antimikroba lain yang l;ebih efektif.

Hidroksimetilnitrofurantion digunakan dengan indikasi yang sama dengan nitrofurantion. Dosisnya 4 kali 40 mg sehari per oral.

4. FOSFOMISIN TROMETAMIN

Obat ini bekerja dengan menghambat tahap awal sintesis dinding sel kuman. Fosfomisin aktif terhadap kuman gram-positif
maupun gram-negatif. Biovailabilitasnya pada pemberian oral hanya 37%. Pemberian bersama makanan akan mengurani
penyerapan obat ini sebanyak 30%. Obat ini tidak terikat dengan protin plasma. Masa paruh eliminasinya sekitar 5.7 jam.
Ekskresi renal obat ini ialah 38%. Fofomisin tidak mengalami metabolism dalam tubuh dan di keluarkan dalam urin dan tinja
sebagai induknya.

Obat ini di indikasikan untuk infeksi saluran kemih tanpa komplikasi (sistisis akut0 pada wanita yang di sebabkan oleh E.coli dan
e.faecalis. efek samping yng di hubungkan dengan penggunaan obat ini ialah diare, mual, sakit kepala, dan vaginitis. Obat ini
dapat di berikan pada wanita hamil. Fosfomisin trometamin tersedia sebagai bubuk dalam sachet berisi 3 g yang harus di campur
dengan air kurang lebih 100 ml dan diminum sebagai dosis tunggal. Air panas tidak boleh digunakan untuk pelarut obat ini. Obat
yang telah dilarutkan harus segera di minum.
ANTIMIKROBAKTERIA ATIPIK

Mikrobakteria atipik tidak ditularkan dari manusia ke manusia, penyakit yang ditimbulkan oleh kuman ini umumnya kurang berat
dibadingkan tuberkulosis. Pada umumnya obat antituberkulosis kurang aktif terhadap mikrobakteria atipik, sedangkan antibiotik
eritromisin, sulfonamid dan tetrasiklin yang aktif terhadap mikrobakteria atipik ternyata tidak aktif pada tuberkulosis.

Antibiotik Makrolid

Mycrobacterium avium compleks ( MAC ), yang mencakup M avium dan M intracelullare, peyebab tersering dan
peting dar penyakit pada penyakit desiminasi stadium lanjut pada AIDS. Kombinasi beberapa obat diperlukan
untuk mengatasi penyakit ini. Infeksi MACdiseminasi sangat sulit untuk disembuhkan. Penggunaan kombinasi
berbagai obat akan menimbulkan berbagai efek samping yang sulit dikelola.

Rifabutin

Rifabutin dosis sekali sehari 300 mg telah terbukti meurunkan insidens bakteremia M avium compleks pada
pasien AIDS.

Mikobakteria atipik tidak di tularkan dari manusia ke manusia. Penyakit yang di timbulkan oleh kuman ini umumnya kurang
berat di bandingkan tuberculosis. Pada umunya obat antituberkulosis kurang aktiv terhadap mikobakteria atipik, sedangkan
antibiotic eritromisin, sulfonamide dan tetrasiklin yang aktif terhadap tuberculosis. Seperti mikrobakteria lain, mikobakteria
atipik juga cepat timbul resistensi terhadap penggunaan obat tunggal, sehingga harus di beri obat dalam kombinasi. M.kansaii
peka terhadap rifampisin dan etambutal, tetapi kurang peka terhadap INH dan resisten penuh terhadap pirazinamid. Pada tabel
40-1 tercantum obat-obat yang diindikasi untuk infeksi oleh barbagai mikobakteria apitik.

Antibiotik Makrolid

Mycobacteium avium complex (MAC), yang mencakup M. avium dan M. intracellular, penyebab tersering da n penting dari
penyakit diseminasi pada stadium lanjut pada AIDS (CD4 <>M.avium complex kurang peka di banding M. tuberculosis terhadap
kebanyakan antituberkulosis. Kombinasi beberapa obat diperlukan untuk mengatasi penyakit ini. Infeksi MAC diseminasi sangat
sulit untuk dapat di sembuhkan dan bila CD4 <>

Klaritromisin dan azitromisin merupakan obat yang penting untuk pengobatan infeksi MAC dan mikobakteria nontuberkulosis
lain. Klaritromisin dapat berinteraksi dengan obat-obat yang di metabolisme oleh system enzim P450. Farmakologi antibiotic
makrolid di bahas di bab 45 di buku ini. Klaritomisin in vitro lebih aktif di bandingkan azitromisin terhadap bakteri MAC, tetapi
secara klinis tidak berpengaruh karena kadar azitromisin di jaringan jauh melebihi kadar dalam darah, sehinggga melebihi KHM
MAC. Untuk pengobatan MAC klaritomisin maupun azitromisin tidak boleh di berikan sebagai monoterapi karena akan timbul
resistensi pada penggunaan jangka panjang.

Rifabutin

Rifabutin dosis sekali sehari 300 mg telah terbukti menurunkan insidens bakteremia M. avium complex pada pasien
AIDS dengan CD4 <>

C. TUBERKULOSTATIK DAN LEPROSTATIK

1. TUBERKULOSTATIK

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis di golongkan atas dua kelompok, yaitu kelompok obat lini pertama dan lini kedua.
Kelompok obat lini pertama yaitu, isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid memperlihatkan efektifitas
yang tinggi dengan toksitas yang dapat diterima. Antituberkolosis lini kedua adalah antibiotik golongan fluorokulnolon (
siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin), sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kepromisin, dan paraaminosalisilat.

1.1 Isoniazid
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat INH, hanya satu derivatnya menghambat pembelahan kuman
tuberkolosis yakni iproniazid, tetapi obat ini terlalu toksik baut manusia.

Efek Antibakteri

Isoniazid secara in vitro bersifat tuberkolostatik dan tuberkolosid dengan KHM ( Kadar Hambat Minimum )
sekitar 0.025-0.05g/ml. Pembelahan kuman masih berlangsung 2 sampai 3 kali sebelum dihambat sama sekali.
Efek bakterisidnya haya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Pada hewan ternyata aktifitas isoniazid
lebih kuat dibandingkan streptomisin, isoniazid dapat menembus kedalam sel dengan mudah.

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja isoniazid belum diketahui, tetapi ada beberapa hipotesisi yang diajukan, diantaranya efek pada
lemak, biosintesis asam nukleat dan glikolisis.

Resistensi

Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan denga adaya
kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Peggunaan INH juga dapat menyebabkan
timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalambeberapa
minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang
berlainan.

Farmakokinetik

Isoniazid mudah diabsorpsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam
setelah pemberian oral. Di hati, isoniazid terutama mengalami asetilasi dan pada manusia kecepatan metabolisme
ini dipengaruhi oleh faktor genetik yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa
paruhnya. Isoniazid muda berdifusi kedalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat degan kadar yang cukup
dalam cairan pleura dan cairan asites. Antara 75-95 % isiniazid di ekskresi melalui urin dalam waktu 24 jam dn
hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi teutama dalam bentuk asetil isoniazid.

Efek samping

Reaksi hipersensitivitas mengakibatkan demam, berbagai kelainan kulit berbetuk morbiliform, makulopapular,
dan urtikaria. Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik
dengan atropi dapat juga terjadi. Isoniazid juga dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat
terjadinya nekrosis multilobular.

Status dalam Pengobatan

Isoniazid masih tetap merupakan obat yang sangat penting untuk mengobati semua tipe tuberkolosis. Efek
samping dapat dicegah dengan pemberian peridoksin dan pengawasan yang cermat pada pasien. Untuk tujuan
terapi, obat ini harus digunakan berasama obat lain, untuk tujuan pencegahan dapat diberikan tunggal.

1.2 Rifampisin

Rifampisin adalah derivat semisetetik rifamisin B yaitu salah satu kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut
rifamisin.

Aktivitas Antibakteri

Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram positif dan gram negatif. Terhadap kuman gram
positif kerjanya tidak sekuat penisilin G, tetapi sedikit lebih kuat dari eritomisin, linkomisin dan sefalotin.
Terhadap kuma gram negatif kerjanya lebih lemah dari tetrasiklin, kanamisin.
Farmakokinetik

Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi
enterohepatik. Penyerapanya dihambat oleh adanya makanan sehinnga dalam waktu 6 jam hampir semua obat
yang berada dalam saluran empedu berbentuk diasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas atibakteri penuh.
Obat ini berdifusi baik ke berbagai jaringa termasuk ke cairan otak.

Efek Samping

Rifampisin jarang menimbulkan efek yag tidak diingini. Dengan dosis biasa, kurang dari 4 % pasien tuberkolosis
mengalami efek toksik. Yang paling sering ialah ruam kulit, demam, mual da muntah.

Interaksi Obat

Pemberian PAS bersama rifampisin akan menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak
cukup. Rifampisin merupakan pemacu metabolisme obat yang cukup kuat, sehinnga berbagai obat hipoglikemik
oral, kortikosteroid dan kontrasepsi oral akan berkurang evektivitasnya bila di berikan bersama rifampisin.

Status dalam Pengobatan

Rifampisin merupakan obat yang sangat efektif untuk pegobatan tuberkolosis dan sering digunaka bersama
isoniazid untuk terapi tuberkolosis jangka pendek. Efek sampingnya beraneka ragam, tetapi insidensnya rendah
dan jarang sampai menghentikan terapi.

Sediaan dan Posologi

Rifampisin di Indonesia terdapat dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg
dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/ 5 ml rifampisin. Beberapa sediaan dikombinasikan dengan
isoniazid.

3. Etambutol

Aktivitas Antibakteri

Hampir semua galur M. tuberkolosis da M. kansasli sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk
kuman lain. Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkolosis yang telah resisten terhadap isiniazid dan
streptomisin. Kerjanya menghambat sintetis metabolit sel sehinnga metabolisme sel terhambat dan sel mati.

Farmakokinetik

Pada pemberian oral sekitar 75-80 % etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai
dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian. Dalam waktu 24 jam, 50 % etambutol yang diberikan diekskresikan
dalam bentuk asal melalui urin, 10 % sebagai metabolit, berupa derivat aldehid dan asam karboksilat.

Efek Samping

Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Efek samping yang paling peting adalah gagguan penglihatan,
biasanya bilateral, yang merupakan neoritis retrobulbar yang berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya
kemampuan membedakan warna dan lainnya.

Status dalam Pengobatan

Etambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkolosis dan menggantikan tempat asam para amino
Sali silat karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya dan dapat diterima dalam terapi.
Sediaan dan Posologi

Di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang dicampur dengan
isoiazid dalam betuk kombinasi tetap.

3. Pirazinamid

Pirazinamid adalah analog niklatinamid yang telah dibuat sintetiknya. Obat ini tidak larut dalam air.

Aktivitas Antibakteri

Piranizamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai
tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam.

Farmakokinetik

Piranizamid mudah diserap di usus da tersebar luas keseluruh tubuh. Dosis 1 gr menghasilkan kadar plasma
sekitar 45 g/ml pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomelurus. Asam
pirazinoat yag aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang merupaka metabolit
utama.

Efek Samping

Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Efek samping lain adalah artralgia, anoreksia,
mual dan muntah, juga disuria, malaise dan demam.

Sediaan dan Posologi

Pirazinamid terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 50 mg. Dosis oral ialah 20-35 mg./kgBB sehari.

Status dalam Pengobatan

Sejak pengobatan tuberkolosis jangka pendek, kedudukan pirazinamid berubah menjadi obat primer, obat ini lebih
aktif pada suasana asam dan merupakan bakterisid yang kuat untuk bakteri tahan asam yang berada dalam sel
makrofag.

3. Streptomisin

Streptomisin ialah antituberkolosis pertama yang secara kliik dinilai efektif.

Aktivitas Antibakteri

Streptomisin in Vitro bersifat bakteriostatik da bakterisid terhadap kuman tuberkolosis. Obat ini dapat mencapai
kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi kecairan intrasel.

Resitensi

Dalam populasi yang besar selalu terdapat kuman yang resisten terhadap streptomisin. Secara umum dapat
dikatakan bahwa makin lama terapi denga streptomisin belangsung, makin meningkat resitensinya.

Farmakokinetik
Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang
masuk dalam eritrosit. Stretomisin kemudian meyebar keseluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin
yang berada dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisi di ekskresi melalui filtrasi glomelurus.

Iteraksi Obat

Interaksi dapat terjadi dengan obat penghambat neuromoskular berupa potensial penghambatan. Selain itu
interaksi juga terjadi denga obat lainyang juga bersifat ototoksik.

Sediaan dan Posologi

Streptomisin terdapat dalam bentuk bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gr.

3. Fluorokuinolon

Selain aktivitasnya terhadap berbagai gram positif dan gram negatif siprofloksasin, ofloksasin, dan
levoflaksasin mempuyai aktivitas yang baik terhadap M. tubercolosis sehingga digunakan dalam pengobatan
tuberkulosissebagai obat lini kedua.

3. Asam Paraaminosalisilat

Paraaminosalisilat ( PAS ) merupakan obat yang sering dikombinasikan dengan anti tuberkolosis yang lain.

Aktivitas Antibakteri

Obat ini bersifat bakteriostatik. Sebagian besar mikrobakterium atipitik tidak dihambat oleh obat tersebut.
Efektivitas obat ini kurang jika dibandingkan dengan isoniazid, streptomisin dan rifampisin.

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerjanya sangat mirip dengan sulfonamide. Karena sulfonamide tidak efektif terhadap M tuberkulosis
dan PAS tidak efektif terhadap kuman yag sensitif terhadap sulfonamide.

Resistensi

Secara umu resistensi in vitro terhadap PAS lebih sukar terjadi dibadingkan terhadap streptomisin.

Farmakokinetik

PAS mudah diserap melalui saluran cerna. Obat ini mencapai kadar tinggi dalam berbagai cairan tubuh kecuali
dalam cairan otak.

Efek Samping

Insidens efek samping pada pemberian PAS hampir mencapai 10 , gejala yang agak menonjol ialah mual dan
gangguan saluran cerna lainnya. Pada keadaan tertentu dapat timbul hemolisis.

Sediaan dan Posologi

PAS terdapat dalam bentuk tablet 500 mg yang diberikan dengan dosis oral 8-12 g sehari, dibagi dalam beberapa
dosis.
3. Sikloserin

Sikloserin merupkan antibiotik yang dihasilkan oleh Stretomyces orchidaceus, dan sekarang dapat dibuat secara
sintetik.

Aktivitas Antibakteri

In vitro sikloserin menghambat pertumbuhan M tuberculosis pada kadar 5-20 g/ml melalui penghambatan
sintesis dinding sel.

Farmakokinetik

Setelah pemberian oral absorpsinya baik, kadar puncak dalam darah dicapai 4-8 jam setelah pemberian obat.
Distribusi dan difusi keseluruh cairan dan jaringan tubuh baik sekali. Ekskersi maksimal tercapai dalam 2-6 jam
setelah pemberian obat dan 50 % di ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh selama 12 jam pertama.

Sediaan dan Posologi

Sikloserin dalam bentuk kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari.

Efek Samping

Efek samping yang palig sering timbul dalam pegguanaan sikloserin ialah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2
minggu pertama pengobatan.

3. Etionamid

Etionamid merupakan turunan tiosonikotinamid. Zat ini berwarna kuning dan tidak larut dalam air.

Aktivitas Antibakteri

In vitro, etionamid menghambat pertumbuhan M tuberculosis jenis human. Resistensi mudah terjadi bila dosis
kurang tinggi atau obat ini diguakan sendiri.

Farmakokinetik

Pada pemberian peroral etionamid mudah diabsorpsi. Kadar puncak tercapai dalam 3 jam dan kadar terapi
bertahan selama 12 jam. Distribusi cepat, luas dan merata keseluruh jaringan dan cairan tubuh. Ekskresi
berlangsung cepat dan terutama dala bentuk metabolitnya haya 1 % dalam betuk aktif.

Efek Samping

Efek samping yang paling sering dijumpai adalah aoreksia, mual dan muntah.sering juga terjadi hipotensi postural
yang hebat, depresi mental, mengantuk dan asthenia.

Sediaan dan Posologi

Etionamid tedapat dalam betuk tablet 250 mg. Dosis awal ialah 2 kali 250 mg perhari.

Status dalam pengobatan

Etionamid merupakan antituberkulosis sekunder yang harus dikombinasi dengan antituberkulosis lain bila obat
primer tidak efektif lagi.
3. Kanamisin dan Amikasin

Kedua obat ini termasuk antibiotik golongan aminoglikosida.

Kanamisin

Kanamisin telah lama digunakan sebagai antituberkulosis lini kedua untuk pengobatan tuberkulosis yang
disebabkan oleh bakteri yang sudah resiste terhadap streptomisin, tetapi semenjak ditemukan amikasin da
kapreomisin yag relaitif kurang toksik, maka kini telah ditinggalkan.

Amikasin

Amikasin adalah semisintetik kaimasin dan lebih resisten terhadap berbagai enzim yang dapat merusak
aminoglikosida lain.

Farmakokinetik : melalui salura cerna amikasin tidak diabsorpsi. Melalui suntikan intramuskular dosis 500 mg/12
jam.

3. Kapreomisin

Kapreomisin adalah suatu antituberkulosis polipeptida yang dihasilkan juga oleh Streptomyces Sp.

Efek Samping

Kapreomisin merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audometrik dan pemeriksaan fungsi
vestibuler sebelum mulai pemberiannya. Efek samping lain adalah hipoglikemia, memburuknya angka-angka uji
fungsi hati dan lainnya.

Status Dalam Pengobatan

Kapreomasin hanya digunakan dalam kombinasi dengan antituberkulosis lain.

3. Rifabutin ( Ansamisin )

Rifabutin suatu antubiotik derivat rifamisi seperti juga rifampisin dan rifapentin. Obat ini aktif terhadap M tuberculosis,
M. avrium intraselular, M. fortuitum. Ributin efektif untuk terapi pencegahan dan pengobataninfeksi disseminated
atypical mycobakteria.

3. Rifapentin

Rifapentin suatu indikator poten enzim sitokrom P450. ripafentin diindikasikan untuk pengobatan tuberkulosis oleh
mikrobakteria yang sensitif terhadap rifampisin.

1.14 Pengobatan Tuberkulosis

Tuberkulosis ( TB ) dapat meyerang beberapa organ tubuh, diantaranya paru-paru, ginjal, tulang dan usus. Tujuan
pengobatan Tuberkulosis adalah memusnakan basil tuberkulosis dengan cepat dan mencegah kambuh. Selain itu juga
bertujuan mengurangi transmisi TB kepada orang lain dan mencegah/memperlambat timbulnya retensi TB terhadap
obat. Yang menjadi poin penting Pada pengobatan TB adalah :

Pemilihan Obat
Resistensi
Panduan Terapi
Panduan terapi tuberkulosis pada pasien defisiensi imun
Efek samping
Pengobatan, Pencegahan
Terapi kortikosteroid pada tuberkulosis
Penilaian hasil pengobatan

2. LEPROSTATIK

Penyakit lepra di Indonesia cukup banyak dan memerlukan perhatian yang serius. Dalam bab ini akan di bahas antilepra
golongan sulfon, rifampisin, klofazimin, amitiozon dan obat-obat lain.

Sifat farmakologi yang sama. Banyak senyawa yang telah di kembangkan, tetapi secara klinis hanya masalah
pengobatan lepra. WHO menganjurkan penggunaan kombinasi 3 obat sekaligus yaitu dapson, ifampisin dank lofazimin untuk
pemberantasan global penyakit lepra.

1. Sulfon

Golongan sulfon merupakan derivate 4.4 diamino difenil sulfon (DDS, dapson) yang memiliki dapson dan sulfokson yang
bermanfaat.

Aktivitas In Vitro Dan In Vivo

Aktivitas sulfon terhadap basil lepra secara in vitro tidak dapat di ukur mengingat hasil ini belum dapat di biakkan
dalam media buatan. Tehadap basil tuberculosis obat ini bersifat bakteripstatik; dapson dapat menghambat pertumbuhan basil
pada kadar 10 /mL. penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa sulfon bersifat bakteriostatik dengan KHM sebesar 0,02
/mL. resistensi dapat terjadi selama pengobatan berlangsung.

Mekanisme kerja sulfon sama dengan sulfonamide. Kedua golongan obat ini mempunyai spectrum antibakteri yang
sama, dan dapat ldi hambat aktivitasnya oleh PABA secara bersaing.

Farmakokinetik

Dapson di serap lambat di saluran cerna, tetapi hampir sempurna. Sulfokson di serap kurang sempurna sehingga banyak
tebuang bersama feses. Kadar puncak tercapai setelah 1-3 jam , yaitu 10-15 /mL. setelah pemberian dosis yang di anjurkan.
Kadar puncak cepat turun, tetapi masih di jumpai dalam jumlah cukup setelah 8 jam. Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-
50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang, sejumlah kecil obat masih di temukan sampai 35 hari setelah pemberian
obat di hentikan.

Golongan sulfon tersebar luas di seluruh jaringan dan cairan tubuh. Obat ini cenderung tertahan dalam kulit dan otot, tetapi lebih
banyak dalam hati dan ginjal. Obat tetrikat pada protein plasma sebanyak 50-70%, dan mengalami daur enterohepatik. Daur ini
yang menyebabkan obat masih di temukan dala darah lama setelah pemberiannya di hentikan. Sulfon mengalami metabolisme
dalam hati dan kecepatan asetilasinya di etntukan oleh factor genetic.

Ekskresi melalui urin berbeda jumlahnya bagi setiap sediaan sulfon. Dapson dosis tunggal di ekskresi sebanyak 70-80% terutama
dalam bentuk metabolitnya. Probenesid dapat menghambat ekskresi dapson dan metabolitnya.

Efek Samping
Efek samping sediaan sulfon yang paling sering terlihat ialah hemolisis yang berhubungan erat dengan besarnya dosis.
Hemolisis dapat tejadi pada hampir setiap pasien yang menerima 200-300 mg dapson sehari. Dosis 100 mg pada orang normal
atau dosis kurang dari 50 mg pada orang yang menderita kekurangan enzim G6PD tidak menimbulkan hemolisis.
Methemoglobinemia sering pula terlihat, kadang-kadang di sertai pembentukan Heinz body.

Walaupun sulfon menyebabkan hemolisis, anemia hemolisis jarang tetrjadi kecuali bila pasien juga menderita kelainan eritrosit
atau sumsum tulang. Tanda hipoksia akan tampak bila hemolisis sudah sedemikian berat.

Anoreksia, mual dan muntah dapat terjadi pada pemberian sulfon. Gejala lain yang pernah di laporkan ialah sakit kepala, gugup,
sukar tidur, penglihatan kabur, parestesia, neuropati perifer yang mampu pulih, demam, hematuria, pruritus, psikosis, dan
berbagai bentuk kelainan kulit. Gejala mirip mononucleosis infeksiosa yang berakibat fatal pernah pula di laporkan.

Sulfon dapat pula menimbulkan reaksi lepromatosis yang analog dengan reaksi jarisch Herxhelmer. Sindrom yang di sebut
sindrom sulfon ini dapat timbul 5-6 minggu setelah awal terapi pada pasien yang bergizi buruk. Gejalanya dapat berupa
demam, malaise, dermatitis eksfoliatif, ikterfus yang di sertai nekrosis hati, limfadenopati, methemoglobnemia, dan anemia.

Sediaan Dan Pasologi

Sulfon dapat di gunakan dengan aman selama beberapa tahun bila pemberian di lakukan dengan seksama. Pengobatan
harus di mulai dengan dosis kesil, kemudian di naikkan perlahan-lahan dengan pengawasan klinik dan laboratorium secara
teratur. Reaksi lepromatosis berupa sindrom sulfondapat demikian parah dan memerlukan penghentian terapi.

Dapson diberikan dalam bentuk tablet 25 dan 100 mg secara oral. Pengobatan di mulai dengan dosis 25 mg. dalam 2 minggu
pertama dosis ini di berika sekali dalam seminggu; kemudian setiap 2 minggu frekuensi pemberian di tambahkan satu kali sampai
tercapai pemberian 5 kali seminggu. Setelah itu dosis di naikkan menjadi 50 mg, yang di berikan 3 kali seminggu selama 1 bulan
dan akhirnya di naikkan 4 kali seminggu untuk waktu yang tidak terbatas. Pemberian dapson 100 mg dua kali seminggu mungkin
cukup efektif untuk pengobatan jangka lama.

Natrium sulfokson di berikan pada pasien yang mengalami gangguan saluran cerna akibat dapson. Natrium sulfokson terdapat
dalam bentuk tablet bersalut gula 165 mg. dosis awal ialah 330 mg di berikan 2 kali seminggu selama 2 minggu pertama,
kemudian pemberian di naikkan lagi menjadi 6 kali seminggu. Dosis maksimum perhari ialah 600 mg.

2. Rifampisin

Farmakologi obat ini telah di tinjau sebagai antituberkulosis. Pada hewan coba, antibiotic ini cepat mengadakan sentralisasi kaki
mencit yang diinfeksi dengan M.leprae dan tampaknya mempunyai efek bakterisid. Walaupun obat ini mampu menembus sel dan
saraf, dalam pengobatan yang berlangsung lama masih saja di temukan kuman hidup. Beberapa pasien yang makan obat ini
selama 10 tahun tidak timbul masalah, tetapi resistensi timbul dalam waktu 3-4 tahun. Atas dasar inilah penggunaaan rifampisin
pada penyakit lepra hanya di anjurkan dalam kombinasi dengan obat lain. Kini di beberapa Negara sedang di coba pengunaan
dirafmpisin bersama dapson untuk M.leprae yang sensitive terhadap dapson, serta kombinasi rifampisin dengan klofazimin atau
etinamid untuk M.leprae yang resisten terhadap dapson. Dosisnya untuk semua jenis lepra adalah 600 mg/hari. Kini juga sedang
di teliti paduan yang menggunakan rifampisin dosis 300 mg/hari atau untuk pengunaan intermiten dengan dosis 600 mg sampai
1500 mg.

3. Amitiozon

Obat turunan tuosemikarbazon ini lebih efektif terhadap lepra jenis tuberkuloid di bandingkan terhadap lepra jenis lepramatosis.
Resistensi dapat terjadi selama pengobatan sehingga pada tahun kedua pengobatan perbaikan melambat dan pada tahun katiga
penyakit mungkin kambuh. Karena itu amitiozon di anjurkan penggunaannya bila dapson tidak dapat di terima pasien.

Efek samping yang paling sering terjadi ialah anoreksia, mula, dan muntah. Anemia karena depresi sumsumvtulang terlihat pada
sebagian besar pasien. Leukopenia dan agarnulositosis dapat terjadi, tetapi yang berat keadaan nya terdapat pada 0,5% pasien.
Anemia hemolitik akut dapat terjadi dengan dosis tinggi. Ruam kulit dan albuminuria tidak jarang pula tetrlihat. Kejadian ikterus
cukup tinggi dan gejala ini menandakan obat bersifat hepatotoksik tetapi sifatnya reversibel.

Amitiozon mudah di serap melalui saluran cerna dan ekskresinya melalui urin. Dosis permulaan ialah 50 mg setiap hari selama 1-
2 minggu, kemudian dosis dapat di naikkan perlahan-lahan sampai mencapai 200 mg. obat ini sama efektif baik pada pemberian
dosis tunggal maupun dosis terbagi.
4. Pengobatan Lepra

Pengobatan lepra juga mengalami perubahan setelah suksesnya pengobatan tuberculosis dengan paduan terapi jangka pendek. Di
masa lalu pengobatan lepra biasanya dengan obat tunggal, kini banyak di usahakan pengobatan minimal dengan dua obat, dan
rifampisin jega merupakan komponen yang penting. Untuk mengerti pengobatan lepra, perlu di pahami bentuk klinik penyakit
tersebut. Di kenal dua macam pembagian penyakit lepra menurut bentuk kliniknya.

Klasifikasi

Madrid membagi penyakit ini menjadi 4 tipe yaitu tipe indeterminate, tuberculoid, borderline, dan lepromatosa,
sedangkan Ridley dan Jopling membaginya menjadi 6 tipe yaitu tipe indeterminate (tipe 1), tuberculoid (tipe TT), borderline
tuberculoid (tipe BT), borderline atau midborderline (tipe BB), borderline lepromatosa (tipe LL). Lepra tipe indeterminate
merupakan bentuk permulaan penyakit lepra yang memperlihatkan bermacam bentuk macula hipopigmentasi. Sekitar 75% leai
ini sembuh spontan, yang lain mungkin menetap sebagai tipe indeterminate atau berkembang menjadi bentuk-bentuk tuberculoid,
borderline untuk seterusnya menjadi bentuk lepromatosa. Tanda klinik bentuk tuberculoid sampai bentuk lepromatosa dapat di
lihat pada tabel 40-8.

Tabel 40-8. KALSIFIKASI PENYAKIT LEPRA MENURUT RIDLEY DAN JOPLING

Tanda-tanda TT BT BB-BL LL

Jumlah lesi kulit biasanya tunggal tunggal/sedikit beberapa banyak sangat banyak

Besar lesi beragam beragam beragam kecil

Permukaan lesi sangat kering/bersisik kering mengkilap mengkilap

Pertumbuhan rambut pada lesi tak ada berkurang agak berkurang tak berpengaruh

Daya rasa pada lesi hilang sama sekali menurun jelas menurun ringan tidak hilang

BTA dari apus jaringan kulit nol nol/jarang beberapa banyak sangat banyak

BTA dari korekan hidung nol nol nol/jarang sangat banyak

tesblepromin +++ +/++ negative negative

keterangan : TT = lepra tipe tberkuloid ; BT = borderline tuberculoid ; BB-BL mid borderline-borderline lepromatous

LL = lepra lepromatous

Untuk kepentingan pengobatan penyakit lepra dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan ada tidaknya BTA dalam pemeriksaan
bakteriologis yaitu bentuk pausibasiler (tipe PB) dan bentuk multibasiler (HB).

Yang tergolong bentuk BB ialah semua tipe pada pemeriksaan laboratorium tidak di temukan BTA yang termasuk dalam
kelompok ini ialah tipe indeterminate dan tipe tuberculoid. Tetapi bila pada tipe ini di temukan BTA positif, maka tipe ini
tergolong dalam bentuk multibasiler (MB).

Bentuk multibasiler (MB) secara garis besar ialah semua tipe yang pada pemeriksaan laboratorium BTA-nya positif. Tipe
borderline dan lepromatosa termasuk bentuk multibasiler walaupun BTA negative.
Pemilihan Obat

Dapson atau DDS merupakan obat terpilih untuk semua tipe penyakit lepra. Obat ini di gunakan baik pada terapi obat
tunggal maupun kombinasi. Bila terjadi resistensi terhadap DDS, atau reaksi alergi, baru di gunakan obat lain. Klofazimin yang
beberapa tahun lalu hanya di gunakan untuk menggantikan DDS, kini di gunakan bersama DDS untuk lepra tipe multibasiler dan
rifampisin merupakan komponen penting dalam terapi kombinasi baik pada lepra tpe pausibasiler maupun multibasiler. Selain itu
pada reaksi lepra juga di gunakan kortikostiroid untuk efek antiinflamasinya. Juga di gunakan klorokuin untuk efek
antiinflamasinya. Talidomid di gunakan untuk reaksi eritema nodosum leprosum, untuk reaksi reversal obat ini tidak bermanfaat.

Regimen Pengobatan

Pengobatan lepra di Indonesia ada dua cara yaitu terapi kombinasi dan terapi obat tunggal. Tetapi obat kombinasi yang
di anjurkan di Indonesia sesuai dengan yang di anjurkan oleh WHO.

Paduan obat untuk kelompok pausibasiler adalah DDS 100 mg/hari selama 6-9 bulan dan rifampisin 600 mg sebulan sekali untuk
6 bulan. Penggunaan DDS di serahkan kepada pasien, tetapi untuk menjamin kepatuhan, pemberian rifampisin harus dibawah
pengawasan dokter. Paduan obat untuk kelompok smultibasiler adalah DDS 100 mg/hari, rifampisin 600 mg sebulan sekali,
klofazimin 50 mg/hari, dan klofazimin 300 mg setiap bulan. Rifampisin dan klofazimin yang diberikan sebulan sekali juga harus
diawasi pemberiannya. Lama pengobatan paling sedikit 2 tahun dan paling baik sampai hasil pemeriksaan BTA negative.

Terapi Obat Tunggal

Di daerah-daerah yang belum terjangkau terapi obat kombinasi masih di lakukan terapi obat tunggal. Untuk tipe PB di
berikan DDS 100 mg/hari yang lamanya paling sedikit 2-3 tahun, sedang untuk MB lama pengobatan tidak di tentukan. Kini
pengobatan dengan obat tunggal tidak di anjurkan lagi. Oleh karena itu bila pasien yang sedang dalam terapi obat tunggal
kemudian memperoleh kesempatan untuk mendapatkan obat kombinasi, maka pengobatan di mulai lagi seolah belum pernah
mendapat pengobatan.

Reaksi Lepra

Reaksi lepra adalah kejadian atau episode dalam perjalanan penyakit lepra yang merupakan manifestasi reaksi imun
(kekebalan) seluler maupun humoral. Reaksi ini dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah pengobatan. Yang sering terjadi
ialah dalam pengobatan, biasanya antara 6 bulan 1 tahun pertama. Ada jug reaksi lepra :

(1) reaksi tipe atau tipe reaksi reversal yang terjadi pada tipe tuberkuloid biasanya dalam 6 bulan pertama masa pengobatan.
Gejala yang menonjol ialah neuritis sampai hilangnya sensorimotor, kulit menjadi kemerahan dan berluka, serta edema di muka,
tangan, dan kaki. Reaksi tipe ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang berhubungan dengan meningkatnya respon
imun seluler.

Pada reaksi yang ringan di berikan klorokuin 3 kali 1 tablet selama 3-5 hari sementara antilepra tetap di teruskan kalau perlu
dapat di beri analgesic dan sedative. Pada reaksi yang berat perlu di berikan kortikostiroid.

(2) reaksi tipe ii atau eritema nodosum leprosum (ENL) biasanya timbul lebih lambat dari pada reaksi tipe I. gejala dan tandanya
ialah timbulnya benjol-benjol kecil kemerahan di kulit (di mana saja), sering di sertai neuritis, orchitis, iridosiklitis, arthritis,
proteinuria, dan limfadenopati.

Pengobatan reaksi tipe II sama dengan tipe I hanya klorokuin di berikan 1 minggu. Pada reaksi yang berat di berikan
kortikosteroid dan dosis klofazimin di naikkan menjadi 3 x 100 mg/hari selama 1 minggu. Bila reaksi berkurang dosis klofazimin
di turunkan menjadi 2 kali 100 mg/hari sampai reaksi hilang. Kemudian dosis di kembalikan menjadi 50 mg/hari.

Beberapa pusat pemberantasan penyakit lepra di luar negeri seperti amerika serikat menggunakan talidomid untuk mengobati
reaksi lepra tipe II yang berat dengan dosis awal 400 mg, kemudian di lanjutkan dengan dosis rumat 100 mg/hari.

Penilaian Hasil Pengobatan

Kemajuan pengobatan dinilai dengan melihat perbaikan gejala dan tanda klinik maupun laboratorium, serta ketekunan
berobat. Setelah memenuhi criteria sembuh, pasien di beri surat pernyataan sembuh oleh petugas kusta setempat.
Pasien kelompok pausibasiler yang telah menjalani pengobatan selama 6-9 bulan dan memenuhi criteria sembuh klinik dan
laboratories di nyatakan selesai menjalani pengobatan (released from treatment/RTF). Tetapi mereka masih harus di awasi dan di
periksa terus secara klinik dan laboratories sedikitnya setahun sekali selama 2-3 tahun. Bila selama itu tidak terjadi perubahan
klinik yang menuju kambuh, maka mereka di nyatakan bebas dari control atau released from control/RFC. Bila selama masa
control itu terjadi kambuh, maka pengobatan di mulai lagi dari permulaan.

Pasien kelompok multibasiler yang telah menjalani pengobatan selama 24-36 bulan dengan tekun dan memenuhi krietria sembuh
klinik dan laboratories di nyatakan telah selesai manjalani pengobatan (released from treatment/RTF). Selanjutnya mereka
dalam masuk dalam masa pengawasan sedikitnya selama 5 tahun. Minimal setahun sekali mereka harus di periksa secara klinik
dan laboratoris untuk melihat perkembangan penyakitnnya. Bila selama lima tahun itu tidak terjadi perkembangan menuju
kambuh, maka mereka di nyatakan bebas dari control (released from control). Tetapi bila dalam masa pengawasan itu terjadi
perkembangan menuju kambuh, maka pengobatan di mulai lagi mulai dari permulaan.

D. TETRASIKLIN

1. Asal dan Kimia

Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces
aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari dari Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara
semisintetik dari klortetrasiklin, tetapi juga dapat diperoleh dari species Stretomyces lain.

Tetrasiklin merupakan basa yang sukar larut dalam air, tetapi bentuk garam natrium atau garam HCl-nya mudah larut.
Dalam keadaan kering, bentuk basa dan garam HCl tetrasiklin bersifat relative stabil. Dalam larutan kebanyakan tetrasiklin
sangat labil sehingga cepat berkurang potensinya.

Struktur kimia golongan tetrasiklin dapat dilihat pada gambar 43-1. Tigesiklin adalah suatu antibiotika dari golongan
baru yaitu glisilsiklin.

R1 R2 R3 N(CH3 )2

OH

OH O OH

Gambar Struktur kimia golongan tetrasiklin

Tabel . Struktur kimia golongan tetrasiklin


Gugus

No Jenis Tetrasiklin

R1 R2 R3
1 Klortetrasiklin -CH -CH3 , -OH -H , -H

2 Oksitetrasiklin -H -CH3 , -OH -OH , -H

3 Tetrasiklin -H -CH3 , -OH -H , -H

4 Demeklosiklin -Cl -H , -OH -H , -H

5 Doksisiklin -H -CH3 , -H -OH , -H

6 Minosiklin -N(CH3)2 -H , -H -H , -H

N(CH3 )2 N(CH3 )2

Gambar Struktur kimia tigesiklin

2. Farmakodinamik

Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam
masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri Gram-negatif : pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua
melalui system transport aktif. Setelah masuk antibiotic berikatan secara reversible dengan ribosom 30S dan mencegah
ikatan Trna-aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut mencegah perpanjangan rantai peptide yang sedang
tumbuh dan berakibat terhentinya sintesis protein.
Efek Antimikroba

Golongan tetrasiklin termasuk antibiotic yang terutama bersifat bakteriostasik. Hanya mikroba yang cepat membelah
yang dipengaruhi obat ini.

Spektrum Antimikroba

Tetrasiklin memperlihatkan spectrum antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan negatif, aerobic dan
an-aerobik. Selain itu juga ia aktif terhadap spiroket, mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.

Spektrum golongan tetrasiklin umumnya sama sebab mekanisme kerjanya sama, namun terdapat perbedaan
kuantitatif dari aktifitas masing-masing derivate terhadap kuman tertentu.

Tetrasiklin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin dalam pengobatan infeksi batang Gram-positif seperti B.
anthracis, Erysipelothrix rhusiophatiae, Clostridium tetani dan Listeria monocytogenes.

Kebanyakan strain N. gonorrhoeae sensitive terhadap tetrasiklin, tetapi N. gonorrhoeae penghasil penisilinase
(PPNG) biasanya resisten terhadap tetrasiklin.

Efektifitasnya tinggi terhadap infeksi batang Gram-negativ seperti Brucella, Francisella tularensis, Pseudomonas
mallei, Pseudomonas pseudomallei, Vibrio cholera, Campylobacter fetus, Haemophilus ducreyi dan Calymmatobacterium
granulomatis, Yersinia pestis, Pasteurella multocida, Spilillum minor, Leptotrichia bucalis, Bordetella pertussis,
Acinetobacter dan Fusobacterium. Strain terte3ntu H. influenza mungkin sensitive, tetapi E. Coli, Klebsiella, Enterobacter,
Proteus indol positif dan Pseudomonas umumnya resisten.

Tetrasiklin juga merupakan obat yang sangat efektif untuk infeksi Mycoplasma pneumonia, Ureaplasma urealyticum,
Chlamydia trachomatis, Clamydia psittaci dan berbagai riketsia. Selain itu obat ini juga aktif terhadap Borrelia recurrentis,
Treponema pallidum, Treponema pertenue, Actinomyces israelii. Dalam kadar tinggi antibiotic ini menghambat
pertumbuhan Entamoeba hystolitica.

Tigestin berspektrum luas dan efektiv untuk menghambat kuman E. Coli, E. Faecallis, S. agalactiae, S. anginosus, S.
pyogenes, B. fragilis, E. Cloacae, C. freundii, S. aureus (termasuk galur yang resisten terhadap metisilin MRSA).

Obat ini diindikasikan untuk infeksi kulit dan infeksi intra-abdominal dengan penyulit yang disebabkan oleh kuman-
kuman tersebut di atas.

Resistensi

Beberapa spesies kuman, terutama Streptococcus beta hemolitikus, E. Coli, Pseudomonas aeruginosa, S.
Pneumoniae, N. Gonorrhoeae, Bacteroides, Shigella dan S. Aureusmakin meningkat resistensinya terhadap tetrasiklin.
Mekanisme resistensi yang terpenting adalah diproduksinya protein pompa yang akan mengeluarkan obat dari dalam sel
bakteri. Protein ini di kode dalam plasmid dan dipindahkan dari satu bakteri ke bakteri yang lain melalui proses transduksi
atau konjugasi. Resistensi terhadap satu jenis tetrasiklin biasanya disertai resistensi terhadap semua tetrasiklin lainnya,
kecuali minosiklin pada resistensi S. Aureus dan doksisiklin pada resistensi B. Fragilis.
1. Farmakokinetik

a. Absorpsi

Kira-kira 30 80 % tetrasiklin diserap lewat saluran cerna. Doksisiklin dan minosiklin diserap lebih dari 90 %.
Absorpsi ini sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai factor dapat menghambat
penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam lambung (kecuali minosiklin dan doksisiklin), pH tinggi,
pembentukan kelat ( kompleks tetrasiklin dengan zat lain yang sukar diserap seperti kation Ca , Mg , Fe , Al , yang
terdapat dalam susu dan antacid ). Oleh sebab itu sebaiknya tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan.

Tetrasiklin fosfat kompleks tidak terbukti lebih baik absorpsinya dari sediaan tetrasiklin biasa.

b. Distribusi

Dalam plasma semua jenis tetrasiklin terikat oleh protein plasma dalam jumlah yang bervariasi.

Pemberian oral 250 mg tetrasiklin, klortetrasiklin dan oksitetrasiklin tiap 6 jam menghasilkan kadar sekitar 2.0
2.5 g/Ml.

Masa paruh doksisiklin tidak berubah pada insufisiensi ginjal sehingga obat ini boleh diberikan pada gagal ginjal.

Dalam cairan serebrospinal (CSS) kadar golongan tetrasiklin hanya 10 20% kadar dalam serum. Penetrasi ke
CSS ini tidak tergantung dari adanya meningitis. Penetrasi ke cairan tubuh lain dan jaringan tubuh cukup baik. Obat
golongan ini di timbun dalam system retikuloendotelial di hati, limpa dan sum-sum tulang, serta di dentin dan email
gigi yang belum bererupsi. Golongan tetrasiklin menembus sawar uri, dan terdapat dalam air susu ibu dalam kadar
yang relative tinggi. Dibandingkan dengan tetrasiklin lainnya, daya penetrasi doksisiklin dan minosiklin ke jaringan
lebih baik.

c. Metabolisme

Obat golongan ini tidak di metabolism secara berarti di hati. Doksisiklin dan minosiklin mengalami metabolism
di hati yang cukup berarti sehingga aman diberikan pada pasien gagal ginjal.

d. Ekskresi

Golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urine berdasarkan filtrasi glomerulus. Pada pemberian per oral kira-kira
20 55% golongan tetrasiklin di ekskresi melalui urine. Golongan tetrasiklin yang di ekskresi oleh hati ke dalam
empedu mencapai kadar 10 kali kadar serum. Sebagian besar obat yang di ekskresi ke dalam lumen usus ini mengalami
sirkulasi enterohepatik : maka obat ini masih terdapat dalam darah untuk waktu lama setelah terapi dihentikan. Bila
terjadi obstruksi pada saluran empedu atau gangguan faal hati obat ini akan mengalami kumulasi dalam darah. Obat
yang tidak diserap diekskresi melalui tinja.

Antibiotik golongan tetrasiklin yang diberi peroral dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan sifat
farmakokinetiknya yaitu :

Tetrasiklin, Klortetrasiklin dan Oksitetrasiklin.

Absorpsi kelompok tetrasiklin ini tidak lengkap dengan masa paruh 6 12 jam.

Demetilklortetrasiklin

Absorpsnya lebih baik dan masa paruhnya kira-kira 16 jam sehingga cukup diberikan 150 mg per oral tiap 6 jam.

Doksisiklin dan Minosiklin


Absorpsinya baik sekali dan masa paruhnya 17 20 jam. Tetrasiklin golongan ini cukup diberikan 1 atau 2 kali
100 mg sehari.

4. Penggunaan Klinik

Karena penggunaan yang berlebih, dewasa ini terjadi resistensi yang mengurangi efektivitas tetrasiklin. Penyakit
yang obat pilihannya golongan tetrasiklin adalah :

a. Riketsiosis

Perbaikan yang dramatis tampak setelah pemberian golongan tetrasiklin. Demam mereda dalam 1 3 hari dan
ruam kulit menghilang dalam 5 hari. Perbaikan klinis yang nyata telah tampak 24 jam setelah terapi di mulai.

b. Infeksi Klamidia

Limfogranuloma Venereum.

Untuk penyakit ini golongan tetrasiklin merupakan obat pilihan utama. Pada infeksi akut diberikan terapi selama 3
4 minggu dan untuk keadaan kronis diberikan terapi 1 2 bulan. Empat hari setelah terapi diberikan bubo mulai
mengecil.

Psitakosis

Pemberian golongan tetrasiklin ini selama beberapa hari dapat mengatasi gejala klinis. Dosis yang digunakan
adalah 2 gram per hari selama 7 10 hari atau 1 gram per hari selama 21 hari.

Konjungtivitis inklusi.

Penyakit ini dapat di obati dengan hasil baik selama 2 3 minggu dengan memberikan salep mata atau obat tetes
mata yang mengandung golongan tetrasiklin.

Trakoma

Pemberian salep mata golongan tetrasiklin yang dikombinasikan dengan doksisiklin oral 2 x 100 mg/hari selama
14 hari memberikan hasil pengobatan yang baik.

Uretritis Non spesifik

Infeksi yang disebabkan oleh Ureaplasma urealyticum atau Chlamydia trachomatis ini terobati baik dengan
pemberian tetrasiklin oral 4 kali 500 mg sehari selama 7 hari. Infeksi C. Trachomatis sering kali menyertai uretritis
akibat gonokokkus.

c. Infeksi Mycoplasma Pneumoniae

Pneumoniae primer atipik yang disebabkan oleh mikroba ini dapat diatasi dengan pemberian golongan tetrasiklin.
Walaupun penyembuhan klinis cepat dicapai Mycoplasma pneumonia mungkin tetap terdapat dalam sputum setelah
obat dihentikan.
d. Infeksi Basil

Bruselosis

Pengobatan dengan golongan tetrasiklin memberikan hasil baik sekali untuk penyakit ini. Hasil pengobatan yang
memuaskan biasanya di dapat dengan pengobatan selama 3 minggu. Untuk kasus berat seringkali perlu diberikan
bersama Streptomisin1 g sehari IM.

Tularemia

Obat pilihan utama untuk penyakit ini sebenarnya adalah Streptomisin, tetapi terapi dengan golongan tetrasiklin
juga memberikan hasil yang baik.

Kolera

Doksisiklin dosis tunggal 300 mg merupakan antibiotik yang efektif untuk penyakit ini. Pemberian dapat
mengurangi volume diare dalam 48 jam.

Sampar

Antibiotik terbaik untuk mengobati infeksi ini adalah Streptomisin. Bila Streptomisin tidak dapat diberikan, maka
dapat dipakai golongan tetrasiklin. Pengobatan di mulai dengan pemberian secara IV selama 2 hari dan dilanjutkan
dengan pemberian per oral selama 1 minggu.

e. Infeksi Kokus

Golongan tetrasiklin sekarang tidak lagi diindikasikan untuk infeksi stafilokokus maupun streptokokus karena
sering dijumpai resistensi. Tigesiklin efektif untuk infeksi kulit dan jaringan lunak oleh stretokokus dan stafilokokus
(termasuk MRSA).

f. Infeksi Venerik

Sifilis

Tetrasiklin merupakan antibiotic pilihan kedua setelah penisilin untuk mengobati sifilis. Dosisnya 4 kali 500 mg
sehari per oral selama 15 hari. Tetrasiklin juga efektif untuk mengobati chancroid dan granuloma inguinal. Karena itu
dianjurkan memberikan dosis yang sama dengan dosis untuk terapi sifilis.

g. Akne Vulgaris

Tetrasiklin di duga menghambat produksi asam lemak dari ebum. Dosis yang diberikan untuk ini adalah 2 kali
250 mg sehari selama 2 -3 minggu, bila perlu terapi dapat diteruskan sampai beberapa bulan dengan dosis minimal
yang masih efektif.
h. Penyakit Paru Obstruktif Menahun

Eksaserbasi akut penyakit paru obstruktif menahun dapat diatasi dengan doksisiklin oral 2 kali 100 mg/hari.
Antibiotika lain yang juga bermanfaat adalah kotrimosazol dan koamoksiklav.

i. Infeksi Intra Abdominal

Tigesiklin efektif untuk pengobatan ibfeksi intra abdominal yang disebabkan oleh Entamoeba Coli, C. Freundil,
E. Faecalis, B. Fragilis dan kuman-kuman lain yang peka.

j. Infeksi Lain

a. Aktinokmikosis

Golongan tetrasiklin dapat digunakan untuk mengobati penyakit ini bila penisilin G tidak dapat diberikan
kepada pasien.

b. Frambusia

Respons penderita terhadap pemberian golongan tetrasiklin berbeda-beda. Pada beberapa kasus hasilnya
baik, yang lain tidak memuaskan. Antibiotik pilihan utama untuk penyakit ini adalah penisilin.

c. Leptospirosis

Walaupun tetrasiklin dan penisilin G sering digunakan untuk pengobatan leptospirosis, efektifitasnya tidak
terbukti secara mantap.

d. Infeksi Saluran Cerna

Tetrasiklin mungkin merupakan ajuvan yang bermanfaat pada amuniasis intestinal akut, dan infeksi
Plasmodium Falciparum. Selain itu mungkin efektif untuk disentri yang disebabkan oleh Strain Shigella yang
peka.

k. Penggunaan Topikal

Pemakaian topical hanya dibatasi untuk infeksi mata saja. Salep mata golongan tetrasiklin efektif untuk
mengobati trakoma dan infeksi lain pada mata oleh kuman. Gram positif dan Gram Negatif yang sensitive. Selain itu
juga salep mata ini dapat pula digunakan untuk profilaksis oftalmia neonatorum pada neonatus.

5. Efek Samping

Efek samping yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin dapat dibedakan dalam 3 kelompok yaitu
reaksi kepekaan, reaksi toksik dan iritatif serta reaksi yang timbul akibat perubahan biologik.

a. Reaksi Kepekaan

Rekasi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian golongan tetrasiklin adalah erupsi mobiliformis, ultikaria dan
dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat adalah edema angioneurotik dan reaksi anafilaksis. Demam dan
eosinofilia dapat pula terjadi pada waktu terapi berlangsung. Sensitisasi silang antara berbagai derivate tetrasiklin
sering terjadi.

b. Reaksi Toksik dan Iritatif

Iritasi lambung paling sering terjadi pada pemberian tetrasiklin per oral, terutama dengan oksitetrasiklin dan
doksisikli. Makin besar dosis yang diberikan makin sering terjadi reaksi ini. Keadaan ini dapat diatasi dengan
mengurangi dosis untuk sementara waktu atau memberikan golongan tetrasiklin bersama dengan makanan, tetapi
jangan dengan susu atau antacid yang mengandung aluminium, magnesium atau kalsium. Diare seringkali timbul
akibat iritasi dan harus dibedakan dengan diare akibat superinfeksi stafilokokus atau Clostridium Difficile yang sangat
berbahaya.

Manifestasi reaksi iritatif yang lain adalah terjadinya tromboflebitis pada pemberian IV dan rasa nyeri setempat
bila golongan tetrasiklin disuntikkan IM tanpa anestetik local.

Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipik, granulasi
toksik pada granulosit dan trombosittopenia.

Reaksi fototoksik paling jarang timbul dengan tetrasiklin, tetapi paling sering timbul pada pemberian
dimetilklortetraskilin. Manifestasinya berupa fotosensitivitas, kadang-kadang disertai demam dan eosinofilia.
Pigmentasi kuku dan onikolisis yaitu lepasnya kuku dari dasarnya juga dapat terjadi.

Hepatotoksisitas dapat terjadi pada pemberian golongan tetrasiklin dosis tinggi (lebih dari 2 gram sehari) dan
paling sering terjadi setelah pemberian parenteral. Sifat hepatotoksisitas oksitetrasiklin dan tetrasiklin lemah
dibandingkan dengan golongan tetrasiklin lain. Wanita hamil atau masa nifas dengan pielonefritis atau gangguan fungsi
ginjal lain cenderung menderitakerusakan hati akibat pemberian golongan tetrasiklin. Karena itu tetrasiklin jangan
diberikan pada wanita hamil kecuali bila tidak ada terapi pilihan lain. Kecuali doksisiklin, golongan tetrasiklin bersifat
kumulatif dalam tubuh, karena itu dikontraindikasikan pada gagal ginjal. Efek samping yang paling sering timbul
biasanya berupa azotemia, hiperfosfatemia dan penurunan berat badan.

Golongan tetrasiklin memperlambat koagulasi darah dan memperkuat efek antikoagulan kumarin. Di duga hal ini
disebabkan oleh terbentuknya kelat kalsium, tetapi mungkin juga karena obat-obatan ini mempengaruhi sifat
fisikokimia lipoprotein plasma.

Tetrasiklin terikat sebagai kompleks pada jaringan tulang yang sedang tumbuh. Pertumbuhan tulang yang sedang
tumbuh. Pertumbuhan tulang akan terhambat sementara pada fetus dan anak. Bahaya ini terutama terjadi mulai
pertengahan masa hamil sampai dan sering berlanjut sampai umur 7 tahun atau lebih. Timbulnya kelainan ini lebih
ditentukan oleh jumlah dari pada lamanya penggunaan tetrasiklin.

Pada gigi susu maupun gigi tetap, tetrasiklin dapat menimbulkan disgenesis, perubahan warna permanen dan
kecenderungan terjadinya karies. Perubahan warna bervariasi dari kuning cokelat sampai kelabu tua. Karena itu
tetrasiklin termasuk tigesiklin jangan digunakan mulai pertengahan kedua kehamilan, masa menyusui dan anak sampai
berumur 8 tahun. Efek ini terjadi lebih sedikit pada oksitetrasiklin dan doksisiklin.

Tetrasiklin yang sudah kadaluwarsa akan mengalami degradasi menjadi bentuk anhidro 4 epitetrasiklin. Pada
manusia hal ini mengakibatkan timbulnya sindrom Fanconi dengan gejala poliuria, polidipsia, proteinuria, asidosis,
glukosuria, amino-asiduria di sertai mual; dan muntah. Kelianan ini biasanya bersifat reversible dan menghilang kira-
kira satu bulan setelah pemberian tetrasiklin kadaluwarsa ini dihentikan.

Semua tetrasiklin dapat menimbulkan imbang nitrogen negative dan meningkatkan kadar ureum darah. Hal ini
tidak berarti secara klinis pada pasien dengan faal ginjal normal yang mendapat dosis biasa, tetapi pada keadaan gagal
ginjal dapat timbul azotemia.

Pemberian golongan tetrasiklin pada neonates dapat mengakibatkan peninggian tekanan intra cranial dan
mengakibatkan fontanel menonjol, sekalipun obat-obat ini diberikan dalam dosis terapi. Pada keadaan ini tidak
deitemukan kelainan CSS dan bila terapi dihentikan maka tekannya akan menurun kembali dengan cepat.
Minosiklin sering bersifat vestibulotoksik dan dapat menimbulkan vertigo, ataksia dan muntah yang bersifat
reversibel.

c. Reaksi Akibat Peubahan Biologik

Seperti antibiotic lain yang berspektrum luas, pemberian golongan tetrasiklin kadang-kadang diikuti oleh
terjadinya superinfeksi oleh kuman resisten dan jamur. Super infeksi kandida biasanya terjadi dalam rongga mulut,
faring, bahkan kadang-kadang menyebabkan infeksi sistemik. Faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya super
infeksi ini adalah diabetes mellitus, leukemia, lupus eritematosus diseminata, daya tahan tubuh yang lemah dan pasien
yang mendapat terapi kortikosteroid dalam waktu lama.

Salah satu manifestali super infeksi adalah diare akibat terganggunya keseimbangan flora normal dalam usus. Di
kenai 3 jenis diare akibat super infeksi dalam saluran cerna sehubungan dengan pemberian golongan tetrasiklin adalah
sebagai berikut :

a. Enterokolitis Stafilokokus

Dapat timbul setiap saat selama terapi berlangsung. Tinja cair sering mengandung darah serta leukosit
polimorfonuklear. Pemeriksaan mikroskopik dan kultur sering menunjukkan adanya stafilokokus koagulase
positif dalam jumlah besar pada tinja, yang pada keadaan normal hanya sedikit. Diagnosis harus ditegakkan
dengan cepat karena keadaan ini seringkali mengakibatkan kematian. Bila terjadi septicemia maka harus
diberikan antibiotic yang efektif secara parenteral.

b. Kandidiasis Intestinal

Sekali pun menjadi anggapan umum bahwa diare yang timbul karena pemberian golongan tetrasiklin
disebabkan oleh super infeksi kdalam saluran cerna, ternyata hasil kultur tinja dari pasien ini tidak menunjukkan
adanya kandida dalam jumlah besar. Bila jelas terjadi kandidiasis intestinal maka perlu diberikan nistatin atau
amfoterisin B per oral.

c. Kolitis Pseudomembranosa

Efek samping ini dapat terjadi tetapi tidak sesering pada penggunaan linkomisin. Pada keadaan ini terjadi
nekrosis pada saluran cerna. Jumlah stafilokokus dalam tinja tidak bertambah. Diare yang terjadi sangat hebat, di
sertai demam dan terdapat jaringan mukosa yang nekrotik dalam tinja.

Untuk memperkecil kemungkinan timbulnya efek samping golongan tetrasiklin maka perlu diperhatikan
beberapa hal dalam memberikan terapi dengan antibiotic ini yaitu :

Hendaknya tidak diberikan pada wanita hamil


Bila tidak ada indikasi yang kuat, jangan diberikan pada anak-anak
Hanya doksisiklin yang boleh diberikan kepada pasien gagal ginjal
Hindarkan sedapat mungkin pemakaian untuk tujuan profilaksis
Sisa obat yang tidak terpakai hendaknya segera dibuang
Jangan diberikan pada pasien yang hiper sensitive terhadap obat ini.

6. Sediaan dan Posologi

Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk kapsul dan tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia bentuk
larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bubuk yang harus dilarutkan lebih dahulu ( tetrasiklin HCl, tigesiklin, doksisiklin,
minosiklin ). Posologi golongan tetrasiklin dapat dilihat pada tabel 43 1 berikut ini :
Tabel 43-1. Sediaan dan Posologi Golongan Tetrasiklin

Derivat Sediaan Dosis untuk orang dewasa

Tetrasiklin Kapsul / tablet 250 dan 500 mg Oral, 4 x 250 500 mg/hari

Bubuk obat suntik IM 100 dan 200 mg/vial Parenteral, 300 IM mg sehari yang
dibagi dalam 2-3 dosis, dosis atau 250
Bubuk obat suntik IV 250 dan 500 mg/vial 5000 mg IV diulang 2 4 kali
sehari.
Saleb kulit 3 %
Parenteral untuk pemberian IB 15-25
mg/kgBB/hari sebagai dosis tunggal
Saleb / obat tetes mata 1 % atau dibagi dalam 2-3 dosis dan IV
20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3
(tetrasiklin HCl dan tetrasiklin kompleks fosfat untuk dosis
oral tersedia dengan ukuran yang sama)

Klortetrasiklin Kapsul 250 mg Lihat tetrasiklin

Salep kulit 3 %

Salep mata 1 %

Oksitetrasiklin Kapsul 250 mg dan 500 mg Oral, 4 kali 250-500 mg/hari

Larutan obat suntik IB 250 dan 100 mg/ampul 2 mL Parenteral, 100 mg IM, diulangi 2-3
dan 500 mg/vial 10 mL sehari 500-1000 mg/hari IV ( 250 mg
bubuk dilarutkan dalam 100 mL
Bubuk obat suntik IV 250 mg larutan garam faal atau dekstrosa 5 %)

Salep Kulit 3 % Parenteral, 15-25 mg/kgBB/hari, IM


dibagi dalam 2 dosis dan 10-20
mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2
Salep Mata 1 % dosis.

Kapsul atau tablet 150 dan 300 mg Oral, 4 kali 150 mg atau 2 kali 300 mg
/ hari
Demeklosiklin Sirup 75 mg/5 mL.

Kapsul atau tablet 100 mg, tablet 50 mg Oral, dosis awal 200 mg, selanjutnya
100-200 mg/hari
Doksisiklin Sirup 10 mg / mL.

Oral, dosis awal 200 mg, dilanjutkan 2


kali sehari 100 mg/hari
Minosiklin Kapsul 100 mg

Infus 100 mg IV dalam waktu 30-60


menit. Dosis pemeliharaan 50 mg/12
Tigesiklin Vial 50 mg atau vial 100 mg jam selama 5 14 hari.

Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat menurut klasifikasi Child Pugh C Tigesiklin diberikan dosis
muat yang sama namun dosis pemeliharaannya dikurangi menjadi 25 mg tiap 12 jam. Pengurangan dosis tidak diperlukan
bagi pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan pasien berusia lanjut.

Tigesiklin tersedia dalam vial yang mengandung 50 dan 100 mg yang harus di rekonstitusi dengan larutan garam faal
atau dekstrosa 5 % untuk mendapat larutan tigesiklin yang berkadar 10 mg/mL. Larutan dalam vial ini segera diencerkan
lagi dalam 100 mL pelarut yang sama dalam kantong untuk infus. Larutan infuse ini stabil pada suhu kamar selama 6 jam
atau pada suhu 2 - 8C sel;ama 24 jam.

E. PENISILIN

a. Sejarah dan Sumber

Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum; dari berbagai macam jenis yang dihasilkan,perbedaannya hanya terletak
pada gugusan samping R saja.Benzilpenisilin yang paling aktif.sefalosprin diperternyata paling aktif.Kedua kelompok antibiotika
memiliki rumus bangun serupa,keduanya memiliki cincin beta-laktam dengan rumus dasar yang tertera di halaman berikut.cicin
ini merupakan syarat mutlak untuk khasiatnya.jika cicin ini di buka misalnya oleh enzim beta-laktamase (penisilinase atau
sefalosporinase 0maka zat menjadi inaktif

b. Mekanisme Kerja

Dinding kuman terddiri dari suatu jaringan peptidoglikan yaitu polimer dasri senyawa amino dan gula yang saling
terikat dengan yang lain dan dengan demikian memberikan kekuatan yang mekanis pada dinding.Peniosilin dan sefalosprin
menghindarkan sintesa lengkap dari polimer ini yang spesifik bagi kuman dan disebut murein.bila sel tumbuh dan plasmanya
bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis.maka dinding sel yang tak sempurna itu akan pecah dan bakteri
musnah.Dinding sel manusia dan hewan tidak terdiri dafri murein,maka antibiotika ini tidak toksis untuk manusia.

c. Indikasi Penggunaan

Indikasi masing-masing penisilin dapat berbeda satu dengan yang lain karena adanya perbedaan dalam berbagai
sifat.dalam menentuukan berbagai macam jenis penisilin perlu diperhatikan factor-faktor berikut potensi,spectrum antimikroba
ketahanannya terhadap asam,adanya penilinase dan sifat farmakokinetik.pedoman umum dalam memilih jenis penisilin adalah
sebagai berikut;

1. Untuk mikroba yang sensitive terhadap penisilin khususnya yang gram positif,penisilin G memiliki potensi yang baik.Indikasi
penisilin V dan fenitsilin pad umumnay sama dengan penisillin G.

2. Ampisilin dan amoksilin umumnya digunakan untuk infeksi E.coli Da P.Mirabilis,Terhadap kuman gram positif bukan
pengahsil penisilinase golonagan obat ini kurang efektif daripada penisiline G Kabernisilin dan penisilin antipseudomonas
lainnya umunya hanya digunakan untuk infeksi. P.aeruginosa dan proteus indol positif

3. penisilin tahan asam umumnya efektif bila di berikan oral


4. Penisiine yang tahan terhadap penisilinase hanya di gunakan untuk infeksi oleh stafilokokus dan penisilinase

5. Sifat farmakokinetik perlu diperhatikan untuk dapat mengendalikan kadar masing-masing penisiline dalam darah sehingga
efektifitasnya terjamin.untuk menjelaskan hal itu perlu di gunakan contoh-contoh berikut : penisiline g yang larut dalam air
(Kristal na-panisiline G )bila diberikan Im akan cepat mengahasilkan kadar obat yang lebih tinggi dalam darah di banding
seiaan penisilne repositer.Kadar ampisilin dalam CSS pasien meningitis,H,Influenza turun cukup besar setelah hari ketiga
pengobatan karena penurunan pearmebilitas meningen akibat perbaikan yang diperoleh dengan pengobatan.

d. Penggolongan

Penisiline dapat dibagi dalam beberapa jenis menutur aktivitas dan resisitensinya terhadap laktamase sebagai berikut:

a. Zat-zat spectrum sempit benzilpenisilne,penisilin-V,dan fenitisiline.Zat-zat ini terutama aktif terhadap kuman gram positif dan
diuraikan oleh penisilinase

b. Zat-zat tahan laktamase metisiline,kloksasiline.Zat ini hanya aktif terhadap stafilokok dan streptokok.Asam
klavulanat,sulbaktam dan tazaboktam memblokir lakmase dan dengan demikian menjamin aktifitas penisiline yang diberikan
bersamaan;

c. Gram positif dan sejumlah kuman gram negative,keculai antara lain pseudomonas Klebsieela dan B fragilis tidak tahan
laktamase maka sering digunakan terkombinasi dengan suatu laktamase bloker

d. Zat-zat antipesudomonas tikarsiline fdan piperasiline.Antibiotika spectrum luas ini meliputi lebih banyak kuman gram
negative,termasuk pseudomonas ,Proteus,klbesiella,dan bacteroides fragilis.mtiodak tahan laktamase-blocker.

e. Efek samping

Yang terpenting adalah reaksi alergi karena hipersensitisasi yang jarang sekali dapat menimbulkan shock anfilaktis
(dan kematian) .Pada prokail-benzilpenisiline diduga prokain yang memegang peranan pada hipersensitisasi tersebut.pada
penisiline broad spectrum agak sering terjadi gangguan lambung usus (diare,mual muntah,dan lain-lain).pada dosis amat tinggi
dapat terjadi reaksi nefrotoksis dan neurotoksis.

f. Farmakokinetik

Absorbsi penisilin G mudah rusak dalam suasana asam (pH 2 ).Cairan lambung dengan pH 4 tidak terlalu merusak
penisiline.

Bila dibandingkan dengan dosis oral terhadap IM,maka untuk mendapatkan kadar efektif dalam darah,dosis penisilin G
oral haruslah 4 sampai 5 kali lebih besar daripada dosis IM.Oleh karena itu penisilin G tidak dianjurkan di berikan oral.jumlah
ampisilin dan senyawa sejenisnya yang diabsorbsi pada pemebrian oral dipengarhi besarnya dosiss dan ada tidaknya makanan
dalam saluran cerna.dengan dosis lebih kecil presentase yang diabsorbsi relative besar.

Absorbsi ampisilin oral tidak lebih baik cdaripada penisilin v atau fenetsiline.danya makanan dalam aluran cerna akan
menghambat absorbs obat.Perbedaan absorbs oabat ampisilin dan bentuk trihidrat dan bentuk anhidrat tidak memberikan
perbedaan bermakna pada penggunaan klinik.

Absorbsi amoksilin disaluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin.dengan dosis orak yang sama,amoksilin
mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih besar daripada yang dicapai ampisilin,sedang masa paruh
eliminasi kedua obat ini hamper sama.penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makan dilambung,sedang amoksilin tidak.

Distribusi penisilin G didistribusi luas didalam tubuh.kadar obat yang memadai dapat tercapai dalam hati,empedu ginjal
usus,limfe dan semen,tetapi dalam css sukar di capai.Bila meningen dalam keadaan normal,sukar sekali dicapai kadar 0,5 IU/mL
dalam css walaupun kadar plasmanya 50 IU/mL.adanya radang meningen lebih memudahkan penetrasi penisilin G ke CSS tetapi
tercapai tidaknya kad
Efektif tetapi tidaknya kadar efektif sukar diramalakan.Pemberian intertekal jarang dikerjakan karena resiko yang lebih tingi dan
efektifitasnya tidak lebih memuaskan.

Distribusi amoksilin secara garis besar sama dengan ampisilin.Kebernisilan pad aumumnya memperlihatkan sifat
distribusi yang sama dengan penisilin lainnya termasuk distribusi ke dalam empedu dan dapat mencapai CSS pada meningitis.

Bio transformasi dan eksresi.Biotransformasi penisilin umunya dilakukanoleh mikroba berdasarkan pengaruh enzim
penisilinase dan amidase.Proses biotransformasi oleh hospes toidak bermakna.akibat pengaruh penisilinase terjadi pemecahan
cincin berlaktan dengan kehilangan seluruk aktivitas antimikroba.amidase memecah rantai samping,dengan ekibat penurunan
potensi antimikroba.

Penisilin umumnya disekresi melalui peoses sekresi di tubli ginjal yang dapat dihambat oeh proben esid.masa paruh
eliminasi penisilin dalam darah diperpanjang oleh probenesid,bebrapa obat juga lain juga meningkatkan masa paruh eliminasi
penisilin dalam darah antara lain fenibutazon,sulfinpirazon,asetosal,dan indometasin.Kegagalan fungsi ginjal sangat
memperlambat eksresi penisilin.

g. Sediaan dan Pasologi

Penisilin biasanya digunakn secara parental.sediaan terdapat daalam bentuk penisilin G larut iar dan lepas lambat untuk
suntikan IM.

Penislin V (fenoksimitel penislin ) ;tersedia sebagai garam kalium,dalam bentuk tablet 250 mg dan 625 mg sirup 125
mg/5 mL.

Penisilin isoksazoil terdapat berbagai sediaan oral ( garam natrium dalam bentuk tablet),kapsul 125 mg/250 mg,500 mg
suspense 62,5 mg.Untuk pemberian parentedral adalah garam natrium dalam vial 250 mg ,500mg,dan 1 gram.

Ampisilin untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk tabelet atau kapsul sebagai ampisilin trihidrat atau ampisilin
anhidrat 125mg,500 mg/5 mL.Selain itu ampisilin tersedia untuk jenis suntikan.dosis ampisilin tergantung dari beratnya
penyakit ,fungsi ginjal,dan umur pasien.garis besar penentuan dosis ialah sbb dewasa penyakit ringan sampai sedang di
berikan 2-4 g sehari,dibagi un tuk 4 kali pemberian untuk penyakit berat sebaiknay diberikan preparat parental
sebanyak,4-8 g sehari.Pada meningitis bahkan dibutuhkan dosis lebih tinggi lagi.Untuk anak berat badan dengan berta
kurang dari 20 kg diberikan peroral.

Amoksisilin diberikan sebagai kapsul atau tablet 125,250,500,mg sirup 125 mg/5 mL.Dosis sehari dapat diberikan lebih
kecil dariipada ampiusilin karena absorbsinya lebih baik daripada ampisilin.

Karbenisilin tersedia untuk suntikan sebagai garam natrium sebagai vial 1,2,5 dan 10 gram.Pada infeksi berat dosis
fdewasa berkisar 25-30 g sehari.

Sulbenisilin untuk suntikan tersedia dala vial 1 g.dosis yang dianjurkan ialah dewasa 2-4 g sehari.

Tikarsilin suatu karbonpeniksilin yang tidak di absorbs melalui saluran cerna,sehingga harus diberikan secara
parenteral (IV dan IM ).Spektrum aktivitas antibakterinya terhadap bakteri gram negative lebih luas darik
aminopenisilin.

Aziosilin,meziosilin,piperasilin.Obat-obat ini tergolong uroidopenisilin ;yang diindikasikan untuk infeksi berat /oleh
kuman gram negative,termasuk diantaranya P.aeruginosa ,proteus indol positif dan enterobacter.ketganya lebih paten
daripada karbonisilin terhadap kuman.
h. Jenis- Jenis Penisilin
Amoxicillin

Ampicillin 125 mg/5ml


Ampisilina digunakan untuk pengobatan :
Infeksi saluran pernafasan,seperti pneumonia faringitis, bronkitis, laringitis.
Infeksi saluran pencernaan, seperti shigellosis, salmonellosis.
Infeksi saluran kemih dan kelamin, seperti gonore (tanpa komplikasi), uretritis, sistitis, pielonefritis.
Infeksi kulit dan jaringan kulit.
Septikemia, meningitis.
Ampicillin 500 mg
Binotal

Infeksi saluran kemih, saluran pencernaan, bakterial otitis media.


PT Bayer Indonesia

Cefadroxil 500 mg

Cefadroxil diindikasikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif seperti:
- Infeksi saluran pernafasan : tonsillitis, faringitis, pneumonia, otitis media.
- Infeksi kulit dan jaringan lunak.
- Infeksi saluran kemih dan kelamin.
- Infeksi lain: osteomielitis dan septisemia.

Cefixime Kapsul

Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan antara lain:
Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis.
Otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain ?-laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes.
Faringitis dan tonsilitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.
Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae (strain beta-laktamase positif dan negatif).

PT Dexa Medica

Cefixime Sirup

Cefixime diindikasikan untuk pengobatan infeksi-infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme yang rentan antara
lain:
1. Infeksi saluran kemih tanpa komplikasi yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis.
2. Otitis media yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae (strain ?-laktamase positif dan negatif), Moraxella
(Branhamella) catarrhalis (sebagian besar adalah ?-laktamase positif) dan Streptococcus pyogenes.
3. Faringitis dan tonsillitis yang disebabkan oleh Streptococcus pyogenes.
4. Bronkitis akut dan bronkitis kronik dengan eksaserbasi akut yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan
Haemophilus influenzae (strain ?-laktamase positif

Ceftazidime

Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh kuman yang susceptible antara lain:


Infeksi umum:
septicaemia; bacteriaemia; peritonitis; meningitis; penderita ICU dengan problem spesifik, misalnya luka bakar yang
terinfeksi.

Infeksi saluran pernapasan bagian bawah :


pneumonia, bronkopneumonia; pleuritis pada paru-paru; emfisema; bronciectasis yang terinfeksi; abcess pada paru-
paru; infeksi paru-paru pada penderita cystic fibrosis.

Infeksi saluran kemih :


pyelonephritis akut dan kronis; pyelitis; prostatitis; berbagai abscess renal

Infeksi jaringan lunak dan kulit :


celullitis; erysipelas; abscess; mastitis; luka bakar atau luka lain yang terinfeksi; ulkus pada kulit

Infeksi tulang dan sendi :


osteotitis, osteomyelitis; artritis septik; bursitis yang terinfeksi
infeksi abdominal dan bilier
cholangitis, cholecystitis; peritonitis; diverkulitis; penyakit radang pelvic

Dialysis
Infeksi-infeksi yang dikaitkan dengan dialisis haemo dan peritoneal dan CAPD (continous ambulatory peritoneal
dialysis).

Gentamicin

Untuk pengobatan infeksi kulit primer maupun sekunder seperti impetigo kontagiosa, ektima, furunkulosis. pioderma,
psoriasis dan macam-macam dermatitis lainnya.
PT Indofarma

Griseofulvin

Untuk pengobatan infeksi jamur (ring-worm) pada kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh Microsporum,
Epidermophyton dan Trichophyton.
PT Indofarma

Berikut informasi-informasi kesehatan terkait dengan Penisilin:

Mengenal Simbol Kemasan Obat

Huruf K di dalamnya br Obat yang termasuk dalam golongan ini misalnya antibiotik seperti tetrasiklin Penisilin obat-
obatan yang mengandung hormon obat penenang dan lain-lain Obat jenis ini tidak bisa sembarang ...
Alergi dan Penyebabnya

Alergi Serbuk tanaman jenis rumput tertentu jenis pohon yang berkulit halus dan tipis serbuk spora Penisilin seafood telur kacang panjang k

F. SEFALOSPORIN
Alergi dan Penyebabnya

a. Kimia dan Klasifikasi

Sefalosporin berasal dari fungsi Cephalosporium acremonium yang diidolasi pada tahun 1948 oleh Brotzu. Inti dasar sefalosporin C ialah asa

Hindrolisis asam sefalosporin C menghasailkan 7-ACA yang kemudian dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotic sefalosporin. Sefalos

b. Aktivitas Antimikroba

Sefalosporin aktif terhadap kuman Gram positif maupun Gram negative, tetapi spectrum sntimikroba masing-masing derivate bervariasi.

a. Sefalosporin Generasi Pertama (SG 1)

Sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spectrum antimikroba yang terutama katif terhadap kuman gram positif. Keunggulannya dar

Aktivitas antimikroba berbagai jenis safolosporin generasi pertama sama satu dengan yang lain, hanya sefalosporin sedikit lebih aktif terhad

Mikroba yang resisten atnra lain ialah strain S. aureus resisten metilisin, S. epidermidis dan S. faecalis.

b. Sefalosporin Generasi Kedua (SG 11)

Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tetepi lebih aktif terhadap kuman gram nega
terhadap kuman anaerob.

c. Sefalosporin Generasi Ketiga (SG III)

Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap kokus gram positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap En

d. Sefalosporin Generasi Keempat (SG IV)

Antibiotika golongan ini ( misalnya sefepim,sefpirom) mempunyai spectrum aktivitas lebih luas dari generasi ketiga dan lebih stabil terhada

c. Sifat Umum

Dari sifat farmakokinetik sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan. Sefaleksin, sefradin, sefaklor, sefadroksil, lorakarbef, sefprozil, sefiksim

d. Efek Samping

Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi, gejalanya mirip dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh penisilin. Reak

e. Indikasi Klinik

Sefalosporin generasio I sangat baik untuk mengatasi infeksi kulit dan jaringan lunak oleh S. aureus dan S. pyogenes. Obat ini juga sangat ef

Sefalospori generasi III tunggal atau dalam kombinasi dengan aminoglikosida merupakan obat pilihan utama untuk infeksi berat oleh Klebsiella, Ent

f. Monografi

SEFALOSPORIN GENERASI PERTAMA


Alergi dan Penyebabnya

1. SEFALOTIN
2. SEFAZOLIN
3. SERADIN
4. SEFADROKSIL

SEFALOSPORIN GENERASI KEDUA

1. SEFAMANDOL
2. SEFOKSITIN
3. SEFAKLOR
4. SEFUROKSIN

SEFALOSPORIN GENERASI KETIGA

1. SEFOTAKSIM
2. MOKSALAKTAM
3. SETRIAKSON
4. SEFOPERAZON
5. SEFTAZIDIM
6. SEFIKSIM.

ANTIBIOTIKA BELATAKAM LAINNYA

Dewasa ini telah dikembangkan antibiotika belatakam lain yang tidak tergolong penisilin maupun sefalosporin.

KARBAPENEM

Karbapenem merupakan belatakam yang struktur kimianya berbeda dengan penisilin dan sefalosporin. Golongan obat ini mempunyai spek

IMIPENEM

Obat ini di pasarkan dalam kombinasi dengan silastatin agar imipenem tidak didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubulu ginjal.

Imipenem, suatu turunan tienamisin, merupakan karbapenem pertama yang digunakan dalam pengobatan. Tienamisin diproduksi oleh Strepto myces c

Silastatin, penghambat dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas anti bakteri. Bila diberikan bersama imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan

MEKANISME KERJA DAN SPEKTRUM ANTIBAKTERI

Imipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis dinding sel kuman. In vitro obat ini berspektrum sangat luas, termasuk kuman garm pos
kuman penghasil betalakamase umumnya. Tetapi obat ini tidak aktif terhadap stafilokok resisten metisilin atau galur yang uji koagulasinya negatif. Im
terhadap meningokok, gonokokus dan H. influenza termasuk yang memproduksi betalaktamase. Terhadap Acinetobakter dan P. Aeruginosa aktivitasn

Indikasi

Imipenem/ silastatin digunakan untuk pengobatan infeksi berat oleh kuman yang sensitif, termasuk infeksi nosokomial yang resisten terhadap
Alergi dan Penyebabnya

Efek samping

Efek samping yang paling sering dari imipenem adalah mual, muntah, kemerahan kulit dan reaksi lokal pada tempat infus. Kejang dilaporka
saraf pusat.

Farmakokinetik

Imipenem maupun silastatin tidak diabsorbsi melalui saluran cerna, sehingga haris diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing-mas
dicapai 1 jam sesudah pemberian. Kira-kira 20 % imipenem dan 40% silastatin terkait protein plasma. Distribusi obat ini merata keberbagai jaringan d

Bila diberikan bersama silastatin, kurang lebih 70% dari dosis imipenem diekskresi diurin dalam bentuk asal 10 jam sesudah pemberian, sisanya dime

Waktu paruh imipenem dan silastatin kurang lebih 1 jam pada orang deawasa. Pada kelaianan fungsi ginjal waktu paruh imipenem dapat mencapai 3,5

MEROPENEM

Meropenem suatu derivat dimetilkarbamoil pirolidinil dari tienamisin.berbeda dengan imipinem,obat ini tidak di rusak oleh enzim dipeptidase di tibul

MONOBAKTAM

Monobaktan merupakan suatu senyawa betalaktam monosiklik,dengan inti dasar berupa cincin tunggal,asam-3 aminobaktamat

Struktur ini berbeda dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam terdahulu misalnya penisilin,sefalosporin,karbapenem,berinti dasar cincin

Monobaktan pada awalnya diisolasi dari kuman a.I Gluconocabacter,Acetobacter,chromobacterium, tetapi aktivitas antibakterinya sangat lem
aztreonam terhadap berbagai batalaktamase dan aktivitas antibakterinya terhadap kuman Gram-negatif aerobik,termasuk Pseudomonas aeruginosa

AZTREONAM

Aztreonam merupakan derivat monobaktam pertama yang terbukti bermanfaat secara klinis.

Mekanisme kerja

Aztreonam bekeraja dengan menghambat sintesis dinding sel kuman,seperti antibiotika betelaktam lain.antibiotik ini dengan mudah menemb
kuman yang peka tidak banyak berbeda dengan KHMnya.Aztreonam tidak aktif terhadap kuman Gram-positif dan kuman anaerob.

Aztreonam hanya aktif terhadap kuman Gram-negatif aerob termasuk Haemophilis influinzae dan meningokok yang menghasilkan betalaktamatase.ter
poten.obat ini tidak aktif terhadap spesis Acinetobacter,Xantomonas malthophilia,Achromobacter xyloxidans,spesis Alcaligenes dan legionella pneum

Kadar puncak dalam serum darah pada pemberian 1g IM dalam waktu 60 nmenit mencapai 46g/mL dan pada pemberian bolus IV 125g/mL pember
sinovial,pleural,perikardial,peritoneal,cairan lepuh,sekresi bronkus,tulang,empedu hati,paru-paru,ginjal,otot,endometrium dan usus.kadar dalam urin ti

G. KLORAMFENIKOL

a. Asal Dan Kimia


Alergi dan Penyebabnya

Kloramfenikol meruopakan Kristal putih yang sukar larut dalam air (1; 4000) dan rasanya sangat pahit.

b. Farmakodinamik

Efek Antimikroba

Kloramfenikolbekerja dengn menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada ribosom subunit 50 s dan menghjambat enzim peptid
spp, Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob dll.

Resistensi

Meknisme resistensi terhadap klorofenikol terjadi mellui inaktivasi obat oleh asetil transferase yang di perantarai oleh factor-R. resistensi ter

Beberapa strain D. pneumonia, h.influenza, dan N. meningitides bersifat resisten; S. aureus umumnya sensitive dan enterobacteria banyak yang telah r

c. Farmakokinetik

Setelah pemberian oral, kloramifenikol di serap dengan cepat. Kadar puncak dalam darah tercaoai dalam 2 jam. Untuk anak biasanya di berikan bentu

Untuk pemberian secara parental di gunakan klorofenikol suksinat yang akan di hidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.

Masa paruh eliminsinya pada oran dewasa kuran lebih 3 jam, pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol da

Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi dengan saam glukuronat oleh enzim glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfen
melalui urin hanya 5-10a5 dalam bentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk aktif.sisanya terdapat dalam bentuk glukuronat atau hidroliswat lain yan

Pada gagal ginjal masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak banyak berubah sehingg tidak di perlkan penguranga dosis. Dosis dapat dikrangi bila di

Interaksi

Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamid, fenition, dikumarol, dan obat lain yang di metabolisme opleh enzim mikro

d. Penggunaan Klinik

Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini hanya di gunakan untuk mengobati demam tifopid

Demam Tifoid

Kloramfenikoltidak lagi menjadi pilihan utama untuk mengobati penyakit tersebut karena telah tersedia obat-obat yang lebih aman seperti sip

Untuk pengobatan demam tifoid diberikan dosis 4 kali 500 mg sehari sampai 2 minggu bebas demam. Bila terjadi relaps, biasanya dapat diatasi denga

Suatu uji klinik di Indonesia menunjukkan bahwa terapi kloramfenikol ( 4x500 mg/hari) dan siprofloksasin (2 x 500 mg/hari) per oral untuk demam ti

Meningitis Purulenta
Alergi dan Penyebabnya

Kloramfenikol efektif untuk mengobati meningitis purulenta yang disebabkan oleh H. influenza. Untuk terapi awal, obat ini masih digunakan

Riketsiosis

Terasiklin merupakan obat terpilih untuk penyakit ini. Bila oleh karena sesuatu hal tetrasiklin tidak dapat diberikan, maka dapat digunakan kloramfeni

e. Efek Samping

Reaksi Hematologik

Terdapat dalam 2 bentuk yaitu yang pertama reaksi toksik dengan manifestasi depresi sumsum tulang. Kelainan ini berhubunngan dengan do
mikrogram/mL. Bentuk yang kedua ialah anemia aplastik dengan pansitopenia yang ireversibel dan memiliki prognosis yang sangat buruk. Timbulnya

Hitung sel darah yang dilakukan secara periodic dapat memberi petunjuk untuk mengurangi dosis atau menghentikan terapi. Dianjurkan untuk melaku

Reaksi Saluran Cerna

Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, glositis, diare dan enterokolitis.

Sindrom Gray

Pada neonates, terutama bayi premature yang mendapat dosis tinggi (200 mg/kgBB) 2 sampai hari ke 9masa terapi, rata-rata hari ke 4. Mula-
di sebabkan oleh, sistem konjugasi oleh enzim glukuronil transfertase belum sempurna; dan kloramfenikol yang tidak terkonjugasi belum dapat dieksk
tersebut di atas.

f. Interaksi Obat

Kloramfenikol adalah penghambat yang poten dari sitokrom P450 isoform CYP2C19 dan CYP3A4 pada manusia, sehingga dapat memperpanjang ma

g. Tiamfenikol

Tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan klooramfenikol. Selain itu juga telah diberikan untuk infeksi saluran empedu.

Obat ini diserap dengan baik pada pemberian per oral dan penetrasinya baik ke cairan serebrospinal, tlang dan sputum sehingga mencapai ka

Efek samping yang timbul ialah depresi sumsum tulang yang reversible dan berhubungan dengan besarnya dosis yang dibrkan. Dari pengala

H. AMINOGLUKOSIDA

Aminolukosimida adalahgolongan antibiotika bakterisidal yang dikenal toksid terhadap saraf otak VIII komponen maupun akustik dan terha
netil misin.senyawa aminoglikosida dibadakan dari gugus gula amino yang terikat pada siklitol gentamisin merupakan prototip golongan aminoglukos

Kimia
Alergi dan Penyebabnya

Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari dua atau lebih gugus gula amino yang terikat lewat ikatan glikosidik.pada inti heksosa
untuk suntikan IM .

Stabilitasnya cukup baik pada suhu kamaar teruttama dalam bentuk kering misalnya strotomisin stabil untuk paling sedikit 1 tahun.pengaruh pH terhad

Efek Anti Mikroba

1). aktivitas dan mekanisme kerja

Aktivitas atibakeri, gentamisin,amikasin,trobmisin,kanamisn,netilmisin terutama tertuju pada basil gram negatif yang aerobik.aktivitas terhad

Basil gram berbeda susepbilitasnya terhadap berbagai aminoglikosdik.miktoorganisme dinyatakan bil asensiv pertumbuhannya dihambat.

Aktivitas aminoglikosidik terutama dipengaruhi oleh faktor terutama perubahan pH keadaan aerobik,nonaerobik atau keadaan hiperkapnik.

Mekanisme kerja Aminoglikosidik berdifusi lewat kanal air yang dibentuk porin protein pada membran luar dalam bakteri gram negatif masu
transpor aminoglikosidik ke dalam sel,diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma, dan disusul kerusakan sel.sdiperkirakan amino

Aminoglikosidik Bersifat bakterisidal .pengaruh aminoglikosidik mengahambat sintesis protein yang menyebabkan salah baca dalam penerje

2). Spektrum antimikroba

Kadar pula rata-rata dala serum yang dicapai dengan pemberian dosis lazim merupakan pegangan dalam menetapkan mikroba tertentu terhad
resistensi .

Spekrum aminoglikosid pada umumnya lebih luas daripada streptomasin.beberapa perbedaan kecil dapat menimbulkan implikasi klinik anta

3). Resistensi

Masalah resistensi merupakan kesulitan utama dalam penggunaan streptomisin secara kronik misalnya pada terapi tuberkolosis atau endokar
lainnya terjadi lebih berangsur-angsur.

Mekanisme resistensi bakteri terhadap aminoglikosid perlu diketahui untuk dimengerti spektrum antimikroba lainnya .bakteri dapat resisten ter

4).Farmakokinetik

Aminoglikosidik dalam bentuk garam sulfat yang diberikan IM baik sekali absorbsinya.kadar puncakanya dapat tercapai dalam waktu rata-ra
keseimbbangan dengan kadar plasma setelah setelah pemberian berulang.distribusi aminoglikosidik ke dalam cairan otak pada menigen normal sangat
bersihan ginjjal total untuk tobramisin.keadaan ini sama dengan streptomisin dan menunjukan bahwa eksresi berlangsung hanya dengan filtrasi glomer

Streptomisin dan gentamisin dapat disekresi dalam jumlah lebih besar melalui empedu sehingga kadarnya cukup tinngi.Streptomisin dosis tin

5). Efek Samping

Efek samping oleh aminoglikosid dalam garis besarnya dapat dibagi dalam tiga keloompok

1 alergi
Alergi dan Penyebabnya

2.reaksi iritasi dengan toksik

3.Perubahan biologik.

Secara umum potensi aminogllikosid untuk menyebabkan alrgi rendah Rash,demam,diskrasia darah,angioedema,dermatitis eksfoliatif,stanfil
komponen vestibular sebaliknya neomisin,kinamisin,amikasin dan hidrokstreptomisin lebih mempengaruhi komponen akustik.otoksitas aminoglikosid
tubulus renal.setelah bebrapa hari terjadi defek emampuan konsentrasi ginjal,proteinuria,filtarsi glomerulus,menurun setelahnya.efek neutosil lainnya

6). Perubahan biologik efek samping dapat bermaniifestasi dalam dua bentuk yaitu ganggaun pada pola mikriba tubuh memunggkinkan terjadinya sup

7). Interaksi Obat

Penisilin anti peudomonas yang umum diberikan dalam dosis besar ternyata menginaktivasi aminoglikosid terutama gentamisin dan tobramisin.belu a
otoksitas.peningkatan netrotoksitas juga dilaporkan terjadi bila aminogliokosid diberikan bersama metoksifluran dan indometassi intrravena yang dibe

8). Sediaan dan Pasologi

Sediaan aminoglikosid dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu

1 Sediaan aminoglikosid sitemik untuk pemberian IM atau Iv yaituamikasin gen ksid topikal,kinamisin dan streptomisin

2. Aminoglikosid topikal terdiri dari aminosidin,kinamisin,neomisisn,gentamisin dan streptomisin.dalam kelompok topikal ini termasuk juga semua am

1. Streptomisin

Tersedia untuk bubuk kering dalam viaal yang mengandung 1 ATAU 5 GRAM.Kadar larutan ergantung dari cara pemberian yang direncana

2. Genntamisin

Tersedia sebaggai larutan steril dalam vial atau ampuh 60 mg/1,5 mL;80 mg:129 mg/3 mLdan 280 mg/Ml.

3. Kanamisin

Untuk suntikan tersedia larutan dalam bubuk kering.Lrutan dalam vial ekuivalen dengan basa kanamisin.500 mg/2 mL.dan 1 g/3 mL Untuk o

4. Amikasin

Obat ini tersedian untuk suntiikan IM IV dalam vial berisi 250-500 dan 1000 mg.Dosisnya adalah 500 mg tiap 12 jam 9IM atau IV ).untuk n

5. Tobramisin

Obat ini tersedia sebagai larutan 80-mg /2 mL untuk suntikan IM.dosis dosis dan cara pemberian sama dengan gentammisin.

Untuk dosis tobramisin dilarytkan dalam dextrosee 5 % atau larutan NaCl isotonis dan diberikan dalam 30-60- menit.

8.Indikasi dan kontaraindikasi penggunaan klinik

Aminoglukosid sekalipun berspektrum antimikroba lebarv jangan digunakan pada setiap jenis infeksi oleh kuman yang sensitif karena

1 resistensi terhadap aminpglukosid terhadap aminoglukosid relatif cepat beerkembang


Alergi dan Penyebabnya

2.Tositasnya relatif tinggi

3.tersediany berbagai antibiotik yang lain yang cukup efektif dan toksitasnya rendah.

I. GOLONGAN KUINOLON DAN FLUOROKUINOLON

Asam nalidiksat adalah prototip golongan kuinolon lama yang dipasarkan sekitar tahun 1960. Walaupun obatini mempunyai daya antibakter
itu. Kuinolon lainnya yaitu asam piromidat, asam pipemidat, sinoksasin, dan lain-lain, juga tidak mempunyai kelebihan yang berat.

Pada awal tahun 1980, diperkenalkan golongan kuinolon baru dengan atom fluor pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan juga fluorokui

Dalam garis besarnya golongan kuinolon dapat dibagi menjadi 2 kelompok : (1) kuinolon : kelompok ini tidak mempunyai manfaat klinik un
(2) Fluorokuinolon : kelompok ini disebut demikian karena adanya atom fluor pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibakteri fluokui
disebabkan oleh kuman Gram-negatif. Daya antibakterinya terhadap kuman Gram-negatifrelatif lemah. Yang termasuk golongan ini ialah siproflo

Mekanisme Kerja Dan Spektrum Antibakteri

Bentuk double helix DNA harus dipisahkan menjadi 2 rantai DNA pada saat akan berlangsungnya replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini se
menghambat kerja enzim DNA girase dan bersifat bakterisidal.

Fluorokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon terdahulu. Fluorokuinolon baru menghambat topoisomer
DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.

Spektrum Anti Bakteri

Kuinolon yang lama aktif terhadap beberapa kuman Gram-negatif, antara lain E. Coli, Proteus, Klebsiella, dan Enterobacter. Kuinolon beker

Flurokuinolon lama (siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin dll) mempunyai daya antibakteri yang sangat kuat terhadap E. Coli, Klebsiella,

Flurokuinolon tertentu aktif terhadap beberapa Mikobakterium. Kuman-kuman anaerob pada umumnya resisten terhadap fluorokuinolon. Fl

Flurokuinolon baru (moksifloksasian, gatifloksasian) mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram-negatif, Gram-negatif, s
quinolones.

Resistensi

Mekanisme resistensi malalui plasmid seperti yang banyak terjadi pada antibiotika lain tidak dijumpai pada golongan kuinolon, namun resisten te
(3) Peningkatan mekanisme pemompaan obat keluar sel (efflux). Ini merupakan mekanisme penting yang menyebabkan resistensi S. pneumuniae
Alergi dan Penyebabnya

Farmakokinetik

Asam nalidiksat diserap baik oleh saluran cerna tetapi diekskresi dengan cepat melalui ginjal. Obat ini tidak bermanfaat untuk infeksi sistem

Peflokasasin adalah flurokuinolon yang absorpsinya paling baik dan masa paru eliminasinya paling panjang. Bioavailabilitasnya pada pembe
tubuh. Dalam urin semua fluorokuinolon mencapai kadar yang melampaui kadar hambat minimal untuk kebanykan kuman pathogen selama mini
Sifat lain fluorokuinolon yang menguntungkan ialah masa paru eliminasinya panjang sehingga obat cukup diberikan 2 kalis sehari. Kebanyakan f
sehingga penambahan dosis umunya tidak diperlukan.

Indikasi

Asam nalidiksat dan asam pipemidat hanya digunakan sebagai antiseptik saluran kemih, khususnya untuk sistitis akut tanpa komplikasi pada wan

Fluorokuinolon digunakan untuk indikasi yang jauh lebih luas antar lain:

a. Infeksi saluran kemih (ISK)

Fluorokuinolon efektif untuk ISK dengan atau tanpa penyulit, termasuk yang disebabkan oleh kuman-kuman yang multi resisten dan P. aeru

b. Infeksi saluran cerna

Fluorokuinolon juga efektif untuk diare yang disebabkan oleh shigella, salmonella, E. coli dan campylobacter. Siprokloksasin dan ofloksasin

c. Infeksi saluran nafas (ISN)

Secara umum efektifitas fluoronkuinolon generasi pertama (siprofloksasin, ofloksasin, enoksasin) untuk infeksi bacterial saluran napas bawa

Kuinolon baru (Gatifloksasin, moksifloksasin, gemifloksasin) dan levo floksasin mempunyai daya antibakteri yang cukup baik terhadap kum

Siprofloksasin efektif untuk mengatasi eksaserbasi cysticfi brosis yang didebabkan oleh P. aeruginosa, namun penggunaan obat ini untuk jag

d. Penyakit yang ditularkan malalui hubungan seksual

Siprofloksasin oral dan levofloksasin oral merupakan obat pilihan utama disamping seftriagson dan sefiksin untuk pengobatan uretritis dan s

e. Infeksi tulang dan sendi

Siprofloksasin oral dengan dosis 2 kali 500-350 mg/hari yang diberikan selama 4/6 minggu efektif untuk mengatasi infeksi pada tulang dan

f. Infeksi kulit dan jaringn lunak

Fluorokuinolon oral mempunyai efektifitas sebanding dengan sefalosporin parenteral generasi ke tiga (sevotaksin sevtakzidin) untuk pengob

g. Dosis dan posologi

Dosis yang lazim digunakan untuk beberapa fluorokuinolon yang sering digunakan diklinik
Alergi dan Penyebabnya

Efek Samping

Secara umum dapat dikatakan bahwa efek samping golongan kuinolon sepadan dengan antibiotika golongan lain. Beberapa efek sampin

Saluran cerna

Efek samping ini paling sering timbul akibat penggunaan golongan kuinolon (prevalensi sekitar 3-17%) dan bermanifestasi dalam bentuk m
susunan syaraf pusat
yang paling sering dijimpai ialah sakit kepala dan pusing. Bentuk yang jarang timbul ialah halusinasi, kejang, dan delirium.

Hepatotoksisitas

Efek samping ini jarang dijumpai, namun kematian akibat hepatotoksisitas yang berat pernah terjadi akibat penggunaan trovafloksasin. K

Kardiotoksisitas

Beberapa fluorokuinolon antara lain sparfloksasin dan grepafloksasin (kedua obat ini dipasarkan lagi). Dapat memperpanjang interval Q
tidak berbahaya secara klnis. Namun bila obat ini diberikan bersama obat lain yang juga dapat memperpanjang Qtc interval (misalnya terfen

Disglikemia

Gatif floksasin baru-baru ini dilaporkan dapat menimbulkan hiper atau hipoglikemia, da pasien berusia lanjut. Obta ini tidak boleh dibe

Fototoksisitas

Klinaf floksasin (tidak dipasarkan lagi) dan sparfloksasin adalah fluorokuinolon yang relative sering menimbulkan fototoksisitas

Interaksi obat

Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya :

Anatasid dan preparat besi (Fe)

Absorpsi kuinolon dan fluorokuinolon dapat berkurang hingga 50 % atau lebih. Karena itu pembarian antacid dan praparat basi harus diberik

Teofilin

Beberapa kuinolon misalnya siprofloksasin, pefloksasin, dan enoksasin menghambat merabolisme teofilin dan maningkatkan kadar teofilin d

Obat-obat yang dapat memperpanjang interval Qtc.

Golongan kuinolon sebaiknya tidak dikombinasikan dengan obat-obat yang dapat memperpanjang Qtc interval, antara lain obat anti aritmia

J. ANTIMIKROBA LAIN
Alergi dan Penyebabnya

1. ERITROMISIN DAN MAKROLID LAIN

Antibiotika golongan makrolid, mempunyai persamaan yaitu terdapat cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Eritromisin

1. Eritromisis

Asal dan kimia

Eritromisin dihasilkanolah suatu strain streptomyces erythreus. Zat ini dapat berupa krisatal berwarna kekuningan, larut dalam iar

Antibiotic ini tidak stabil pada suhu rendah. Aktivitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis. Larutan netral eritromisisn yang

Aktivitas antimikroba

Golongan mikrolid menghambat mikrolid sintesis protein kuman dengan jalan berikatan secara reversibal dengan ribosom subunit

Spektrum antimikroba

In vitro, efek terbesar eritromisin terhadap kokus Gram-positif, seperti S.pyogenes dan S.pneumoniae. S. viridians mempunyai kep
diphtheria, dan L. monocytogenes.

Resistensi

Resitensi terhadap erotromisin terjadi melalui 3 mekanisme yang diperantarai oleh plasmid yaitu: (1) menurunyya permeabilitas m

Farmakokinetik

Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas; aktivitasnya menurun karena obat dirusak olah asam lambung, basa eritr

Hanya 2-5% eritromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif melalui urin. Eritromisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. K

Masa paru eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,5 jam. Dalam keadaan insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis.

Eritromisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke otak dan cairan serebrospinal. Pada ibu hamil, kadar eritro

Obat itu diekskresi terutama melalui hati. Dialysis perionial dan hemodialis tidak dapat mengeluarkan eritromisin dari tubuh.
Alergi dan Penyebabnya

Pada wanita hamil pemberian eritromisin streat dapat meningkatkan sementara kadar SGOT/SGPT.

Efek samping

Efek samping yang berat akibat pemakaian eritromisin dan turunannnya jarang terjadi.

Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinifilis dan eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis ko
tetapi jarang sekali terjadi. Eritromisin oral (terutama dalam dosis besar) sering menimbulkan iritasi saluran cerna seperti mual, mi

2. Spiramisin

Obat ini efektif terhadap kuman stafilokokuds, steptokokus, pnemokokus, enterokokus, Neisseria, Bordetella petusis, Rickettsia, ameba

Spiramisin umunya diberikan peroral. Absorpsi sluran cerna tidak lengkap, namun tidak dipengaruhi olah adanya makanan dalam lamb

Preparat spiramisin yang tersedia ialah bentuk tablet 500 mg, yang setara dengan 1,5 MIU dan tablet 1000 mg yang setara dengan 3,2 M

Dosis orang untuk pasien dewasa ialah 3-4 kali 500 mg sehari. Pada infeksi berat, dosis dapat ditingkatkan 2 kali lipat. Dosis oral untuk

Seperti eritromisin, spiramisin, digunakan untuk terapi infeksi rongga mulut dan saluran napas.

Spiramisin digunakan juga sebagai obat alternative untuk pasien toksoplasmosis yang karena sesuatu sebab tidak dapat diobati dengan

Spiramisin efektif untuk mencegah transmisi transplasental toksoplasma dari ibu ke anak.

Pemberian spiramisin oral kadang-kadang menimbulkan iritasi saluran cerna.

3. Roksitromisin Dan Klaritromisin

Roksitromisin adalah derivat eritromisin yang diserap dengan baik pada pemberian oral. Obat ini lebih jarang menimbulkan iritasi lam
Penggunaannya sama dengan eritromisin. Dosis oral untuk orang dewasa ialah 2 kali 150 mg sehari. Untuk anak diberikan 5-8 mg/kgB

Klaritromisin juga digunakan untuk indikasi yang sama seperti eritromisin. Secara in vitro, obat ini adalah makroid yang paling aktif t
sementara enzim hati. Pada hewan coba, dosis tinggi menimbulkan embriotoksisitas. Klaritromisin juga meningkatkan kadar teofilin d

4. Azitromisin
Alergi dan Penyebabnya

Obat ini, mempunyai indikasi klinik serupa dengan klaritromisin. Aktivitasnya sangat baik terhadap Chilamydia. Kadar azitromisin ya
demikian, obat cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorpsinya berlangsung cepat, namun terganggu

Dosis azitromisin dapat dilihat pada tabel 46-3.


Indikasi Dosis Keterangan
Dewasa :
1. Community-
1x500 mg/hari
Bentuk kemasan:
acquidred pneumonia
selama 3 hari
Tablet 250 dan 500 mg
Anak : Suspensi yang mengandung 200
mg/5 mL
10 mg/kgBB/hari,

sekali sehari

selama 3 hari

2. Uretritis non spesifik


Dewasa :

Dosis tunggal 1 g

1.5 Telitromisin

Telitromisin adalah antibiotika baru dari golongan keloid yang bekerja pada 2 site of action di ribisom 23S bakteri. Kuman yang peka terhad

Pada pemberian oral, biovailabilitas obat ini hanya 57% namun pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi kelengkapan absorsinya.

Pengurangan dosis tidak diperlukan bagi pasien insufisiensi ginjal ringan/ sedang atau gagal fungsi hati. Dosis obat perlu dikurangi 50% unt

Telitrominisin tersedia dalam bentuk tablet 400 mg. Dosisnya ialah 800 mg sekali sehari selama 5 hari, tetapi untuk community-acquired pn

Efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan obat in ialah keluhan saluran cerna yaitu mual, muntah, diare, dan sakit kepala. Obat in

2. LINKOMISIN DAN KLINDAMISIN

1. Linkomisin

Pengguna linkomisin dewasa ini telah ditinggalkan karena daya antibakterinya yang lemah dan absorpsinya yang kurang baik dibandingkan dang

2. Klindamisin

aktivitas antibakteri
Alergi dan Penyebabnya

Obat ini pada umumnya aktif terhadap S. aureus, S. pneumoniae, S. pyogenes, S. anaerobic, S. viridans dan Actinomtces isrealli. Klindamisi

farmakokinetik

Klindamisin diserap hampir lengkap pada pemberian oral. Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi absorpsi obat ini. S

Klindamisin didistribusikn dengan baik ke berbagai cairan tubuh, jaringan dan tulang, kecuali ke CSS walaupun sedang terjadi meningitis.

Hanya sekitar 10% klndamisin diekskresikan delam bentuk asal melalui urin. Sejumlah kecil klindamisin ditemukan dalam feses. Sebagian
dalam plasma. Hal ini dapat pula terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat.

efek samping

Diare dilapotkan terjadi pada 2-10% pasien yang mendapat klindamisin. Diperkirakan 0,01-10% pasien dilaporkan menderita kolitis pseudom
kuman yang tidak termasuk flora normal usus besar. Penyakit ini sering disebut antibiotic-associated pseudomembranous colitis karena dapat terjadi p
Bila selama terapi timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin yang akan diberikan

sediaan dan posologi

Klindamisin tersedia dalam kapsul 150 dan 300 mg. Selain itu terdapat suspensi oral dengan konsentrasi 75 mg/5 mL.

Dosis oral untuk orang dewasa ialah 150-300 mg tiap 6 jam. Untuk infeksi berat dapat diberikan 450 mg tiap 6 jam. Dosis oral untuk anak ialah 8-16 m

Untuk pemberian secara IM atau IV digunakan larutan klindamisin fosfat 150 mg/mL dalam kapsul berisi 2 dan 4 mL. Dosis untuk infeksi berat kokus
disuntikan pada satu tempat. Klindamisin tidak boleh diberikan secara bolus IV, tapi harus diencerkan sampai kadar kurang dari 18 mg/mL dan diinfu

Untuk anak atau bayi berumur lebih darei 1 bulan diberikan 15-25 mg/kgBB sehari, untuk infeksi barat dosisnya 25-40 mg/kgBB sehari yang dibagi d

pengguanaan klinik

Walaupun beberapa infeksi kokus Gram-positif dapat diobati dengan klindamisin, penggunaan obat ini harus dipertimbangkan baik-baik karena mung

2. GLIKOPEPTIDA

Yang termasuk glikopeptida ialah vankomisisn dan teikoplanin.

1. Vankomisin

Obat ini diserap melalui saluran cerna, dan untuk mendapatkan efek sistemik selalu harus diberikan IV karena pemberian IM menimbulkan n

Obat ini hanya aktif terhadap kuman Gram-positif, khususunya golongan kokus. Indikasi utama vankomisin ialah septicemia dan endokardit
stafilokokus yang biasanya merupakan efek samping antibiotic lain. Vankomisin merupakan obat terpilih untuk infeksi oleh kuman MRSA (

Vankomisin HCL tersedia dalam bentuk bubu 500 mg untuk pemberian IV. Dosis untuk dewasa ialah 2-4 gram/hari yang dibagi dalam dua d

2. Teikoplanin
Alergi dan Penyebabnya

Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel. Seperti halnya dengan vankomisisn, teikoplamin diindikasikan untuk infeksi berat

Pasien yang alergi terhadap vankomisisn mungkin juga bereaksi sama terhadap teikoplamin, namun efek samping the Red Man Syndrome y

Efek samping yang dihubungkan dengan penggunaan teikoplanin ialah:

Rekasi local pada tempat suntikan.


Rekasi hipersensitivitas yang bermanifestasi dalam berbagai bentuk
Kenaikan kadar transaminase serum
Rekasi hematologic yang bermanifestasi antar lain dalam bentuk trombositopenia, leucopenia, neutropenia, eosinofilia, dan terkadang agarnu
Nefrotoksisitas
Ototoksisitas berupa ketulian dan/atau gangguan keseimbangan
Kelughan saluran cerna berupa mual, muntah dan diare
Keluhan pada susunan syaraf pusat berupa sakit kepala, pusing, dan kejang bila diberikan ventricular.

Pengobatan dengan teikoplanin dimulai dengan memberikan dosis muat 400-800 mg (atau 6-12 mg/kgBB) secara IV setiap 12 jam sebanyak

Untuk pasien dengan gangguan faal ginjal diperlukan pengurangan dosis sebagai berikut mulai keempat pengobatan.
Klirens keratin (mL/menit) Dosis

40-60 <40> 50% dari dosis nirmal

30 dari dosis normal

Obat-obat ini tersedia dalam bentuk bubuk obat suntik (400 mg/vial) yang harus direkonstitusi dulu pada saat akan digunakan. Teikoplanin d

2. LAIN-LAIN
1. Polimiksin B

Polimiksin B sekarang hanya diberikan peroral atau topical, jarang secara parental karena sangat nefrotoksik.

Obat ini efektif terhadap berbagai kuman Gram-negatif, khususnya P. aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia, Haemophilus, K

Untuk penggunaan topical tesedia krimatau salep kulit dan salep mata yang mengandung 5.000-10.000 unit polimiksin B/garm. Obat tetes m

2. Basitrasin

Antibiotic ini bersifat bekterisid terhadap kuman-kuman Gram-positf.

Basitrin tersedia dalam bentuk salep kulit dan mata yang mengandung 500 unit/gram. Gram seng basitrasin juga sering dicampur dengan neo

Basitrasin stabil dalam bentuk salep, tetapi tidak stabil dalam bentuk krim.

3. Natrium Fusidat
Alergi dan Penyebabnya

Suatu antibacterial steroidal dengan efek bakteriostatik/bakteriosidik terutam terhadap kuman Gram-positf. Natrium fusidat tidak lagi diguna

4. Mupirosin

Mupirosin efektif menghambat kuman aerobic Gram-positif, termasuk methicillin-resistant S. aureus. Obat ini tidak mempunyai efek yang b

5. Spektinomisin

Spektinomisin digunakan untuk uretritis oleh gonokokus yang resiten terhadap obat lain.

Tidak ada resisten silang antar obat ini dengan antibiotika lain dalam pengobatan gonore. Obat ini biasanya diberikan dalam dosis tunggal 2

Efek sampingnya ialah nyeri ditempat suntikan, terkadang demam dan mual. Obat terpilih untuk gonore sekarang ialah seftriakson 125-250

6. Streptogramin

Streptogram merupakan kombinasi tetap dari 2 antibiotika yang strukturnya berlainan yaitu kuinupristin dan dalfopristin dengan rasio 3:7. S

Kombinasi tetap yang relative baru ini aktif terhadap kuman S. aureus (yang resisten maupun sensitif terhadap metisilin), S. epedermidis, S.

Frekuensi efek samping mual, muntah , dan kemerahan kulit akibat obat ini kurang lebih sama dengan yang ditimbulkan obat lain. Efek sam

Kombinasi ni selalu diberikan secara IV dan dosisnya ialah 7,5 mg/kgBB setiap 8 atau 12 jam.

Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan dalam bentuk infus IV yang mengandung 150 mg kuinupristin dan 359 mg dalfopristin.

7. Oksazolidindinon

Linezolid adalah derivate sintetik pertama dari golongan oksazolidindinon. Obat ini aktif terhadap kuman Gram-positif aerobic. Mekanisme

Efek samping obat ini umumnya bersifat ringan atau sedang dan bermanifestasi dalam bentuk keluhan saluran cerna (mual, muntah dan diar
Enterococcus faecium yang resisten terhadap vakomisin, staphylococcuc aureus (baik yang resisten maupun yang sensitive terhadap meticili

8. Daptomisin

Obat ini termasuk antibiotika golongan lipopeptit suatu kelas antibiotika yang baru. Daptomisin mempunyai mekanisme kerja bermacam-ma
pneumonia. Daptomisin tidak mempunyai aktifivats terhadap Gram-negatif. Obat ini diindikasikan untuk infeksi kulit jaringan lunak seta bak
Alergi dan Penyebabnya

3.1 Kesimpulan

Mekanisme antimikroba

Menghambat metabolisme sel mikroba


Menghambat sintesis dinding
Mengganggu keutuhan membran sel mikroba
Menghambat sintesis sel mikroba,
Menghambat sintesis asam nukleat mikroba
Reaksi alergi
Reaksi idiosinkrasi
Reaksi toksik Perubahan biologik dan metabolik

3.2 Saran

Sebaiknya dalam pembelajaran farmakologi kita harus lebih mengenal jenis obat anastesi yang berhubungan dengan system saraf pusat.serta

DAFTAR PUSTAKA
1. American Medical Association. Drug Evaluations Annual 1995. P. 1689.

2. Chambers HF. Antimycobacterial drugs. In: Katzung BG, ed. Basic & Clinical Pharmacology. 9 th ed.Singapore:
McGraw-Hill;2004.p.782-791.

3. Document WHO/CDS/TB/2000,279.

4. Petri WA. Jr. Chemotherapy of tuberculosis, Mycobacterium avium complex disease, and leprosy. In: Brunton LL,
Lazo JS, Parker KL, eds. Goodman & Gilmans the Pharmacological Basis of Therapeutics. 11 th ed. New York;
McGraw-Hill;2006.p.1203-23.

5. WHO/CDC/TB/2003,313. Treatment of tuberculosis; guidelines for national programmes, 3th edition. Revision
approved by STAG, June 2004.

Diposkan oleh farliyanti guamo di 18.59


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut

Arsip Blog

2010 (11)
o Juli (2)
askep
FARMAKOLOGI
o Juni (9)

Mengenai Saya

farliyanti guamo
Lihat profil lengkapku
Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

You might also like