You are on page 1of 34

LAPORAN PENDAHULUAN PERILAKU KEKERASAN

A. PENGERTIAN
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang
lain, maupun lingkungan (fitria, 2009).
Perilaku kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku
tersebut (Purba dkk, 2008).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri, maupun orang lain
(Yoseph, 2007). Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan
seseorang stress berat, membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol
kesadaran diri, misalkan: memaki-maki orang disekitarnya, membanting-banting
barang, menciderai diri dan orang lain, bahkan membakar rumah.
Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan salah. Menurut WHO
(dalam Bagong. S, dkk, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan
kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau
sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak
Menurut Townsend (2000), amuk (aggresion) adalah tingkah laku yang bertujuan
untuk mengancam atau melukai diri sendiri dan orang lain juga diartikan sebagai
perang atau menyerang
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik
baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan
untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan
untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 1993).
B. PENYEBAB
1. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori
sosiokultural yang dijelaskan oleh Towsend (1996 dalam Purba dkk,
2008) adalah:
a. Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku:
1) Neurobiologik
Ada 3 area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls
agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter juga mempunyai peranan dalam memfasilitasi
atau menghambat proses impuls agresif. Sistem limbik
merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan memori.
Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya
gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu
membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak
sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis
mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi
timbulnya perilaku agresif. Pusat otak atas secara konstan
berinteraksi dengan pusat agresif.
2) Biokimia
Berbagai neurotransmitter (epinephrine, norepinefrine,
dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini
sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan
oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress.
3) Genetik
Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara
perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY.
4) Gangguan Otak
Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi
perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya
yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma
otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit
seperti ensefalitis, dan epilepsy, khususnya lobus temporal,
terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.
b. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak
berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan
tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestise yang dapat
meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam
kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
2) Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran
tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan
pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang
orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun,
dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang
dianiaya ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua
yang mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
c. Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial
yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk
menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada
perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa
kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara
konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang
ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
2. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering
kali berkaitan dengan (Yosep, 2009):
a. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau
simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak
bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada
saat menghadapi rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap
C. RENTANG RESPONS MARAH
Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif mal adaptif.
Rentang respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut : (Keliat, 1997).
Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang
lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari
ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol
oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia
berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan
sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain
Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan
kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.
Respon kemarahan dapat berfluktusi dalam rentang adaptif-maladaptif.

D. TANDA DAN GEJALA


Yosep (2009) mengemukakan bahwa tanda dan gejala perilaku kekerasan
adalah sebagai berikut:
1. Fisik
a. Muka merah dan tegang
b. Mata melotot/ pandangan tajam
c. Tangan mengepal
d. Rahang mengatup
e. Postur tubuh kaku
f. Jalan mondar-mandir
2. Verbal
a. Bicara kasar
b. Suara tinggi, membentak atau berteriak
c. Mengancam secara verbal atau fisik
d. Mengumpat dengan kata-kata kotor
e. Suara keras
f. Ketus
3. Perilaku
a. Melempar atau memukul benda/orang lain
b. Menyerang orang lain
c. Melukai diri sendiri/orang lain
d. Merusak lingkungan
e. Amuk/agresif
4. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan
menuntut.
5. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain,
menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
8. Perhatian
Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.

E. AKIBAT DARI PERILAKU KEKERASAN


Klien dengan perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi
mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.

F. PROSES MARAH
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus
dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang
menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat
menimbulkan kemarahan. Berikut ini digambarkan proses kemarahan :(Beck,
Rawlins, Williams, 1986, dalam Keliat, 1996)

Melihat gambar di atas bahwa respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui
3 cara yaitu : Mengungkapkan secara verbal, menekan, dan menantang. Dari
ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara yang lain
adalah destruktif.

Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan
bila cara ini dipakai terus menerus, maka kemarahan dapat diekspresikan pada diri
sendiri dan lingkungan dan akan tampak sebagai depresi dan psikomatik atau
agresif dan ngamuk.

Pathway/ Patoflowdiagram

G. PERILAKU
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :

Menyerang atau menghindar (fight of flight)


Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf otonom
beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan tekanan darah meningkat,
takikardi, wajah merah, pupil melebar, sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster
menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga
meningkat diserta ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.

Menyatakan secara asertif (assertiveness)


Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahannya
yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif. Perilaku asertif adalah cara yang
terbaik untuk mengekspresikan marah karena individu dapat mengekspresikan
rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di
samping itu perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.

Memberontak (acting out)


Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku acting out untuk
menarik perhatian orang lain.

Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain
maupun lingkungan

Perilaku Kekerasan

H. MEKANISME KOPING
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain : (Maramis, 1998)

Sublimasi : Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata


masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya
secara normal. Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan
kemarahannya pada obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan
sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.

Proyeksi : Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya


yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa
temannya tersebut mencoba merayu, mencumbunya.

Represi : Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke


alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang
tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak
kecil bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.

Reaksi formasi : Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan


melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya
sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.

Displacement : Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada


obyek yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru
saja mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya.
Dia mulai bermain perang-perangan dengan temannya.
I. PENATALAKSANAAN
Yang diberikan pada klien yang mengalami gangguan jiwa amuk ada 2 yaitu:
1. Medis
a. Nozinan, yaitu sebagai pengontrol prilaku psikososia.
b. Halloperidol, yaitu mengontrol psikosis dan prilaku merusak diri.
c. Thrihexiphenidil, yaitu mengontro perilaku merusak diri dan menenangkan
hiperaktivitas.
d. ECT (Elektro Convulsive Therapy), yaitu menenangkan klien bila mengarah
pada keadaan amuk.
2. Penatalaksanaan keperawatan
a. Psikoterapeutik
b. Lingkungan terapieutik
c. Kegiatan hidup sehari-hari (ADL)
d. Pendidikan kesehatan

J. PERENCANAAN PULANG
Perawatan dirumah sakit akan lebih bermakna jika dilanjutkan dirumah. Untuk itu
semua rumah sakit perlu membuat perencanaan pulang. Perencanaan pulang
dilakukan sesegera mungkin setelah klien dirawat dan diintegrasikan didalam proses
keperawatan.
Jadi bukan persiapan yang dilakukan pada hari atau sehari sebelum klien pulang.
Tujuan perencanaan pulang:
1. Menyiapkan klien dan keluarga secara fisik, psikologis dan sosial.
2. Klien tidak menciderai diri, orang lain dan lingkungannya.
3. Klien tidak terisolasi sosial
4. Menyelenggarakan proses pulang yang bertahap (Kelliat, 1992).

K. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi 4 tahapan yaitu : Pengkajian, perencanaan/intervensi,
pelaksanaan/implementasi dan evaluasi, yang masing-masing berkesinambungan
serta memerlukan kecakapan keterampilan professional tenaga keperawatan.
Proses keperawatan adalah cara pendekatan sistimatis yang diterapkan dalam
pelaksanaan fungsi keperawatan, ide pendekatan yang dimiliki, karakteristik
sistimatis, bertujuan, interaksi, dinamis dan ilmiah. Proses keperawatan klien marah
adalah sebagai berikut : (Keliat, dkk, 1996)
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data,
analisa data, dan perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa
keperawatan.
Pengumpulan data
Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual.
Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, tachikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan otot
seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya, jengkel,
frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk, bermusuhan dan
sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai suatu
pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah, mengidentifikasi
penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses, diklarifikasi, dan
diintegrasikan.
Aspek social
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan ketergantungan.
Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain. Klien seringkali
menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan kata-kata kasar yang
berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat mengasingkan individu
sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak
berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji
individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan
spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik: terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek dan
cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah meningkat.
Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

Klasifiaksi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi 2 macam
yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah data yang
disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini didapatkan melalui
wawancara perawat dengan klien dan keluarga. Sedangkan data obyektif yang
ditemukan secara nyata. Data ini didapatkan melalui obsevasi atau pemeriksaan
langsung oleh perawat.

Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan
yang dihadapi klien dan dengan memperhatikan pohon masalah dapat diketahui
penyebab sampai pada efek dari masalah tersebut. Dari hasil analisa data inilah
dapat ditentukan diagnosa keperawatan.
Pohon masalah

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual
dan potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan
sebagai proses kehidupan (Carpenito, 2000). Adapun kemungkinan diagnosa
keperawatan pada klien marah dengan masalah utama perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan berhubungan dengan
perilaku kekerasan.
Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
Rencana Tindaka
No Diagnosis
TUK/SP
1 Resiko perilaku kekerasan TUM: Selama perawatan Tindakan Psikoterapi
diruangan, pasien tidak a. Pasien
BHSP
memperlihatkan perilaku
Ajarakan SP I:
kekerasan, dengan criteria hasil o Diskusikan pen
(TUK): PK yang dilaku
o Latih pasien me
Dapat membina hubungan dalam & meme
saling percaya o Masukkan dala
Dapat mengidentifikasi Ajarkan SP II:
penyebab, tanda dan gejala, o Diskusikan jad
bentuk dan akibat PK yang o Latih pasien me
sering dilakukan o Latih pasien ca
Dapat mendemonstrasikan cara o Masukkan dala
mengontrol PK dengan cara :
Ajarkan SP III:
o Fisik
o Diskusikan jad
o Social dan verbal
o Latih cara spiri
o Spiritual
o Masukkan dala
o Minum obat teratur
Ajarkan SP IV
Dapat menyebutkan dan o Diskusikan jad
mendemonstrasikan cara
o Diskusikan ten
mencegah PK yang sesuai
Dapat memelih cara mengontrol minum obat se
PK yang efektif dan sesuai o Masukkan dala
Dapat melakukan cara yang Bantu pasien mem
sudah dipilih untuk mengontrl Anjurkan pasien u
PK sesuai
Memasukan cara yang sudah Masukkan cara me
dipilih dalam kegitan harian kegiatan harian
Mendapat dukungan dari Validasi pelaksana
keluarga untuk mengontrol PK b. Keluarga
Dapat terlibat dalam kegiatan Diskusikan masa
diruangan merawat pasien P
Jelaskan pengerti
pasien serta prose
Jelaskan dan latih
Latih keluarga m
langsung
Discharge planni
Tindakan psikofarma
Berikan obat-obatan
Memantau kefektifan
Mengukur vital sign

Tindakan manipulasi
Singkirkan semua be
Temani pasien selam
ketegangan mulai m
Lakaukan pemebtasa
pengikatan/restrain a
Libatkan pasien dalam
persepsi dan realita
DAFTAR PUSTAKA

Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Schizofrenia, FKUI;
Jakarta.
Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat Pelayanan
Keperawatan, 2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan, Jakarta.
Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa, penerbit buku
kedokteran EGC : Jakarta.
Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit buku
kedokteran EGC ; Jakarta.
Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI : Jakarta.
Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan
Keluarga, Edisi 1, CV. Agung Seto; Jakarta.
Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 3, Penerbit :
Buku Kedokteran EGC ; Jakarta.
Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3, Penerbit Buku
Kedokteran, EGC ; Jakarta.
WF Maramis, 1998, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku Kedokteran EGC
; Jakarta.

http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2013/12/laporan-pendahuluan-perilaku-
kekerasan.html#.WOL9gKLDvIU
LAPORAN PENDAHULUAN HALUSINASI

A. DEFINISI
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya
rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara,
bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara
bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan
panca indera (Isaacs, 2002).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera
tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada
sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu
itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada
saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam
diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap
rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien
dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana
klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar.
Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca
indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan.
Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa
kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada
kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang
salah (Stuart, 2007).
Kesimpulannya bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui
panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau
rangsangan yang nyata.

B. MACAM-MACAM HALUSINASI
1. Pendengaran
Mendengar suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk
kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang
klien, bahkan sampai pada percakapan lengkap antara dua orang yang
mengalami halusinasi. Pikiran yang terdengar dimana klien mendengar
perkataan bahwa klien disuruh untuk melakukan sesuatu kadang dapat
membahayakan.
2. Penglihatan
Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris,gambar
kartun,bayangan yang rumit atau kompleks. Bayangan bias menyenangkan
atau menakutkan seperti melihat monster.
3. Penghidu
Membaui bau-bauan tertentu seperti bau darah, urin, dan feses umumnya bau-
bauan yang tidak menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat stroke,
tumor, kejang, atau dimensia.
4. Pengecapan
Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
5. Perabaan
Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas. Rasa
tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.
6. Cenesthetic
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan
makan atau pembentukan urine
7. Kinisthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

C. FAKTOR PREDIPOSISI
Menurut Stuart (2007), faktor predisposisi terjadinya halusinasi adalah:
1. Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon
neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh
penelitian-penelitian yang berikut:
a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan
dengan terjadinya skizofrenia.
c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak
klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel,
atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan
kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2. Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan
kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat
mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan
kekerasan dalam rentang hidup klien.
3. Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti:
kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan
kehidupan yang terisolasi disertai stress.

D. FAKTOR PRESIPITASI
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa
dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus
yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2. Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3. Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.

E. MANIFESTASI KLINIK
1. Fase Pertama / comforting / menyenangkan
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah, kesepian.
Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal yang
menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress. Cara ini
menolong untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol kesadarnnya dan
mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi meningkat.
Perilaku klien : tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir
tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang
asyik dengan halusinasinya dan suka menyendiri.
2. Fase Kedua / comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal dan
eksternal, klien berada pada tingkat listening pada halusinasi. Pemikiran
internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi halusinasi dapat
berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila orang lain mendengar dan
klien merasa tak mampu mengontrolnya. Klien membuat jarak antara dirinya
dan halusinasi dengan memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari
orang lain.
Perilaku klien : meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
3. Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi terbiasa
dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam gangguan psikotik.
Karakteristik : bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan
mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap
halusinasinya.
Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya
beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor
dan tidak mampu mematuhi perintah.
4. Fase Keempat / conquering/ panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi
mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat berhubungan dengan
orang lain karena terlalu sibuk dengan halusinasinya klien berada dalam dunia
yang menakutkan dalam waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses
ini menjadi kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku
kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu merespon
terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

Klien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering didapatkan duduk terpaku
dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau berbicara sendiri,
secara tiba-tiba marah atau menyerang oranglain, gelisah, melakukan gerakan
seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari klien sendiri tentang
halusinasi yang dialaminya ( apa yangdilihat, didengar atau dirasakan). Berikut ini
merupakan gejala klinis berdasarkan halusinasi (Budi Anna Keliat, 1999) :
1. Tahap I : halusinasi bersifat menyenangkan
Gejala klinis :
a. Menyeringai/ tertawa tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa bicara
c. Gerakan mata cepat
d. Bicara lambat
e. Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
2. Tahap 2 : halusinasi bersifat menjijikkan
Gejala klinis :
a. Cemas
b. Konsentrasi menurun
c. Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata
3. Tahap 3 : halusinasi yang bersifat mengendalikan
Gejala klinis :
a. Cenderung mengikuti halusinasi
b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk)
4. Tahap 4 : halusinasi bersifat menaklukkan
Gejala klinis :
a. Pasien mengikuti halusinasi
b. Tidak mampu mengendalikan diri
c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata
d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

F. AKIBAT YANG DITIMBULKAN


Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Resiko mencederai
merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri,
orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
1. Memperlihatkan permusuhan
2. Mendekati orang lain dengan ancaman
3. Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4. Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5. Mempunyai rencana untuk melukai

Klien yang mengalami halusinasi dapat kehilangan control dirinya sehingga bisa
membahayakan diri sendiri, orang lain maupun merusak lingkungan (resiko
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan). Hal ini terjadi jika halusinasi
sudah sampai fase ke IV, dimana klien mengalami panic dan perilakunya
dikendalikan oleh isi halusinasinya. Klien benar-benar kehilangan kemampuan
penilaian realitas terhadap lingkungan. Dalam situasi ini klien dapat melakukan
bunuh diri, membunuh orang lain bahkan merusak lingkungan. Tanda dan
gejalanya adalah muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi,
berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak: merampas
makanan, memukul jika tidak senang

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara :
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan, kepanikan dna ketakutan klien akibat
halusinasi, sebaiknya pada permulaan pendekatan dilakukan secara individual dan
usahakan agar terjadi kontak mata, kalau bisa pasien disentuh atau dipegang. Pasien
jangan di isolasi baik secara fisik atau emosional. Setiap perawat masuk ke kamar
atau mendekati klien, bicaralah dengan klien. Begitu juga bila akan meninggalkannya
hendaknya klien diberitahu. Klien diberitahu tindakan yang akan dilakukan. Di
ruangan itu hendaknya disediakan sarana yang dapat merangsang perhatian dan
mendorong pasien untuk berhubungan dengan realitas, misalnya jam dinding, gambar
atau hiasan dinding, majalah dan permainan.
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali klien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang diterimanya. Pendekatan sebaiknya secara persuatif tapi instruktif.
Perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul ditelannya, serta reaksi obat
yang diberikan.
3. Menggali permasalahan klien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah
klien yang merupakan penyebab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi
masalah yang ada. Pengumpulan data ini juga dapat melalui keterangan keluarga klien
atau orang lain yang dekat dengan klien.
4. Memberi aktivitas pada klien
Klien diajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya berolah raga,
bermain atau melakukan kegiatan. Kegiatan ini dapat membantu mengarahkan klien
ke kehidupan nyata dan memupuk hubungan dengan orang lain. Klien diajak
menyusun jadwal kegiatan dan memilih kegiatan yang sesuai.
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan
Keluarga klien dan petugas lain sebaiknya di beritahu tentang data klien agar ada
kesatuan pendapat dan kesinambungan dalam proses keperawatan, misalnya dari
percakapan dengan klien diketahui bila sedang sendirian ia sering mendengar laki-laki
yang mengejek. Tapi bila ada orang lain di dekatnya suara-suara itu tidak terdengar
jelas. Perawat menyarankan agar klien jangan menyendiri dan menyibukkan diri
dalam permainan atau aktivitas yang ada. Percakapan ini hendaknya diberitahukan
pada keluarga klien dan petugas lain agar tidak membiarkan klien sendirian dan saran
yang diberikan tidak bertentangan.
Farmako:
1. Anti psikotik:
a. Chlorpromazine (Promactile, Largactile)
b. Haloperidol (Haldol, Serenace, Lodomer)
c. Stelazine
d. Clozapine (Clozaril)
e. Risperidone (Risperdal)
2. Anti parkinson:
a. Trihexyphenidile
b. Arthan

H. POHON MASALAH

Pathway
Halusinasi

I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Data yang Perlu Dikaji
a. Alasan masuk RS
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena
keluarga merasa tidak mampu merawat, terganggu karena
perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di
rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan.
b. Faktor prediposisi
1) Faktor perkembangan terlambat
Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan
rasa aman.
Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak
terselesaikan
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
Komunikasi peran ganda
Tidak ada komunikasi
Tidak ada kehangatan
Komunikasi dengan emosi berlebihan
Komunikasi tertutup
Orangtu yang membandingkan anak-anaknya, orangtua yang
otoritas dan konflik dalam keluarga
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit
kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup
diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas
diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan
koping destruktif.
5) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak,
pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel
korteks dan limbik.
6) Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan
melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang
keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai
sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen
skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi
genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik
memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50%
jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika
di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang
salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang
15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang
tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
c. Faktor presipitasi
Faktor faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
1) Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang
menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal
otak.
2) Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu
(mekanisme penerimaan abnormal).
3) Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi,
perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Menurut Stuart (2007), pemicu gejala respon neurobiologis
maladaptif adalah kesehatan, lingkungan dan perilaku.
1) Kesehatan
Nutrisi dan tidur kurang, ketidakseimbangan irama
sikardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan sistem
syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan.
2) Lingkungan
Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah
tangga, kehilangan kebebasab hidup dalam melaksanakan
pola aktivitas sehari-hari, sukar dala, berhubungan
dengan orang lain, isolasi sosial, kurangnya dukungan
sosialm tekanan kerja, dan ketidakmampuan mendapat
pekerjaan.
3) Sikap
Merasa tidak mampu, putus asam merasa gagal, merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang, rendahnya kemampuan
sosialisasi, ketidakadekuatan pengobatan dan penanganan
gejala.
4) Perilaku
Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung,
perilaku merusak, kurang perhatian, tidak mampu mengambil
keputusan, bicara sendiri. Perilaku klien yang mengalami
halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya.
Apabila perawat mengidentifikasi adannya tanda-tanda dan
perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus
dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis
halusinasinya saja. Validasi informasi tentang halusinasi
yang iperlukan meliputi :
Isi halusinasi
Menanyakan suara siapa yang didengar, apa yang
dikatakan.
Waktu dan frekuensi
Kapan pengalaman halusianasi munculm berapa kali
sehari.
Situasi pencetus halusinasi
Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang dialami
sebelum halusinasi muncul. Perawat bisa mengobservasi
apa yang dialami klien menjelang munculnya halusinasi
untuk memvalidasi pertanyaan klien.
Respon klien
Sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien. Bisa
dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat
mengalami pengalamana halusinasi. Apakah klien bisa
mengontrol stimulus halusinasinya atau sebaliknya.
d. Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan
darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.
1) Status mental
Penampilan : tidak rapi, tidak serasi
Pembicaraan : terorganisir/berbelit-belit
Aktivitas motorik : meningkat/menurun
Afek : sesuai/maladaprif
Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan
stimulus yang ada sesuai dengan nformasi
Proses pikir : proses informasi yang diterima tidak
berfungsi dengan baik dan dapat mempengaruhi proses
pikir
Isi pikir : berisikan keyakinan berdasarkan penilaian
realistis
Tingkat kesadaran
Kemampuan konsentrasi dan berhitung
2) Mekanisme koping
Regresi : malas beraktifitas sehari-hari
Proyeksi : perubahan suatu persepsi dengan berusaha
untuk mengalihkan tanggungjawab kepada oranglain.
Menarik diri : mempeecayai oranglain dan asyik dengan
stimulus internal
3) Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan
dengan ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau
pemukiman.

2. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


Ada beberapa diagnosa keperawatan yang sering ditemukan pada
klien dengan halusinasi menurut Keliat (2006) yaitu:
a. Resiko Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi
pendengaran.
b. Gangguan persepsi sensori: halusinasi berhubungan dengan
menarik diri.
c. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri
rendah.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan isolasi sosial.
DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN
Resiko perilaku TUM: Selama perawatan diruangan, Tindakan Psikote
kekerasan pasien tidak memperlihatkan perilaku a. Pasien
kekerasan, dengan criteria BHSP
hasil (TUK): Ajarakan SP I:
Dapat membina hubungan saling percaya o Diskusikan p
Dapat mengidentifikasi penyebab, tanda dan o Latih pasien
gejala, bentuk dan akibat PK yang sering o Masukkan da
dilakukan Ajarkan SP II:
Dapat mendemonstrasikan cara mengontrol o Diskusikan j
PK dengan cara : o Latih pasien
o Fisik o Latih pasien
o Social dan verbal o Masukkan da
o Spiritual Ajarkan SP III:
o Minum obat teratur o Diskusikan j
Dapat menyebutkan dan mendemonstrasikan o Latih cara sp
cara mencegah PK yang sesuai o Masukkan da
Dapat memelih cara mengontrol PK yang Ajarkan SP IV
efektif dan sesuai o Diskusikan j
Dapat melakukan cara yang sudah dipilih o Diskusikan t
untuk mengontrl PK o Masukkan da
Memasukan cara yang sudah dipilih dalam Bantu pasien m
kegitan harian Anjurkan pasien
Mendapat dukungan dari keluarga untuk Masukkan cara
mengontrol PK Validasi pelaksa
Dapat terlibat dalam kegiatan diruangan b. Keluarga
Diskusikan ma
Jelaskan penge
Jelaskan dan l
Latih keluarga
Discharge plan
Tindakan psikof
Berikan obat-obata
Memantau kefektif
Mengukur vital sig
Tindakan manipul
Singkirkan semua
Temani pasien sela
Lakaukan pemebta
Libatkan pasien da

Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan keperawatan TINDAKAN PSIKOTE


sensori: halusinasi selama 3 x 24 jam klien mampu Klien
mengontrol halusinasi dengan kriteria o Bina hubungan
hasil: o Adakan kontak
Klien dapat membina hubungan saling o Observasi tin
percaya o Tanyakan kelu
Klien dapat mengenal halusinasinya; o Jika klien ti
jenis, isi, waktu, dan frekuensi SP I
halusinasi, respon terhadap Identifikas
halusinasi, dan tindakan yg sudah Identifikas
dilakukan Identifikas
Klien dapat menyebutkan dan Identifikas
mempraktekan cara mengntrol Identifikas
halusinasi yaitu dengan menghardik, Identifikas
bercakap-cakap dengan orang lain, Ajarkan Kli
terlibat/ melakukan kegiatan, dan Anjurkan Kl
minum obat SP II
Klien dapat dukungan keluarga dalam Evaluasi ja
mengontrol halusinasinya Latih Klien
Klien dapat minum obat dengan bantuan Anjurkan Kl
minimal SP III
Mengungkapkan halusinasi sudah hilang Evaluasi ja
atau terkontrol Latih Klien
Anjurkan Kl
SP IV
Evaluasi
Berikan p
Anjurkan
Beri puji
o Menganjurkan K
o Menganjurkan K
Keluarga
o Diskusikan mas
o Jelaskan penger
o Jelaskan dan lat
o Latih keluarga m
o Discharge plann

TINDAKAN PSIKOFA
Berikan obat-obata
Memantau kefektif
Mengukur vital sig

TINDAKAN MANIPUL
Libatkan Klien dal
Libatkan Klien dal

Isolasi Sosial Setelah dilakukan tindakan keperawatan TINDAKAN PSIKOTE


selama 3 x 24 jam Klien dapat Klien
berinteraksi dengan orang lain baik SP 1
secara individu maupun secara o Bina hubungan
berkelompok dengan kriteria hasil : o Identifikasi
Klien dapat membina hubungan saling SP 2
percaya. o Diskusikan be
Dapat menyebutkan penyebab isolasi o Ajarkan kepad
sosial. o Anjurkan kepa
Dapat menyebutkan keuntungan SP 3
berhubungan dengan orang lain. o Evaluasi pela
Dapat menyebutkan kerugian tidak o Beri kesempat
berhubungan dengan orang lain. o Ajarkan Klien
Dapat berkenalan dan bercakap-cakap o Anjurkan kepa
dengan orang lain secara bertahap. SP 4
Terlibat dalam aktivitas sehari-hari o Evaluasi pela
o Jelaskan tent
o Anjurkan Klie
o Anjurkan Klie
Keluraga
o Diskusikan ma
o Jelaskan peng
o Jelaskan dan

TINDAKAN PSIKOFA
Beri obat-obata
Pantau keefekti
Ukur vital sign

TINDAKAN MANIPUL
Libatkan dalam
Perlihatkan sik
Berikan reinfor
Orientasikan Kl

Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan keperawatan TINDAKAN PSIKOTE


selama 3 x hari, klien dapat mandiri Pasien
melakukan perawatan diri dengan o Menjelaskan pe
kriteria: o Mendiskusikan
Dapat menjelaskan pentingnya kebersihan o Menjelaskan ma
dan kerapian o Mengajarkan ca
Menyebutkan ciri-ciri badan yang bersih dan o Memberikan ke
rapi o Menganjurkan p
Dapat menyebutkan manfaat badan bersih dan Keluarga
rapi o Mendiskusikan
Dapat menyebutkan kerugian badan badan o Menjelaskan cir
yang tidak bersih dan tidak rapi o Menjelaskan ca
Dapat mempraktikan cara melakukan cara o Melatih keluarg
perawatan diri dengan benar o Membantu kelu
Badan bersih dan rapi TINDAKAN PSIKOFA
Badan tidak bau Memberikan obat-o
Dapat melakukan aktifitas perawatan diri Memantau keefekt
secara mandiri Mengukur vital sig
TINDAKAN MANIPUL
Mendukung pasien
Memberikan penga
Jadwalkan pasien m
DAFTAR PUSTAKA

Antonim. 2008. Askep Halusinasi. Dimuat


dalam http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/askep-halusinasi/.
(Diakses : 8 Agustus 2012)
Anonim. 2009. Askep dengan Halusinasi. Dimuat
dalam http://aggregator.perawat.web.id [Diakses : 15 Oktober 2011]
Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat
dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 15 Oktober 2011]
Kusumawati dan Hartono . 2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa . Jakarta : Salemba
Medika
Stuart dan Sundeen . 2005 . Buku Keperawatan Jiwa . Jakarta : EGC .
Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan
Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan
untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta: Salemba
Medika.
Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi
Dengan Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan
Analisa Proses Interaksi (API). Jakarta : fajar
Interpratama.
http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2013/12/laporan-pendahuluan-gangguan-
persepsi.html#.WOMAPKLDvIU

You might also like