You are on page 1of 17

LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI PENDENGARAN
DI PUSKESMAS BATUA MAKASSAR

DISUSUN OLEH :
NURHASNI, S.Kep
16.04.059

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PANAKKUKANG MAKASSAR
2016/2017
A. MASALAH UTAMA
Sensori Persepsi : Halusinasi
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
1. Definisi Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu gejala yang sering ditemukan pada
klien dengan gangguan jiwa. Halusinasi identik dengan skizofernia. Seluruh
klien dengan skizofernia diantaranya mengalami halusinasi. Gangguan jiwa lain
yang sering juga disertai dengan gejala halusinasi adalah gangguan maniak
depresif dan delirium. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu pencerapan panca
indera tanpa ada rangsangan dari luar (Maramis, 1998). Suatu penghayatan yang
dialami seperti melalui panca indera tanpa stimulus eksternal; persepsi palsu.
Berbeda dengan ilusi dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap
stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eskternal
yang terjadi. Stimulus internal sipersepsikan sebagai suatu yang nyata ada leh
klien (Marami, 1998).
2. Dimensi Halusinasi
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman. Gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengenali keputusan serta tidak dapat membedakan
keadaan nyata dan tidak nyata. Masalah halusinasi berlandaskan atas hakikat
keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsure
unsure bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusiansi dapat dilihat dari lima
dimensi (Stuart dan Laraia, 2005) yaitu:
1) Dimensi Fisik, manusia dibangun oleh indera untuk menanggapi rangsangan
eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi ini dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penggunaan obat obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol, dan
kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional, perasaan cemas yeng berlebihan atas dasar problem
yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak
sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut
klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan terebut.
3) Dimensi Intelektual, dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa
individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi
ego. Pada awalnya, halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk
melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
4) Dimensi Social, dimensi social pada individu dengan halusinasi
menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik
dengan halusinasinya, seolah olah ia merupakan tenpat untuk memenuhi
kebutuhan akan interkasi social, kontorl diri, dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh
individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka
individu tersebut bisa membahayakan orang lain. Oleh karena itui, aspek
penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan
menguoayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman
interpersonal yang memuaskan serta mengusahakan klien tidak menyendiri
sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak
berlangsung.
5) Dimensi spiritual, manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk social
sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang
mendasar. Individu yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri
hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan
keberadaannya sehingga halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu
tersebut. Saat halusinasi menguasai diri, individu kehilangan kontrol
kehidupan dirinya (Stuart dan Laraia, 2005).
3. Rentang Respon Halusinasi
Halusinasi merupakan salah satu respon maladaptive individu yang
berada dalam rentang respon neurobiologist (Stuart dan Laraia, 2005). Ini
merupakan respon persepsi paling maladaptive. Jika klien sehat persepsinya
akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan
informasi yang diterima melalui pancaindra (pendengaran, penglihatan,
penghidu, pengecapan, dan perabaan), klien dengan halusinasi mempersepsikan
suatu stimulus pancaindra walaupun sebenarnya stimulus tersebut tidak ada.
Respon individu (yang karena suatu hal mengalami kelainan persepsi) yaitu
salah mempersepsikan stimulus yang diterimanya yang disebut ilusi. Klien
mengalami ilusi jika interpretasi yang dilakukan terhadap stimulus pancaindra
tersebut digambarkan seperti gambar di bawah ini.
Respon Adaptif Respon Maladaptif

1. Pikiran logis 1. Distorsi pikiran 1. Gangguan pikir/


2. Persepsi akurat ilusi delusi
3. Emosi konsisten 2. Reaksi emosi 2. Halusinasi
dengan pengalaman berlebihan 3. Sulit merespon emosi
4. Perilaku sesuai 3. Perilaku aneh 4. Perilaku disorganisasi
5. Berhubungan sosial atau tidak biasa 5. Isolasi social tidak
4. Menarik diri

Gambar : Rentang respon neurologist halusinasi


(Stuart dan Laraia, 2005)
4. Jenis Jenis Halusinasi
Stuart dan Laraia (2005) membagi halusinasi menjadi 7 jenis halusinasi
yang meliputi : halusinasi pendengaran (auditory), halusinasi penglihatan
(visual), halusinasi penghidu (olfactory), halusinasi pengecapan (gustatory),
halusinasi perabaan (tactile), halusinasi cenesthetic, halusinasi kinesthetic.
Halusinasi yang paling banyak diderita adalah halusinasi pendengaran
yang mencapai lebih kurang 70%, sedangkan halusinasi penglihatan menduduki
peringkat kedua dengan rata rata 20%. Sementara jenis halusinasi yang lain
yaitu halusinasi pengecapan, penghidu, perabaan, kinesthetic, dan cenesthetic
hanya meliputi 10. Tabel di bawah ini menjelaskan karateristik tiap halusinasi.

Tabel Karakteristik Halusinasi (Stuart Dan Laraia, 2005)


Jenis Halusinasi Karaterisitik
Pendengaran Mendengar suara suara atau kebisingan, paling
sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang
kurang keras sampai kata kata yang jelas berbicara
tentang klien, bahkan sampai percakapan lengkap
antara dua orang atau lebih. Pikiran yang didengar
klien dimana klien disuruh untuk melakukan sesuatu
yang kadang kadang membahayakan.

Penglihatan Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya,


gambaran geometris, gambaran kartun, bayangan yang
rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan
atau menakutkan seperti melihat monster.
Penghidu Mencium bau bau tertentu seperti bau darah, urin,
atau feses, umumnya bau bauan yang tidak
menyenangkan. Halusinasi penghidu sering akibat
stroke,tumor, kejang, atau dimensia.
Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti darah, urin atau feses.
Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa
stimulus yang jelas. Rasa tersetrum listrik yang datang
dari tanah, benda mati atau orang lain.
Cenesthetic Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah dari vena
atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan
uruine.
Kinesthetic Merasakan pergerakan saat berdiri tanpa bergerak.

5. Fase Fase Halusinasi


Halusinasi yang dialami klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya.
Stuart dan Laraia (2005) membagi fase halusinasi dalam 4 fase berdasarkan
tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan dirinya.
Semakin berat mengalamai ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.
Tabel Fase Fase Halusinasi (Stuart Dan Laraia, 2005)
Fase Halusiansi Karakteristik Perilaku Klien
Fase I Comforting Klien mengalami perasaan yang 1. Tersenyum atau tertawa yang
Ansietas sedang mendalam seperti ansietas, kesepian, tidak sesuai
Hausinasi rasa bersalah, takut sehingga 2. Menggerakan bibir tanpa
menyenangkan mencoba untuk berfokus pada suara
pikiran menyenangkan untuk 3. Pergerakan mata yang cepat
meredakan ansietas. Individu 4. Respon verbal yang lambat
mengenali bahwa pikiran pikiran jika sedang asyik
dan pengalaman sensori berada 5. Diam dan asyik sendiri
dalam kendali kesadaran jika
ansietas dapat ditangani.
NONPSIKOTIK
Fase II Condeming 1. Pengalaman sensori yang 1. Meningkatnya tanda-tanda
Ansietas berat menjijikkan dan menakutkan sistem saraf otonom akibat
Halusinasi menjadi 2. Klien mulai lepas kendali dan ansietas seperti peningkatan
menjijikkan mungkin mencoba untuk denyut jantung, pernapasan,
mengambil jarak dirinya dengan dan tekanan darah
sumber yang dipersepsikan 2. Rentang perhatian menyempit
3. Klien mungkin mengalami 3. Asyik dengan pengalaman
dipermalukan oleh pengalaman sensori dan kehilangan
sensori dan menarik idir dari kemampuan mebedakan
orang lain halusinasi dan realita
4. Mulai merasa kehilangan kontrol 4. Menyalahkan
5. Tingkat kecemasan berat, secara 5. Menarik diri dari orang lain
umum halusinasi menyebabkan 6. Konsentrasi terhadap
perasaan antipasti pengalaman sensori kerja

PSIKOTIK RINGAN
Fase III Controling 1. Klien berhenti melakukan 1. Kemauan yang dikendalikan
Ansietas berat perlawanan terhadap halusinasi akan lebih diikuti
Pengalaman sensori dan menyerah pada halusinasi 2. Kesukaran berhubungan
jadi berkuasa tersebut dengan orang lain
2. Isi halusinasi menjadi menarik 3. Rentang perhatian hanya
3. Klien mungkin mengalami beberapa detik atau menit
penglaman kesepian jika sensori 4. Adanya tanda-tanda fisik
halusinasi berhenti ansietas berat: berkeringat,
tremor, dan tidak mampu
mematuhi perintah
5. Isi halusinasi menjadi atraktif
6. Perintah halusinasi ditaati
7. Tidak mampu mengikuti
perintah dari perawat, tremor
dan berkeringat
PSIKOTIK SEDANG
Fase IV Conquering 1. Pengalaman sensori menjadi 1. Perilaku eror akibat panic
Panik mengancam jika klien mengikuti 2. Potensi kuat suicide atau
Umumnya melebur perintah halusinasinya homicide
dalam halusinasinya 2. Halusinasi berakhir dari beberapa 3. Aktivitas fisik merefleksikan
jam atau hari jika tidak ada isi halusinasi seperti perilaku
intervensi teraupetik kekerasan agitasi, menarik
diri, atau katatonik
4. Tidak mampu merespon
perintah yang kompleks
5. Tidak mampu merespon lebih
dari satu orang
6. Agitasi atau kataton
PSIKOTIK BERAT

6. Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu gejala dalam menentukan diagnosis
klien yang mengalami psikotik, khususnya Schizofernia. Halusinasi dipengaruhi
oleh faktor (Stuart dan Laraian, 2005), dibawah ini antara lain:
1) Faktor Predisposisi, adalah faktor risiko yang mempengaruhi jenis dan
jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.
Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya, mengenai faktor
perekmbangan sosial cultural, biokimia, psikologis dan genetic yaitu faktor
risiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan
oleh individu untuk mengatasi stress. Beberapa faktor predisposisi yang
berkontribusi pada munculnya respon neurobiology seperti halusinasi antara
lain:
a. Faktor Genetik, telah diketahui bahwa secara genetic schizofernia
diturunkan melalui kromoso kromosom tertentu. Namun demikian,
kromosom yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan iin
sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar identik
memiliki kemungkinan mengalami schizofernia sebesar 50% jika salah
satunya mengalami schizofernia, sementara jika dizygote peluangnya
sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami
schizofernia berpeluang 15% mengalami schizofernia, sementara bila
kedua orang tuanya schizofernia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor Perkembangan, jika tugas perkembangan mengalami hambatan
dan hubungan interpersonal terganggu, maka individu akan mengalami
stress dan kecemasan.
c. Faktor Neurobiologi, ditemukan bahwa kortex pre frontal dan kortex
limbic pada klien dengan schizofernia tidak pernah berkembang penuh.
Ditemukan juga pada klien schizofernia terjadi penurunan volume dan
fungsi otak yang abnormal. Neurotransmitter juga tidak ditemukan tidak
normal, khususnya dopamine, serotonin dan glutamate.
d. Study Neurotransmitter, schizofernia diduga juga disebabkan oleh
adanya ketidakseimbangan neurotransmitter serta dopamine berlebihan,
tidak seimbang dengan kadar serotonin.
e. Faktor Biokimia, mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan
jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan yang dialami seseorang,
maka tubuh akan mengahasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase
(DMP).
f. Psikologi, beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
schizofernia, antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas,
terlalu melindungi, dingin, dan tidak berperasaan, sementara ayah yang
mengalami jarak dengan anaknya. Sementara itu hubungan interpersonal
yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan
sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang
tinggi dan berakhir dengan gangguan orientas realita.
g. Faktor Sosiokultural, berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan
seorangmerasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat
klien dibesarkan.
2) Faktor Presipitasi, yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai
tantangan, ancaman/tuntutan yang memerlukan energy ekstra untuk koping.
Adanya rangsangan lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien
dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi dan suasan sepi/isolasi
sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal itu dapat
meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan
zat halusinogenik.
Gajala gejala pencetus respon neurologi (Stuart dan Laraian, 2005)
KESEHATAN 1. Nutrisi kurang
2. Kurang tidur
3. Ketidakseimbangan irama sirkadian
4. Kelelahan
5. Infeksi
6. Obat-obat sistem saraf pusat
7. Kurangnya latihan
8. Hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan
LINGKUNGAN 1. Lingkungan yang memusuhi, krisis
2. Masalah di rumah tangga
3. Kehilangan kebebasan hidup
4. Perubahan kebiasan hidup, pola aktivitas sehari-hari
5. Kesukaran dalam hubungan dengan orang lain
6. Isolasi sosial
7. Kurangnya dukungan sosial
8. Tekanan kerja (keterampilan dalam bekerja)
9. Kurangnya alat transportasi
10. Ketidakmampuan dalam mendapatkan pekerjaan.
SIKAP/PERILAKU 1. Merasa tidak mampu (harga diri rendah)
2. Putus asa (tidak percaya diri)
3. Merasa gagal (kehilangan motivasi dalam
menggunakan keterampilan diri)
4. Kehilangan kendali diri
5. Merasa punya kekuatan berlebihan dengan gejala
tersebut
6. Merasa malang (tidak dapat memenuhi kebutuhan
spiritual)
7. Bertindak seperti orang lain dari segi usia maupun
kebudayaan
8. Rendahnya kemampuan sosialisasi
9. Ketidakadekuatan pengobatan
10. Perilaku agresif
11. Perilaku kekerasan
12. Ketidakadekuatan penanganan gejala

7. Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang sering digunakan klien dengan halusinasi
(Stuart dan Laraia, 2005) meliputi:
1) Regresi: menjadi malas beraktivitas sehari-hari
2) Proyeksi: mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan
tanggung jawab kepada orang lain atau sesuatu benda.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
interna.
4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.
8. Validasi Informasi Tentang Halusinasi
Pengalaman halusinasi menjadi masalah untuk dibicarakan dengan orang
lain. Kemampuan untuk bercakap-cakap tentang halusinasi yang dialami oleh
klien sangat penting untuk memastikan dan mevalidasi penglaman halusinasi
tersebut. Perawat harus memiliki ketulusan dan perhartian yang penuh untuk
memfasilitasi percakapan tentang halusinasi. Perilaku klien yang mengalami
halusinasi pada jenis halusinasinya, apakah halusinasinya merupakan halusinasi
pendengaran, penghidu, pengecapan, perabaan, cenesthetic, kinesthetic. Validasi
informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:
1) Isi halusinasi yang dialami oleh klien. Ini dapat dikaji dengan menanyakan
suara siapa yang didengar dan apa yang dikatakan jika halusinasi yang
dialami adalah halusinasi pendengaran. Bentuk bayangan bagaimana yang
dilihat klien bila halusinasinasinya adalah halusinasi penglihatan, bau apa
yang tercium bila halusinasinya adalah halusinasi penghidu, rasa apa yang
dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa dipermukaan
tubuh bila mengalami halusinasi perabaan.
2) Waktu dan frekuensi halusinasi. Ini dapat dikaji dengan menanyakan
kepada klien kapan pengalaman halusinasi muncul, berapa hari sekali,
seminggu atau bulan pengalaman halusinasi itu muncul. Informasi ini
penting untuk mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan
bilamana klien perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.
3) Situasi pencetus halusinasi. Perawat perlu mengidentifikasi situasi yang
dialami klien sebelum mengalami halusinasi. Ini dapat dikaji dengan
menanyakan kepada klien perisitiwa atau kejadian yang dialami sebelum
halusinasi ini muncul. Selain itu perawat juga bisa mnengobservasi apa yang
dialami klien menjelang muncul halusinasi untuk memvalidasi penyataan
klien.
4) Respon klien. Untuk menentukan sejauhmana halusinasinya telah
mempengaruhi klien, bisa dikaji dengan menanyakan apayang dilakukan
klien saat mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa
mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap
halusinasi (Stuart dan Laraia, 2005)
9. Penatalaksanaan Secara Medis Pada Halusinasi
Penatalaksanaan klien schizofernia yang mengalami halusinasi adalah
dengan pemberian obat batan dan tindakan lain, (Stuart dan Laraia, 2005)
yaitu:
1) Psikofarmakologis, obat yang lazim digunakan pada gejala halusinasi
pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada klien schizofernia adalah
obat anti psikosis. Adapun kelompok yang umum digunakan adalah
Fenotiazin Asetofenazin (Tindal), Klorpromazin (Thorazine), Flufenazine
(Prolixine, Permetil), Mesoridazin (Serentil), Perfenazin (Trifalon),
Prokolorperazin (Compazine), Promazin (Sparine), Tioridazin (Mellaril),
Trifluoperazin (Stelazine), Trifluopromazin (Vesprin) 60-120 mg, Tioksanten
Klorprotiksen (Taractan), Tiotiksen (Navane) 75-600 mg, Butirofenon
Haloperidol (Haloperidol) 1-100 mg, Dibenzoadiazepin Klozapin (Clorazil)
300-900 mg, Dibenzokasazepin Loksapin (Loxitane) 20-150 mg,
Dihidroindolon Molindone (Moban) 15-225 mg
2) Terapi kejang listrik/Electro Compulsive Therapy (ECT)
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
4)
C. POHON MASALAH
Efek:
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Core problem:
Perubahan sensori persepsi: Halusinasi Pendengaran

Causa:
Isolasi sosial : Menarik diri
Harga diri rendah (HDR)
D. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HALUSINASI
Standar asuhan keperawatan atau standar praktik keperawatan mengacu pada
standar praktik professional dan standar kinerja professional. Standar praktik
profesional di Indonesia telah dijabarkan oleh PPNI (2009). Standar praktik
professional tersebut juga mengacu pada proses keperawatan jiwa yang terdiri dari
lima tahap standar yaitu: 1) pengkajian, 2) diagnosis, 3) perencanaan, 4)
pelaksanaan, dan 5) evaluasi (PPNI, 2009).
1. Pengkajian
Menurut Stuart dan Laraia (2005), pengkajian merupakan tahapan awal
dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas
pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data
pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkam menjadi faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan
kemampuan koping yang dimiliki klien. Berbagai aspek pengkajian sesuai
dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses
keperawatan. Pengkajian menurut Keliat (2006) meliputi beberapa faktor antara
lain:
a. Identitas klien dan penanggung
Yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status,
pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
b. Alasan masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa
tidak mampu merawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala
yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk
mendapatkan perawatan.
c. Faktor predisposisi
1) Faktor perkembangan terlambat
a) Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa
aman.
b) Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c) Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
a) Komunikasi peran ganda.
b) Tidak ada komunikasi.
c) Tidak ada kehangatan.
d) Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e) Komunikasi tertutup.
f) Orang tua yang membandingkan anak anaknya, orang tua yang
otoritas dan komplik orang tua.
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan
lingkungan yang terlalu tinggi.
4) Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal
diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran,
gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5) Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran
vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6) Faktor genetic
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui
kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang
menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam
tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor
enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak
kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar
50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote
peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya
mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia,
sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya
menjadi 35 %.
d. Faktor presipitasi
1) Kesehatan : Nutrisi dan tidur kurang, ketidaksembangan irama
sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan system syaraf pusat,
kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
2) Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga,
kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-
hari, sukar dalam berhubungan dengan orang lain, isoalsi social,
kurangnya dukungan social, tekanan kerja (kurang terampil dalam
bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan
ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.
3) Sikap : Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak
percaya diri), merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan
keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa punya
kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu memenuhi
kebutuhan spiritual), bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia
maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku
agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan dan ketidak
adekuatan penanganan gejala.
4) Perilaku : Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa
curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak
diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara
inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang
tidak nyata.
5) Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis
halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda tanda
dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan
tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja.
e. Jenis jenis halusinasi
Jenis Data Objektif Data Subjektif
Halusinasi
Halusinasi 1. Bicara atau tertawa 1. Mendengar suara-suara
Pendengar sendiri sendiri atau kegaduhan
2. Marah marah tanpa 2. Mendengar suara yang
sebab mengajak bercakap-cakap
3. Menyedengkan telinga 3. Mendengar suara
kearah tertentu menyuruh melakukan
4. Menutup telingga sesuatu yang berbahaya
Halusinasi 1. Menunjuk-nunjuk kea Melihat bayangan, sinar,
penglihatan rah tertentu bentuk geometri, bentuk
2. Ketakutan pada sesuatu kartun, melihat hantu atau
yang tidak jelas monster.
Halusinasi 1. Menghidu seperti Membaui bau-bauan
penghidu sedang membaui bau- seperti bau darah, urin,
bauan tertentu feses, kadang-kadang bau
2. Menutup hidung itu menyenangkan
Halusinasi Sering meludah dan Merasakan rasa seperti
pengecapan muntah darah, urin, atau feses
Halusinasi Menggaruk-garuk 1. Mengatakan ada serangga
perabaan permukaan kulit di permukaan kulit
2. Merasa seperti tersengat
listrik

f. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi:


1) Isi halusinasi
Data tentang isi halusinasi dapat dilihat dari hasil pengkajian tentang
jenis halusinasi.
2) Waktu dan frekuensi.
Perawat perlu mengkaji waktu, frekuensi, dan situasi munculnya
halusinasi yang dialami oleh klien. Kapan halusinasi terjadi? Apakah
pagi, siang, sore atau malam? Jika mungkin berapa? Frekuensi
terjadinya apakah terus-menerus atau hanya sekali-kali? Situasi
terjadinya apakah kalau sendiri atau setelah terjadi kejadian tertentu.
Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada waktu
terjadinya halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya.
Dengan mengetahui frekuensi tarjadinya halusinasi dapat direncakan
frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.
3) Respon Klien
Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien
bisa dikaji dengan apa yang dilakukan oleh klien saat mengalami
pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa mengontrol stimulus
halusinasinya atau sudah tidak berdaya terhadap halusinasinya.
g. Pemeriksaan fisik
Yang dikaji adalah tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernafasan dan tekanan
darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.
h. Status Mental
Pengkajian pada status mental meliputi:
1) Penampilan: tidak rapi, tidak serasi dan cara berpakaian.
2) Pembicaraan: terorganisir atau berbelit-belit.
3) Aktivitas motorik: meningkat atau menurun.
4) Alam perasaan: suasana hati dan emosi.
5) Afek: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, labil dan ambivalen
6) Interaksi selama wawancara: respon verbal dan nonverbal.
7) Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang ada
sesuai dengan informasi.
8) Proses pikir: proses informasi yang diterima tidak berfungsi dengan
baik dan dapat mempengaruhi proses pikir.
9) Isi pikir: berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis.
10) Tingkat kesadaran: orientasi waktu, tempat dan orang.
11) Memori
a) Memori jangka panjang: mengingat peristiwa setelah lebih setahun
berlalu.
b) Memori jangka pendek: mengingat peristiwa seminggu yang lalu
dan pada saat dikaji.
12) Kemampuan konsentrasi dan berhitung: kemampuan menyelesaikan
tugas dan berhitung sederhana.
13) Kemampuan penilaian: apakah terdapay masalah ringan sampai berat.
14) Daya tilik diri: kemampuan dalam mengambil keputusan tentang diri.
i. Kebutuhan persiapan pulang
Yaitu pola aktifitas sehari-hari termasuk makan dan minum, BAB dan
BAK, istirahat tidur, perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan
kesehatan sera aktifitas dalam dan luar ruangan.
j. Mekanisme koping
1) Regresi: menjadi malas beraktifitas sehari-hari.
2) Proyeksi: menjelaskan prubahan suatu persepsi dengan berusaha untuk
mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain.
3) Menarik diri: sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus
internal.
k. Masalah psikososial dan lingkungan: masalah berkenaan dengan
ekonomi, pekerjaan, pendidikan dan perumahan atau pemukiman.
l. Aspek medik: diagnosa medik dan terapi medik.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien halusinasi (Stuart dan Laraia,2005)
yaitu:
1. Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan halusinasi
2. Perubahan sesnsori persepsi halusinasi berhubungan menarik diri
3. Isolasi sosial menarik diri berhubungan diri rendah.

3. Rencana Tindakan Keperawatan

Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi Pendengaran


Pasien Keluarga
No
SPIP SPIK
1. Identifikasi halusinasi : isi, frekuensi, 1. Diskusikan masalah yang
waktu terjadi, situasi pencetus, perasaan dirasakan dalam merawat pasien.
dan respon.
2. Jelaskan cara mengontrol halusinasi: 2. Jelaskan pengertian, tanda dan
Hardik, obat, bercakap-cakap, melakukan gejala dan proses terjadinya
kegiatan. halusinasi dan jelaskan cara
merawat halusinasi.
3. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 3. Latih cara merawat halusinasi :
menghardik. Hardik.
4. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk 4. Anjurkan membantu pasien sesuai
latihan menghardik jadwal dan memberi pujian
SPIIP SPIIK
1. Evaluasi kegiatan menghardik. Berikan 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
pujian merawat melatih pasien
menghardik. Beri pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 2. Jelaskan 6 benar cara memberikan
obat (jelaskan 6 benar : Jenis, guna, dosis, obat dan latih cara
frekuensi, cara, kontinuitas minum obat) memberikan/membimbing minum
obat.
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
latihan menghardik dan minum obat jadwal dan memberi pujian.
SPIIIP SPIIIK
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
minum obat. Beri pujian. merawat / melatih pasien
menghardik dan memberikan
obat, berikan pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 2. Jelaskan cara bercakap-cakap dan
bercakap-cakap saat terjadi halusinasi lakukan kegiatan untuk
mengontrol halusinasi dan latih
dan sediakan waktu untuk
bercakap-cakap dengan pasien
terutama saat halusinasi.
3. Masukkan padajadwal kegiatan untuk 3. Anjurkan membantu pasien sesuai
latihan menghardik, minum obat dan jadwal dan memberikan pujian.
bercakap-cakap
SPIVP SPIVK
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga falam
minum obat, bercakap-cakap. Berikan merawat / melatih pasien
pujian. menghardik, memberikan obat,
bercakap-cakap. Berikan pujian.
2. Latih cara mengontrol halusinasi dengan 2. Jelaskan fpllow up ke RSJ/PKM,
melakukan kegiatan harian (mulai 2 tanda kambuh rujukan.
kegiatan)
3. Masukkan pada jadwal kegiatan untuk 3. Anjurkan membantu pasien
latihan menghardik, minum obat, sesuai jadwal dan memberika
bercakap-cakap dan kegiatan harian. pujian.
SPVP SPVK
1. Evaluasi kegiatan latihan menghardik, 1. Evaluasi kegiatan keluarga dalam
minum obat, bercakap-cakap dan kegiatan merawat melatih pasien
harian. Berikan pujian. menghardik, minum obat,
bercakap-cakap dan melakukan
kegiatan harian dan follow up.
Berikan pujian.
2. Latih kegiatan harian. 2. Nilai kemampuan keluarga
merawat pasien.
3. Nilai kemampuan yang telah mandiri. 3. Nilai kemampuan keluarga
kontrol ke RSJ/PKM.
4. Nilai apakah halusinasi terkontrol
DAFTAR PUSTAKA

Keliat BA dan Akemat. 2009. Model praktik Kpeerawatan Profesional Jiwa.


Jakarta. EGC.
Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
Maramis, W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed 9. Surabaya: Airlangga
Unversity Press.
Muhith, A. 2015. Pendidikan Keoerawatan Jiwa (Teori dan aplikasi).Yogyakarta :
ANDI.
Stuart GW, Sundeen, 1995. Buku Saku Keperawatan Jiwa, Jakarta : EGC.
Stuart GW, and Laraia, 1.2005. Principles and Practice of PsychiatricNursing,
8ed.philadelphia : Elsevier Mosby.

You might also like