Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit infeksi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Salah satu
penyakit tersebut adalah infeksi susunan saraf pusat. Penyebab infeksi susunan saraf pusat
adalah virus, bakteri atau mikroorganisme lain. Meningitis merupakan penyakit infeksi
dengan angka kematian berkisar antara 18-40% dan angka kecacatan 30-50%.
Bakteri penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan angka kejadian penyakit
yang bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae tipe B ditemukan
pada 33% diantara kasus meningitis.
Pada penelitian lanjutan, didapatkan 38% penyebab meningitis pada anak kurang dari 5
tahun. Di Australia pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1
kasus per 100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 4 tahun dan 15 19 tahun .
Sedangkan kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae angka kejadian
pertahun 10 100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun dan diperkirakan ada
3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia, dengan angka kematian pada anak
sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28%.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan meningitis?
2. Apakah etiologi dari meningitis?
3. Bagaimana patofisiologi dari meningitis?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari meningitis?
5. Bagaimana cara pemeriksaan diagnosa dari meningitis?
6. Bagaimana penatalaksanaan medisdari meningitis?
7. Bagaimana cara pengkajian keperawatan dari meningitis?
8. Apa diagnosa keperawatan yang muncul pada anak dengan meningitis?
9. Bagaimana bentuk perencanaan keperawatan dari meningitis?
C. TUJUAN PENULISAN
Setelah dilakukan pembelajaran tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan Meningitis,
diharapkan mahasiswa mampu:
1. Memahami tentang pengertian dari meningitis
2. Memahami tentang etiologi dari meningitis
3. Memahami tentang patofisiologi/pathway dari meningitis
4. Memahami tentang manifestasi klinis dari meningitis
5. Memahami tentang pemerikaan diagnosa dari meningitis
6. Memahami tentang penatalaksanaan medis dari meningitis
7. Memahami tentang pengkajian keperawatan meningitis
8. Memahami tentang diagnosa keperawatan yang muncul pada anak dengan meningitis
9. Memahami tentang perencanaan keperawatan meningitis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column
yang menyebabkan proses infeksi pada system saraf pusat. (Suriadi, dkk. Asuhan
Keperawatan pada Anak, ed.2, 2006)
Meningitis adalah infeksi ruang subaraknoid dan leptomeningen yang disebabkan oleh
berbagai organisme pathogen. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) .
Meningitis merupakan infeksi parah pada selaput otak dan lebih sering ditemukan pada anak-
anak. Infeksi ini biasanya merupakan komplikasi dari penyakit lain, seperti campak,
gondong, batuk rejan atau infeksi telinga.
(http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/otak.htm)
Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus meningitis berasal
dari cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung. Virus tersebut dapat berpindah melalui
udara dan menularkan kepada orang lain yang menghirup udara tersebut. (Anonim, 2007
dalam Juita, 2008).
B. Etiologi
1. Bakteri:
a. Neonatus sampai 2 bulan: GBS, basili gram negative, missal, Escherichia coli, Liateria
monocytogenes, S. agalactiae (streptokokus gram B)
b. 1 bulan sampai 6 tahun: Neisseria meningitidis (meningokokus), Streptococcus pneumoniae,
Hib
c. > 6 tahun: Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae, parotitis (pre-MMR)
d. Mycobacterium tuberculosis: dapat menyebabkan meningitis TB pada semua umur. Pling
sering pada anak umur 6 bulan sampai 6 tahun
2. Virus
Enterovirus (80%), CMV, arbovirus, dan HSV
C. Faktor resiko
1. Faktor predisposisi: laki-laki lebih sering disbanding dengan wanita
2. Faktor maternal: rupture membran fetal, infeksi metrnal pada minggu terakhir kehamilan
3. Faktor imunologi: usia muda, defisiansi mekanisme imun, defek lien karena penyakit sel sabit
atau asplenia (rentan terhadap S. Pneumoniae dan Hib), anak-anak yang mendapat obat-obat
imunosupresi
4. Anak dengan kelainan system saraf pusat, pembedahan atau injuri yang berhubungan dengan
system persarafan
5. Faktor yang berkaitan dengan status sosial-ekonomi rendah: lingkungan padat, kemiskinan,
kontak erat dengan individu tang terkena (penularan melalui sekresi pernapasan)
D. Klasifikasi
1. Meningitis Purulenta:
Radang selaput otak ( araknoidea dan piameter) yang menimbulkan eksudasi berupa pus,
disebabkan oleh kuman nonspesifik dan nonvirus.
2. Meningitis Tuberkulosa:
Terjadi akibat komplikasi penyebaran tuberculosis primer, biasanya dari paru. Meningitis terjadi
bukan karena terimfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, tetapi
biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang
belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke rongga araknoid (Rich dan McCordeck).
Anak-anak yang ibunya menderita TBC kadang-kadang mendapatkan meningitis tuberkolusa
pada bulan-bulan pertama setelah lahir.
(Ngastiyah,2005)
D. Patofisiologi
Meningitis terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subaraknoid, baik melalui penyebaran secara
hematogen, perluasan langsung dari fokus yang berdekatan, atau sebagai akibat kerusakan
sawar anatomik normal secara konginetal, traumatik, atau pembedahan. Bahan-bahan toksik
bakteri akan menimbulkan reaksi radang berupa kemerahan berlebih (hiperemi) dari
pembuluh darah selaput otak disertai infiltrasi sel-sel radang dan pembentukan eksudat.
Perubahan ini terutama terjadi pada infeksi bakteri streptococcus pneumoniae dan H.
Influenzae dapat terjadi pembengkakan jaringan otak, hidrosefalus dan infark dari jaringan
otak.
Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan
obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan TIK. Efek patologi dari
peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen. Edem dan eksudasi yang kesemuanya
menyebabkan peningkatan intrakranial. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005).
Penyebaran hematogen merupakan penyebab tersering, dan biasa terjadi pada adanya fokus
penyakit lain (misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau akibat bakteremia spontan.
Oleh karena patogen-lazim menyebar melalui jalur pernapasan , peristiwa awalnya adalah
kolonisasi traktus respiratorius bagian atas.
Meningitis yang disebabkan oleh penyebaran nonhematogen mencakup penyebaran infeksi dari
daerah infeksi yang berdekatan ( otitis media, mastoiditis, sinusitis, osteomielitis vertebralis
atau tulang kranialis) serta kerusakan anatomi (fraktur dasar tengkorak, pasca-prosedur bedah
saraf, atau sinus dermal konginetal di sepanjang aksis kraniospinalis). Gambaran lazim setiap
penyebab infeksi adalah masuknya bakteri patogen ke dalam ruang subaraknoid dan
perbanyakan bakteri. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau terdapat kenaikan suhu yang ringan
saja, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering dijumpai anak mudah terangsang
atau menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Anoreksia, obstipasi, dan muntah juga sering dijumpai.
Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala di atas menjadi lebih
berat dan gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kuduk kaku, seluruh tubuh menjadi kaku
dan timbul opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor.
Stadium terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar dan
tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan menjadi tidak teratur, sering terjadi
pernafasan `Cheyne-Stokes`.
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali. Tiga stadium tersebut
biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan lainnya, namun jika tidak
diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal. (Ngastiyah. Perawatan
Anak Sakit, ed.2, 2005)
F. Komplikasi
a. Hidrosefalus obstruktif
b. Meningococcal septicemia (mengingocemia)
c. Sindrom Water Friderichsen (septic syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)
d. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone)
e. Efusi subdural
f. Kejang
g. Edema dan herniasi serebral
h. Cerebral Palsy
i. Gangguan mental
j. Gangguan belajar
k. Attention deficit disorder
G. Manifestasi klinis
Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun pada anak di
bawah usia dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin tidak ditemui.
Peruban tingkat kesadaran lazim terjadi dan ditemukan pada hingga 90% pasien. (Jay Tureen.
Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 )
Pada bukunya, Wong menjabarkan manifestasi dari meningitis berdasarkan golongan usia
sebagai berikut:
H. Pemeriksaan diagnosa
1. Punksi Lumbal : tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih meningkat,
glukosa menurun, protein meningkat.
Indikasi Punksi Lumbal:
a. Setiap pasien dengan kejang atau twitching baik yang diketahui dari anamnesis atau yang
dilihat sendiri.
b. Adanya paresis atau paralysis. Dalam hal ini termasuk strabismus karena paresis N.VI.
c. Koma.
d. Ubun-ubun besar menonjol.
e. Kuduk kaku dengan kesadaran menurun.
f. Tuberkulosis miliaris dan spondilitis tuberculosis.
g. Leukemia.
2. Kultur swab hidung dan tenggorokan (Suriadi, dkk. Asuhan Keperawatan pada
Anak, ed.2, 2006)
3. Darah: leukosit meningkat, CRP meningkat, U&E, glukosa, pemeriksaan factor
pembekuan, golongan darah dan penyimpanan.
4. Mikroskopik, biakan dan sensitivitas: darah, tinja, usap tenggorok, urin, rapid
antigen screen.
5. CT scan: jika curiga TIK meningkat hindari pengambilan sample dengan LP.
6. LP untuk CSS: merupakan kontra indikasi jika dicurigai tanda neurologist fokal atau TIK
meningkat.
7. CSS pada meningitis bakteri: netrofil, protein meningkat (1-5g/L), glukosa menurun
(kadar serum <50%) 8. CSS pada meningitis virus: limfosit (pada mulainya netrofil), protein
normal/meningkat ringan, glukosa normal, PCR untuk diagnosis. 9. CSS: mikroskopik
(pulasan Gram, misal, untuk basil tahan asam pada meningitis TB), biakan dan sensitivitas.
I. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang dini dan
pemilihan antimikroba empirik yang tepat untuk kemungkinan patogen. Tindakan suportif
umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat. Pasien
dengan Meningitis purulenta pada umumnya dalam keadaan kesadaran yang menurun dan
seringkali disertai muntah-muntah atau diare. Untuk menghindari kekurangan
cairan/elektrolit, pasien perlu langsung dipasang cairan intavena. Jika terdapat gejala asidosis
harus dilakukan koreksi. Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pasien
meningitis. Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH, syndrome of
inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan
jika ditemukan, harus dilakukan pembatasan cairan. Meskipun demikian, sebuah studi klinis
telah membuktikan pentingnya memelihara tekanan perfusi otak yang adekuat pada penyakit
ini. Pembatasan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika
ekstrim, dapat menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula
dibatasi, sementara menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH,
pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yang tepat,
sampai kelebihan hormon antidiuretuk pulih; bila tidak terdapat SIADH, cairan harus
diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan derajat kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi
secara seksama. Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharaan
derajat tekanan perfusi otak yang adekuat, seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh
hipertensi intrakranium. Cara yang ada bisa termasuk hiperventilasi, pengambilan CSS
melalui kateter intraventrikel, atau mungkin pemakaian obat diuretikosmotik secara hati-hati.
Pada kecurigaan meningitis, antibiotik intravena diberikan secara empiric sementara
menunggu hasil biakan. Pemilihan antibiotik awal didasarkan pada kemungkinan pathogen
menurut kelompok usia, pajanan yang diketahui, dan setiap faktor resiko yang tidak lazim
bagi pasien. Prinsip terapi antimikroba meningitis mencakup pemilihan antibiotik yang
bersifat bakterisid terhadap pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai konsentrasi
CSS setidaknya sepuluh konsentrasi bakterisid minimal untuk organisme tersebut, karena
inilah konsentrasi yang dalam penelitian hewan telah terbukti berkolerasi dengan sterilisasi
CSS paling efektif. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) Bila pasien masuk
dalam keadaan status konvulsivus, diberikan diazepam 0,5 mg/kg BB/kali IV, dan dapat
diulang dengan dosis yang sama 15 menit kemudian bila kejang belum berhenti. Ulangan
pemberian diazepam berikutnya (yang ketiga kali) dengan dosis sama tetapi diberikan secara
IM. Setelah kejang dapat diatasi, diberikan fenobarbital dosis awal untuk neonatus 30 mg;
anak < 1 tahun 50 mg dan anak > 1 tahun 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan rumat
diberikan fenobarbital dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hr dibagi dalam 2 dosis, diberikan
selama 2 hari (dimulai 4 jam setelah pemberian dosis awal). Hari berikutnya dengan dosis 4-5
mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak tersedia diazepam, fenobarbital dapat langsung
diberikan dengan dosis awal dan selanjutnya dosis rumat.
Penyebab utama meningitis purulenta pada bayi atau anak di Indonesia(Jakarta) ialah H.
influenzae dan pneumoccocus sedangkan meningococcus jarang sekali,maka diberikan
ampisilin IV sebanyak 400mg/kg BB/hr dibagi 6 dosis ditambah kloramfenikol 100mg/kg
BB/hr iv dibagi dalam 4 dosis. Pada hari ke 10 pengobatan dilakukan pungsi lumbal ulangan
dan bila ternyata menunjukkan hasil yang normal pengobatan tesebut dilanjutkan 2 hari lagi.
Tetapi jika masih belum dan pengobatan dilanjutkan dengan obat dan cara yang sama seperti
di atas dan diganti dngan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi kuman.
Meningitis paru pada neunatus berbeda,karena biasa dan disebabkan oleh baksil colifom dan
staphylococcus, maka pengobatan pada neonatus sebagai berikut:
Pilihan pertama: Sefalosporin 200mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis, dikombinasi dengan
amikasin dengan dosis awal 10 mg/kg BB/hr IV,dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg BB/hr
atau dengan gentamisin 6 mg/kg BB/hr masing-masing dibagi dalam 2 dosis.
Pilihan kedua : Amphisilin 300-400 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 6 dosis,dikombinasi
dengan kloramfenikol 50 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 4 dosis. Pada bayi kurang bulan dosis
kloramfenikol tidak boleh melebihi 30 mg/kg Bb/hr (dapat terjadi grey baby).
Terapi pilihan pada bayi yang telah mengalami meningitis bakterial dengan komplikasi
hidrocephalus adalah dilakukan pembedahan dengan tujuan untuk pemasangan shunt guna
mengalirkan cerebrospinal fluid yang tersumbat di dalam otak. Ada beberapa jenis shunt
antara lain (VP) ventrikulo peritoneal shunt dan (VA) ventriculoatrial shunt.
Penatalaksanaan pada bayi dengan hidrocehalus adalah pemberian posisi head up dan
pengawasan pemberian cairan yang adekuat.
J. Pengkajian keperawatan
1. Riwayat keperawatan: riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedahan
pada otak, cedera kepala
2. Pada Neonatus: kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek menghisap kurang,
muntah atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah
3. Pada anak-anak dan remaja: kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti
dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium,
halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus,
tanda Kernig dan Brudzinsky positif, refleks fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus
4. Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun): kaji adanya demam, malas makan,
muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku
kuduk, dan tanda Kernig dan Brudzinsky positif
K. Diagnosa keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
2. Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada
selaput otak
3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat
4. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius
L. Perencanaan
1. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi
a. Tujuan 1 :
Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak
b. Intervensi keperawatan/Rasional:
1) Biarkan anak mengambil posisi yang nyaman:
i) Gunakan posisi miring, bila ditoleransi, karena kaku kuduk
ii) Tinggikan sedikit kepala tempat tidur tanpa menggunakan bantal karena hal ini seringkali
menjadi posisi yang paling tidak nyaman
2) Berikan analgesik sesuai ketentuan, terutama asetaminofen dengan kodein
c. Hasil yang diharapkan:
Anak tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri atau tanda-tanda nyeri yang dialami anak
minimum
M. Evaluasi
Angka motalitas meningitis sangat bervariasi, tergantung pada usia pasien dan patogen
penyebab. Pasien dengan meningitis meningokokus tanpa meningokoksemia berat
mempunyai angka fatalitas sebesar hanya 20%, sedangkan neonatus dengan meningitis gram
negative meninggal dalam 70 kasus. Angka kematian akibat H. influenzae dan S. pneumoniae
masing-masing adalah sekitar 3% dan 6%.
Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga
terdapat predileksi usia serta petogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda
serta bayi yang terinfeksi bakteri gram negative dan S. pneumoniea.
Gejala sisa neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf
kranial pada 2-7% pasien; dan cidera berat seperti hemiparesis atau cidera otaku mum pada 1-
2% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari
RS akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implant koklea belum lama ini
memberi harapan pada anak dengan kehilangan pendengaran.
Imunisasi aktiv terhadap H. influenzae telah menghasilkan penguangan dramatis pada
penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-80% pada meningitis akibat organisme
tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi sebagai rangkain imunisasi tiga dosis pada
usia 2,4,6 bulan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang
halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a. Pia meter, merupakan lapisan yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan
sumsum tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan
darah untuk struktur-struktur ini.
b. Arachnoid, merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter.
c. Dura meter, merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat.
Komponen intrakaranial terdiri dari: parenkim otak, sistem pembuluh darah, dan CSF.
Apabila salah satu komponen terganggu, akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial, yang akhirnya akan menurunkan fungsi neurologis.
Meningitis merupakan salah satu jenis infeksi yang menyeranga susunan saraf pusat, dimana
angka kejadiannya masih tinggi di Indonesia. Pada banyak penyakit yang mempunyai
mobiditas dan mortalitas yang tinggi, prognosis penyakit sangat ditentukan pada permulaan
pengobatan. Beberapa bakteri penyebab meningitis ini tidak mudah menular seperti penyakit
flu, pasien meningitis tidak menularkan penyakit melalui saluran pernapasan. Resiko
terjadinya penularan sangat tinggi pada anggota keluarga serumah, penitipan anak, kontak
langsung cairan ludah seperti berciuman. Perlu diketahui juga bahwa bayi dengan ibu yang
menderita TBC sangat rentan terhadap penyakit ini.
Diagnose keperawatan yang muncul tergantung dengan kondisi saat pengkajian, tapi yang utama
adalah Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi; resiko terjadi peningkatan tekanan
intrakranial berhubungan dengan Infeksi pada selaput otak; resiko cedera berhubungan
dengan kejang, reflek meningkat; perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang
menderita penyakit serius.
B. SARAN
Pembaca diharapkan dapat mengerti dan memahami gejala meningitis sangat penting untuk
dapat menegakkan diagnosis sedini mungkin karena diagnosis dan pengobatan dini dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal serta mengetahui penyebab meningitis
sangat penting untuk menentukan jenis pengobatan yang diberikan. Sekedar menambah
informasi, vaksin untuk mencegah terjadinya meningitis bakterial telah tersedia, dan sangat
dianjurkan untuk diberikan jika berada atau akan berkunjung ke daerah epidemik.
DAFTAR PUSTAKA