Professional Documents
Culture Documents
Seorang pria muda dengan tubuh yang kurus duduk ditemani secangkir latte di depannya. Asapnya yang
hampir saja hilang menandakan ia telah cukup lama berada di sana.
Klinting..
Suara nyaring bel yang ada di atas pintu membuyarkan lamunannya. Seorang gadis dengan pakaian serba
hitam dilengkapi topi dan masker muncul dari sana. Rambutnya yang terurai ikut berayun seiring
langkahnya. Gadis itu duduk tepat dihadapan pria itu sekarang. Senyum mereka tergambar tanpa alasan.
Mereka hanya saling menatap.
Gadis itu memulainya. Ia melepas kacamata serta masker hitam yang dikenakannya. Senyumnya kini
terlihat jelas tergambar begitu Indah.
Kwon jiyoung menatap kedua manik Dara lekat lekat. Mereka saling bertatapan cukup lama sebelum
Sandara kembali memulainya.
Kwon Jiyoung kembali tersenyum. Deretan giginya menandakan perasaannya saat ini.
Dara menengok ke arah cangkir yang berada di atas meja. Terlihat baru namun tak ada lagi asap yang
mengepul dari sana. Gadis itu tersenyum, tak menyangka Jiyoung akan melakukan adegan seperti dalam
drama.
"Kau tak perlu berbohong Jiyoung ahh. Aktingmu sangat buruk. "
"Jadi, ada yang harus kusampaikan. Tapi aku tak bisa berlama lama karna masih ada jadwal satu jam lagi.
"
Sandara memalingkan pandangannya. Ia menatap keluar jendela, mencari sesuatu yang mungkin bisa
meyakinkannya untuk bicara. Jiyoung menatap manik hitam itu lekat lekat. Terlihat Indah hari ini, atau
memang biasanya seindah ini?
Sandara membalas tatapan jiyoung. Membuat Jiyoung tersedak tanpa alasan. Pria itu tak bisa
mengendalikan ekspresinya. Kaget luar biasa tentunya mendengar pernyataan Cinta dari gadis yang
disukainya sejak lama.
Nuna. Sandara menunjukkan kekecewaan dari raut wajahnya. Ini pertama kalinya Jiyoung memanggilnya
dengan sebutan nuna. Ya, mereka tak pernah bicara secara formal sebelumnya. Sandara sama sekali tak
keberatan dengan panggilan "Nuna", tapi kenapa harus sekarang? Kenapa Jiyoung mengatakan itu disaat
seperti ini?
Jiyoung masih menghindar dari kontak mata yang dibuat sandara. Jantungnya berdegup begitu kencang,
sudah lama ia tak merasakan yang seperti ini. Keringat dingin membuat aliran di sekitar keningnya.
Tangannya begitu dingin disertai getaran tak karuan yang tak pernah ia harapkan.
Suara itu tertahan dalam bibir Jiyoung yang tertutup rapat. Ia tak bisa mengatakan apapun sekarang.
"Apa kau.. Tak menyukaiku? Apa perasaanku bertepuk sebelah tangan? "
Sandara menatap Jiyoung dengan mata yang sendu. Pria itu sontak membalasnya.
"Lalu kenapa? Apa aku kurang cantik? Atau kepribadianku membuatmu tak nyaman? "
"Mianhae nuna.. "
Deg..
Sekali ia mendengar kata itu, mungkin Sandara tak lagi bisa menahan air matanya. Gadis itu tersenyum.
Senyum yang tak tulus tentunya. Ia menatap Jiyoung cukup lama. Setidaknya ia berharap ini bukan
terakhir kalinya ia bisa menatap Jiyoung sedekat ini. Dampak setelah ini akan cukup besar untuk karirnya.
Bisa saja Jiyoung memilih mundur untuk menjadi back dancernya.
Jiyoung memecah kesunyian. Ia beranjak dari duduknya namun Sandaranya menahan lengannya.
"Aku tak lapar. Bisakah kau berada di sini sedikit lebih lama? "
Mata sendu itu membuat Jiyoung tak bisa lagi mengangkat kedua kakinya. Ia terduduk.
"Bukankah kau ada jadwal setelah ini? Kau belum makan kan sejak tadi?"
"Aku tak apa, aku hanya ingin seperti ini, sedikit lebih lama. "
Mereka berdua hanya saling menatap satu sama lain. Tak ada sepatah kata pun yang terlontar. Beberapa
pelanggan berlalu lalang diantara mereka.
Dingdong..
Sebuah pesan masuk dari ponsel Sandara. Jiyoung menatap ponsel dengan wallpaper fotonya bersama
Sandara. Tertulis nama kontak Manager disana. Pesan itu terlihat jelas dari tempat Jiyoung duduk.
"Bisakah kau datang sekarang? Kita sudah terlambat. Kau dimana? Biar aku menjemputmu. "
"Nuna.. "
"Aku akan berhenti sekarang jika itu maumu. Tapi, bisakah kau menahanku? "
"Jadwalmu sangat padat hari ini. Jangan lupa untuk makan. "
"Nuna.. "
Air mata itu mengalir begitu saja dari mata Sandara. Ia tertawa tanpa sebab.
Sandara menatap Jiyoung sekali lagi dengan senyum dari bibirnya serta buliran bening yang tak bisa ia
hentikan.
"Aku tak apa. Aku baik baik saja. Aku tau kau hanya butuh waktu. Aku akan menunggumu. Aku tau kau
juga mencintaiku tapi kau tak bisa mengatakannya. Aku melihatmu yang sedang melirikku lewat kaca
rias. Back dancee yang lain juga sering membicarakan kita. Aku yakin kau akan mengatakannya padaku
suatu saat. "
"Nuna.. "
Sandara menghapus air matanya dengan kasar. Ia meninggalkan masker dan kacamata yang dipakainya
begitu saja. Langkahnya begitu berat meninggalkan tempatnya duduk. Ia terus berjalan tanpa menoleh
sedikitpun. Air mata itu, ia tak mau menunjukkannya lagi pada Jiyoung. Ia hanya tak mau Jiyoung merasa
bersalah dan mengundurkan diri dari pekerjaannya. Bisa melihat Jiyoung sebelum naik ke atas panggung
adalah semangat tersendiri bagi Sandara.
Jiyoung menatap masker serta kaca mata itu cukup lama. Melihatnya tergeletak seperti itu membuatnya
merasa bersalah.
"Harusnya aku yang menyatakannya duluan, kenapa kau tak bisa menungguku? "
"Aku hanya seorang dancer amatiran dan kau adalah seorang idola, apa itu tak apa bagimu? "
"Uangku hanya cukup untuk membeli ramyeon saat kita berkencan, apa itu tak apa bagimu? "
"Ada begitu banyak idola pria yang tampan dan mapan diluar sana, kenapa kau memilihku? "
"Aku hanya ingin melihatmu bahagia, bahkan jika itu artinya tidak bersamaku. "
"Jika aku tau rasanya sesakit ini, aku tak akan mulai untuk menyukaimu. "
Bulir bulir bening yang tertahan kini menyeruak keluar menuruni wajah sendu Jiyoung. Ia tak ingin
menutupi wajahnya. Ia tak ingin menyembunyikannya lagi. Air mata itu, rasa sakit itu, biar mengalir
keluar seiring berjalannya waktu. Itu adalah hukuman untuknya. Hukuman untuk sikapnya yang
memutuskan semuanya sendirian.