You are on page 1of 14

Tugas Karakteristik Matematika

TUJUAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Oleh :
AZHAR IBRAHIM
1311040008

PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2014 2015
TUJUAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Terdapat kaitan antara penguasaan matematika dengan ketinggian, keunggulan dan


kelangsungan hidup suatu peradaban. Penguasaan matematika tidak cukup hanya
dimiliki oleh sebagian orang dalam suatu peradaban. Setiap individu perlu memiliki
penguasaan matematika pada tingkat tertentu. Penguasaan individual demikian pada
dasarnya bukanlah penguasaan terhadap matematika sebagai ilmu, melainkan
penguasaan akan kecakapan matematika (mathematical literacy) yang diperlukan untuk
dapat memahami dunia di sekitarnya serta untuk berhasil dalam kehidupan atau
kariernya. Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada siswa merupakan sumbangan
mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin dicapai
melalui kurikulum matematika. Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik
dapat:

1. Memahami konsep matematika, merupakan kompetensi dalam menjelaskan


keterkaitan antarkonsep dan menggunakan konsep maupun algoritma, secara
luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. Indikator-
indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a. menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari

b. mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi tidaknya


persyaratan yang membentuk konsep tersebut

c. mengidentifikasi sifat-sifat operasi atau konsep

d. menerapkan konsep secara logis.

e. memberikan contoh atau contoh kontra (bukan contoh) dari


konsep yang dipelajari

f. menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi


matematis (tabel, grafik, diagram, gambar, sketsa, model matematika, atau
cara lainnya)

g. mengaitkan berbagai konsep dalam matematika maupun di


luar matematika.

h. mengembangkan syarat perlu dan /atau syarat cukup suatu


konsep
Termasuk dalam kecakapan ini adalah melakukan algoritma atau prosedur,
yaitu kompetensi yang ditunjukkan saat bekerja dan menerapkan konsep-
konsep matematika seperti melakukan operasi hitung, melakukan operasi
aljabar, melakukan manipulasi aljabar, dan keterampilan melakukan
pengukuran dan melukis/ menggambarkan /merepresentasikan konsep
keruangan. Indikator-indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a. menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur/algoritma

b. memodifikasi atau memperhalus prosedur

c. mengembangkan prosedur

d. Menggunakan matematika dalam konteks matematika seperti melakukan


operasi matematika yang standar ataupun tidak standar (manipulasi
aljabar) dalam menyelesaikan masalah matematika

Penjelasan :

Pemahaman diartikan dari kata understanding (Sumarmo, 1987). Derajat


pemahaman ditentukan oleh tingkat keterkaitan suatu gagasan, prosedur atau fakta
matematika dipahami secara menyeluruh jika hal-hal tersebut membentuk jaringan
dengan keterkaitan yang tinggi. Dan konsep diartikan sebagai ide abstrak yang dapat
digunakan untuk menggolongkan sekumpulan objek (Depdiknas, 2003: 18).
Menurut Duffin & Simpson (2000) pemahaman konsep sebagai kemampuan
siswa untuk: (1) menjelaskan konsep, dapat diartikan siswa mampu untuk
mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya. Contohnya
pada saat siswa belajar geometri pokok bahasan Bangun Ruang Sisi Lengkung
(BRSL) maka siswa mampu menyatakan ulang definisi dari tabung, unsur-unsur
Tabung, definisi kerucut dan unsur-unsur Kerucut., definisi bola. Jika siswa diberi
pertanyaan Sebutkan ciri khas dari BRLS? , maka siswa dapat menjawab
pertanyaan tersebut dengan benar. (2) menggunakan konsep pada berbagai situasi
yang berbeda, contohnya dalam kehidupan sehari-hari jika seorang siswa berniat
untuk memberi temannya hadiah ULTAH berupa celengan kaleng yang telah dilapisi
suatu bahan kain, kalengnya telah tersedia di rumah tetapi bahan kainnya harus dibeli.
Siswa tersebut harus memikirkan berapa meter bahan kain yang harus dibelinya?
Berapa uang yang harus dimiliki untuk membeli bahan kain? Untuk memikirkan
berapa bahan kain yang harus dibelinya berarti siswa tersebut telah mengetahui
konsep luas permukaan kaleng yang akan dilapisinya dan konsep aritmatika social.
Dan (3) mengembangkan beberapa akibat dari adanya suatu konsep, dapat diartikan
bahwa siswa paham terhadap suatu konsep akibatnya siswa mempunyai kemampuan
untuk menyelesaikan setiap masalah dengan benar.
Sejalan dengan hal di atas (Depdiknas, 2003: 2) mengungkapkan bahwa,
pemahaman konsep merupakan salah satu kecakapan atau kemahiran matematika
yang diharapkan dapat tercapai dalam belajar matematika yaitu dengan menunjukkan
pemahaman konsep matematika yang dipelajarinya, menjelaskan keterkaitan antar
konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
Sedangkan menurut Skemp dan Pollatsek (dalam Sumarmo, 1987: 24) terdapat
dua jenis pemahaman konsep, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman
rasional. Pemahaman instrumental dapat diartikan sebagai pemahaman atas konsep
yang saling terpisah dan hanya rumus yang dihafal dalam melakukan perhitungan
sederhana, sedangkan pemahaman rasional termuat satu skema atau strukstur yang
dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas. Suatu ide, fakta, atau
prosedur matematika dapat dipahami sepenuhnya jika dikaitkan dengan jaringan dari
sejumlah kekuatan koneksi.
Menurut NCTM (2000), untuk mencapai pemahaman yang bermakna maka
pembelajaran matematika harus diarahkan pada pengembangan kemampuan koneksi
matematik antar berbagai ide, memahami bagaimana ide-ide matematik saling terkait
satu sama lain sehingga terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan
matematik dalam konteks di luar matematika.
Dalam proses pembelajaran matematika, pemahaman konsep merupakan
bagian yang sangat penting. Pemahaman konsep matematik merupakan landasan
penting untuk berpikir dalam menyelesaikan permasalahan matematika maupun
permasalahan sehari-hari. Menurut Schoenfeld (1992) berpikir secara matematik
berarti (1) mengembangkan suatu pandangan matematik, menilai proses dari
matematisasi dan abstraksi, dan memiliki kesenangan untuk menerapkannya, (2)
mengembangkan kompetensi, dan menggunakannya dalam pemahaman matematik.
Implikasinya adalah bagaimana seharusnya guru merancang pembelajaran dengan
baik, pembelajaran dengan karakteristik yang bagaimana sehingga mampu membantu
siswa membangun pemahamannya secara bermakna.
Pemahaman konsep merupakan kompetensi yang ditunjukkan siswa dalam
memahami konsep dan dalam prosedur (algoritma) secara luwes, akurat, efisien dan
tepat. Adapun indikator pemahaman konsep menurut Kurikulum 2006, yaitu:
1. Menyatakan ulang sebuah konsep
2. Mengklasifikasi objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan
konsepnya)
3. Memberikan contoh dan non-contoh dari konsep
4. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis
5. Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep
6. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu
7. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Adapun pemahaman konseptual menurut Kilpatrick, dkk; Hiebert, dkk; Ball
(dalam Juandi, 2006:29), adalah pemahaman konsep-konsep matematika, operasi dan
relasi dalam matematika. Beberapa indikator dari kompetensi ini antara lain: dapat
mengidentifikasi dan menerapkan konsep secara algoritma, dapat membandingkan,
membedakan, dan memberikan contoh dan contoh kontra dari suatu konsep, dapat
mengintegrasikan konsep dan prinsip yang saling berhubungan.
Dalam NCTM 2000 disebutkan bahwa pemahaman matematik merupakan
aspek yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Pemahaman
matematik lebih bermakna jika dibangun oleh siswa sendiri. Oleh karena itu
kemampuan pemahaman tidak dapat diberikan dengan paksaan, artinya konsep-
konsep dan logika-logika matematika diberikan oleh guru, dan ketika siswa lupa
dengan algoritma atau rumus yang diberikan, maka siswa tidak dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan matematika.
Siswa dikatakan memahami konsep jika siswa mampu mendefinisikan konsep,
mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh dari konsep,
mengembangkan kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide, memahami
bagaimana ide-ide matematik saling terkait satu sama lain sehingga terbangun
pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematik dalam konteks di luar
matematika. Sedangkan siswa dikatakan memahami prosedur jika mampu mengenali
prosedur (sejumlah langkah-langkah dari kegiatan yang dilakukan) yang didalamnya
termasuk aturan algoritma atau proses menghitung yang benar.

2. Menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah, dan mampu


membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada.Indikator-
indikator pencapaian kecakapan ini, meliputi:

a. mengajukan dugaan (conjecture)

b. menarik kesimpulan dari suatu pernyataan

c. memberikan alternatif bagi suatu argumen

d. menemukan pola pada suatu gejala matematis

Penjelasan :

Matematika dapat disebut sebagai ilmu tentang pola (Resnik, 2005; Tikerar,
2009). Beberapa pola dapat terlihat sangat menyenangkan, namun beberapa terasa
menantang. Mengidentifikasi dan mengembangkan pola adalah proses penting dalam
matematika dan pemikiran matematika. Pola matematika sederhana dapat dipelajari
siswa pada tingkat prasekolah dengan menggunakan blok, kancing, serta benda-benda
lain yang menarik. Sedangkan siswa pada level yang lebih tinggi dapat
mengeksplorasi pola bilangan yang lebih luas dari hanya sekedar mengulang pola.
Beberapa ahli menganggap bahwa matematika adalah ilmu tentang pola.
Perspektif ini menyoroti keberadaan pola di semua bidang matematika. Secara
khusus, pencarian pola dilihat oleh beberapa peneliti sebagai cara mendekati Aljabar
karena merupakan langkah mendasar untuk menetapkan generalisasi, yang merupakan
esensi matematika (Zazkis & Liljedahl, 2002). Kurikulum Matematika di banyak
negara merenungkan komponen penting seperti: mencari pola dalam konteks yang
berbeda, menggunakan dan memahami simbol-simbol dan variabel yang mewakili
pola, dan generalisasi. Kemampuan ini berhubungan langsung dengan pemikiran
aljabar dan mendukung pengembangan penalaran matematika serta koneksi antara
ide-ide matematika (NCTM, 2000).
Aljabar adalah generalisasi dari ide-ide aritmatika di mana nilai yang tidak
diketahui dan variabel dapat ditemukan memecahkan masalah (Taylor&cox, 2003).
Pola adalah Fokus utama dalam usaha mengembangkan penalaran Aljabar siswa
(Warren, 2005; Vale &Carbita, 2008; Beatty&Bruce, 2012). Aktivitas mengenai pola
diperkenalkan di sekolah dasar sehingga siswa dapat berpikir tentang hubungan antara
jumlah awal dalam pendidikan matematika mereka, yang dimaksudkan untuk
membantu mereka mentransisi ke aljabar resmi di sekolah menengah. Bekerja dengan
pola juga dapat membantu dalam membangun citra yang lebih positif dan bermakna
tentang matematika, juga berkontribusi pada pengembangan beberapa keterampilan,
khususnya yang terkait dengan pemecahan masalah dan berpikir aljabar.
Pola matematika dapat digambarkan sebagai keteraturan yang dapat
diprediksi, biasanya melibatkan numerik, hubungan spasial atau logis
(Mulligan&Michelmore, 2009). Mengeksplorasi, mengidentifikasi, memperluas,
mereproduksi, membandingkan, mewakili dan menggambarkan adalah karakteristik
operasi dengan pola. Urutan yang dipilih belum tentu urutan interaksi dengan pola
terjadi. Namun, dalam sebagian besar masalah yang berkaitan dengan pola beberapa
operasi yang tercantum di atas dapat diidentifikasi. Jelas, berinteraksi dengan pola
tergantung pada konteks di mana pola yang digunakan dan pada tugas-tugas yang
memotivasi penggunaan dan motivasi penggunaannya.
Pola dalam aljabar digolongkan ke dalam dua kategori: pola berulang dan pola
berkembang (Warren, 2005). Sebuah pola yang berulang didefinisikan sebagai pola di
mana terdapat unit yang berulang. struktur siklus yang dapat dihasilkan oleh aplikasi
berulang dari sebagian kecil dari pola. Pola berkembang memiliki unit dilihat biasa
disebut syarat dan setiap istilah dalam pola tergantung pada periode sebelumnya dan
posisinya dalam pola. Pola berulang sangat penting, karena mereka tumbuh dalam
pengukuran (yang melibatkan iterasi unit spasial identik) dan perkalian (yang
melibatkan iterasi unit numerik identik). Berikut contoh pola berulang dan
berkembang dalam Van De Walle (2005:269).

Berikut adalah beberapa contoh pola berkembang dalam bentuk geometri:


Mason et al (dalam Vale&Carbita, 2008) mengatakan bahwa Generalisai
adalah denyut jantung dari matematika. Menurut Dorfler (dalam Vale&Carbita, 2008)
generalisasi adalah "obyek dan sarana berpikir dan berkomunikasi ". Menyadari
pentingnya generalisasi dalam kegiatan matematika, beberapa peneliti
mengidentifikasi jenis-jenis generalisasi yang berbeda. Dorfler membedakan antara
generalisasi empiris dan generalisasi teoritis. Generalisasi empiris didasarkan pada
mengenali fitur-fitur umum atau kualitas umum objek. Sebaliknya, kualitas disarikan
dalam generalisasi teotitik adalah hubungan antara benda, bukan obyek itu sendiri.
Harel dan Tinggi (Dalam Vale&Carbita,2008) menggunakan istilah
generalisasi berarti "menerapkan argumen yang diberikan dalam konteks yang lebih
luas ". Mereka membedakan 3 jenis generalisasi: (1) Expansive, penerapan berbagai
skema yang ada diperluas, tanpa merekonstruksi skema, (2) rekonstruksi, skema yang
ada direkonstruksi. Untuk memperluas jangkauan penerapan, dan (3) disjungtif,
skema baru dibangun ketika pindah ke konteks baru. Generalisasi disjungtif gagal
menjadi generalisasi kognitif karena memang tidak menganggap contoh sebelumnya
sebagai kasus khusus dari prosedur umum. Bahkan, generalisasi disjungtif mungkin
menjadi beban bagi siswa yang lebih lemah, yang membangun sebuah prosedur yang
terpisah untuk berbagai kasus. Selanjutnya, generalisasi expansive adalah kognitif
yang lebih mudah dari rekonstruksi generalisasi, tetapi mungkin tidak cukup dalam
jangka panjang.
Aljabar adalah generalisasi dari ide-ide aritmatika dimana nilai dan variabel
yang tidak diketahui dapat ditemukan dengan pemecahkan masalah. Kaput (dalam
Van De Walle, 2007) mendeskripsikan lima bentuk penalaran aljabar, yaitu (1)
Generalisasi dari aritmatika dan dari pola pada semua cabang matematika, (2)
Penggunaan simbol, (3) Pembelajaran tentang struktur dalam sistem bilangan, (4)
Pembelajaran tentang pola dan fungsi, (5) Proses pemodelan matematika yang
mengintegrasikan keempat hal sebelumnya. Proses membuat generalisasi bilangan
dan aritmatika dimulai dari tingkat prasekolah dan berlanjut sampai siswa
mempelajari semua aspek bilangan dan perhitungan. Untuk membuat generalisasi,
sangat terbantu dengan adanya simbol. Oleh karena itu, generalisasi dan pemahaman
mengenai variabel dan simbol berkembang pada saat yang bersamaan. Seseorang
mulai berfikir aljabar ketika ia sudah memahami variabel dan penyimbolan.
Generalisasi dalam arti secara bahasa adalah memperumum. Wikipedia
Indonesia menerangkan bahwa generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak
dari fenomena individual menuju kesimpulan umum. Dalam Mulligan&Mitchelmore
(2009) Pola matematika dapat digambarkan sebagai keteraturan yang dapat diprediksi,
biasanya melibatkan numerik, spasial, atau hubungan logis. Jadi generalisasi pola
matematika adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari suatu pola menuju suatu
bentuk umum. Dalam hal ini lebih dikhususkan mengenai proses merumuskan bentuk
umum suatu pola. Pola adalah cara terbaik untuk mengajak siswa mengeksplor ide-ide
penting dalam pembelajaran aljabar sebagai sebuah dugaan dan generalisasi. NCTM
merekomendasikan bahwa siswa berpartisipasi dalam kegiatan pola dari usia muda,
dengan harapan mereka akan dapat (1) Membuat generalisasi tentang pola geometris
dan numerik, (2) Menyediakan pembenaran untuk dugaan mereka, (3) Mewakili pola
dan fungsi dalam kata-kata, tabel, dan grafik. Pendekatan metodologi berbasis pola
menantang siswa untuk menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi, penekanan
eksplorasi, investigasi, dugaan dan generalisasi. Mencari pola adalah bagian dari
pemecahan masalah yang membutuhkan strategi kuat.
Siswa menggunakan aturan generalisasi dari pola yang mereka miliki
menggunakan cara yang mereka rasa paling menyenangkan dan nyaman untuk
mereka. dengan menggunakan kata-kata, diagram, simbol yang mereka buat sendiri,
atau dalam sebuah persamaan. Aspek yang penting dalam langkah ini adalah
bagaimana siswa dapat mendeskripsikan generalisasi mereka dihubungkan dengan
situasi nyata. Melalui generalisasi pola, siswa dapat memahami kekuatan dari
penalaran aljabar.
Freudenthal (dalam Van De Heuvel, 2003) mengatakan bahwa kegiatan
pemecahan masalah dan mencari masalah, dan lebih umum, aktivitas
pengorganisasian materi dari realitas atau materi matematika yang disebut
'Matematisasi'. Treffers (dalam Van De Heuvel, 2003) merumuskan gagasan mengenai
dua cara matematisasi dalam pendidikan konteks. Dia membedakan keduanya
menjadi matematisasi 'horizontal' dan 'vertikal'. Dalam matematisasi horizontal siswa
dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan memecahkan
masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari dengan kata lain matematisasi horizontal
bergerak dari dunia atau kehidupan nyata ke dalam simbol. Matematisasi horizontal
ini meliputi proses informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu soal,
membuat model, membuat skema dam hubungannya. Sebaliknya, Matematisasi
vertikal merupakan pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika itu
sendiri. Metematisasi ini meliputi proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu
formula, membuat berbagai model, merumuskan konsep baru dan dan melakukan
generalisasi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa generalisasi sangat
penting dalam sebagian besar aspek dalam matematika.

3. Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik


dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam
pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika
(kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi) yang meliputi kemampuan memahami
masalah, membangun model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperolehtermasuk dalam rangka memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata). Masalah ada yang
bersifat rutin maupun yang tidak rutin. Masalah tidak rutin adalah masalah
baru bagi siswa, dalam arti memiliki tipe yang berbeda dari masalah-masalah
yang telah dikenal siswa. Untuk menyelesaikan masalah tidak rutin, tidak
cukup bagi siswa untuk meniru cara penyelesaian masalah-masalah yang telah
dikenalnya, melainkan ia harus melakukan usaha-usaha tambahan, misalnya
dengan melakukan modifikasi pada cara penyelesaian masalah yang telah
dikenalnya, atau memecah masalah tidak rutin itu ke dalam beberapa masalah
yang telah dikenalnya, atau merumuskan ulang masalah tidak rutin itu
menjadi masalah yang telah dikenalnya. Indikator-indikator pencapaian
kecakapan ini, meliputi:
a. memahami masalah
b. mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam
mengidentifikasi masalah.
c. menyajikan suatu rumusan masalah secara matematis dalam berbagai
bentuk
d. memilih pendekatan dan strategi yang tepat untuk memecahkan masalah
e. menggunakan atau mengembangkan strategi pemecahan masalah
f. menafsirkan hasil jawaban yang diperoleh untuk memecahkan masalah
g. menyelesaikan masalah.

Penjelasan :

Mengutip ODaffler dan Thornquist, Artzt dan Yaloz-Femia (NCTM 1999,


p.117), merumuskan bahwa penalaran matematik adalah bagian dari berpikir
matematik yang meliputi membuat perumuman dan menarik simpulan sahih tentang
gagasan-gagasan dan bagaimana gagasan tersebut saling terkait. Jika pemecahan
masalah memainkan peran sentral dalam matematika, maka penalaran tampaknya
memainkan peran serupa dalam pemecahan masalah.

Peressini dan Webb (NCTM, 1999, p.157) berpendapat penalaran dapat


dipandang sebagai suatu kegiatan dinamis yang mencakup berbagai jenis cara
berpikir. Mengutip ODaffler dan Thornquist, kedua penulis selanjutnya mengatakan
penalaran matematik, yang memainkan peran mutlak dalam proses berpikir, meliputi
mengumpulkan fakta, membuat dugaan, membuat perumuman, membangun argumen,
dan menarik (dan menyahihkan) simpulan logis mengenai beragam gagasan itu dan
hubungan-hubungannya. Sehubungan dengan itu, keduanya mengatakan penalaran
matematik mencakup, namun tidak terbatas pada, induktif (termasuk mengenali dan
mengembangkan pola), deduktif, bersyarat, kesebandingan, grafikal, spasial, dan
abstrak. Dapat ditambahkan, sebenarnya penalaran pula yang digunakan untuk
melakukan abstraksi.

Russel (NCTM, 1999, p.1) mengatakan penalaran matematik adalah pusat


belajar matematika. Ia berargumen, matematika adalah suatu disiplin berkenaan
dengan obyek abstrak dan penalaranlah alat untuk memahami abstraksi. Ia tambahkan
penalaranlah yang digunakan untuk berpikir tentang sifat-sifat sekumpulan obyek
matematik dan mengembangkan perumuman yang dikenakan padanya. Kita melihat
pernyataan Russel sejalan dengan pengertian penalaran matematik dari ODaffler dan
Thornquist di atas, bahwa penalaran melibatkan beberapa keterampilan penting
seperti menyelidiki pola, membuat dan menguji dugaan (conjecture), dan
menggunakan penalaran deduktif dan induktif formal untuk memformulasikan
argumen matematik.
Menurut Principles and Standards (NCTM, 2000, p. 342), standar penalaran
matematik meliputi (a) mengenal penalaran sebagai aspek mendasar dari matematika;
(b) membuat dan menyelidiki dugaan matematik; (c) mengembangkan dan
mengevaluasi argumen matematik; dan (d) memilih dan menggunakan berbagai tipe
penalaran. Sehubungan dengan itu, dorongan dan kesempatan yang didapat anak di
kelas untuk melakukan penalaran dalam kerangka memecahkan masalah matematik
merupakan fondasi yang diperlukan untuk mencapai standar penalaran yang
dirumuskan NCTM tersebut.

Membiasakan bernalar sejak hari-hari pertamanya di sekolah akan membuat


anak sadar kalau tiap pernyataan yang dibuatnya memerlukan alasan pembenaran.
Pertanyaan guru atau teman seperti, mengapa bisa begitu, bagaimana kita tahu itu
benar, adakah yang punya jawaban berbeda, atau adakah cara lain
mengerjakannya, dapat membantu anak melakukan penalaran untuk mengajukan
argumentasi pendukung atau fakta yang berlawanan atau berpikir alternatif
(divergen).

Sebagai contoh, guru dapat meminta siswa untuk membuktikan garis yang
membagi dua sama besar sudut yang dibentuk dua garis yang saling berpotongan di
satu bidang, berjarak sama terhadap kedua garis itu. Namun, penalaran anak akan
lebih berkembang secara lentur bila tugas itu diungkap dengan menanyakan apakah
ada garis (kalau ya, maka ada berapa banyak) yang berjarak sama terhadap dua garis
yang berpotongan di sebuah bidang, dan kalau ya, bagaimana kita tahu itu.

Malloy (1999, p.13) mengatakan pertanyaan guru dan siswa merupakan suatu
strategi untuk membantu anak menggunakan potensi kemampuan penalarannya
terhadap obyek matematik. Dengan mengutip Wolf dan Sawada, Malloy
menambahkan sewaktu guru meminta siswa untuk bernalar mengenai matematika
lewat pertanyaan-pertanyaan menyelidik, maka anak pada dasarnya memiliki
pemahaman matematik yang lebih baik dari yang kita bayangkan yang terlihat dari
respon yang mereka berikan. Dalam hal ini perlu dicamkan bahwa bertanya (reflektif)
merupakan bagian dari rangkaian pembelajaran. Oleh sebab itu, guru dituntut pula
agar terampil mengajukan pertanyaan yang merangsang anak bernalar.

Pemecahan masalah menempati kedudukan sentral dalam matematika. Jika


matematika dipandang sebagai produk maka pemecahan masalah berada di
jantungnya. Pandangan demikian didasarkan pada fakta bahwa berbagai konsep,
prinsip, dan prosedur dicari dan ditemukan dengan tujuan agar dapat dimanfaatkan
dan bermuara pada pemecahan masalah. Sementara itu, bila matematika dipandang
sebagai suatu proses, maka pemecahan masalah juga berada di jantungnya. Demikian,
karena pada umumnya kemunculan berbagai obyek matematik dimulai dan dipicu
oleh adanya masalah yang harus diselesaikan atau adanya pertanyaan yang menuntut
jawaban. Halmos (NCTM, 2000, p.341) mengatakan pemecahan masalah adalah
jantungnya matematika.

Wilson (1997) melihat salah satu tujuan utama belajar matematika adalah
mengembangkan kemampuan menyelesaikan berbagai ragam masalah matematik
yang rumit. Dengan nada serupa Kilpatrick, et al. (2001, p. 420) menjelaskan studi di
hampir setiap dari ranah matematika menunjukkan pemecahan masalah memberikan
konteks penting di mana siswa dapat belajar beragam topik matematik. Kemampuan
pemecahan masalah meningkat manakala anak berkesempatan menyelesaikan
masalah dan melihat bagaimana masalah dipecahkan. Hal ini sejalan dengan studi
Garofalo dan Lester dan juga oleh Schoenfeld (dalam NCTM, 2000) yang
menemukan kegagalan siswa memecahkan masalah lebih disebabkan ketidak-tepatan
strategi yang digunakan. Lebih jauh, pemecahan masalah menyediakan sarana
mempelajari konsep baru dan melatih keterampilan yang sudah dipelajari.

Penalaran analog atau induktif secara umum memainkan peran utama dalam
penemuan matematik (Polya, 1954, p. v). Penalaran analog berfungsi sebagai sumber
nyata (pasti) yang darinya anak dapat membangun model mental untuk konsep
matematik (English, 1999). English melanjutkan, penalaran analog lebih menuntut
kita melihat pada sifat-sifat yang berhubungan dari suatu fenomena atau ide
ketimbang pernak-pernik (features) di permukaan. Dan manakala hal ini gagal
dilakukan, maka belajar anak menjadi tidak bermakna. English lebih lanjut
mencontohkan bila kita menggunakan representasi matematik, maka kita sebetulnya
meminta anak untuk bernalar analog.

Untuk bernalar analogi pada garis bilangan misalnya, maka anak harus
memetakan atau mengaitkan tiap bilangan dengan satu titik pada garis dan
menempatkan bilangan nol pada titik tertentu. Selanjutnya, kedudukan bilangan di
arah kanan dari nol adalah bilangan positif dan di arah kiri bilangan negatif. Selain
itu, kaitan lain yang mesti dibuat anak adalah bilangan yang kian jauh ke kanan dari
nol menunjukkan bilangan yang makin besar dan seterusnya. Apabila pengaitan ini
gagal dilakukan maka itulah yang dikatakan English dan Halford dan juga oleh
Hiebert dan Wearne belajar anak jadi tak bermakna.

Di bagian lain, Russel (1999, p. 6) mengingatkan betapa penalaran membawa


kita pada satu jenis ingatan yang berbeda dengan menghafal biasa (usaha untuk
mengingat fakta tanpa ada hubungannya dengan jalinan penalaran). Menurutnya,
dampak dari pengembangan dan penggunaan penalaran matematik lebih kuat, berupa
ingatan yang lebih dapat dipercaya, yaitu ingatan tentang esensi hubungan matematik
yang betul-betul mendasar. Misalnya, alih-alih menghafalkan rumus besar sudut
dalam dari segi-n beraturan, maka akan jauh lebih bermakna bila pengetahuan anak
tentang besar sudut keliling satu putaran dan sudut lurus digunakan dalam penalaran
dan anak diajak untuk menyelidiki masalah tersebut.

Berikut ini contoh untuk n = 5.

Jumlah sudut-sudut (luar) F, G, H, I, dan J adalah 360. Sudut yang besarnya


akan dicari adalah sudut dalam (komplemen dari masing-masing sudut itu). Maka kita

tahu besar satu sudut luar itu adalah . Dari itu diperoleh besar satu sudut dalam

adalah . Penalaran dapat dilanjutkan untuk mendapatkan rumus umum

untuk segi-n.

You might also like