You are on page 1of 8

DERMATITIS KONTAK ALERGIK

Definisi
Dermatitis kontak adalah respon peradangan kulit akut atau kronik terhadap paparan bahan
iritan eksternal yang mengenai kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu dermatitis
kontak iritan yang timbul melalui mekanisme non imunologik dan dermatitis kontak alergik yang
diakibatkan mekanisme imunologik dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan meka nisme
imunologik yang spesifik. Menurut Gell dan Coombs dermatitis kontak alergik adalah reaksi
hipersensitifitas tipe lambat (tipe IV) yang diperantarai sel, akibat antigen spesifik yang
menembus lapisan epidermis kulit. Antigen bersama dengan mediator protein akan menuju ke
dermis, dimana sel limfosit T menjadi tersensitisasi. Pada pemaparan selanjutnya dari antigen
akan timbul reaksi alergi.

Epidemiologi
Bila dibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita dermatitis kontak alergik
lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Dermatitis
kontak iritan timbul pada 80% dari seluruh penderita dermatitis kontak sedangkan dermatitis
kontak alergik kira-kira hanya 20%. Sedangkan insiden dermatitis kontak alergik terjadi pada 3-
4% dari populasi penduduk. Usia tidak mempengaruhi timbulnya sensitisasi namun dermatitis
kontak alergik lebih jarang dijumpai pada anak-anak. Lebih sering timbul pada usia dewasa
tapi dapat mengenai segala usia. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dari pada lakilaki. Bangsa
Kaukasian lebih sering terkena dari pada ras bangsa lain. Nampaknya banyak juga timbul pada
bangsa Afrika-Amerika namun lebih sulit dideteksi. Jenis pekerjaan merupakan hal penting
terhadap tingginya insiden dermatitis kontak. Angka kematian dermatitis kontak akibat kerja
menurut laporan dari beberapa negara berkisar 20-90 dari penyakit kulit akibat kerja. Ada
variasi yang besar oleh karena tergantung pada derajat dan bentuk industrialisasi suatu negara
dan minat dokter kulit setempat terhadap dermatitis kontak akibat kerja. Di Amerika Serikat
penyakit kulit akibat kerja perseribu pekerja paling banyak dijumpai berturut-turut pada pekerja
pertanian 2,8%, pekerja pabrik 1,2%, tenaga kesehatan 0,8% dan pekerja bangunan 0,7%.
Menurut laporan Internasional Labour Organization terbanyak dijumpai pada tukang batu &
semen 33%, pekerja rumah tangga 17% dan pekerja industri logam dan mesin 11% sedangkan
tenaga
kesehatan 1%. 15 Sejak tahuan 1974 insiden penyakit kulit akibat kerja telah menurun di
Amerika Serikat, namun banyak kasus-kasus yang tidak pernah dilaporkan, baik akibat tidak
terdiagnosis sebagai penyakit akibat kerja oleh dokter atau penderita atau telah diterapi sebagai
dermatosis yang bukan disebabkan oleh pekerjaan. Kasus-kasus yang tidak dilaporkan ini
diperkirakan mencapai 20-50 kali lipat dari jumlah yang dilaporkan. Di Eropa insiden juga tinggi
seperti Swedia dermatitis kontak dijumpai pada 4,8% dari populasinya. Di Belanda 6%, di
Stockholm 8% dan Bergen 12%. Di Indonesia terlihat bahwa frekuensi dermatitis kontak
menunjukan peningkatan di tahun-tahun terakhir ini. Di bagian Alergi-Imunologi RSCM Jakarta
tahun 1988 dilaporkan 35 kasus, berumur antara 6-67 tahun. 21 diantaranya dengan dugaan
dermatitis kontak alergika yang tidak diketahui penyebabnya dan 14 orang dengan dermatitis
kronis non spesifik yang penyebabnya tidak diketahui. Di Manado dari tahun 1988-1991 dijumpai
83 orang dengan dermatitis kontak (4,45%), di Singkawang Kalimantan Barat pada tahun 1991-
1992 dermatitis kontak dijumpai sebanyak 73 orang (17,76%). Tahun 1992 di RS Dr. Pirngadi
Medan Nasution malaporkan terdapat 301 pasien dermatitis kontak (laki-laki 109 orang dan
wanita 192 orang), tahun 1993 sebanyak 332 orang (109 orang laki-laki dan 223 orang wanita),
tahun 1994 dijumpai 427 kasus (122 orang laki-laki dan 305 orang wanita). Golongan usia
tertinggi adalah 25-44 tahun 1992 dan 1994 adalah kelompok pelajar dan mahasiswa (27,24%
dan 32,55%), sedangkan pada tahun 1993 adalah petani diikuti oleh penjual di pasar, tukang
becak, pembantu dan pengangguran.

Etiologi dan Klasifikasi


Kulit dapat mengalami suatu dermatitis bila terpapar oleh bahan-bahan tertentu, misalnya
alergen, yang diperlukan untuk timbulnya suatu reaksi alergi. Hapten merupakan alergen yang
tidak lengkap (antigen), contohnya formaldehid, ion nikel dll. Hampir seluruh hapten memiliki
berat mo lekul rendah, kurang dari 500- 1000 Da. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan dan luasnya penetrasi di kulit. Dupuis dan Benezra
membagi jenis -jenis hapten berdasarkan fungsinya
yaitu:

1. Asam, misalnya asam maleat.


2. Aldehida, misalnya formaldehida.
3. Amin, misalnya etilendiamin, para-etilendiamin.
4. Diazo, misalnya bismark-coklat, kongo- merah.
5. Ester, misalnya Benzokain
6. Eter, misalnya benzil eter
7. Epoksida, misalnya epoksi resin
8. Halogenasi, misalnya DNCB, pikril klorida.
9. Quinon, misalnya primin, hidroquinon.
10. Logam, misalnya Ni2+, Co2+,Cr2+, Hg2+.
11. Komponen tak-larut, misalnya terpentin

Patogenesis Dermatitis Kontak Alergik


Ada dua fase terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi dermatitis kontak
alergik yaitu :

Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi disebut juga fase induksi atau fase aferen. Pada fase ini terjadi sensitisasi
terhadap individu yang semula belum peka, oleh bahan kontaktan yang disebut alergen kontak
atau pemeka. Terjadi bila hapten menempel pada kulit selama 18-24 jam kemudian hapten
diproses dengan jalan pinositosis atau endositosis oleh sel LE (Langerhans Epidermal), untuk
mengadakan ikatan kovalen dengan protein karier yang berada di epidermis, menjadi komplek
hapten protein. Protein ini terletak pada membran sel Langerhans dan berhubungan dengan
produk gen HLA-DR (Human Leukocyte Antigen-DR). Pada sel penyaji antigen (antigen
presenting cell). Kemudian sel LE menuju duktus Limfatikus dan ke parakorteks Limfonodus
regional dan terjadilah proses penyajian antigen kepada molekul CD4+ (Cluster of Diferantiation
4+) dan molekul CD3. CD4+berfungsi sebagai pengenal komplek HLADR dari sel Langerhans,
sedangkan molekul CD3 yang berkaitan dengan protein heterodimerik Ti (CD3-Ti), merupakan
pengenal antigen yang lebih spesifik, misalnya untuk ion nikel saja atau ion kromium saja.
Kedua reseptor antigen tersebut terdapat pada permukaan sel T. Pada saat ini telah terjadi
pengenalan antigen (antigen recognition).
Selanjutnya sel Langerhans dirangsang untuk mengeluarkan IL-1 (interleukin-1) yang akan
merangsang sel T untuk mengeluarkan IL-2. Kemudian IL- 2 akan mengakibatkan proliferasi sel
T sehingga terbentuk primed me mory T cells, yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh
meninggalkan limfonodi dan akan memasuki fase elisitasi bila kontak berikut dengan alergen
yang sama. Proses ini pada manusia berlangsung selama 14-21 hari, dan belum terdapat ruam
pada kulit. Pada saat ini individu tersebut telah tersensitisasi yang berarti mempunyai resiko
untuk mengalami dermatitis kontak alergik.

Fase elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen yang sama dan
sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen dermis. Sel Langerhans akan
mensekresi IL-1 yang akan merangsangsel T untuk mensekresi Il-2. Selanjutnya IL-2 akan
merangsang INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit
T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan makrofag
untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat.
Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula yang akan
tampak sebagai dermatitis. dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan
atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi,
degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel Langerhans dan sel keratinosit serta
pelepasan Prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma.
PGE-1,2 berfungsi menekan produksi IL-2R sel T serta mencegah kontak sel T dengan
keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek merangsang molekul CD8
(+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap
antigen spesifik, dan akhirnya menekan atau meredakan peradangan.

Toleransi Imunologis
Struktur kimia, dosis dan cara penyajian dari suatu antigen sangat menentukan potensi
sensitivitasnya. Pada aplikasi pertama dari antigen akan menggerakkan dua mekanisme yang
berlawanan yaitu sensitisasi (pembentukan T helper cell) dan toleransi imunitas spesifik
(pembentukan T supresor cell). Kedua keadaan imunologik ini selanjutnya dapat dimodifikasi
oleh faktor-faktor eksternal seperti pemberian glukokortikoid topikal atau sistemik, radiasi sinar
ultra violet dan riwayat dermatitis atopik. Apabila dosis tinggi dari antigen disapukan secara
epikutan maka dapat timbul toleransi.Kemungkinan oleh karena sejumlah besar antigen
menghindari sel Langerhans epidermal. Toleransi imunologis dapat dirangsang oleh penggunaan
bahan kimia yang sejenis seperti propilgallat (antioksidan dalam makanan) dan 2-4-dinitro-1-
klorobenzen terhadap dinitroklorobenzen (DNCB), akan dapat menurunkan sensitivitas DNCB,
bahkan dapat menjadi tidak responsive. Hal ini disebut proses hardening (pengerasan). Namun
proses hardening tidak timbul pada setiap orang dan dapat hilang bila terjadi pemutusan
hubungan dengan bahan kontak alergen.
Hiposensitisasi dapat dicapai dengan pemberian awal bahan allergen berstruktur sejenis dalam
dosis rendah yang kemudian ditingkatkan secara bertahap. Hal ini dapat diterapkan pada
sulfonamid dan poison ivy. Akibatnya ambang rangsang untuk reaksi positif terhadap uji tempel
akan meningkat. Namun keadaan desensitisasi penuh tidak dapat dicapai. Hiposensitisasi
merupakan keseimbangan antara sel efektor dan supresor. Keadaan toleransi ini dapat dirusak
oleh siklofosfamid yang secara selektif menghambat sel supresor. Bila ini gagal secara teoritik
dapat dilakukan induksi secara intra vena sehingga timbul tolerans terhadap alergen yang
diberikan. Menurut Adam hal ini akan merangsang makrofag di limpa untuk membentuk sel T
supresor dan menimbulkan toleransi imunitas spesifik. Secara teoritik dapat timbul keadaan
quenching yaitu terjadinya potensiasi dari respon alergi dan iritan sehingga kombinasi dari
bahan-bahan kimia dapat menimbulkan efek pemedaman yaitu berkurangnya ekspresi atau
induksi sensitivitas.

Gambaran Histopatologis
Pemeriksaan ini tidak memberi gambaran khas untuk diagnostik karena gambaran
histopatologiknya dapat juga terlihat pada dermatitis oleh sebab lain. Pada dermatitis akut
perubahan pada dermatitis berupa edema interseluler (spongiosis), terbentuknya vesikel atau
bula, dan pada dermis terdapat dilatasi vaskuler disertai edema dan infiltrasi perivaskuler sel-sel
mononuclear. Dermatitis sub akut menyerupai bentuk akut dengan terdapatnya akantosis dan
kadangkadang parakeratosis. Pada dermatitis kronik akan terlihat akantosis, hiperkeratosis,
parakeratosis, spongiosis ringan, tidak tampak adanya vesikel dan pada dermis dijumpai infiltrasi
perivaskuler, pertambahan kapiler dan fibrosis. Gambaran tersebut merupakan dermatitis secara
umum dan sangat sukar untuk membedakan gambaran histopatologik antara dermatitis kontak
alergik dan dermatitis kontak iritan. Pemeriksaan ultrastruktur menunjukkan 2-3 jam setelah
paparan antigen, seperti dinitroklorbenzen (DNCB) topikal dan injeksi ferritin intrakutan, tampak
sejumlah besar sel langerhans di epidermis. Saat itu antigen terlihat di membran sel dan di
organella sel Langerhans. Limfosit mendekatinya dan sel Langerhans menunjukkan aktivitas
metabolik. Berikutnya sel langerhans yang membawa antigen akan tampak didermis dan setelah
4-6 jam tampak rusak dan jumlahnya di epidermis berkurang. Pada saat yang sama migrasinya
ke kelenjar getah bening setempat meningkat. Namun demikian penelitian terakhir mengenai
gambaran histologi, imunositokimia dan mikroskop elektron dari tahap seluler awal pada pasien
yang diinduksi alergen dan bahan iritan belum berhasil menunjukkan perbedaan dalam pola
peradangannya.

Gambaran Klinis
Penderita umumnya mengeluh gatal. Kelainan bergantung pada keparahan dermatitis.
Dermatitis kontak umumnya mempunyai gambaran klinis dermatitis, yaitu terdapat efloresensi
kulit yang bersifat polimorf dan berbatas tegas. Dermatitis kontak iritan umunya mempunyai
ruam kulit yang lebih bersifat monomorf dan berbatas lebih tegas dibandingkan dermatitis
kontak alergik.

1.Fase akut.
Kelainan kulit umumnya muncul 24-48 jam pada tempat terjadinya kontak dengan bahan
penyebab. Derajat kelainan kulit yang timbul bervariasi ada yang ringan ada pula yang berat.
Pada yang ringan mungkin hanya berupa eritema dan edema, sedang pada yang berat selain
eritema dan edema yang lebih hebat disertai pula vesikel atau bula yang bila pecah akan terjadi
erosi dan eksudasi. Lesi cenderung menyebar dan batasnya kurang jelas. Keluhan subyektif
berupa gatal.

2.Fase Sub Akut


Jika tidak diberi pengobatan dan kontak dengan alergen sudah tidak ada maka proses akut akan
menjadi subakut atau kronis. Pada fase ini akan terlihat eritema, edema ringan, vesikula, krusta
dan pembentukan papul-papul.

3.Fase Kronis
Dermatitis jenis ini dapat primer atau merupakan kelanjutan dari fase akut yang hilang timbul
karena kontak yang berulang-ulang. Lesi cenderung simetris, batasnya kabur, kelainan kulit
berupa likenifikasi, papula, skuama, terlihat pula bekas garukan berupa erosi atau ekskoriasi,
krusta serta eritema ringan. Walaupun bahan yang dicurigai telah dapat dihindari, bentuk kronis
ini sulit sembuh spontan oleh karena umumnya terjadi kontak dengan bahan lain yang tidak
dikenal. Selain berdasarkan fase respon peradangannya, gambaran klinis dermatitis kontak juga
dapat dilihat menurut predileksi regionalnya. Hal ini akan memudahkan untuk mencari bahan
penyebabnya.

Tangan
Kejadian dermatitis kontak baik iritan maupun alergik paling sering di tangan, misalnya pada ibu
rumah tangga. Demikian pula dermatitis kontak akibat kerja palaing banyak ditemukan di
tangan. Sebagian besar memang disebabkan oleh bahan iritan. Bahan penyebabnya misalnya
deterjen, antiseptik, getah sayuran/tanaman, semen dan pestisida.

Lengan
Alergen umumnya sama dengan pada tangan, misalnya oleh jam tangan (nikel), sarung tangan
karet, debu semen dan tanaman. Di aksila umumnya oleh bahan pengharum.

Wajah
Dermatitis kontak pada wajah dapat disebabkan bahan kosmetik, obat topikal, alergen yang ada
di udara, nikel (tangkai kaca mata). Bila di bibir atau sekitarnya mungkun disebabkan oleh
lipstik, pasta gigi dan getah buah-buahan. Dermatitis di kelopak mata dapat disebabkan oleh cat
kuku, cat rambut, perona mata dan obat mata.

Telinga
Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab lainnya seperti obat topikal, tangkai kaca
mata, cat rambut dan alat bantu pendengaran.

Lehar dan Kepala


Pada leher penyebabnya adalah kalung dari nikel, cat kuku (yang berasal dari ujung jari),
parfum, alergen di udara dan zat warna pakaian. Kulit kepala relative tahan terhadap alergen
kontak, namun dapat juga terkena oleh cat rambut, semprotan rambut, sampo atau larutan
pengeriting rambut.

Badan
Dapat disebabkan oleh pakaian, zat warna, kancing logam, karet (elastis, busa ), plastik dan
deterjen.

Genitalia
Penyebabnya dapat antiseptik, obat topikal, nilon, kondom, pembalut wanita dan alergen yang
berada di tangan.

Paha dan tungkai bawah


Disebabkan oleh pakaian, dompet, kunci (nikel) di saku, kaos kaki nilon, obat topikal (anestesi
lokal, neomisin, etilendiamin), semen,sandal dan sepatu.

Diagnosis
Untuk menetapkan bahan alergen penyebab dermatitis kontak alergik diperlukan anamnesis
yang teliti, riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik dan uji tempel. Anamnesis
ditujukan selain untuk menegakkan diagnosis juga untuk mencari kausanya. Karena hal ini
penting dalam menentukan terapi dan tindak lanjutnya, yaitu mencegah kekambuhan.
Diperlukan kesabaran, ketelitian, pengertian dan kerjasama yang baik dengan pasien. Pada
anamnesis perlu juga ditanyakan riwayat atopi, perjalanan penyakit, pekerjaan, hobi, riwayat
kontaktan dan pengobatan yang pernah diberikan oleh dokter maupun dilakukan sendiri, obyek
personal meliputi pertanyaan tentang pakaian baru, sepatu lama, kosmetika, kaca mata, dan
jam tangan serta kondisi lain yaitu riwayat medis umum dan mungkin faktor psikologik.
Pemeriksaan fisik didapatkan adanya eritema, edema dan papula disusul dengan pembentukan
vesikel yang jika pecah akan membentuk dermatitis yang membasah. Lesi pada umumnya
timbul pada tempat kontak, tidak berbatas tegas dan dapat meluas ke daerah sekitarnya.
Karena beberapa bagian tubuh sangat mudah tersensitisasi dibandingkan bagian tubuh yang lain
maka predileksi regional diagnosis regional akan sangat membantu penegakan diagnosis.
Alergi kontak dapat dibuktikan dengan tes in vivo dan tes in vitro. Tes in vivo dapat dilakukan
dengan uji tempel biasa dan uji tempel dengan pra-perlakuan (pre - treatment). Uji tempel biasa
digunakan untuk alergen dengan BM rendah yang dapat menembus stratum korneum yang utuh
(membran barier kulit yang intak). Sedangkan uji temple pra-perlakuan digunakan untuk alergen
dengan BM yang besar seperti protein dan glukoprotein yang dapat menembus stratum korneum
kulit jika barier kulit tidak utuh lagi. Untuk itu maka sebelum melakukan uji tempel, sebagian
stratum diangkat dengan stripping. Tes in vitro menggunakan transformasi limfosit atau inhibisi
migrasi makrofag untuk pengukuran dermatitis kontak alergik pada manusia dan hewan. Namun
hal tersebut belum standar dan secara klinis belum bernilai diagnosis. Meskipun anamnesis dari
pasien didapatkan kemungkinan adanya alergi, bukti yang nyata didapatkan dari hasil uji kulit
yang positif. Tujuan uji tempel adalah mencari atau membuktikan penyebab dermatitis kontak
alergik. Kriteria diagnosis dermatitis kontak alergik adalah :
1. Adanya riwayat kontak dengan suatu bahan satu kali tetapi lama, beberapa kali atau satu kali
tetapi sebelumnya pernah atau sering kontak dengan bahan serupa.
2. Terdapat tanda-tanda dermatitis terutama pada tempat kontak.
3. Terdapat tanda-tanda dermatitis disekitar tempat kontak dan lain tempat yang serupa dengan
tempat kontak tetapi lebih ringan serta timbulnya lebih lambat, yang tumbuhnya setelah pada
tempat kontak.
4. Rasa gatal
5. Uji tempel dengan bahan yang dicurigai hasilnya positif.

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya penatalaksanaan dermatitis kontak alergik yang baik adalah mengidentifikasi
penyebab dan menyarankan pasien untuk menghindarinya, terapi individual yang sesuai dengan
tahap penyakitnya dan perlindungan pada kulit.

Pencegahan
Merupakan hal yang sangat penting pada penatalaksanaan dermatitis kontak alergik. Di
lingkungan rumah, beberapa hal dapat dilaksanakan misalnya penggunaan sarunga tangan karet
di ganti dengan sarung tangan plastik, menggunakan mesin cuci, sikat bergagang panjang,
penggunaan deterjen sesuai aturan pabrik dll. Barang-barang atau asesoris yang berbahan nikel
diganti dengan bahan lain, bila tidak, dilapisi dengan isolasi bening atau pelapis kuku
bening.Pihak pabrik harus memberi informasi barang-barang yang mengandung nikel. Untuk
pencegahan terutama pada tangan digunakan krim yang berbasis emolien, dan digunakan
pembersih yang lembut. Di lingkungan industri dapat dilakukan tindakan pencegahan sesuai
dengan UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Bab III pasal 3 ayat 1 yang berbunyi
sebagai berikut ; Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat - syarat keselamatan kerja
untuk mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik, psikis,
peracunan, infeksi dan penularan. Disamping itu para karyawan baru wajib diberikan pendidikan
dan penerangan mengenai hal tersebut sesuai isi UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan
kerja Bab V pasal 9 ayat 1 dan 2.

Pengobatan
Pengobatan yang diberikan dapat berupa pengobatan topikal dan sistemik.
1. Pengobatan topikal
Obat-obat topikal yang diberikan sesuai dengan prinsip-prinsip umum pengobatan dermatitis
yaitu bila basah diberi terapi basah (kompres terbuka), bila kering berikan terapi kering. Makin
akut penyakit,makin rendah prosentase bahan aktif. Bila akut berikan kompres, bila subakut
diberi losio, pasta, krim atau linimentum (pasta pendingin ), bila kronik berikan salep. Bila basah
berikan kompres, bila kering superfisial diberi bedak, bedak kocok, krim atau pasta, bila kering
di dalam, diberi salep. Medikamentosa topikal saja dapat diberikan pada kasus-kasus ringan.
Jenis-jenisnya adalah :
a. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai peranan penting dalam sistem imun. Pemberian topikal akan
menghambat reaksi aferen dan eferen dari dermatitis kontak alergik. Steroid menghambat
aktivasi dan proliferasi spesifik antigen. Ini mungkin disebabkan karena efek langsung pada sel
penyaji antigen dan sel T. Pemberian steroid topikal pada kulit menyebabkan hilangnya molekul
CD1 dan HLA-DR sel Langerhans, sehingga sel Langerhans kehilangan fungsi penyaji antigennya.
Juga menghalangi pelepasan IL-2 oleh sel T, dengan demikian profilerasi sel T dihambat. Efek
imunomodulator ini meniadakan respon imun yang terjadi dalam proses dermatitis kontak
dengan demikian efek terapetik. Jenis yang dapat diberikan adalah hidrokortison 2,5 %,
halcinonid dan triamsinolon asetonid. Cara pemakaian topikal dengan menggosok secara lembut.
Untuk meningkatan penetrasi obat dan mempercepat penyembuhan, dapat dilakukan secara
tertutup dengan film plastik selama 6-10 jam setiap hari. Perlu diperhatikan timbulnya efek
samping berupa potensiasi, atrofi kulit dan erupsi akneiformis.

b. Radiasi ultraviolet
Sinar ultraviolet juga mempunyai efek terapetik dalam dermatitis kontak melalui sistem imun.
Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya fungsi sel Langerhans dan menginduksi
timbulnya sel panyaji antigen yang berasal dari sumsum tulang yang dapat mengaktivasi sel T
supresor. Paparan ultraviolet di kulit mengakibatkan hilangnya molekul permukaan sel langehans
(CDI dan HLA-DR), sehingga menghilangkan fungsi penyaji antigennya. Kombinasi 8-methoxy-
psoralen dan UVA (PUVA) dapat menekan reaksi peradangan dan imunitis. Secara imunologis
dan histologis PUVA akan mengurangi ketebalan epidermis, menurunkan jumlah sel Langerhans
di epidermis, sel mast di dermis dan infiltrasi mononuklear. Fase induksi dan elisitasi dapat
diblok oleh UVB. Melalui mekanisme yang diperantarai TNF maka jumlah HLA- DR + dari sel
Langerhans akan sangat berkurang jumlahnya dan sel Langerhans menjadi tolerogenik. UVB
juga merangsang ekspresi ICAM-1 pada keratinosit dan sel Langerhans.

c. Siklosporin A
Pemberian siklosporin A topikal menghambat elisitasi dari hipersensitivitas kontak pada marmut
percobaan, tapi pada manusia hanya memberikan efek minimal, mungkin disebabkan oleh
kurangnya absorbsi atau inaktivasi dari obat di epidermis atau dermis.

d. Antibiotika dan antimikotika


Superinfeksi dapat ditimbulkan oleh S. aureus, S. beta dan alfa hemolitikus, E. koli, Proteus dan
Kandida spp. Pada keadaan superinfeksi tersebut dapat diberikan antibiotika (misalnya
gentamisin ) dan antimikotika (misalnya clotrimazole ) dalam bentuk topikal.

e. Imunosupresif topikal
Obat-obatan baru yang bersifat imunosupresif adalah FK 506 (Tacrolimus) dan SDZ ASM 981.
Tacrolimus bekerja dengan menghambat proliferasi sel T melalui penurunan sekresi sitokin
seperti IL-2 dan IL-4 tanpa merubah responnya terhadap sitokin eksogen lain. Hal ini akan
mengurangi peradangan kulit dengan tidak menimbulkan atrofi kulit dan efek samping sistemik.
SDZ ASM 981 merupakan derivat askomisin makrolatum yang berefek anti inflamasi yang tinggi.
Pada konsentrasi 0,1% potensinya sebanding dengan kortikosteroid klobetasol-17-propionat
0,05% dan pada konsentrasi 1% sebanding dengan betametason 17-valerat 0,1%, namun tidak
menimbulkan atrofi kulit. Konsentrasi yang diajurkan adalah 1%. Efek anti peradangan tidak
mengganggu respon imun sistemik dan penggunaan secara topikal sama efektifnya dengan
pemakaian secara oral.

2. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik ditujukan untuk mengontrol rasa gatal dan atau edema, juga pada kasus-
kasus sedang dan berat pada keadaan akut atau kronik. Jenis-jenisnya adalah :
a. Antihistamin
Maksud pemberian antihistamin adalah untuk memperoleh efek sedatifnya. Ada yang
berpendapat pada stadium permulaan tidak terdapat pelepasan histamin. Tapi ada juga yang
berpendapat dengan adanya reaksi antigen-antobodi terdapat pembebasan histamin, serotonin,
SRS-A, bradikinin dan asetilkolin.

b.Kortikosteroid
Diberikan pada kasus yang sedang atau berat, secara peroral, intramuskular atau intravena.
Pilihan terbaik adalah prednison dan prednisolon. Steroid lain lebih mahal dan memiliki
kekurangan karena berdaya kerja lama. Bila diberikan dalam waktu singkat maka efek
sampingnya akan minimal. Perlu perhatian khusus pada penderita ulkus peptikum, diabetes dan
hipertensi. Efek sampingnya terutama pertambahan berat badan, gangguan gastrointestinal dan
perubahan dari insomnia hingga depresi. Kortikosteroid bekerja dengan menghambat proliferasi
limfosit, mengurangi molekul CD1 dan HLA- DR pada sel Langerhans, menghambat pelepasan IL-
2 dari limfosit T dan menghambat sekresi IL-1, TNF-a dan MCAF.

c. Siklosporin
Mekanisme kerja siklosporin adalah menghambat fungsi sel T penolong dan menghambat
produksi sitokin terutama IL-2, INF-r, IL-1 dan IL-8. Mengurangi aktivitas sel T, monosit,
makrofag dan keratinosit serta menghambat ekspresi ICAM-1.

d. Pentoksifilin
Bekerja dengan menghambat pembentukan TNF-a, IL-2R dan ekspresi ICAM-1 pada keratinosit
dan sel Langerhans. Merupakan derivat teobromin yang memiliki efek menghambat peradangan.

e. FK 506 (Takrolimus)
Bekerja dengan menghambat respon imunitas humoral dan selular. Menghambat sekresi IL-2R,
INF-r, TNF-a, GM-CSF . Mengurangi sintesis leukotrin pada sel mast serta pelepasan histamin
dan serotonin. Dapat juga diberikan secara topikal.

f. Ca++antagonis
Menghambat fungsi sel penyaji dari sel Langerhans. Jenisnya seperti nifedipin dan amilorid.

g. Derivat vitamin D3
Menghambat proliferasi sel T dan produksi sitokin IL-1, IL-2, IL-6 dan INF-r yang merupakan
mediator-mediator poten dari peradangan. Contohnya adalah kalsitriol.
h. SDZ ASM 981
Merupakan derivay askomisin dengan aktifitas anti inflamasi yang tinggi. Dapat juga diberikan
secara topical, pemberian secara oral lebih baik daripada siklosporin

You might also like