You are on page 1of 21

LI 1.

Memahami dan menjelaskan penyakit autoimun


1.1 Definisi
Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis
yang ditimbulkan oleh respons imun.
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2012)

1.2 Klasifikasi
Penyakit Autoimun Organ-Specific
Penyakit autoimun yang melibatkan kerusakan seluler terjadi ketia sel limfosit
atau antibodi berikatan dengan antigen membran sel, sehingga menyebabkan
lisis ataupun respon inflamasi pada organ terkait. Lama kelamaan, struktur sel
yang rusak itu diganti oleh jaringan penyambung (scar tissue), dan fungsi
organ nya menurun.
(Kindt, et. al., 2007)

Penyakit Autoimun Sistemik (non-organ specific)


Pada penyakit autoimun sistemik, respon imunnya diarahkan kepada banyak
antigen target, sehingga melibatkan banyak jaringan dan organ. Penyakit ini
disebabkan oleh kerusakan pada regulasi imun, sehingga menyebabkan
munculnya sel T dan sel B yang hiperaktif. Kerusakan jaringan terjadi di
banyak bagian tubuh. Kerusakan tersebut dapat disebabkan oleh cell-mediated
immune respone maupun direct cellular damage (seperti yang sudah
disebutkan pada penyakit autoimun organ-specific).
(Kindt, et. al., 2007)

1.3 Epidemiologi
-

1.4 Etiologi
Faktor Genetik
Fenomena autoimun sering terjadi dalam lingkup keluarga. Dalam artian,
hubungan darah terdekat (misalnya antara orangtua dengan anak), memiliki
insidens subklinik yang tinggi. Pada kasus Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
dua pasien bersaudara memiliki kemungkinan 20 kali lebih tinggi untuk mengidap

Putri handalasakti ayogo


1102012216
penyakit tersebut, jika dibandingkan dengan peluang keseluruhan populasi. Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa autoimunitas dipengaruhi oleh faktor
genetik.
Kelainan MHC, Terkait dengan Faktor Genetik
Pada beberapa penyakit autoimun, ditemukan kelainan Major Histocompatibility
Complex (MHC), yang ternyata terkait dengan genetik. Misalnya saja pada pasien
yang memiliki alel HLA-B27, maka kemungkinannya untuk terserang penyakit
autoimun ankylosing spondylitis adalah 20 kali lebih tinggi daripada yang tidak
memiliki alel tersebut. Hal yang menarik adalah, pada kasus penyakit tersebut,
90% penderitanya adalah laki-laki (tidak seperti penyakit autoimun lainnya).

Faktor Hormonal
Genotip XX dan XY tidak hanya menentukan kelamin, namun juga berbagai
macam efek dalam kehidupan. Salah satunya adalah kemungkinan untuk
menyebabkan penyakit autoimun, karena berdasarkan statistik, wanita lebih
banyak terserang daripada pria. Pada penyakit SLE, wanita memiliki
kemungkinan terserang 10 kali lebih tinggi daripada pria. Namun, angka tersebut
turun menjadi 2,5 kalinya ketika wanita telah menopause. Hal ini menunjukkan
bahwa penyakit autoimun SLE terkait dengan kadar estrog

Diet (Makanan)
Diet dikatakan dapat memengaruhi terjadinya penyakit autoimun, meskipun bukti
nyatanya (evidence) belum jelas. Minyak ikan yang mengandung omega-3
polyunsaturated fatty acid (PUFA) memiliki aktivitas antiinflamasi, dan menurut
studi tertentu, sangat bermanfaat pada pasien penderita Rheumatoid Arthritis.
Namun studi meta-analisis lain mengatakan bahwa diet tersebut dapat
meningkatkan terjadinya penyakit.

Obat-obatan
Banyak penyakit autoimun yang dilaporkan terkait dengan obat-obat tertentu, dan
salah satu yang paling jelas diketahui adalah drug-induced lupus. Procainamide
dan quinidine (untuk mengatasi arrhytmia) dan hydralazine (obat antihipertensi)
dikatakan dapat menyebabkan terjadinya SLE.
(Kindt, et. al., 2007)

Putri handalasakti ayogo


1102012216
1.5 Patofisiologigi
Ada beberapa patofisiologi terjadinya autoimun, diantaranya:
1.PelepasanAgyangterasing
Beberapa penyakit yang berhubungan dengan pelepasan Ag yang terasing,
dikarenakan adanya kerusakan sel yang di awali suatu faktor lingkungan misalnya
infeksi dan faktor lainnya seperti asap rokok sehingga menyebabkan penyakit
autoimun. Beberapa contoh diantaranya:
Merokok yang dapat menyebabkan Goodpastures syndrome
Pada keadaan normal, alveolar tidak terekspose untuk sistem imun. Adanya asap
rokok yang dapat merusak alveoli, menyebabkan kolagen yang terkespose.
Kolagen yang terekspose tadi akan membentuk anti kolagen antigen yang dapat
merusak alveoli dan jaringan ginjal.
Anti-sperm Ab yang diproduksi pada beberapa pria yang telah dilakukan
vasectomy Juga merupakan suatu proses autoimun.

2.Stimulasiimun
Mikroba dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan kostimulator, dan
ketika APC ini muncul sebagai selfantigensehingga SelfreactiveTcellsmenjadi
aktif melebihi toleransi yang ada, sehingga menyebabkan autoimunitas pada
jaringan manusia.

3.Molecularmimicry
Beberapa antigen mikroba mempunyai reaksi silang terhadap self antigen
(Molecular mimicry). Hal ini menyebabkan respon kekebalan yang dicetuskan
oleh mikroba yang dapat mengaktifkan sel T spesifik untuk selfantigen.

Putri handalasakti ayogo


1102012216
4.Faktorgenetic
Beberapa genetik dengan alel MHC spesifik sangat rentan terhadap terjadinya
proses autoimun. Diabetes Tipe 1 salah satu contoh proses autoimun yang terjadi
pada alel MHC spesifik. Berawal dari sel B yang mempunyai alel MHC spesifik
memproses sel antigen dengan antigen fragmen yang tampak pada MHC II.
Fragmen Dengan adanya presentasi antigen pada T sel akan menyebabkan B cell
antigen berikatan dengan T-cell receptor (TCR) dan hal ini akan menyebabkan
perangsangan signal pada T cell. Karena aktifasi T cell sehingga terjadinya
.
produksi sitokin inflamasi yang kemudian mengaktifasi makrofag

LI 2. Memahami dan menjelaskan SLE


2.1 Definisi
SLE merupakan kelainan inflamatori autoimun yang ditandai oleh antibodi
spesifik pada antigen nukleus.
(Papadakis, 2013)

2.2 Epidemiologi
Di Amerika yang merupakan negara yang sudah majupun terjadi lebih dari 16.000
kasus baru setiap tahunnya, menurut survei lebih banyak orang mendapat penyakit
lupus dibandingkan AIDS, serebral palsi, multiple sclerosis dan lain-lain. Lupus
mengenai 1 dari 185 orang Amerika dan tahun 1990 diperkirakan sekitar
1.400.000 sampai 2 juta penduduk AS menderita penyakit lupus (Zubairi, 2002).
Dalam suatu survei terindikasi bahwa penyakit lupus terdapat dalam 2 sampai 3
kasus lebih banyak pada ras Afrika, Asia, Hispanik dan Amerika asli. Beberapa
angka dari kawasan Asia yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran
penyakit ini ialah dari survei masal yang dilakukan di negara India dan Cina.
Survei yang dilakukan di India adalah 1 dari 25.000 penduduk, di Cina 70 dari
100.000 penduduk (Malaviya, 1989; Jiang, 1989). Di RS Sardjito Yogyakarta
insiden 10,1 per 10.000 perawatan dalam 4 tahun, sedangkan di RSU Dr. Pirngadi
Medan 1,42 per 10.000 perawatan selama 3 tahun (Purwanto, 1987; Tarigan,
1987). Akhir-akhir ini penyakit lupus cenderung meningkat jumlahnya dari
laporan-laporan yang terdahulu, khususnya di beberapa rumah sakit di DKI
Jakarta. Agar penderita lupus dengan mudah dapat dimonitor penyakitnya maka
dibentuklah Yayasan Lupus Indonesia (YLI) di Jakarta yang disusul
pembentukannya di Surabaya, Yogyakarta dan akan disusul kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Tercatat penderita lupus di DKI Jakarta pada Yayasan Lupus
Indonesia kurang lebih 1.700 orang. Jumlah inipun belum mencakup seluruh
penderita lupus yang ada di DKI Jakarta apalagi di luar Jakarta serta luar Jawa
(Yayasan Lupus Indonesia, 2002). Oleh beberapa ahli menyebutkan bahwa bangsa
Negro (kulit hitam), faktor herediter atau familier ada tendensi mempengaruhi

Putri handalasakti ayogo


1102012216
distribusi penyakit LES, sedangkan faktor ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan
geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit lupus
(Harry, 2002; Lupus, 2003).

Suku yang terbanyak menderita penyakit LES adalah: suku Jawa (33,7%), diikuti
suku Sunda (17,3%), Bangsa Cina 16,8%, suku Minang (9,9%) , Batak (7,9%),
Betawi (6,4%), Palembang (2,0%), Aceh dan Bugis (1,5%), Lampung (1,0%) serta
Ambon, Bali, Jambi dan Banjar masing-masing (0,5%). Laporan-laporan tentang
suku terbanyak di Indonesia yang sakit LES belum ada. Responden yang
terbanyak adalah suku Jawa dan Sunda, termasuk Cina, hal ini disebabkan
penyebaran jumlah penduduk ke- 3 suku tersebut memang tinggi di Indonesia,
dengan melihat persentasi penyebaran penyakit LES , maka penulis
berkesimpulan bahwa penyakit ini hampir merata di Indonesia. Responden
penyakit LES yang terbanyak menurut pekerjaan adalah : yang tidak bekerja lebih
banyak sakit LES (32,2%), pegawai swasta (30,2%), pelajar/mahasiswa (15,3%),
wiraswasta (12,0%), pegawai negeri sipil (8,4%) dan paling sedikit para
petani/buruh (1,9%). Sementara itu responden yang terbanyak sakit LES menurut
tingkat pendidikan adalah tamat akademi/perguruan tinggi (58,4%), diikuti
masing-masing sebagai berikut: tamat SLTA/Aliyah (30,1%), tamat
SLTP/Tsanawiyah (6,0%), tamat SD/Madrasah Ibtidayah (3,5%) dan paling
sedikit sakit LES adalah yang tidak pernah sekolah (1,5%). Sampai sekarang ini
belum ada laporan-laporan tentang distribusi penyakit LES menurut jenis
pekerjaan maupun tingkat pendidikan baik di negaranegara luar, apalagi di
Indonesia. Jenis pekerjaan, pendidikan dan faktor ekonomi tidak mempengaruhi
penyebaran peningkatan penyakit LES
(Philips,1991;Lupus,2003)

2.3 Etiologi
Insidens SLE dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain gender/jenis kelamin,
suku, dan adanya kelainan turunan. Sebanyak 85% penderita SLE adalah wanita,
dan diketahui bahwa hormon kelamin pada wanita memiliki andil yang besar.
Selain itu, insidens SLE juga terkait suku; pengidap SLE pada wanita kulit putih
adalah 1:1000, namun pada wanita kulit hitam, rasionya adalah 1:250. Hal yang
memengaruhi insidens SLE lainnya adalah kelainan turunan/bawaan. Apabila
seorang ibu menderita SLE, maka risiko anak perempuannya adalah 1:40, dan
anak laki-lakinya adalah 1:250. Genetik yang spesifik pada penyakit SLE ditandai
dengan tingginya haplotype HLA, terutama DR2 dan DR3, tanpa adanya alel
komplemen.
(Papadakis, 2013)

LES merupakan penyakit radang multisistem yang penyebabnya belum diketahui,


dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut, fulminan atau kronik dengan
remisi dan eksaserbasi yang disertai oleh terdapatnya berbagai macam antibodi.
Misalnya seorang penderita yang sering menderita penyakit infeksi saluran
pernafasan atas, dimana virus atau bakteri yang masuk kedalam sel akan
berintegrasi dengan genom sel yang akibatnya menimbulkan rangsangan terhadap
komponen-komponen inti sel misalnya DNA, nucleoprotein, RNA dan
sebagainya. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (Anti- nuclear
antibody). Dengan antigen spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang
beredar dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai

Putri handalasakti ayogo


1102012216
macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada tempat yang
bersangkutan. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan
substansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Hingga kini penyebabLupus eritematosus sistemik belum diketahui dengan
jelas. Namun diperkirakan berkaitan erat dengan beberapa faktor, antara lain
autoimun, kelainan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan.

Autoimun
Mekanisme primer Lupus eritematosus sistemik adalah autoimunitas, suatu
proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada
SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan
berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi
stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang
dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang
sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin.
Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan
penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. Pada
sebagian besar pasie Lupus eritematosus sistemik E, antinuklear antibodi (ANA)
adalah antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat.
Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang
memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang
hanya spesifik untuk pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan
sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun
besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan
substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
keluhan pada organ yang bersangkutan. Sekitar setengah dari pasien SLE
memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu
kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko
menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh
darah serta rendahnya jumlah hitung darah. Antibodi tersebut termasuk lupus
antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa
golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi.
Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga
dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa
trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan janin-
terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat
terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus sistemikE atau
gangguan autoimun lainnya.

Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki
manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu
menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita

Putri handalasakti ayogo


1102012216
penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki 1:25. Penelitian
terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang mengkode unsur- unsur
sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu, terutama HLA-DR2 dan
HLA- DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan C2) telah terbukti. Suatu
penelitian menemukan adanya kelainan pada 4 gen yang mengatur apoptosis,
suatu proses alami pengrusakan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa terdapat
beberapa kelainan gen pada pasien SLE yang mendorong dibentuknya kompleks
imun dan menyebabkan kerusakan ginjal.

Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada
seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah
virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-
Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus,
misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan
menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak
mempengaruhi ginjal. Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting
sebagai pemicu tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah
struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan
tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun. Drug-Induced
Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan
mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah
radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan
gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi
perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laboratorium.

Hormon
Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan flare
sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan
langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon
androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level
androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin
dapat merangsang respon imun.

2.4 Patogenesis dan patofisiologi


Patogenesis
Factor pemicu akan memicu sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi dan ekspansi sel B. Lalu akan muncul antibody terhadap antigen
nukleoplasma, meliputi DNA, nucleoprotein, dan lain-lain yang akan
membentuk kompleks imun. Kompleks imun dalam keadaan normal,
dalam sirkulasi diangkut oleh eritrosit ke hati dan limpa lalu
dimusnahkan oleh fagosit. Tetapi dalam SLE, akan terdapat gangguan
fungsi fagosit, yang akan menyebabkan kompleks imun sulit dimusnahkan
dan mengendap di jaringan. Lalu kompleks imun tersebut akan
mengalami reaksi hipersensitivitas tipe III.

Putri handalasakti ayogo


1102012216
Patofisiologis
Penderita SLE memproduksi autoantibodi yang targetnya meliputi banyak
antigen jaringan, misalnya DNA, histon, sel darah merah, trombosit, leukosit,
dan faktor pembekuan; interaksi antara auto-antibodi dengan antigen-antigen
tersebut dapat menimbulkan gejala klinik yang berbeda. Misalnya saja,
autoantibodi yang spesifik dengan sel darah merah dan trombosit, dapat
menyebabkan lysis yang dimediasi oleh komplemen, sehingga menyebabkan
hemolytic anemia dan thrombocytopenia. Ketika terjadi komplek imun antara
autoantibodi dengan antigen nukleus yang ada di sepanjang dinding pembuluh
darah, maka dapat terjadi hipersensitivitas tipe III. Komplek tersebut dapat
mengaktivasi sistem komplemen, sehingga komplek imun dirusak dan juga
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Hal inilah yang
menyebabkan vasculitis dan glomerulonephritis.
Aktivasi komplemen yang berlebihan pada penderita SLE berat menyebabkan
peningkatan kadar produk sampingan komplemen (C3a dan C5a) di dalam
serum. C5a dapat memicu peningkatan ekspresi complemen receptor tipe 3
(CR3) pada netrofil, yang mampu memfasilitasi agregasi netrofil dan
penempelan netrofil ke dinding pembuluh darah. Ketika netrofil menempel ke
pembuluh darah kecil, jumlah netrofil yang bersirkulasi dapat berkurang, dan
menyebabkan vasculitis.
(Kindt, et. al., 2007)

2.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinik yang ditunjukkan bersifat sistemik, yaitu demam, anorexia,
malaise, dan penurunan berat badan. Beberapa penderita mengalami lesi kulit;
namun malar rash/rona merah berbentuk kupu-kupu di pipi hanya terjadi pada
kurang dari setengah penderita SLE. Beberapa manifestasi pada kulit lainnya yaitu
discoid lupus, lesi pada ujung jari, periungual erythema, dan pendarahan seperti
tergores. Alopecia juga dilaporkan umum terjadi.
Manifestasi lainnya, misalnya terjadi pada persendian, terjadi pada kurang lebih
90% dari penderita SLE, dan merupakan manifestasi yang pertama kali muncul.
Pada mata, terlihat conjunctivitis, photo-phobia, kebutaan monokular, dan
pengelihatan yang rabun. Dapat dilihat juga bercak-bercak pada retina (cytoid
bodies), akibat dari degenerasi saraf karena oklusi pembuluh darah retina.
Pleurisy, effusi pleura, bronchopneumonia, dan pneumoitis juga dilaporkan sering
terjadi. Gejala sesak nafas dapat terjadi. Pendarahan alvolus jarang terjadi, namun
bersifat mengancam jiwa.
(Papadakis, 2013)

2.6 Diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis ditegakkan apabila supsek penderita SLE menunjukkan 4 dari 11 gejala
sebagaimana dijabarkan pada table.

Putri handalasakti ayogo


1102012216
(Papadakis, 2013)

Diagnosis Banding
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang
didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan
SLE mempunyai gejala-gejala yang menyerupai SLE, yaitu arthritis reumatika,
sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik

2.7 Komplikasi
Komplikasi SLE meliputi:
a. Hipertensi
b. Gangguan pertumbuhan pada anak
c. Gangguan paru-paru kronik

d. Abnormalitas mata
e. Kerusakan ginjal permanen
f. Gejala neuropsikiatri
g. Kerusakan muskuloskeletal, dan gangguan fungsi gonad

2.8 Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%

Penyebab utama kematian pada SLE adalah akibat :


Infeksi penyakit
Nefritis lupus
Konsekuensi gagal ginjal (termasuk terapinya)
Penyakit kardiovaskular
Lupus sistem saraf pusat

Putri handalasakti ayogo


1102012216
Trombosis arteri mempunyai prognosis buruk. Penyakit ginjalmerupakan
indikator prognosis yang paling buruk pada SLE, dikarenakan tuter antibody
pengikat DNA positif/meningkat, yang berkaitan dengan keterlibatan
ginjal,dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.

LI 3. Memahami dan menjelaskan pemeriksaan laboratorium


3.1 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
a. Sakit pada persendian (arthralgia)
b. Demam di atas 38C
c. Bengkak pada sendi (arthritis)
d. Penderita lemah, malaise, dan kelelahan
e. Ruam pada kulit
f. Gejala anemia
g. Sakit di dada jika menghirup nafas dalam
h. Ruam berbentuk kupu-kupu melintang pada pipi dan hidung
i. Photophobia
j. Jari terlihat putih/biru pucat saat dingin (Raynauds Phenomenon)
k. Sariawan pada rongga mulut dan tenggorokan
3.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada SLE yang paling utama adalah tes autoantibodi. Tes
antibodi antinukleus dilakukan dengan melakukan immunofluorescence. Tes
tersebut cukup sensitif namun tidak spesifik terhadap SLE; tes ini dapat
menghasilkan nilai positif tidak hanya pada penderita lupus, tapi juga pada
penderita rheumatoid arthritis, autoimmune thyroid disease, scleroderma, dan
Sjgren syndrome. Hasil negatif yang tidak benar (false-negative) dapat terjadi
pada pemeriksaan dengan ELISA. Pemeriksaan antibodi terhadap DNA untai
ganda dan terhadap Sm teruji spesifik SLE, namun tidak sensitif, karena positif
pada 60% (spesivisitas) dan 30% (sensitivitas) penderita.
(Papadakis, 2013)

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan antara lain:


a. Pemeriksaan darah lengkap untuk melihat jumlah leukosit, trombosit, limfosit,
dan kadar Hb serta LED.
b. Tes ANA (Antinuclear Antibody), yaitu tes deteksi antibodi anti-nukleus yang
memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesivisitas yang rendah.
c. Tes Anti dsDNA (double stranded DNA), spesifik untuk SLE dan umumnya
titer meningkat sebelum SLE kambuh
d. Tes antibodi anti-S (smith)
e. Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ri/anti-SS-a, anti La (antikoagulan
lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin). Titernya tidak terkait dengan
kambuhnya SLE.
f. Komplemen C3, C4, dan CH50
g. Tes anti ssDNA (single stranded). Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung
menderita nefritis.

Putri handalasakti ayogo


1102012216
LO.2.5.Memahami Dan Menjelaskan penatalaksanaan Lupus Eritematosus
Sistemik
Penyakit yang ringan (ruam, sakit kepala, demam, artritis, pleuritis,
perikarditis) hanya memerlukan sedikit pengobatan.

Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-
steroid.

Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim korti Untuk gejala kulit dan
artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine).

Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata).

Sebelum diadakan penatalaksanaan LES perlu diadakanya beberapa pertnyaan


untuk mendeteksi dini LES dengan mudah diketahui diantaranya:
1. Apakah pasien masuk criteria ARA atau tidak
2. Bila tidak, apakah pasien memenuhi criteria biopsi atau tidak.
Dengan panduan biopsi apakah masuk LES atau discoid lupus.
3. Apakah keluhan yang muncul bagian dari bagian dari penyakit
konektif lainnya atau tidak.
4. Setelah mengetahui LES, pastikan organ yang terkena dan derajat
sakitnya.
5. Adakah penyakit lain yang dapat terjadi bersamaan dengan LES. Bila
ada tentukan apakah primer atatu sekunder.
6. Upaya pengobatan ditujukan untuk menignkatkan untung-rugi dari
suatu regimen pengobatan.

Dari hal-hal tersebut diatas kita dapat mulai penatalaksanaan LES dengan
baik, Penatalaksanaan LES dibagi atas :
1. Penatalaksanaan umum
Kelelahan
Merokok
Cuaca
Stress dan trauma fisik
Diet
Sinar matahari
Kontrasepsi oral

Putri handalasakti ayogo


1102012216
2. Pengobatan farmakologis
1. Steroid sistemik
Yang penting pada penatlaksanaan ini adalah pertimbangan untik memilih
regimen peengobatan oleh karna pengobatan akan berlangsung lama, dengan efek
samping yang akan terjadi. Menurut Dubois, LES dibagi atas 2 klompok besar yaitu:
a. Kelompok ringan : panas, arthritis, perikarditis ringan, efusi pleura/perikard ringan,
kelelahan dan sakit kepala.
Panduan umum LES ringan:
Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid
Dosi disesuikan dengan derajat penyakitnya
Penambahan obat anti malaria jika terdapat skin rash dan lesi di mukosa
membrane
Jika pengobatan diatas mengalami kegagalan dapat ditambah prednisone
2,5 mg-5mg/hari, dosis dapat dinaikan 20% secara bertahap tiap 1-2
minggu,sesuai kebutuhan.

b. Klompok berat : efusi pleura dan perikard massif, penyakit ginjal, anemia
hemolitik, trombositopenia, lupus pembuluh darah akibat bahan yang terkandung
pada rokok
Panduan umum LES berat:
Pemberian steroid sistemik
Obat anti inflamasi non steroid dan anti malaria tidak diberikan.
Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelaianan
organ sasaran yang

Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi


ke masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan
berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan
junk food atau makanan mengandung tinggi sodium untuk menghindari kenaikan
berat badan berlebih.
Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada
anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.
Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi meningkat
pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis dihindari dan hanya
diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa patokan untuk
penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ;

Putri handalasakti ayogo


1102012216
diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi bakterial
sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit >10.000)
harus dianggap sebagai gejala infeksi,
gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai
infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan
setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.
Lupus diskoid
Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim
luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan
hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)
Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan
ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.
Arthritis lupus
Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk
keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor
antidepresan (amitriptilin).
Miositis lupus
Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison
dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai
normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun sampai mencapai dosis
efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping
pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih
tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg), metrotreksat atau azathioprine.

Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1
adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.

Putri handalasakti ayogo


1102012216
Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN, khususnya bila ada lesi focal necrotizing.
Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena
ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.
Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk DPGN
maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah terbukti
memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN. Prednison
dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila kadar
komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off secara
hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan setiap
bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar lekositnya. Dosis
siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung
pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-4.000/ml).
Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah
(1). monoterapi dengan kortikosteroid.
(2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A
, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil. Proteinuria sering
bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada Lupus nefritis kelas V
tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
Gangguan hematologis
Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol dan
splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang dipertimbangkan adalah
kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan splenektomi
Pneumonitis interstitialis lupus
Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting
yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid
intravena.
Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES

1.Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat (maksimal


400 mg/hari). Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang
(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-

Putri handalasakti ayogo


1102012216
organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi
membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat DNA,
mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin dan
leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor necrosing factor
(TNF- ).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan


kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama. Jika
pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% selama
beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan
dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria dosis
rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3 tahun
penghentian obat (Herfindal et al., 2000).

Obat malaria yang sering digunakan adalah :

Klorokuin

Klorokuin mempunyai indeks terapetik yang sempit sehingga tidak dianjurkan


pemberian secara parenteral untuk anak-anak. Dosis yang digunakan 150 mg (250
mg klorokuin fosfat) per hari. Efek samping yang terjadi meliputi ocular toksisitas
(keratopati dan retinopati), saluran cerna, SSP, kardiovaskular, dll. Sebaiknya
diberikan bersama dengan makanan karena bioavailabilitasnya bagus (absorpsi
meningkat). Secara luas didistribusikan di seluruh tubuh, mengikat sel-sel yang
mengandung melanin yang terdapat dalam kulit dan mata, 50% 65% terikat dengan
protein plasma. Diekskresi secara lambat di ginjal dan yang tidak terabsorpsi
diekskresi dalam feses (McEvoy, 2002).

Hidroksiklorokuin

Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek
samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi.
Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).

Putri handalasakti ayogo


1102012216
2.Kortiko-steroid : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis alternate
yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison dosis rendah
harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama methylprednisolone dosis tinggi
intermitten (30 mg/kg/dosis, maksimum mg) per minggu.

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik
kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau
intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya
inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari
makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut
dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi
interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002).
Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi,
imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang
abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE
umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse
therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek
samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah
metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).
Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan


perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker yang
menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen) memburuk.
Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian glukokortikoid. Kadar
komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1 sampai 3

Putri handalasakti ayogo


1102012216
minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5 sampai 19
hari.

Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu


paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day
therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya didasarkan
pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat. Setelah
penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya diubah menjadi
satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2 minggu berikutnya
maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan
untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan
melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau kurang dan penggantian
menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi
kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal
(HPA).

Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam,


atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu
dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan
organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu
dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi
lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus


atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan kadar
glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat mensupresi sistem
imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang merupakan
salah satu penyebab kematian pada pasien SLE. Osteoporosis juga terjadi pada
pasien yang menerima kortikosteroid karena kortikosteroid dapat menyebabkan
penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium dalam urin sehingga
kalsium diambil dari tulang dan tulang kehilangan kalsium, oleh karena itu pada
pasien SLE terapi kortikosteroid sering dikombinasikan dengan suplemen kalsium
dan vitamin D (Rahman, 2001).

Putri handalasakti ayogo


1102012216
3.Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3
minggu. maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan
dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit
dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine 1-3 mg/kg/hari PO 4 kali sehari.
4.Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)
Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari
Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari
Diclofenac
< 12 tahun : tak dianjurkan
> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk


salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek
antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan
menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX
inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat.
COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk
interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan
enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin
untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1
terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus
collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID
adalahperdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan perdarahan
menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap
efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada
pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi
NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping
maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan
lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek

Putri handalasakti ayogo


1102012216
samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila terapi NSAID
gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau antimalaria
tergantung dari manifestasi yang muncul (Herfindal et al., 2000).

Efek antiinflamasi dan analgesik aspirin dapat digunakan untuk pengobatan


demam, artritis, pleuritis, dan perikarditis. Dosis yang digunakan adalah 1,5 g
sehari. Selain itu dosis rendah aspirin (6080 mg sehari selama kehamilan minggu
ke-1326) yang dikombinasikan dengan heparin dapat digunakan pada pasien SLE
yang mengalami kehamilan dengan sindrom antifosfolipid antibodi melalui
hambatan pembentukan tromboksan-A2 Pemberian aspirin dapat dilakukan
bersama dengan makanan, air dalam jumlah besar, atau susu untuk mengurangi
efek samping pada saluran cerna. Aspirin diabsorpsi di dalam saluran cerna sebesar
80-100% dari dosis oral. Di dalam tubuh, aspirin mengalami hidrolisis menjadi
metabolitnya yaitu salisilat. Obat ini didistribusikan secara cepat dan luas ke dalam
jaringan dan cairan tubuh dan mempunyai ikatan yang lemah dengan protein
plasma. t1/2 aspirin 15 20 menit. Apirin diekskresi di dalam urin dalam bentuk
metabolit salisilat, hanya 1% dari dosis oral yang diekskresikan sebagai aspirin
tidak terhidrolisis melalui urin (McEvoy,2002).

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D


Kalsium karbonat
< 6 bulan : 360 mg/hari
6-12 bulan : 540 mg/hari
1-10 bulan : 800 mg/hari
11-18 bulan : 1200 mg/hari
Calcifediol
< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu
> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu
6. Anti-hipertensi
Nifedipin 0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang tiap
4-8 jam.
Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan bila
perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari

Putri handalasakti ayogo


1102012216
Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan bertahap
dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

LI 4. Memahami dan menjelaskan padangan Islam dalam menghadapi penyakit


A. SABAR
a) Etimologi (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff (menahan), Allah berfirman:

Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi
dan senja hari. (Al-Kahfi: 28)
b) Istilah. Definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah
c) Al-Baqarah ayat 152-157 yang artinya: Dan sungguh akan kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-
buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar
d) Macam macam sabar
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah
2. Sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat terhadap Allah
3. Sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.

B. IKHLAS
Menurut bahasa, ikhlas adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-
hal yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas
namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang
mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau
arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.

Ayat ayatal-quran tentang ikhlas :


a. "Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran)
dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)."
(QS. Az-Zumar: 2-3).

b. "Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan


memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama." (QS. Az-Zumar: 2-3).

C. RIDHO
berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari
Allah.

Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa


kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang
digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi
hamba-Nya.
Macam macam ridho
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam dan

Putri handalasakti ayogo


1102012216
segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah mutlak
dilaksanakan dan seluruh larangan- Nya haruslah dijauhkan tanpa ada perasaan
bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk kepentingan kita
sebagai umat-Nya.

2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama


mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan namun
jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang hamba.
Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa saja tidak rela
terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar agar tidak menyalahi
syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang Maha Pencipta adalah hal-hal
yang sangat diharamkan oleh syariat

3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan.
Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan
kemungkinan dimuka bumi.

Ayat Al-Quran tentang ridho:


1. Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam. (QS Ali Imran ayat 19)

2. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wasallam itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)

Daftar pustaka
Baratawidjaja, K. G., & Rengganis, I. (2012). Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. (Original work published 10)

Kindt, T. J., Goldsby, R. A., Osborne, B. A., & Kuby, J. (2007). Kuby immunology
(6th ed.). New York: W.H. Freeman.

Papadakis, M. A. (2013). Current medical diagnosis & treatment 2013 (52nd ed.).
New York: McGraw-Hill Medical.

Subair, A. (2013). Menghindari Penegakan Nahi karena Khawatir Menimbulkan


Mudharat yang Lebih Besar. Website:
http://arrahmahzone.blogspot.com/2013/05/menghindari-penegakan- nahi-
karena.html, retrived: 21 May 2013.

http://www.healthline.com/health/systemic-lupus-erythematosus

Putri handalasakti ayogo


1102012216

You might also like