Professional Documents
Culture Documents
1.2 Klasifikasi
Penyakit Autoimun Organ-Specific
Penyakit autoimun yang melibatkan kerusakan seluler terjadi ketia sel limfosit
atau antibodi berikatan dengan antigen membran sel, sehingga menyebabkan
lisis ataupun respon inflamasi pada organ terkait. Lama kelamaan, struktur sel
yang rusak itu diganti oleh jaringan penyambung (scar tissue), dan fungsi
organ nya menurun.
(Kindt, et. al., 2007)
1.3 Epidemiologi
-
1.4 Etiologi
Faktor Genetik
Fenomena autoimun sering terjadi dalam lingkup keluarga. Dalam artian,
hubungan darah terdekat (misalnya antara orangtua dengan anak), memiliki
insidens subklinik yang tinggi. Pada kasus Systemic Lupus Erythematosus (SLE),
dua pasien bersaudara memiliki kemungkinan 20 kali lebih tinggi untuk mengidap
Faktor Hormonal
Genotip XX dan XY tidak hanya menentukan kelamin, namun juga berbagai
macam efek dalam kehidupan. Salah satunya adalah kemungkinan untuk
menyebabkan penyakit autoimun, karena berdasarkan statistik, wanita lebih
banyak terserang daripada pria. Pada penyakit SLE, wanita memiliki
kemungkinan terserang 10 kali lebih tinggi daripada pria. Namun, angka tersebut
turun menjadi 2,5 kalinya ketika wanita telah menopause. Hal ini menunjukkan
bahwa penyakit autoimun SLE terkait dengan kadar estrog
Diet (Makanan)
Diet dikatakan dapat memengaruhi terjadinya penyakit autoimun, meskipun bukti
nyatanya (evidence) belum jelas. Minyak ikan yang mengandung omega-3
polyunsaturated fatty acid (PUFA) memiliki aktivitas antiinflamasi, dan menurut
studi tertentu, sangat bermanfaat pada pasien penderita Rheumatoid Arthritis.
Namun studi meta-analisis lain mengatakan bahwa diet tersebut dapat
meningkatkan terjadinya penyakit.
Obat-obatan
Banyak penyakit autoimun yang dilaporkan terkait dengan obat-obat tertentu, dan
salah satu yang paling jelas diketahui adalah drug-induced lupus. Procainamide
dan quinidine (untuk mengatasi arrhytmia) dan hydralazine (obat antihipertensi)
dikatakan dapat menyebabkan terjadinya SLE.
(Kindt, et. al., 2007)
2.Stimulasiimun
Mikroba dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan kostimulator, dan
ketika APC ini muncul sebagai selfantigensehingga SelfreactiveTcellsmenjadi
aktif melebihi toleransi yang ada, sehingga menyebabkan autoimunitas pada
jaringan manusia.
3.Molecularmimicry
Beberapa antigen mikroba mempunyai reaksi silang terhadap self antigen
(Molecular mimicry). Hal ini menyebabkan respon kekebalan yang dicetuskan
oleh mikroba yang dapat mengaktifkan sel T spesifik untuk selfantigen.
2.2 Epidemiologi
Di Amerika yang merupakan negara yang sudah majupun terjadi lebih dari 16.000
kasus baru setiap tahunnya, menurut survei lebih banyak orang mendapat penyakit
lupus dibandingkan AIDS, serebral palsi, multiple sclerosis dan lain-lain. Lupus
mengenai 1 dari 185 orang Amerika dan tahun 1990 diperkirakan sekitar
1.400.000 sampai 2 juta penduduk AS menderita penyakit lupus (Zubairi, 2002).
Dalam suatu survei terindikasi bahwa penyakit lupus terdapat dalam 2 sampai 3
kasus lebih banyak pada ras Afrika, Asia, Hispanik dan Amerika asli. Beberapa
angka dari kawasan Asia yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran
penyakit ini ialah dari survei masal yang dilakukan di negara India dan Cina.
Survei yang dilakukan di India adalah 1 dari 25.000 penduduk, di Cina 70 dari
100.000 penduduk (Malaviya, 1989; Jiang, 1989). Di RS Sardjito Yogyakarta
insiden 10,1 per 10.000 perawatan dalam 4 tahun, sedangkan di RSU Dr. Pirngadi
Medan 1,42 per 10.000 perawatan selama 3 tahun (Purwanto, 1987; Tarigan,
1987). Akhir-akhir ini penyakit lupus cenderung meningkat jumlahnya dari
laporan-laporan yang terdahulu, khususnya di beberapa rumah sakit di DKI
Jakarta. Agar penderita lupus dengan mudah dapat dimonitor penyakitnya maka
dibentuklah Yayasan Lupus Indonesia (YLI) di Jakarta yang disusul
pembentukannya di Surabaya, Yogyakarta dan akan disusul kota-kota besar
lainnya di Indonesia. Tercatat penderita lupus di DKI Jakarta pada Yayasan Lupus
Indonesia kurang lebih 1.700 orang. Jumlah inipun belum mencakup seluruh
penderita lupus yang ada di DKI Jakarta apalagi di luar Jakarta serta luar Jawa
(Yayasan Lupus Indonesia, 2002). Oleh beberapa ahli menyebutkan bahwa bangsa
Negro (kulit hitam), faktor herediter atau familier ada tendensi mempengaruhi
Suku yang terbanyak menderita penyakit LES adalah: suku Jawa (33,7%), diikuti
suku Sunda (17,3%), Bangsa Cina 16,8%, suku Minang (9,9%) , Batak (7,9%),
Betawi (6,4%), Palembang (2,0%), Aceh dan Bugis (1,5%), Lampung (1,0%) serta
Ambon, Bali, Jambi dan Banjar masing-masing (0,5%). Laporan-laporan tentang
suku terbanyak di Indonesia yang sakit LES belum ada. Responden yang
terbanyak adalah suku Jawa dan Sunda, termasuk Cina, hal ini disebabkan
penyebaran jumlah penduduk ke- 3 suku tersebut memang tinggi di Indonesia,
dengan melihat persentasi penyebaran penyakit LES , maka penulis
berkesimpulan bahwa penyakit ini hampir merata di Indonesia. Responden
penyakit LES yang terbanyak menurut pekerjaan adalah : yang tidak bekerja lebih
banyak sakit LES (32,2%), pegawai swasta (30,2%), pelajar/mahasiswa (15,3%),
wiraswasta (12,0%), pegawai negeri sipil (8,4%) dan paling sedikit para
petani/buruh (1,9%). Sementara itu responden yang terbanyak sakit LES menurut
tingkat pendidikan adalah tamat akademi/perguruan tinggi (58,4%), diikuti
masing-masing sebagai berikut: tamat SLTA/Aliyah (30,1%), tamat
SLTP/Tsanawiyah (6,0%), tamat SD/Madrasah Ibtidayah (3,5%) dan paling
sedikit sakit LES adalah yang tidak pernah sekolah (1,5%). Sampai sekarang ini
belum ada laporan-laporan tentang distribusi penyakit LES menurut jenis
pekerjaan maupun tingkat pendidikan baik di negaranegara luar, apalagi di
Indonesia. Jenis pekerjaan, pendidikan dan faktor ekonomi tidak mempengaruhi
penyebaran peningkatan penyakit LES
(Philips,1991;Lupus,2003)
2.3 Etiologi
Insidens SLE dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain gender/jenis kelamin,
suku, dan adanya kelainan turunan. Sebanyak 85% penderita SLE adalah wanita,
dan diketahui bahwa hormon kelamin pada wanita memiliki andil yang besar.
Selain itu, insidens SLE juga terkait suku; pengidap SLE pada wanita kulit putih
adalah 1:1000, namun pada wanita kulit hitam, rasionya adalah 1:250. Hal yang
memengaruhi insidens SLE lainnya adalah kelainan turunan/bawaan. Apabila
seorang ibu menderita SLE, maka risiko anak perempuannya adalah 1:40, dan
anak laki-lakinya adalah 1:250. Genetik yang spesifik pada penyakit SLE ditandai
dengan tingginya haplotype HLA, terutama DR2 dan DR3, tanpa adanya alel
komplemen.
(Papadakis, 2013)
Autoimun
Mekanisme primer Lupus eritematosus sistemik adalah autoimunitas, suatu
proses kompleks dimana sistem imun pasien menyerang selnya sendiri. Pada
SLE, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri sebagai antigen asing dan
berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara kejadian tersebut terjadi
stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi, suatu molekul yang
dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi tersebut menyerang
sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B menghasilkan sitokin.
Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6, memegang peranan
penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh sel B. Pada
sebagian besar pasie Lupus eritematosus sistemik E, antinuklear antibodi (ANA)
adalah antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat.
Terdapat dua tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang
memegang peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang
hanya spesifik untuk pasien SLE. Dengan antigen yang spesifik, ANA
membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan
sistem imun pada SLE terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun
besar yang larut, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan
substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
keluhan pada organ yang bersangkutan. Sekitar setengah dari pasien SLE
memiliki antibodi antifosfolipid. Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu
kumpulan lemak pada membran sel. Antifosfolipid meningkatkan resiko
menggumpalnya darah, dan mungkin berperan dalam penyempitan pembuluh
darah serta rendahnya jumlah hitung darah. Antibodi tersebut termasuk lupus
antikoagulan (LAC) dan antibodi antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa
golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri sendiri-sendiri ataupun kombinasi.
Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal, namun mereka juga
dihubungkan dengan sindrom antibodi antifosfolipid, dengan gambaran berupa
trombosis arteri dan/atau vena berulang, trombositopenia, kehilangan janin-
terutama kelahiran mati, pada pertengahan kedua kehamilan. Sindrom ini dapat
terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus sistemikE atau
gangguan autoimun lainnya.
Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan ekspresi
penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang juga
menderita SLE. Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien memiliki
manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%. Jika seorang ibu
menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya untuk menderita
Faktor lingkungan
Satu atau lebih faktor eksternal dapat memicu terjadinya respon autoimun pada
seseorang dengan kerentanan genetik. Pemicu SLE termasuk, flu, kelelahan,
stres, kontrasepsi oral, bahan kimia, sinar matahari dan beberapa obat-obatan.
Virus. Pemicu yang paling sering menyebabkan gangguan pada sel T adalah
virus. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara virus Epstein-
Barr, cytomegalovirus dan parvovirus-B19 dengan SLE. Penelitian lain
menyebutkan adanya perbedaan tipe khusus SLE bagian tiap-tiap virus,
misalnya cytomegalovirus yang mempengaruhi pembuluh darah dan
menyebabkan fenomena Raynaud (kelainan darah), tapi tidak banyak
mempengaruhi ginjal. Sinar matahari. Sinar ultraviolet (UV) sangat penting
sebagai pemicu tejadinya SLE. Ketika mengenai kulit, UV dapat mengubah
struktur DNA dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan
tersebut sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun. Drug-Induced
Lupus. Terjadi setelah pasien menggunakan obat-obatan tertentu dan
mempunyai gejala yang sama dengan SLE. Karakteristik sindrom ini adalah
radang pleuroperikardial, demam, ruam dan artritis. Jarang terjadi nefritis dan
gangguan SSP. Jika obat-obatan tersebut dihentikan, maka dapat terjadi
perbaikan manifestasi klinik dan dan hasil laboratorium.
Hormon
Secara umum estrogen meningkatkan produksi antibodi dan menimbulkan flare
sementara testosteron mengurangi produksi antibodi. Sitokin berhubungan
langsung dengan hormon sex. Wanita dengan SLE biasanya memiliki hormon
androgen yang rendah, dan beberapa pria yang menderita SLE memiliki level
androgen yang abnormal. Penelitian lain menyebutkan bahwa hormon prolaktin
dapat merangsang respon imun.
Diagnosis Banding
Dengan adanya gejala di berbagai organ, maka penyakit-penyakit yang
didiagnosis banding banyak sekali. Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan
SLE mempunyai gejala-gejala yang menyerupai SLE, yaitu arthritis reumatika,
sklerosis sistemik, dermatomiositis, dan purpura trombositopenik
2.7 Komplikasi
Komplikasi SLE meliputi:
a. Hipertensi
b. Gangguan pertumbuhan pada anak
c. Gangguan paru-paru kronik
d. Abnormalitas mata
e. Kerusakan ginjal permanen
f. Gejala neuropsikiatri
g. Kerusakan muskuloskeletal, dan gangguan fungsi gonad
2.8 Prognosis
Angka harapan hidup :
5 tahun : 85-88%
10 tahun : 76-87%
Untuk mengatasi artritis dan pleurisi diberikan obat anti peradangan non-
steroid.
Untuk mengatasi ruam kulit digunakan krim korti Untuk gejala kulit dan
artritis kadang digunakan obat anti malaria (hydroxycloroquine).
Jika penderita sangat sensitif terhadap sinar matahari, sebaiknya pada saat
bepergian menggunakan tabir surya, pakaian panjang ataupun kacamata).
Dari hal-hal tersebut diatas kita dapat mulai penatalaksanaan LES dengan
baik, Penatalaksanaan LES dibagi atas :
1. Penatalaksanaan umum
Kelelahan
Merokok
Cuaca
Stress dan trauma fisik
Diet
Sinar matahari
Kontrasepsi oral
b. Klompok berat : efusi pleura dan perikard massif, penyakit ginjal, anemia
hemolitik, trombositopenia, lupus pembuluh darah akibat bahan yang terkandung
pada rokok
Panduan umum LES berat:
Pemberian steroid sistemik
Obat anti inflamasi non steroid dan anti malaria tidak diberikan.
Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelaianan
organ sasaran yang
Fenomena Raynaud
Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin; alfa 1
adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat
Lupus nefritis
Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO
Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan
terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena
menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.
Klorokuin
Hidroksiklorokuin
Dosis yang digunakan 155 310 mg (200 400 mg hidroksiklorokuin sulfat). Efek
samping yang terjadi sama dengan klorokuin tetapi kardiomiopati jarang terjadi.
Didistribusikan ke dalam air susu ibu (ASI) (McEvoy, 2002).
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit baik
kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid topikal atau
intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai antiinflamasi
melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya
inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan
mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari
makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut
dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme, dan memproduksi
interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan aktivator plasminogen (Katzung, 2002).
Tujuan pemberian kortikosteroid pada SLE adalah untuk antiinflamasi,
imunomodulator, menghilangkan gejala, memperbaiki parameter laboratorium yang
abnormal, dan memperbaiki manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE
umumnya menerima kortikosteroid dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse
therapy) untuk mempercepat respon terhadap terapi dan menurunkan potensi efek
samping yang timbul pada pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah
metil prednisolon dalam bentuk intravena (10 30 mg/kg BB lebih dari 30 menit).
Terapi ini diikuti dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap
efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi pada
pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi efikasi
NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek samping
maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu. Penggunaan
lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah meningkatkan efek
B. IKHLAS
Menurut bahasa, ikhlas adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-
hal yang bisa mencampurinya.
Definisi ikhlas menurut istilah syari (secara terminologi)
Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas
namun hakikat dari definisi-definisi mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang
mendefenisikan bahwa ikhlas adalah menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala
beribadah, yaitu jika engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau
arahkan kepada Allah bukan kepada manusia.
C. RIDHO
berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari
Allah.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas qodha
Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk dihilangkan.
Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan kemaksiatan dan
kemungkinan dimuka bumi.
2. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu alaih wasallam itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab ayat 21)
Daftar pustaka
Baratawidjaja, K. G., & Rengganis, I. (2012). Imunologi Dasar. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. (Original work published 10)
Kindt, T. J., Goldsby, R. A., Osborne, B. A., & Kuby, J. (2007). Kuby immunology
(6th ed.). New York: W.H. Freeman.
Papadakis, M. A. (2013). Current medical diagnosis & treatment 2013 (52nd ed.).
New York: McGraw-Hill Medical.
http://www.healthline.com/health/systemic-lupus-erythematosus