You are on page 1of 15

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

JOURNAL READING

Review Article
Mechanisms of Disease Atopic Dermatitis

Mekanisme Penyakit Dermatitis Atopi

Thomas Bieber, M.D., Ph.D.


Department of Dermatology and Allergy, University of Bonn, Bonn, Germany

D
Tahun Publikasi : 2008

ermatitis Atopi, atau ekzema adalah penyakit kulit yang


umum terjadi yang biasanya dikaitkan dengan penyakit atopi
lain seperti rinitis alergi dan asma. Manifestasi klinis
dermatitis atopi bervariasi berdasarkan usia, yang
dikelompokkan menjadi 3 stage. Pada infant, lesi ekzema
pertama muncul biasanya muncul di pipi dan kulit kepala. Luka garukan yang
biasanya muncul beberapa minggu kemudian menyebabkan krusta erosi. Selama
masa anak-anak, lesi terjadi di fleksor, tengkuk, dan pada dorsal lengan dan
badan. Sedangkan, pada remaja dan orang dewasa, plak liken terjadi di fleksor,
kepala dan leher. Pada setiap stage, gatal yang berlangsung sepanjang hari dan
memburuk pada malam hari menyebabkan kurangnya waktu tidur dan
mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Kriteria utama dermatitis atopi adalah bentuk inflamasi kulit yang
kambuh-kambuhan dan kronik, gangguan fungsi sawar epidermis yang lebih
parah pada kulit kering, dan sensitisasi yang dimediasi Ig-E terhadap makanan
dan alergen lingkungan. Gambaran histologis pada plak ekzema akut adalah
edema interselular epidermis (spongiosis) dan sebukan infiltrat sel limfosit,
monosit makrofag, sel dendritik dan sedikit eosinofil pada dermis. Pada liken dan
plak ekskoriasi subakut dan kronik, epidermis menebal dan lapisan teratas
hipertrofi.
Dua hipotesis tentang mekanisme dermatitis atopi telah dikemukan. Satu
pendapat menyatakan bahwa defek primer terletak pada gangguan imunologis
yang menyebabkan sensitisasi yang dimediasi Ig-E sehingga terjadi disfungsi
sawar epitel karena inflamasi lokal. Pendapat lain menyatakan kelainan intrinsik
pada sel epitel yang menyebabkan disfungsi sawar epitel, sementara faktor
imunologis dianggap sebagai epifenomenon.

Atopic Dermatitis Page 1


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Dalam review ini, saya menyusun berbagai hipotesis menjadi gambaran


yang utuh, pertanyaan hipotesis yang ada, dan mengintegrasikan hasil penelitian
terbaru yang berimplikasi pada manajemen klinis dermatitis atopik.

Epidemiologi Dermatitis Atopi


Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di
negara-negara industri selama tiga dekade terakhir; terjadi 15 sampai 30% pada
anak-anak dan 2 sampai 10% pada orang dewasa. Penyakit ini sering mendahului
dari diatesis atopik lain seperti asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis
atopik sering dimulai pada awal masa bayi (disebut dermatitis atopik awitan dini).
Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopi dimulai dalam 6 bulan pertama
kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5
tahun. Lebih dari 50% dari anak-anak yang terkena dampak dalam 2 tahun
pertama kehidupan tidak memiliki tanda-tanda sensitisasi IgE, tetapi mereka
menjadi peka atau tersensitisasi terhadap dermatitis atopi. Hingga 70% dari anak-
anak ini telah remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat mulai
pada orang dewasa (disebut dermatitis atopik akhir-onset), dan pada sejumlah
besar pasien ini tidak ada tanda-tanda IgE-mediated sensitization. Prevalensi
dermatitis atopi yang lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah
perkotaan menunjukkan kaitan dengan "Hipotesis Higiene" yang mendalilkan
bahwa tidak terpaparnya anak usia dini terhadap agen infeksius meningkatkan
kerentanan terhadap penyakit alergi. Namun konsep ini, baru-baru ini masih
dipertanyakan mengenai hubungannya dengan dermatitis atopik.

Atopic Dermatitis Page 2


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Genetika Dermatitis Atopi


Tingkat kesesuaian untuk dermatitis atopik lebih tinggi antara kembar
monozigot (77%) dibandingkan kembar dizigot (15%). Asma alergi atau rinitis
alergi pada orangtua tampaknya menjadi faktor minor dalam pengembangan
dermatitis atopik pada keturunannya, hal ini menunjukkan bahwa dermatitis atopi
khusus terjadi spesifik pada gen.
Scan genomewide telah menyoroti beberapa lokus pada kromosom yang
mungkin terkait dengan kejadian dermatitis atopi yaitu, 3q21,11 1q21, 16q,
17q25, 20p, 12 dan 3p26. Wilayah linkage tertinggi diidentifikasi pada kromosom
1q21, yang membawa gen related-epithelium keluarga yang disebut komplek
diferensiasi epidermal. Sebagian besar daerah genetik yang terkait dengan
dermatitis atopi berhubungan dengan lokus yang terkait dengan psoriasis,

Atopic Dermatitis Page 3


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

meskipun kedua penyakit jarang terkait. Juga, asosiasi genom yang diungkapkan
oleh scan ini tidak tumpan tindih dengan varian alel yang sering terjadi di asma
alergi; temuan ini konsisten dengan data epidemiologi.
Beberapa gen kandidat telah diidentifikasi pada dermatitis atopi, terutama
pada kromosom 5q31-33. Semuanya mengkode sitokin yang terlibat dalam
regulasi sintesis IgE: interleukin-4, interleukin-5, interleukin-12, interleukin-13,
dan granulosit-makrofag colony-stimulating factor (GM-CSF). Sitokin ini dan
sitokin lainnya diproduksi oleh dua jenis utama limfosit T. Jenis sel T helper 2
(Th2) memproduksi interleukin-4 serta interleukin-5 dan interleukin-13, dua
sitokin yang meningkatkan regulasi produksi IgE. Jenis sel T helper 1(Th1)
memproduksi terutama interleukin-12 dan interferon-, yang menekan produksi
IgE dan menstimulasi produksi antibodi IgG (Gambar. 2A). Mutasi yang
mempengaruhi fungsi dari daerah promotor lymphocyte-attracting chemokin
RANTES (regulated on activation, normal T cell expressed and secreted) (17q11)
dan gain-of-function polimorfisms in the subunit of interleukin-4 receptor
(16q12) telah diidentifikasi pada pasien dengan dermatitis atopik. Polimorfisme
gen pengkodean sitokin interleukin-18, yang berkontribusi untuk regulasi
pergeseran Th1 dan Th2 terhadap Th1-mediated responses (disebut Th1
polarisasi), atau polimorfisme gen yang mengkode reseptor dari sistem imun
bawaan mungkin berkontribusi terhadap ketidakseimbangan respon imun Th1 dan
Th2 pada dermatitis atopik. Pada orang dengan dermatitis atopik, secara genetis
menunjukkan dominasi sitokin Th2 mempengaruhi pematangan sel B dan
penyusunan kembali genom di sel-sel yang mengubah IgM menjadi IgE.
Karena kulit kering dan bersisik adalah gejala dari dermatitis atopik dan
ichthyosis vulgaris, penyakit keratinisasi dominan autosomal paling umum, kedua
penyakit mungkin tumpang tindih secara genetik. Setelah gen filaggrin (FLG)
pada kromosom 1q21.3, yang mengkode protein kunci dalam epidermal
diferensiasi diidentifikasi sebagai gen yang terlibat di ichthyosis vulgaris,
beberapa mutasi gen hilang fungsi diidentifikasi di pasien Eropa dengan
dermatitis atopik, dan lainnya, mutasi FLG khas pada pasien Jepang pun telah
dilaporkan. Mutasi FLG terjadi terutama pada dermatitis atopi awitan dini dan
menunjukkan kecenderungan ke arah asma. Sejak mutasi FLG diidentifikasi pada
hanya 30% pasien Eropa dengan dermatitis atopik, varian genetik struktur

Atopic Dermatitis Page 4


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

epidermal lainnya, seperti strataum korneum enzim tryptic atau kolagen epidermis
baru, mungkin penting.
Dermatitis atopi adalah penyakit genetik yang kompleks yang timbul dari
interaksi gen-gen dan gen-lingkungan. Penyakit ini muncul pada 2 kelompok gen
mayor: gen yang mengkode epidermis atau protein struktural epitel dan gen yang
mengkode elemen mayor dari sistem imun.

Sistem Sawar Kulit


a. Sawar Fisik
Sebuah kompartemen epidermal utuh merupakan prasyarat untuk
kulit berfungsi sebagai sawar fisik dan kimia. Sawar itu sendiri adalah
stratum korneum, lapisan atas epidermis yang memiliki strutur seperti batu
bata mortar. Suatu perubahan pada sawar menyebabkan meningkatnya
kehilangan air transepidermal yang merupakan ciri dari dermatitis atopik.
Lipid interseluler dari lapisan epidermal disediakan oleh badan lamelar,
yang diproduksi oleh eksositosis dari keratinosit atas. Perubahan ceramide
kulit yang sekunder untuk variasi pH stratum korneum dapat mengganggu
pematangan badan lamelar dan merusak sawar. Perubahan dalam ekspresi
enzim yang terlibat dalam keseimbangan struktur adhesi epidermal juga
cenderung berkontribusi untuk merusak sawar epidermal pada pasien
dengan dermatitis atopik.
Apakah perubahan epidermis ini utama atau sekunder untuk
menjadi proses dasar inflamasi masih belum jelas hingga imunohistokimia
dan studi genetik menyoroti pentingnya mutasi FLG pada dermatitis
atopik. FLG berkontribusi pada sitoskeleton keratin dengan bertindak
sebagai template untuk perakitan cornified-envelope; selain itu, produk
pemecahan FLG berkontribusi pada kemampuan stratum korneum
mengikat air. Varian genetik FLG di dermatitis atopik yang tidak memiliki
kapasitas untuk menjadi proteolitik telah diidentifikasi, tetapi studi genetik
lain menyatakan perubahan epidermis (misalnya, perubahan dalam protein
cornified envelope involucrin dan loricrin) atau komposisi lipid juga
cenderung untuk berkontribusi terhadap disfungsi sawar. Peradangan yang
mendasari dapat mengubah ekspresi gen seperti FLG yang terlibat dalam

Atopic Dermatitis Page 5


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

fungsi sawar epidermal memungkinkan peningkatan penetrasi


transepidermal pada alergen lingkungan dan, bekerja sama dengan
pruritus, mendorong peradangan dan sensitisasi.

b. Sistem Imun Bawaan


Sel epitel yang menghubungkan antara kulit dan lingkungan adalah
garis pertahanan pertama dari sistem imun bawaan. Mereka dilengkapi
dengan berbagai struktur, yang meliputi toll-like receptors (TLRs), C-type
lectin, nucleotide-binding oligomerization domain like receptor dan
peptidoglikan-recognition proteins. Setidaknya 10 TLRs yang berbeda
yang telah diidentifikasi dalam manusia; mereka mengikat bakteri, jamur,
atau struktur virus (DNA atau RNA dengan socalled cytosine phosphate
guanidin [CpG] motif), dan terhadap struktur mikroba lain yang disebut
molekul patogen. Aktivasi TLR-mediated sel epitel menginduksi produksi
defensin dan katelisidin yang merupakan peptida antimikroba. Kulit
menghasilkan cathelicidin LL-37; human -defensin HBD-1, HBD-2, dan
HBD-3; dan dermcidin. Inflamasi micromilieu diprakarsai oleh
interleukin-4, interleukin-13, dan interleukin-10 mengurangi peptida
antimikroba pada kulit pasien dengan dermatitis atopik. Untuk alasan ini,
maka sulit untuk mengelola infeksi mikroba kulit pada pasien dengan
dermatitis atopik. Kulit normal maupun lesi secara luas memilki kolonisasi
bakteri seperti Staphylococcus aureus atau jamur seperti Malassezia.
Pasien dengan dermatitis atopik cenderung mengalami eksim herpetikum
dan eksim vaksinatum karena berkurangnya produksi cathelicidin, yang
merupakan peptida beraktivitas antivirus yang kuat.

Mekanisme Imunopatologi
a. Mekanisme Awal pada Inflamasi Kulit
Dermatitis atopik awitan dini biasanya muncul tanpa adanya
terdeteksia IgE-mediated dan pada beberapa anak - kebanyakan
perempuan - sensitisasi seperti itu tidak pernah terjadi. Mekanisme awal
yang menyebabkan peradangan kulit pada pasien dengan dermatitis atopik
tidak diketahui. Inflamasi dapat terjadi karena peningkatan kadar

Atopic Dermatitis Page 6


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

neuropeptide, iritasi atau pruritus yang diinduksi karena menggaruk, yang


melepaskan proinflamasi sitokin dari keratinosit, atau dapat karena sel T
yang IgE-independen bereaksi terhadap alergen yang berada dalam
epidermis sehingga menghalangi sawar yang disebut (makanan-sensitif
dermatitis atopik). Pada dasarnya alergen IgE spesifik bukan merupakan
prasyarat, karena tes atopi Patch dapat menunjukkan bahwa aeroallergen
yang diletakkan di bawah kulit menyebabkan reaksi positif dalam
walaupun tanpa adanya IgE spesifik alergen.

b. Initiation Site pada Sensitisasi


Pada pasien dengan dermatitis atopik awitan dini, sensitisasi IgE
sering terjadi beberapa minggu atau bulan setelah lesi muncul,
menunjukkan bahwa kulit adalah situs sensitisasi tersebut. Dalam hewan
percobaan, uji epidermal berulang dengan ovalbumin menginduksi
ovalbumin-IgE spesifik, alergi saluran pernapasan, dan lesi eczematous
pada daerah aplikasi. Proses serupa kemungkinan terjadi pada manusia
(Gambar. 2B). Disfungsi sawar Epidermal merupakan prasyarat untuk
penetrasi alergen dengan berat molekul tinggi dalam serbuk sari, produk
rumah-debu tungau, mikroba, dan makanan. Molekul dalam serbuk sari
dan beberapa makanan penyebab alergi mendorong sel dendritik untuk
meningkatkan polarisasi Th2. Terdapat banyak sel T di kulit (106 Sel T
memori per sentimeter persegi luas permukaan tubuh), hampir dua kali
jumlah dalam sirkulasi. Selain itu, keratinisasi pada atopik kulit
menghasilkan tingkat tinggi dari interleukin-7-seperti lymphopoietin
stroma thymus yang sinyal dendritik sel untuk mendorong polarisasi Th2.
Dengan mendorong produksi dalam jumlah besar sitokin seperti GM-CSF
atau kemokin, kulit mengalami peradangan luas dapat mempengaruhi
imunitas adaptif, mengubah fenotip monosit, dan meningkatkan produksi
prostaglandin E2 pada dermatitis atopi. Semua faktor ini memberikan
sinyal diperlukan untuk polarisasi Th2 dan untuk alasan ini, kulit bertindak
sebagai titik masuk untuk sensitisasi atopik dan bahkan mungkin
memberikan sinyal yang diperlukan untuk sensitisasi alergi di paru-paru

Atopic Dermatitis Page 7


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

atau usus. Perkembangan sensitisasi dan dermatitis atopik dalam sumsum


tulang penerima setelah engraftment batang hematopoietik sel dari atopik
donor menyediakan dukungan untuk peran sistem hematopoietik sebagai
faktor selain sawar epidermal ditentukan secara genetis disfungsi
penghalang pada dermatitis atopik. Antigen spesifik IgE diakusi sebagai
struktur utama pada sel mast dan basofil alergen. Hal ini juga dapat
menjadi instrumen untuk induksi toleransi-alergen tertentu atau di
antiinflamasi mekanisme, tetapi apakah peristiwa tersebut mendasari
remisi spontan dermatitis atopik masih harus dieksplorasi.

c. Sel Dendritik
Sel dendritik epidermal pada dermatitis atopik membawa IgE61
dan mengekspresikan reseptor afinitas tinggi nya (FcRI). Pada lesi kulit,
sel dendritik dari jalur plasmasitoid yang memiliki aktivitas antivirus
ampuh berdasarkan produksi interferon-, hampir tidak ditemukan.
Sebaliknya, dua populasi sel dendritik myeloid hadir: Sel Langerhans dan
sel dendritik inflamasi epidermal. Dalam dermatitis atopik, tetapi tidak
dalam kondisi lain, ada gambaran high-density dari FcRI oleh kedua jenis
sel. Sel Langerhans terjadi pada yang normal kulit, tetapi sel-sel epidermis
dendritik inflamasi hanya muncul di kulit yang meradang. Mereka
mengambil dan mempresentasikan alergen kepada sel Th1 dan Th2, dan
mungkin juga untuk sel T regulasi. Pada ligasi FcRI oleh IgE, sel
Langerhans memproduksi interleukin- 16, yang merekrut sel CD4 + T
untuk kulit. Terlepas dari interleukin-16, sel Langerhans memproduksi
hanya yang terbatas kemokin dan hampir ada cytokines proinflamasi. Pada
alergen, sel Langerhans berkontribusi untuk polarisasi Th2 oleh
mekanisme yang tidak diketahui, dan inflamasi sel epidermis dendritik
menyebabkan polarisasi Th1 dengan memproduksi interleukin-12 dan
interleukin- 18 dan melepaskan sitokin proinflamasi. Pada uji atopi Patch,
tingginya jumlah inflamasi sel epidermis dendritik menyerang epidermis
72 jam setelah alergen diuji, dan mereka dengan sel Langerhans mengatur
regulasi mereka terhadap FcRI.

Atopic Dermatitis Page 8


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

d. Penyakit yang dimediasi Sel T Bifasik


CD4+ alergen tertentu dan sel T CD8 + dapat diisolasi dari lesi
kulit pasien dengan dermatitis atopik. Peradangan pada dermatitis atopik
adalah biphasic: fase awal Th2 mendahului fase kronis di mana sel-sel Th0
(sel yang berbagi beberapa kegiatan baik sel Th1 dan Th2l) dan sel Th1
yang dominan (Gambar 3.). Th2 sitokin interleukin-4, interleukin-5, dan
interleukin-13 mendominasi pada fase akut dari lesi, dan pada lesi kronis
ada peningkatan dari interferon , interleukin-12, interleukin-5, dan GM-
CSF72; perubahan ini merupakan karakteristik dari Th1 dan Th0 dominasi.
Sel Th0 dapat berdiferensiasi menjadi baik Th1 atau Th2 sel, tergantung
pada dominan yang lingkungan sitokin. Peningkatan ekspresi dari
interferon- messenger RNA oleh sel Th1 berikut puncak ekspresi
interleukin-12, yang bertepatan dengan munculnya dendritik inflamasi sel
epidermis pada kulit. Tampak normal kulit pada pasien dengan dermatitis

Atopic Dermatitis Page 9


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

atopik melabuhkan infiltrat ringan, sangat menunjukkan kehadiran


peradangan sisa antara flares. Perekrutan sel T ke dalam kulit yang diatur
oleh jaringan kompleks mediator yang berkontribusi terhadap peradangan
kronis. homeostatis dan kemokin inflamasi yang dihasilkan oleh kulit Sel-
sel yang terlibat dalam proses inflamasi ini sel dan keratinosit pada lesi
kulit mengungkapkan tingkat tinggi chemoattractants, dan keratinosit
diturunkan thymus stroma lymphopoietin menginduksi sel dendritik untuk
menghasilkan Th2-sel-menarik timus dan aktivasi-diatur kemokin, TARC /
CCL17. Dengan cara ini, mereka mungkin memperkuat dan
mempertahankan respon alergi dan generasi interferon--memproduksi
sitotoksik Sel T, seperti yang disarankan oleh 79 penelitian in vitro.
interferon diproduksi oleh sel Th1 telah terlibat dalam apoptosis
keratinosit diinduksi oleh reseptor sel-kematian Fas. Peran sel T regulator
di dermatitis atopik juga telah diperiksa. Tingginya kadar ekspresi dari
rantai alpha dari interleukin-2 reseptor (CD25) dan FOXP3 faktor
transkripsi merupakan karakteristik dari sel-sel ini. Ada peningkatan
sirkulasi sel T peraturan di dermatitis atopik, tetapi lesi kulit yang tanpa
peraturan T fungsional. Kompleksitas dari kompartemen sel-T peraturan
belum sepenuhnya dipahami, dan peran sel regulatory T dalam regulasi
kulit inflamasi kronis penyakit sulit dipahami.

e. Staphylococcus aureus

Atopic Dermatitis Page 10


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Penekanan pada sistem kekebalan tubuh bawaan dari kulit dengan


micromilieu inflamasi atopik dermatitis menjelaskan kolonisasi kulit
dengan S. aureus di lebih dari 90% pasien dengan atopik dermatitis.
Gambaran ini memberikan kontribusi untuk alergi sensitisasi dan inflamasi
(Gbr. 4). Menggaruk meningkatkan pengikatan S. aureus pada kulit, dan
peningkatan jumlah S. aureus yang diturunkan ceramidase dapat
memperburuk cacat di sawar kulit. Enterotoksin S. aureus meningkatkan
peradangan di dermatitis atopik dan memprovokasi generasi enterotoksin-
IgE spesifik, yang berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit.
Enterotoksin ini berinteraksi langsung dengan kelas II molekul kompleks
histokompatibilitas utama dan rantai beta dari reseptor sel T untuk
menginduksi proliferasi antigen-independen sel T. Mereka juga mengatur
ekspresi kulit-homing reseptor kulit limfosit terkait antigen pada sel T dan
produksi keratinocytederived kemokin yang merekrut sel T. Dengan
menginduksi -isoform glukokortikoid yang bereseptor dalam sel
mononuklear, enterotoksin berkontribusi terhadap munculnya perlawanan
terhadap lokal pengobatan kortikosteroid. Enterotoksin S. aureus juga
menginduksi ekspresi diinduksi glukokortikoid ligan protein yang
berhubungan dengan reseptor faktor nekrosis tumor pada sel antigen-
presenting, sehingga menghambat aktivitas penekanan dari Sel T regulator

Atopic Dermatitis Page 11


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

f. Mekanisme Pruritus
Gejala yang paling penting dalam dermatitis atopik adalah pruritus
persisten, yang mengganggu kualitas hidup pasien. Lemahnya efek
antihistamin dianggap berlawanan dengan peran histamin dalam
menyebabkan dermatitis atopik terkait pruritus. Neuropeptida, protease,
kinin, dan sitokin menginduksi gatal. Interleukin-31 adalah sitokin yang
dihasilkan oleh Sel T yang meningkatkan kelangsungan hidup
hematopoietik sel dan merangsang produksi inflamasi sitokin oleh sel-sel
epitel. Hal ini sangat pruritogenik, dan kedua interleukin-31 dan
reseptornya yang diekspresikan dalam lesi kulit. Selain itu, interleukin-31
diatur oleh paparan eksotoksin stafilokokus in vitro. Temuan ini
melibatkan interleukin-31 sebagai faktor utama dalam usul pruritus pada
dermatitis atopik.

Autoimunitas pada Dermatitis Atopi


Selain antibodi IgE terhadap makanan dan aeroallergen, spesimen serum
dari pasien dengan dermatitis atopik parah mengandung antibodi IgE terhadap
protein dari keratinosit dan sel endotel seperti mangan superoksida dismutase

Atopic Dermatitis Page 12


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

dan kalsium mengikat proteins. Tingkat serum ini terhadap autoantibodi IgE
berkorelasi dengan keparahan penyakit. Menggaruk mungkin melepaskan protein
intraseluler dari keratinosit. Protein ini bisa molekul mirip struktur mikroba dan
dengan demikian dapat menginduksi autoantibodi IgE. Sekitar 25% orang dewasa
dengan dermatitis atopik memiliki antibodi IgE terhadap protein sendiri. Pada
pasien dermatitis atopik awitan dini, pruritus intens, infeksi bakteri kulit berulang,
dan kadar IgE serum yang tinggi menjadi karakteristik utama dari penyakit. Selain
itu, antibodi IgE terhadap protein diri sendiri dapat terdeteksi pada pasien dengan
dermatitis atopik dini sebaiknya pada usia 1 tahun. Beberapa autoallergens di kulit
juga menjadi pemicu kuat Th1. Antibodi IgE di dermatitis atopik dapat
disebabkan oleh alergen lingkungan, namun antibodi IgE melawan autoantigens di
kulit dapat menyimpan memori inflamasi alergi. Dengan demikian, dermatitis
atopik tampaknya berdiri di perbatasan antara alergi dan autoimunitas.

Gabungan Hipotesis

Atopic Dermatitis Page 13


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

Sebuah klasifikasi membedakan bentuk dermatitis atopi terkait IgE (yaitu,


dermatitis atopik murni, sebelumnya disebut dermatitis atopik ekstrinsik) dari
bentuk non-IgE (dermatitis "nonatopi", sebelumnya disebut dermatitis atopik
intrinsik). Dalam jurnal ini menyatakan bahwa dermatitis nonatopi dan dermatitis
atopik adalah dua penyakit yang berbeda. Namun, karena kulit kering merupakan
tanda penting dari kedua kondisi, dan tidak adanya sensitisasi yang dimediasi IgE
mungkin hanya faktor sementara, diperlukan untuk menyatukan hipotesis berbeda
ini. Gambaran baru muncul dari temuan terbaru, di mana perjalanan ilmiah
dermatitis atopik memiliki tiga tahap (Gambar. 5). Fase awal adalah bentuk
dermatitis nonatopi pada awal infant, ketika sensitisasi belum terjadi.
Selanjutnya, pada 60-80% pasien, faktor genetik mempengaruhi induksi
sensitisasi yang dimediasi IgE terhadap makanan dan alergen lingkungan atau
keduanya, ini merupakan transisi menuju dermatitis atopi yang murni. Ketiga
kerusakan kulit karena garukan memicu autoantigen yang menginduksi antibodi
IgE dalam sebagian besar pasien dengan dermatitis atopik.

Implikasi Klinis
Sejak disfungsi sawar kulit dan inflamasi kronik menjadi karakteristik
dermatitis atopi, manajemen klinis jangka panjang seharusnya menekankan pada
tindakan pencegahan, perawatan kulit individu yang intensif, pengurangan koloni
bakteri dengan penggunaan losion antiseptik lokal seperti triklosan dan
klorheksidin dan yang terpenting adalah kontrol inflamasi dengan penggunaan
kortikosteroid topikal atau inhibitor kalsineurin topikal. Pada anak-anak, sebelum
dan sesudah terdiagnosa tersensitisasi IgE, tentukan langkah-langkah bermafaat
untuk mencegah paparan alergen. Terapi terkini dermatitis atopi adalah mengobati
kekambuhan, namun manajemen seharusnya meliputi tatalaksana yang cepat dan
pencegahan proaktif yang efektif dan kontrol yang kontinyu terhadap inflamasi
kulit dan kolonisasi S.aureus. strategi ini terbukti efektif dalam mengurangi angka
kejadian kekambuhan. Ketika diterapkan pada infant awal, dapat berpotensi
mengurangi sensitisasi berikutnya terhadap antigen dan autoalergen.

Kesimpulan
Ilmu pengetahuan terbaru mengenai genetika dan mekanisme imunologi
yang mengakibatkan inflamasi kulit pada dermatitis atopi memberikan
pemahaman yang lebih baik mengenai perjalanan ilmiah dari penyakit ini dan

Atopic Dermatitis Page 14


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

memegang peranan penting pada fungsi sawar epidermis dan sistem imun.
Keduanya berkontribusi pada sensitisasi yang dimediasi Ig-E dan perlu
dipertimbangkan sebagai target utama terapi. Perkembangan terbaru bertujuan
spesifik terhadap defek molekular pada stratum korneum yang dapat memberikan
perbaikan pada fungsi sawar epitel. Penatalaksanaan yang cepat dan proaktif dapat
memperbaiki hasil akhir dan kualitas hidup pasien dengan dermatitis atopi.

Atopic Dermatitis Page 15

You might also like