You are on page 1of 23

SEMINAR MATERNITAS

KRITISI JURNAL
Pengaruh Penggunaan Gurita Terhadap Frekuensi Gumoh Pada
Bayi Di Kabupaten Karanganyar
Ana Wigunantiningsih, N.Kadek Sri Eka Putri, Luluk Nur Fakhidah

Oleh:
KELOMPOK 1A

Dwi Setyo Purnomo 150070300011004


Trian Agus Hartanto 150070300011005
Rindika Illa Kurniawan 150070300011006

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan Departemen Maternitas dengan judul Pengaruh Penggunaan
Gurita Terhadap Frekuensi Gumoh Pada Bayi Di Kabupaten Karanganyar. Ketertarikan
penulis akan topik ini didasari pada masih banyaknya pemakaian gurita pada bayi baru
lahir di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Ariek Kristiyanti, Amd.Keb, selaku Clinical Instructur departemen Maternitas di


Puskesmas Gondanglegi.
2. Ns. Muladefi Choiriyah, S.Kep, M.Kep selaku dosen pembimbing Departemen
Maternitas Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
3. Pihak-pihak yang secara tidak langsung membantu proses penyelesaian makalah inii.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan Departemen Maternitas ini masih
kurang sempurna, oleh karena itu penulis membuka diri untuk segala saran dan kritik yang
membangun bagi penulis, sehingga dapat bermanfaat untuk penulis khususnya dan
masyarakat secara umum.

Malang, 29 Januari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................. 1

Daftar isi........................................................................................................................ 2

Latar Belakang............................................................................................................... 3

Kajian Teori ................................................................................................................... 5

Metode ..........................................................................................................................

Partisipan ......................................................................................................................

Prosedur Penelitian ......................................................................................................

Program Intervensi .......................................................................................................

Pengumpulan Data .......................................................................................................

Hasil Penelitian .............................................................................................................

Diskusi .........................................................................................................................

Kesimpulan ...................................................................................................................

Kekurangan dan Kelebihan Jurnal ................................................................................

Pembahasan Perbandingan dengan Jurnal yang Lain ...................................................

Penerapan di Indonesia..................................................................................................

Daftar Pustaka............................................................................................................... .
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Salah satu keberhasilan pembangunan suatu negara dilihat dari meningkatnya


derajat kesehatan ibu dan anak. Sampai saat ini angka kematian bayi di Indonesia
masih cukup tinggi. Hasil SDKI Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 32/1.000
kalahiran hidup dan kematian balita sebesar 40/1.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012).

Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan. Bayi memerlukan perawatan yang khusus
dan berbeda dengan manusia dewasa karena masa ini merupakan masa peralihan
dan adaptasi bayi dari kehidupan di dalam rahim ke kehidupan di luar rahim.
Perawatan bayi harus dilakukan secara hati-hati, cermat dan teliti untuk menghindari
terjadinya kecelakaan yang dapat membahayakan bayi. Salah satu hal yang sering
terjadi pada bayi adalah gumoh atau regurgitasi.

Gumoh adalah keluarnya kembali susu yang telah ditelan ketika atau beberapa
saat setelah minum susu tanpa disertai kontraksi dinding lambung. Gumoh merupakan
keadaan yang normal dan biasa dialami bayi usia 0-6 bulan (Purnamaningrum, 2012).

Di Indonesia, 75 persen bayi dibawah 3 bulan menderita regurgitasi (gumoh).


Bahkan, satu dari tiga ibu di seluruh dunia perlu mewaspadai dampak gumoh yang
terjadi pada bayi mereka. Dr Badriul Hegar, SpA., PhD dari Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM Jakarta
menjelaskan bahwa bayi yang terus menerus mengalami gumoh berisiko menderita
malnutrisi. Penelitian di RSCM menunjukkan gejala gumoh pada bayi akan terus
berkurang seiring bertambahnya usia bayi. Umumnya, intensitas gumoh yang normal
adalah 4-5 kali setiap hari dan bayi yang mengalami regurgitasi lebih dari empat kali
dalam sehari, mengalami kenaikan berat badan yang lebih rendah pada empat bulan
pertama usia bayi (Innes, 2012).

Gumoh pada bayi dapat disebabkan karena berbagai hal yaitu: posisi menyusui yg
tidak tepat, pemberian makan yang salah/terlalu banyak, aktivitas yang berlebihan,
belum sempurnanya katup antara lambung dan kerongkongan. Selain itu gumoh juga
dapat disebabkan karena pemakaian gurita pada bayi. Pemakaian gurita membuat
lambung si bayi tertekan. Bila dalam keadaan seperti itu si bayi dipaksakan minum,
maka cairannya akan tertekan dan menjadi muntah (Purnamaningrum, 2012).

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Bayi Baru Lahir

2.1.1 Pengertian Bayi Baru Lahir


Periode baru lahir atau neonatal adalah bulan pertama kehidupan (Maryunani
& Nurhayati, 2008). Berat rata-rata bayi yang lahir cukup bulan adalah 3,5 3,75 kg
dan panjang 50 cm (Simkin, Penny., et al)

Bayi baru lahir memiliki kompetensi perilaku dan kesiapan interaksi sosial.
Periode neonatal yang berlangsung sejak bayi lahir sampai usianya 28 hari,
merupakan waktu berlangsungnya perubahan fisik yang dramatis pada bayi baru lahir
(Bobak dkk, 2005). Pada masa ini, organ bayi mengalami penyesuaian dengan
keadaan di luar kandungan, ini diperlukan untuk kehidupan selanjutnya (Maryunani &
Nurhayati, 2008). Dimana bayi mengalami pertumbuhan dan perubahan yang
menakjubkan (Halminton, 1995).

2.1.2 Adaptasi Kehidupan Ekstra Uteri

Periode neonatal adalah periode 28 hari pertama setelah bayi dilahirkan,


selama periode ini bayi harus menyesuaikan diri dengan lingkungan ekstra uteri. Bayi
harus berupaya agar fungsi-fungsi tubuhnya menjadi efektif sebagai individu yang
unik. Respirasi, pencernaan dan kebutuhan untuk regulasi harus bisa dilakukan
sendiri (Gorrie et al, 1998).

Masa transisi dari periode fetus ke kehidupan baru lahir merupakan periode
kritis karena harus beradaptasi terhadap lingkungan baru. Mekanisme hemodinamik
dan thermoregulasi mendukung keberhasilan beradaptasi dengan lingkungan ekstra
uteri (Simpson & Creehan, 2001).

Dalam uterus semua kebutuhan janin secara sempurna dilayani pada kondisi
normal yaitu nutrisi dan oksigen disuplai oleh sirkulasi ibu melalui plasenta, produk
buangan tubuh dikeluarkan dari janin melalui plasenta, lingkungan yang aman disekat
oleh plasenta, membran dan cairan amnion untuk menghindari syok dan trauma,
infeksi dan perubahan dalam temperatur (Maryunani & Nurhayati, 2008). Di dalam
uterus bayi juga hidup di lingkungan yang terlindung dengan suhu terkontrol, kedap
suara, terapung dalam suatu genangan cairan hangat, dan memperoleh pasokan
untuk semua kebutuhan fisiknya (Miriam, 1999).

Elemen-elemen kunci dalam transisi kelahiran adalah pergeseran dari


oksigenasi maternal bergantung pada respirasi terus-menerus, perubahan dari
peredaran janin untuk dewasa sirkulasi dengan meningkatnya aliran darah paru dan
hilangnya kiri ke kanan melangsir, dimulainya homeostatis glukosa independen,
termoregulasi independen, dan oral menyusui (Glutckman & Basset dalam Matson &
Smith, 2004). Adaptasi fisiologis dianggap lengkap bila tanda-tanda vital, pemberian
makan, dan pencernaan dan fungsi ginjal normal (Kelly dalam Matson & Smith, 2004).
Pengamatan adaptasi bayi ke kehidupan extra uterin sangat penting untuk
mengidentifikasi masalah dalam transisi dan melakukan intervensi.

2.1.3 Perawatan Bayi Baru Lahir


Perawatan bayi baru lahir dimulai saat lahir. Perawatan yang dilakukan
bertujuan untuk mencegah adanya komplikasi sedini mungkin. Perawatan yaitu
berawal dari pengkajian awal hingga perawatan secara keseluruhan.
2.1.3.1 Pengkajian Awal
Pengkajian pertama pada seorang bayi dilakukan pada saat lahir
dengan menggunakan nilai apgar dan melalui pemeriksaan fisik singkat.
Pengkajian nilai apgar didasarkan pada lima aspek yang menunjukkan kondisi
fisiologis neonatus yakni, denyut jantung, dilakukan dengan auskultasi
menggunakan stetoskop. Pernafasan, dilakukan berdasarkan pengamatan
gerakan dinding dada. Tonus otot dilakukan berdasarkan derajat fleksi dan
pergerakan ekstremitas. Pergerakan iritabilitas refleks, dilakukan berdasarkan
respon terhadap tepukan halus pada telapak kaki. Warna, dideskripsikan
sebagai pucat diberi nilai 0, sianotik nilai 1, atau merah muda nilai 2. Evaluasi
dilakukan pada menit pertama dan menit kelima setelah bayi lahir. Sedangkan
pengkajian usia gestasi dilakukan dua jam pertama setelah lahir (Bobak dkk,
2005). Pengukuran antropometri dengan menimbang berat badan
menggunakan timbangan, penilaian hasil timbangan dengan kategori sebagai
berikut, bayi normal BB 2500-3500 gram, bayi prematur <2500 gram dan bayi
marosomia >3500 gram (Maryunani & Nurhayati, 2009).

2.1.3.2 Mempertahankan Bersihan Jalan Napas


Bayi dipertahankan dalam posisi berbaring miring dengan selimut
diletakkan pada punggung bayi untuk memfasilitasi drainase. Apabila terdapat
lendir berlebih di jalan napas bayi, jalan napas bayi dapat dihisap melalui
mulut dan hidung dengan sebuah bulb syringe. Bayi yang tersumbat oleh
sekresi lendir, harus ditopang kepalanya agar menunduk ( Bobak dkk, 2005).
2.1.3.3 Suhu Tubuh
Setiap kali prosedur apa pun yang dilakukan pada bayi, upayakan untuk
mencegah atau mengurangi hilangnya panas. Stres dingin (cold stress) akan
mengganggu kesehatan bayi baru lahir. Temperatur ruang sebaiknya 24 0C.
Bayi baru lahir harus dikeringkan dan dibungkus dengan selimut hangat
segera setelah lahir, perhatikan supaya kepala juga harus diselimuti selama
bayi digendong orang tuanya. Bayi dapat segera diletakkan di atas abdomen
atau dada ibu, dikeringkan, dan dibungkus dengan selimut hangat ( Bobak
dkk, 2005).
2.1.3.4 Perawatan Organ Tubuh Bayi
Pada organ kepala lingkar kepala diukur dengan menggunakan meteran
(Maryunani & Nurhayati, 2008). Kepala bayi juga dilakukan palpasi dan
memantau fontanel.
Mata harus bersih, tanpa drainase dan kelopak mata tidak bengkak,
perdarahan konjungtiva mungkin ada (Ladewigs et al, 2006). Untuk
membersihkan mata, gunakan kapas paling lembut. Jangan memaksa
mengeluarkan kotoran di mata jika sulit. Jika sudah dibersihkan pastikan mata
bayi bersih dari sisa kapas (Bonny & Mila, 2003).
Bayi cukup usia mempunyai dua per tiga ujung pinna yang tidak
melengkung. Rotasi telinga harus ada di garis tengah, dan tidak mengenai
bagian depan atau bagian belakang (Ladewigs et al, 2006). Untuk
membersihkan telinga, bagian luar dibasuh dengan lap atau kapas.
Bagian dalam hidung mempunyai mekanisme membersihkan sendiri. Jika
ada cairan atau kotoran keluar, bersihkan hanya bagian luarnya saja. Gunakan
cotton bad atau tisu yang digulung kecil, jika menggunakan jari pastikan jari
benar-benar bersih. Jika hidung bayi mengeluarkan lendir sangat banyak
karena pilek, sedotlah keluar dengan menggunakan penyedot hidung bayi,
atau letakkan bayi dalam posisi tengkurap untuk mengeluarkan cairan tersebut
(Bonny & Mila, 2003).
Kebersihan mulut bayi harus diperhatikan, karena bercak putih pada lidah
(oral thurust) dapat menjadi masalah jika diikuti dengan tumbuhnya jamur
(Musbikin, 2005). Untuk membersihkan mulut bayi digunakan kapas yang
sudah direndam dengan air masak, diperas dan mulut bayi dibersihkan
dengan hati-hati serta mengeluarkan lendir yang ada di mulut bayi (Dainur,
1995). Dapat juga dilakukan dengan menggunakan kain kasa atau waslap
yang sudah dibasahi dengan air matang hangat lalu dibalut pada jari telunjuk,
kemudian membersihkan mulut dari bagian luar, yaitu bibir dan sekitarnya.
Setelah itu bagian gusi belakang hingga depan, lalu membersihkan lidah bayi
dengan perlahan-lahan. Posisi bayi sebaiknya terbaring agar lebih mudah
dibersihkan (www.ayahbunda.co.id, 2010).
2.1.3.5 Merawat Tali Pusat
Menurut Penny dkk. (2007) tali pusat bayi umumnya berwarna kebiruan
dan panjangnya 2,5 cm sampai 5 cm sesudah dipotong. Klem tali pusat akan
dipasang untuk menghentikan perdarahan. Klem tali pusat dibuka jika tali
pusat sudah kering. Sebelum tali pusat lepas jangan memandikan bayi dengan
merendamnya dan jangan membasuh tali pusat dengan lap basah. Sebelum
melakukan perawatan pada tali pusat harus mencuci tangan bersih-bersih.
Membersihkan sisa tali pusat terutama pangkalnya dilakukan dengan hati-hati
jika tali pusat masih berwarna merah.

2.2 Konsep Gumoh


2.2.1 Pengertian Gumoh
Gumoh atau regurgitasi adalah keluarnya sedikit makanan dari dalam lambung
bayi setelah makan atau minum susu (Maryunani, 2010). Gumoh/regurgitasi adalah
keluarnya kembali sebagian susu yang telah ditelan melalui mulut dan tanpa paksaan,
beberapa saat setelah minum susu dalam jumlah sedikit (Depkes, 2007).
Gumoh atau regurgitasi adalah mengeluarkan kembali ASI yang diminumnya
dalam jumlah sedikit sampai cukup banyak. Gumoh adalah naiknya makanan dari
kerongkongan atau lambung tanpa disertai oleh rasa mual maupun kontraksi otot perut
yang sangat kuat (Danuatmadja, 2008). Keluarnya sebagian susu yang telah ditelan dapat
melalui mulut ataupun melalui hidung (Arteria, 2007).
Gumoh merupakan hal normal yang biasa terjadi pada bayi karena berkaitan
dengan fungsi pencernaannya yang masih belum sempurna. Gumoh terjadi seperti
ilustrasi air yang mengalir kebawah, bisa sedikit (seperti meludah) atau cukup banyak.
Bersifat pasif dan spontan. Sedangkan muntah lebih cenderung dalam jumlah banyak dan
dengan kekuatan dan atau tanpa kontraksi lambung (Erlina, 2008).
Gumoh yang tidak berlebihan merupakan keadaan normal terutama pada bayi
usia 6 bulan dan tidak sering frekuensinya. Seiring dengan bertambahnya usia di atas 6
bulan, maka gumoh semakin jarang dialami oleh bayi. Namun, gumoh dianggap abnormal
apabila terjadi terlalu sering atau hampir setiap saat. Juga kalau terjadinya tidak hanya
setelah makan dan minum tapi juga saat tidur. Selain itu juga pada gumoh yang
bercampur dengan darah. Gumoh yang seperti ini tentu saja harus mendapat perhatian
agar tidak berlanjut menjadi kondisi patologis yang diistilahkan dengan refluks esofagus
(Dwienda, 2014).
Gumoh/regurgitasi harus dibedakan dengan muntah. Bedanya dengan muntah,
gumoh terjadi secara pasif. Artinya, tak ada usaha si bayi untuk mengeluarkan atau
memuntahkan makanan atau minumannya (artinya: keluar sendiri). Bayi ketika gumoh
mungkin saja sedang santai dalam gendongan atau dalam keadaan berbaring atau
bermain. Sedangkan muntah terjadi secara aktif. Muntah merupakan aksi reflek yang
dikoordinasi medula oblongata, sehingga isi lambung dikeluarkan dengan paksa melalui
mulut (Dwienda, 2014). Gumoh yang normal terjadi 1-4 kali dalam sehari, namun bila bayi
mengalami gumoh lebih dari 4 kali dalam sehari itu merupakan kondisi patologis yang
dapat menimbulkan berbagai komplikasi (Maryunani, 2010).
2.2.2 Penyebab Gumoh
Adapun penyebab gumoh bermacam-macam, diantaranya :
1. Katup penutup lambung belum sempurna
Dari mulut, susu akan masuk ke saluran pencernaan atas, baru kemudian ke
lambung. Di antara organ tersebut terdapat katub penutup lambung. Katub tersebut
berada di antara lambung dan esofagus (kerongkongan) dan berfungsi untuk
mencegah keluarnya kembali makanan yang sudah masuk ke lambung. Umumnya
sfingter pada bayi belum bagus dan akan membaik dengan sendirinya sejalan
bertambahnya usia. Umumnya di atas usia 6 bulan, namun adakalanya di usia
itupun bayi masih mengalami gangguan dan sifatnya sangat bervariasi. Akibatnya,
bila setelah menyusu bayi langsung ditidurkan, maka susu akan keluar dari mulut.
Jadi, untuk mengurangi gumoh, ibu dapat memberikan susu sedikit demi sedikit dan
menjaga kepala bayi tegak beberapa menit setelah disusui (Novita, 2007).
2. Menangis berlebihan
Bayi yang menangis terus-menerus membuat udara yang tertelan berlebihan
sehingga mendapat tekanan dari udara yang akan membuat sebagian isi perut bayi
akan keluar. Bisa jadi bayi menangis karena tidak bisa menelan susu dengan
sempurna. Kalau sudah begini, ibu tidak boleh meneruskan pemberian susu saat
bayi menangis karena susu bisa masuk ke saluran napas dan menyumbatnya
(Novita, 2007).
3. Volume lambung masih kecil
Volume lambung bayi masih kecil, sementara susu yang ditelan bayi melebihi
kapasitas lambung. Apabila bayi menggeliat, tekanan dalam perut tinggi yang pada
akhirnya menyebabkan terjadinya gumoh. Sebenarnya gumoh masih normal
sepanjang cairan yang keluar dan masuk seimbang (Novita, 2007).
4. Fungsi pencernaan bayi dengan peristaltik (gelombang kontraksi pada dinding
lambung dan usus) untuk makanan dapat masuk dari saluran pencernaan ke usus
masih belum sempurna (Novita, 2007).
5. Terlalu aktif
Misalnya pada saat bayi menggeliat terus-menerus akan membuat tekanan didalam
perutnya tinggi, sehingga keluar dalam bentuk muntah atau gumoh (Novita, 2007).
6. Bayi terburu-buru dalam meminum susu sehingga banyak udara yang masuk ke
dalam lambung bayi (Dwienda, 2014).
7. Pemakaian bentuk dot
Lubang pada dot bayi tidak boleh terlalu besar karena akan membuat aliran susu
terlalu cepat dan lubang dot tidak boleh terlalu kecil karena akan membuat frustasi
bayi yang menyebabkan bayi akan menelan banyak udara karena tergesa-gesa
dalam menyusu. (Dwienda, 2014).
8. Cacat Bawaan
Cacat pada saluran pencernaan bagian dalam yang menyebabkan bayi tidak
mampu menelan atau mencerna makanan (Dwienda, 2014).

9.Faktor Bersendawa
Bersendawa bisa membantu untuk meminimalkan terjadinya gumoh, karena pada
saat disendawakan akan membantu bayi untuk mengeluarkan udara, yang masuk
pada saat bayi sedang disusui (Widyastuti, 2012).
10.Faktor Posisi Ibu dan Bayi Saat Menyusui
Kebiasaan ibu pada saat menyusui sambil tiduran miring dan bayi dalam posisi
terlentang, akibatnya cairan tidak masuk ke dalam saluran pencernaan akan tetapi
masuk ke dalam saluran pernapasan (Widyastuti, 2012).
11.Faktor Memakai Gurita
Pemakaian gurita yang terlalu kencang dapat mempengaruhi sering terjadinya
gumoh. Pemakaian gurita akan membuat lambung si bayi tertekan, dan pada saat
lambung bayi terisi penuh, maka cairannya akan tertekan dan menjadi
menyebabkan gumoh (Widyastuti, 2012).
2.2.3 Tanda dan Gejala yang Terjadi Pada Gumoh
Tanda dan gejala yang terjadi pada bayi yang mengalami gumoh menurut
(Dwienda, 2014) yaitu :
1. Mengeluarkan kembali susu atau makanan setelah diberikan minum/makan
2. Gumoh yang normal terjadi kurang dari empat kali sehari
3. Tidak sampai menganggu pertumbuhan berat badan bayi
4. Bayi tidak menolak minum.
2.2.4 Hal-hal yang Harus Diwaspadai dari Gumoh
Meskipun gumoh tidak membahayakan, namun pada keadaan-keadaan tertentu
harus diwaspadai oleh ibu bayiatau bidan, antara lain sebagai berikut (Maryunani, 2010) :
1. Apabila bayi gumoh dengan volume yang banyak dan berlangsung terus-menerus
atau terlalu sering. Hal ini biasanya disebabkan oleh gangguan saluran pencernaan.
Akibat dari gumoh hebat, bayi bisa kehilangan cairan tubuh (dehidrasi).
2. Selain gumoh hebat, hal yang harus diwaspadai adalah isi dari gumoh. Apakah
gumoh berisi lendir saja, bercampur air liur atau darah. Bila isi gumoh bercampur
darah atau bayi gumoh lebih dari lima kali sehari maka perlu pemeriksaan di fasilitas
pelayanan kesehatan.
2.2.5 Proses Terjadinya Gumoh
Gumoh terjadi karena ada udara di dalam lambung yang terdorong keluar ketika
makanan masuk ke dalam lambung bayi. Gumoh terjadi secara pasif atau juga bisa terjadi
secara spontan. Dalam kondisi normal, bayi bisa mengalami gumoh antara 1-4 kali dalam
sehari. Gumoh dikategorikan normal, jika terjadinya beberapa saat setelah makan dan
minum serta tidak diikuti gejala lain yang mencurigakan. Selama berat badan bayi
meningkat sesuai standar kesehatan, tidak rewel, gumoh tidak bercampur darah dan tidak
susah makan atau minum, maka gumoh tidak perlu dipermasalahkan (Alvita, 2009).
Gumoh dan muntah sebenarnya serupa, namun keduanya memiliki perbedaan
dalam volume dan proses keluarnya cairan. Bayi yang kenyang sering mengeluarkan ASI
yang ditelannya. Jika yang dikeluarkan berupa ASI yang telah ditelan bayi dengan jumlah
sedikit dan volumenya kurang dari 10 cc, maka bayi disebut gumoh. Namun, jika
volumenya banyak atau lebih dari 10 cc, maka hal tersebut adalah muntah. Dilihat dari
cara keluarnya, gumoh akan mengalir biasa dari mulut dan tidak disertai kontraksi otot
perut. Sedangkan ketika bayi muntah, akan menyembur seperti disemprotkan dari dalam
perut dan disertai kontraksi otot perut. Kadangkala, bayi tidak hanya gumoh melalui mulut,
tetapi juga melalui lubang hidung. Kebanyakan gumoh akan terjadi pada bayi berusia
beberapa minggu, 2-4 bulan atau 6 bulan dan akan menghilang dengan sendirinya
(Khoirunnisa, 2010).
Jika bayi mengalami gumoh, maka ibu tidak perlu khawatir karena gumoh
merupakan proses yang alami dan wajar untuk mengeluarkan udara yang tertelan bayi
saat minum ASI. Ketika bayi terlalu banyak minum ASI, maka saat minum atau makan ada
udara yang ikut tertelan bayi. Kemungkinan lain, bayi gagal menelan karena otot-otot
penghubung mulut dan kerongkongan belum matang dan hal ini biasanya terjadi pada
bayi prematur. Bayi yang mengalami gumoh hanya perlu disendawakan setelah bayi
menyusu. Beda halnya dengan muntah yang tidak hanya terjafi pada bayi baru lahir, tetapi
muntah juga dapat terjadi apada anak usia 2 bulan dan dapat berlangsung sepanjang usia
(Khoirunnisa, 2010).
Biasanya bayi mengalami gumoh setelah diberi makan. Selain karena
pemakaian gurita dan posisi saat menyusui, juga karena ia ditidurkan telentang setelah
diberi makan. Cairan yang masuk di tubuh bayi akan mencari posisi yang paling rendah.
Bila ada makanan yang masuk ke esofagus atau saluran sebelum ke lambung, maka ada
refleks yang bisa menyebabkan bayi gumoh (Dwienda, 2014).
Pada keadaan gumoh, biasanya lambung sudah dalam keadaan terisi penuh,
sehingga terkadang gumoh bercampur dengan air liur yang mengalir kembali ke atas dan
keluar melalui mulut pada sudut-sudut bibir. Hal tersebut disebabkan karena otot katup di
ujung lambung tidak bisa bekerja dengan baik. Otot tersebut seharusnya mendorong isi
lambung ke bawah (Dwienda, 2014).
Lambung yang penuh juga bisa membuat bayi gumoh. Ini terjadi karena
makanan yang terdahulu belum sampai ke usus, tetapi sudah diisi makanan lagi.
Akibatnya bayi tidak hanya mengalami gumoh tapi juga bisa mengalami muntah. Lambung
bayi punya kapasitasnya sendiri. Misalnya bayi umur sebulan, ada yang sehari bisa
minum 100 cc, tapi ada juga yang 120 cc (Dwienda, 2014).
2.2.6 Komplikasi dari Gumoh
Jika gumoh terjadi secara berlebihan, frekuensi sering dan terjadi dalam waktu
lama maka akan menyebabkan berbagai komplikasi yang bisa mengakibatkan gangguan
pada bayi (Khomsan, 2008) :
1. Iritasi pada saluran pencernaan.
Saat terjadi gumoh, maka asam lambung ikut naik melalui kerongkongan. Bila
gumoh terjadi terlalu sering, maka asam lambung juga semakin sering naik melalui
kerongkongan. Asam lambung inilah yang akan menyebabkan saluran pencernaan
mengalami iiritasi karena asam lambung seharusnya hanya berada di lambung.
2. Aspirasi atau masuknya cairan gumoh ke paru-paru dapat menyebabkan radang.
Masuknya cairan ke dalam paru-paru menimbulkan gejala yang berbeda-beda
tergantung jumlah cairan yang masuk. Jika hanya sedikit sekali yang masuk,
mungkin gejala tidak langsung nampak dan hanya ringan saja, seperti batuk, rasa
tidak nyaman di dada, nafas cepat, retraksi ringan. Akan tetapi jika tidak tertangani
dengan baik dapat berkembang menjadi radang paru.
3. Nafas terhenti sesaat.
Hal ini terjadi jika cairan gumoh masuk dalam jumlah yang cukup banyak hingga
menyumbat total saluran nafas sehingga dapat terjadi henti jantung dan nafas
mendadak.
4. Bayi tersedak dan batuk.
Jika cairan gumoh yang masuk paru-paru cukup banyak tapi tidak sampai
menyumbat total biasanya penderita akan mengalami batuk, sesak nafas berat
(sampai disertai tarikan dinding dada; cekung ke dalam), nafas cepat dan
sianosis/kebiruan.

5. Pucat pada wajah bayi karena tidak bisa bernafas


Bayi tidak bisa bernafas diakibatkan oleh cukup banyaknya cairan gumoh yang
masuk ke dalam paru-paru. Bila paru-paru tersumbat, maka oksigen tidak akan bisa
disalurkan ke alveoli sehingga tidak akan terjadi pertukaran oksigen dan
karbondioksida di alveoli. Hal ini menyebabkan jaringan-jaringan dalam tubuh tidak
mendapatkan suplai oksigen sehingga mengakibatkan bayi pucat.
Selain itu, komplikasi lain yang dapat timbul akibat dari gumoh yang berlebihan
adalah gangguan pertumbuhan karena asupan gizi berkurang dan dehidrasi karena cairan
yang masuk tidak seimbang dengan cairan yang keluar (Dwienda, 2014).

2.3 Gurita pada bayi

Gurita bayi adalah pakaian bayi yang terbuat dari kain yang berbentuk kain utuh
dengan tali-tali di dua sisinya. Penggunaan gurita biasanya dengan cara menalikan kedua
sisi kain tersebut. Gurita bayi banyak digunakan oleh masyarakat dengan alasan untuk
melindungi pusar bayi yang belum puput atau kering atau untuk mencegah perut bayi
buncit berkelanjutan sehingga seorang ibu memasang gurita bayi dengan sangat erat.

Namun, sekarang ahli medis tidak menyarankan penggunaan gurita pada bayi,
karena hal tersebut dapat mengganggu pernapasan. Alasannya adalah karena bayi masih
menggunakan sistem pernafasan di perut, beda halnya dengan orang dewasa yang
bernafas melalui sistem pernafasan dada. Dapat dikatakan pusat aktivitas kehidupan bayi
masih berlangsung di sekitar perutnya.

Selain itu penggunaan gurita juga akan menyebabkan bayi gumoh karena
pemakaian gurita dengan sangat erat akan menekan lambung bayi sehingga pada saat
lambung bayi terisi penuh menyebabkan cairan dalam lambung tertekan sehingga terjadi
gumoh (Widyastuti, 2012).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Judul
Pengaruh Penggunaan Gurita Terhadap Frekuensi Gumoh Pada Bayi Di Kabupaten
Karanganyar

B. Pengarang
Ana Wigunantiningsih, N.Kadek Sri Eka Putri, Luluk Nur Fakhidah

A. Tahun Terbit
2016

B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pre experimental design bentuk One-shot
Case study yaitu penelitian dimana terdapat satu kelompok yang diberikan perlakuan
dan selanjutnya diobservasi hasilnya. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Tasikmadu, Jaten I, Jaten II, Kebakramat I, Kebakramat II pada bulan April
Juni 2014.

B. Partisipan

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi berusia 0-3 bulan yang berada di
wilayah kerja Puskesmas Tasikmadu, Jaten I, Jaten II, Kebakkramat I dan Kebakramat
II, dengan rata-rata jumlah persalinan 60 per bulan untuk setiap kecamatan. Jadi
jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 180 orang.
Sampel dalam penelitian diambil dengan tehnik sampel accidental sampling.
Sampel dalam penelitian ini yaitu bayi usia 0-3 bulan di wilayah kerja Puskesmas
Tasikmadu, Jaten I, Jaten II, Kebakkramat I dan Kebakramat II sejumlah 36 yang
memakai gurita dengan pemberian nutrisi ASI Eksklusif dan selalu disendawakan
setelah disusui.

Dengan Kriteria Inklusi:

1. Bayi yang berusia 0-3 bulan

2. Bayi yang berada di wilayah kerja Puskesmas Tasikmadu, Jaten I, Jaten II,
Kebakkramat I dan Kebakramat II

3. Bayi yang menggunakan ASI eksklusif

4. Bayi yang menggunakan gurita

C. Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan responden sejumlah 36 bayi yang dipilih


secara accidental sampling. Seluruh responden di observasi sebanyak 2 kali dalam
2 minggu. Observasi pertama dilakukan pada minggu pertama dimana bayi
dipakaikan gurita dan observasi kedua dimana bayi tidak menggunakan gurita.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan angket yang
berisi tentang identitas bayi dan ibu serta lembar ceklist observasi frekuensi gumoh
pada bayi.

Persetujuan dari ibu responden didapatkan untuk melaksanakan penelitian.


Inform censent secara lisan didapatkan dari responden untuk mengikuti penelitian.

D. Program Intervensi

1. Penelitian ini dilakukan pada bayi berusia 0-3 bulan yang mengkonsumsi ASI
eksklusif. Responden akan dijadikan satu kelompok dan mendapat intervensi
yang sama.
2. Para ibu diberikan penjelasan mengenai penelitian dan diminta untuk
berpartisipasi dalam penelitian.

3. Pada minggu pertama semua responden diberikan perlakuan menggunakan


gurita dan diberikan ASI sesuai kebutuhan kemudian disendawakan, bila bayi
gumoh ibu responden diperkenankan untuk mengisi di ceklist.

4. Sedangkan pada minggu kedua semua responden tidak diberikan perlakuan


menggunakan gurita dan diberikan ASI sesuai kebutuhan kemudian
disendawakan, bila bayi gumoh ibu responden diperkenankan untuk mengisi di
ceklist.

5. Pada akhir minggu pertama dan kedua lembar ceklist akan dikumpulkan dan
dihitung prosentase yang gumoh dan tidak.

E. Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan / door to door pada
bayi yang menggunakan ASI eksklusif dalam satu kelompok dan diobservasi antara
bulan april juni 2014. Kriteria inklusi adalah bayi yang berusia 0-3 bulan, bayi yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Tasikmadu, Jaten I, Jaten II, Kebakkramat I dan
Kebakramat II, bayi yang menggunakan ASI eksklusif, bayi yang menggunakan gurita.
Parameter yang diukur adalah frekuensi / kejadian gumoh pada bayi.yang
kemudian ditulis di lembar/angket observasi. Kemudian peneliti mendata keseluruhan
lembar observasi yang ditulis oleh para ibu.
Parameter dianalisa menggunakan SPSS, versi 15. Kategori parameter dianalisa
menggunakan Wilcoxon test dengan taraf signifikansi sebesar 5% didapatkan nilai Z
sebesar 0.03. Nilai Z ini lebih kecil dari 0.05 (Z (0.03<0.05) sehingga dapat
didimpulkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak. Artinya terdapat pengaruh atau
hubungan yang signifikan antara penggunaan gurita dengan kejadian frekuensi
gumoh pada bayi.

F. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Juli 2014 di Wilayah Kerja Puskesmas
Tasikmadu, Jaten I, Jaten II, Kebakkramat I, dan Kebakkramat II dengan jumlah 36
responden yang berusia 0-3 bulan. Semua responden dijadikan satu kelompok dimana
akan diberikan perlakuan selama 2 minggu. Pada minggu pertama semua responden
akan diberikan perlakuan menggunakan gurita dan pada minggu kedua semua
responden tidak diberikan perlakuan menggunakan gurita, kemudian pada tiap akhir
minggu akan diobservasi.

Hasil penelitian pada minggu pertama dimana bayi diberikan perlakuan


menggunakan gurita didapatkan hasil 20 (55,4%) responden mengalami gumoh,
sedangkan 16 (44,6%) responden tidak mengalami gumoh. Kemudian pada minggu
kedua dimana bayi tidak diberikan perlakuan menggunakan gurita didapatkan hasil 16
(44,6%) responden mengalami gumoh, dan 20 (55,4%) responden tidak mengalami
gumoh.

Setelah dilakukan penelitian dan didapatkan data observasi, kemudian dilakukan


analisa dengan uji Wilcoxon dengan signifikansi sebesar 5 % dan didapatkan nilai Z
sebesar 0.03. Dari nilai Z yang didapatkan dan dibandingkan dengan nilai signifikansi
yaitu didapatkan (Z( 0.03 < 0.05) yang berarti dapat disimpulkan bahwa Ha diterima
dan Ho ditolak. Artinya terdapat pengaruh atau hubungan yang signifikan antara
penggunaan gurita dengan frekuensi gumoh pada bayi.

G. Diskusi

Berdasarkan pengetahuan kami, penelitian ini merupakan suatu observasi yang


digunakan untuk mengetahui pengaruh penggunaan gurita terhadap gumoh pada bayi.
Karena gumoh sendiri bisa diakibatkan dari beberapa penyebab misalnya bayi minum
menggunakan susu botol ataupun pada bayi yang tidak disendawakan ketika selesai
minum.

Namun, kedua pemicu terjadinya gumoh yaitu bayi dengan susu botol dan tidak
menyendawakan bayi dalam penelitian ini telah dikendalikan dengan hanya
mengambil responden bayi yang diberi ASI Eksklusif dan disendawakan setelah
menyusui. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan antara
penggunaan gurita dengan kejadian gumoh pada bayi, artinya frekuensi kejadian
gumoh pada bayi saat memakai gurita lebih sering dari pada saat bayi tidak
menggunakan gurita. Hal ini disebabkan karena pemakaian gurita akan menekan
dinding perut bayi sehingga jika lambung bayi penuh setelah minum susu tekanan ini
akan menyebabkan keluarnya sebagian susu yang telah diminum tadi (gumoh)
(Admin, 2009; Tari, 2012). Selain dapat memicu gumoh, penggunaan gurita sendiri
akan menyebabkan bayi merasa tidak nyaman dan sesak.

Sebenarnya gumoh merupakan hal yang normal pada bayi jika terjadi dengan
frekuensi 4-5 ksli sehari (Innes, 2012). Gumoh yang terlalu sering pada bayi akan
berakibat bayi kurang nutrisi, jika hal ini terjadi secara terus-menerus bayi bisa
mengalami mal nutrisi yang akan berakibat pada pertumbuhan dan perkembangan
bayi. Selain itu gumoh pada bayi juga tidak bisa dianggap hal yang sepele karena
pada saat bayi gumoh, bayi bisa mengalami aspirasi yaitu masknya cairan susu ke
dalam paru-paru. Gumoh pada bayi ini akan berkurang seiring dengan bertambahnya
usia bayi. Biasanya akan menghilang sendiri pada usia 12-15 bulan (Wyeth Indonesia,
2013: Admin, 2012).

H. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemakaian gurita pada bayi
dapat menyebabkan peningkatan frekuensi gumoh pada bayi. Sehingga diharapkan
para ibu tidak lagi menggunakan gurita pada bayinya dengan tujuan salah satunya
untuk mengurangi kejadian gumoh pada bayi. Tetapi jika orang tua tetap harus
memakai gurita karena tradisi maka orang tua bisa memakaikan gurita kepada bayinya
secara longgar sehingga tidak akan menekan dinding perut bayi dan menyebabkan
gumoh.

I. Kelebihan dan Kekurangan Jurnal

1. Kelebihan Jurnal
Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan responden yang bayinya
hanya meminum ASI dan disendawakan setelah minum sehingga dapat
mengurangi bias dari penelitian.

2. Kekurangan Jurnal
Dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan observasi secara langsung
terhadap bayi, sehingga dimungkinkan bayi setelah disusui tidak dilakukan
sendawa.
Dalam penelitian ini belum mengkaji penyebab gumoh secara lebih detail,
tidak mengkaji secara mendalam saat bayi gumoh apakan bayi sedang dalam
posisi bangun atau tidur.
Dalam penelitian ini tidak menyamaratakan jumlah atau volume ASI yang
dikonsumsi oleh bayi, sehingga dimungkinkan penyebab gumoh pada
beberapa bayi karena terlalu kenyang.
Dalam penelitian ini peneliti tidak memaparkan hasil dari penelitian atau dasar
teori kepada responden setelah penelitian, sehingga hal ini dapat merugikan
responden, karena responden tidak akan bertambah informasi kesehatannya
tentang gumoh.

J. Pembahasan perbandingan dengan jurnal yang lain

No. Penulis Tahun Judul Negara Isi

K. Penerapan di Indonesia

Aplikasi penggunaan gurita di Indonesia sendiri masih banyak digunakan karena


tradisi dari orang tua yang masih mempercayai penggunaan gurita akan mencegah
perut bayi buncit. Namun dampak dari penggunaan gurita sendiri juga akan membuat
bayi kurang nyaman dan menyebabkan gumoh. Sehingga banyak tenaga kesehatan
yang mulai menyarankan agar tidak lagi menggunakan gurita.
Seiring perkembangan jaman, pakaian gurita bayi kini sudah dimodifikasi sehingga
mempunyai banyak manfaat bagi bayi. Gurita bayi yang dahulu berbentuk kain
dengan tali-tali sekarang sudah dimodifikasi dengan perekat dan dengan kain yang
lebih tebal sehingga dapat menghangatkan bayi serta tidak terlalu menekan
abdomen.

L. Aplikasi Dari Kelompok

Berdasarkan aplikasi / penerapan yang dilakukan oleh kelompok dengan


melakukan observasi pada 5 pasien yang melakukan kunjungan di poli KIA
puskesmas gondanglegi didapatkan hasil 5 bayi yang mengkonsumsi ASI eksklusif,
usia bayi 0-3 bulan dan menggunakan gurita, kemudian dari 5 bayi tersebut 4 ibu bayi
mengatakan anaknya sering gumoh setiap kali setelah minum ASI padahal sudah
disendawakan, kemudian satu ibu bayi mengatakan anaknya tidak pernah gumoh.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan gurita


bayi akan berpengaruh pada tekanan perut/lambung yang menyebabkan bayi gumoh.

Dari jurnal tersebut, kami mencoba untuk mengaplikasikannya kepada bayi yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Gondanglegi. Pada penelitian yang kami lakukan,
kami mengobservasi bayi yang mengkonsumsi ASI eksklusif, yang menggunakan
gurita.

Berikut adalah langkah-langkah kami dalam pengambilan data:

1. Menganamnesa bayi yang datang di Poli KIA Puskesmas Gondanglegi termasuk


nama, usia, konsumsi ASI eksklusif dan penggunaan gurita bayi serta apakah
setelah bayi minum disendawakan.
2. Menanyakan apakah selama penggunaan gurita bayi pernah gumoh
3. Mencatat hasil observasi yang telah dilakukan
4. Memasukkan data dari hasil observasi

Dari hasil observasi di Poli KIA pada tanggal 1-2 Februari 2017 kami mendapatkan
total 6 bayi yang menggunakan gurita dan mengkonsumsi ASI eksklusif.
Penggunaan Konsumsi Disendawaka Gumoh
Nama Usia
Gurita ASI ekskluif n YA Tidak

By A 2 bulan Iya Iya Iya Iya

6 Iya Iya Iya Iya


By D
minggu

1,2 Iya Iya Iya Iya


By SA
bulan

3 Iya Iya Iya Tidak


By K
minggu

1,8 Iya Iya Iya Iya


By L
minggu

Dari table di atas dapat disimpulkan bahwa dari 5 bayi yang kami data terkait
penggunaan gurita bayi 4 bayi mengalami gumoh, sedangkan 1 bayi tidak mengalami
gumoh. Data tersebut dapat dibuat sebagai data pendukung bahwa penggunaan
gurita dapat mempengaruhi tekanan perut bayi sehingga dapat memicu gumoh.

Daftar Pustaka

You might also like